BABY BLUES Review

“Parenting is about teamwork and not undermining your partner”

 

 

Ada dialog dalam adegan Baby Blues garapan Andibachtiar Yusuf yang menyebut bahwa seorang suami bertugas menafkahi, sementara seorang istri tugasnya merawat anak di rumah. Gagasan role rumah tangga tersebut bisa bertukar, tampak begitu aneh oleh karakter film ini. Pandangan aneh tersebut toh tampaknya memang masih sejalan dengan pandangan mayoritas penduduk di Indonesia. Ayah bekerja, ibu rumah tangga, masih bentukan keluarga ideal di masyarakat kita. However, di tempat-tempat yang masyarakatnya lebih suka untuk tampak modern, role tersebut lebih fleksibel. Istri gak harus ‘bekerja’ di rumah. Bapak yang ngasuh anak, dan sebagainya. Makanya sebenarnya menarik melihat bagaimana ide soal peran rumah tangga tradisional dimainkan dalam era/pandangan modern.

Seiring durasi berjalan, dari dialog-dialog dan how things played out di awal-awal, kupikir Baby Blues bakal ngarah ke situ. Suami dan Istri yang bertukar tubuh, merasakan tugas partner hidup mereka. Tapi dari konsep tersebut, Baby Blues ternyata menekankan kepada bagaimana keduanya jadi lebih saling menghargai, dan memang ini pesan yang tak kalah penting. Dengan pesan itu, tentu saja sebenarnya Baby Blues masih baik untuk ditonton oleh keluarga (khususnya young parents). Hanya saja, pesan yang lebih tradisional tersebut tidak benar-benar mendarat sesuai dengan yang diniatkan, karena naskah film ini tidak dikembangkan dengan berimbang.

blues2905717046
Penulis Imam Darto sepertinya memang hobi ngasih pelajaran ke perempuan-perempuan yaa

 

Sesuai judulnya, cerita memang berangkat fenomena psikologis yang hanya dirasakan oleh seorang ibu. Perasaan sedih, lelah, kesepian yang merundung seorang ibu pasca melahirkan. Ya, film ini mengambil perspektif perempuan sebagai sudut pandang utama. Dinda dan suaminya Dika baru saja dikaruniai putri pertama. Suddenly, Dinda merasa hidupnya berat sekali. Istirahatnya kurang, badannya sakit. Dia yang capek dua puluh empat jam ngurusin anak, masih disuruh jaga badan oleh mertua, disalah-salahin karena penampilannya jadi kucel. Sementara Dika suaminya tampak enjoy-enjoy aja main PS sama temen-temen sepulang kerja. Cuek teriak-teriak padahal anaknya baru saja tidur. Dinda merasa cuma dia yang bertanggungjawab. Maka saat bertengkar hebat dengan suaminya suatu malam, Dinda yang minta dingertiin, meminta Dika merasakan hidup sebagai dirinya. Permintaan Dinda terkabul. Pagi harinya, pasangan itu terbangun di dalam tubuh yang tertukar. Dinda jadi cowok – jadi Dika. Dan sebaliknya, Dika kini gak bisa lagi ngelak dari mendiamkan bayi yang nangis dengan alesan “Susunya kan di kamu”

This whole story diceritakan dalam balutan komedi yang, yah katakanlah, merakyat. Tidak dalam dialog cerdas dan situasi elegan, namun dalam dialog-dialog candaan receh dan situasi yang komikal. Karakter perempuan dan laki-laki yang dikontraskan di sini merupakan karakter yang stereotipe, dalam artian cowok digambarkan ‘ngasal’ kayak duduk ngangkang, suka garuk-garuk, unhigenis dan cewek digambarkan either sangat feminim atau strong seksual objek. Tentu saja tipe yang ekstrim ini digunakan untuk komedi gampang yang maksimal tatkala Dika jadi bertubuh Dinda, dan sebaliknya. Film ini terutama tampak sangat gemar bikin lucu-lucuan dari cowok yang bertingkah kemayu. Ada lebih banyak candaan pada Dinda yang kini bertubuh tegap. Yang membawa kita kepada kunci dari penampilan film ini. Permainan akting. Vino G. Bastian dan Aurelie Moeremans definitely gak sekadar mainin cowok lelembut atau cewek tomboy. Kita bisa lihat mereka berusaha benar-benar memberi nyawa karakter lawan main yang telah bertukar tubuh. Basically masing-masing mereka mainin dua karakter sentral itu sekaligus. Dari dramatic point, ada cukup layer dalam tuntutan akting mereka. Melihat dari sini, komedi yang dibikin simpel bisa dianggap mempermudah mereka, komedi jadi tidak menghalangi dramatic point yang jadi ‘daging’ dari karakter mereka.

Niat film ini sebenarnya memang baik sekali. Dari bertukaran tubuh, bertukar role tersebut, ayah dan ibu diharapkan bisa lebih saling mengerti kewajiban masing-masing. Bahwa menjadi orangtua sesungguhnya adalah kerja tim. Membesarkan anak butuh banyak ‘pengorbanan’. Pertengkaran Dinda dan Dika berawal dari Dinda yang menyangka cuma dirinya yang kerja, sementara Dika tidak kelihatan pulling the weight. Dengan meng-experience kehidupan Dika, Dinda jadi sadar bahwa masing-masing mereka ternyata harus dan memang mengalahkan ego dan kepentingannya, demi mendahulukan apa yang terbaik bagi anak.

 

Panggung cerita semakin terasa lokal karena ada lapisan soal hidup bersama mertua. Dinda dan Dika basically hidup serumah dengan ayah dan ibu Dika (cuma berbatas tembok dan pintu) yang turut jadi pemicu stres-nya Dinda. Film lebih lanjut mengembangkan ini sebagai permasalahan dengan orangtua pasangan, karena Dika sebaliknya diceritakan sebagai orang yang tampak cuek ama keluarga istrinya. Lapisan ini harusnya semakin menambah dalamnya eksplorasi tentang pembelajaran saling mengerti. This is the extra layer, tapi ternyata inilah yang jadi pembahasan yang paling diperhatikan oleh naskah. Di pembahasan inilah naskah melakukan penggalian cukup berimbang. Kalo film ini cuma tentang hidup dengan mertua, Baby Blues bisa dapat nilai yang lebih baik. Tapi sayangnya, main course film ini – yakni soal stresnya mengasuh anak – tidak mendapat bahasan yang berimbang.

Film terus saja seperti ‘memberikan pelajaran’ kepada Dinda. Sampai ke titik film seperti menunjukkan Dika bahkan bisa jadi ibu yang lebih baik daripada Dinda. Film benar-benar memperlihatkan hampir semua keputusan Dinda – dalam usahanya jadi ibu yang baik – tampak egois dan nyalahin suaminya , tanpa balik memperlihatkan perjuangan Dika. Dika setelah bertubuh perempuan, tampak gampang aja menyesuaikan diri. Dika gak seheboh Dinda mempermasalahkan gigitan anak mereka. Anak mereka justru sakit diurus oleh Dinda. Film merasa gak perlu ngasih waktu untuk Dika memperbaiki sikapnya yang hobi main PS. Gak ada adegan-adegan Dika berusaha mengerjakan pekerjaan ibu, seperti masak, ngurus anak. Dia bisa gitu aja, dan melakukannya lebih baik dari Dinda karena dia gak stress. Hanya ada satu keputusannya yang meragukan, yakni soal ngasih ASI dari orang lain karena ASI tubuhnya gak keluar. Tapi film menampilkan dampak adegan itu sebagai kesalahan Dinda yang gak menghargai usaha Dika mencari ASI. Dinda dengan tubuh Dika diperlihatkan dipecat dari kerjaan eventho she really tries, tapi kita gak lihat Dika berusaha biar ASInya keluar.

Aku pikir nanti Dinda berhasil membuat kafe tempat Dika bekerja jadi rame, sebagai penyeimbang Dika merasa lebih fun ngurus anak di rumah. Yang seperti kutulis di awal mengarah kepada film ini ngasih solusi pandangan modern terhadap role rumahtangga tradisional yang masih banyak dianut keluarga di negara kita. Tapi ternyata film ini lebih memilih untuk memperlihatkan Dinda menyadari dia bukan orangtua yang baik karena terlarut dalam baby blues-nya, bahwa suaminya ketika beneran ngelakuin hal yang ia lakukan justru melakukannya dengan lebih baik daripada dirinya. Suaminya lebih cepat belajar sementara Dinda sendiri lebih sering mendahulukan perasaan dan emosinya semata. Film ini memilih untuk ngajarin cewek cara-cara menjadi ibu yang baik, ngajarin bahwa suami juga telah berusaha sebisa mereka. Jadi ya buatku naskah film ini memang agak-agak problematik.

bluesY2ZjXkEyXkFqcGdeQWFuaW5vc2M@._V1_
Pembelajaran menjadi ibu dari penulis laki-laki.

 

Dari segi penyampaian atau penceritaan, film ini pengen berusaha sebaik mungkin ngeset tone komedi serta membuat logika-cerita yang melogiskan kenapa pertukaran tubuh itu bisa terjadi. Hanya saja film mengambil keputusan yang salah, atau at least belum memikirkan masak-masak pilihan yang mereka lakukan. Karena menurutku film masih bisa melakukannya dengan lebih baik lagi. 

Jadi film ini menggunakan narator, seperti dalang. Tokoh di luar cerita, di luar aturan-dunia cerita, yang bergerak dalam dimensi yang berbeda dari Dinda, Dika, dan yang lain. Tokoh atau karakter ‘Tuhan’ ini muncul sporadik sebagai transisi yang merangkum kejadian serta mengantarkan kepada apa yang bakal terjadi berikutnya, di closing untuk ngasih kesimpulan, dan juga di opening; menyambut kemudian memperkenalkan kita kepada karakter-karakter cerita. Singkatnya, kehadiran narator tersebut justru menyuapkan kita banyak hal yang tidak perlu. Emangnya kita bayi, disuapin! Opening film ini bisa lebih ringkas; efektif dan ngalir, tanpa komedi pengenalan karakter dari si narator. Film ini benar-benar gak butuh narator. Kepentingannya cuma untuk membuat pemahaman bahwa keanehan bertukar tubuh dapat terjadi di dunia cerita yang disetir oleh narator ajaib ini. Itulah tadi maksudku soal mestinya film bisa memperlakukan ini dengan lebih baik lagi. Alih-alih narator, kenapa gak dibikin saja dia karakter yang benar-benar berinteraksi. Anggap dia sebagai oranggila yang aneh, dan hidup bersama karakter lain. Bikin keajaiban itu jadi karakter yang menghidupi cerita, ketimbang muncul dan ngatur cerita dari luar. Eksposisi yang hadir bersama narator itu gak dibutuhkan, hanya menghambat pace cerita.

 

 

 

 

Nonton ini ada beberapa kali aku ngikik juga, beberapa kali membatin ‘wah bener sih, ada yang kayak gitu terjadi di dunia nyata’. Potretnya yang simplistik itu memang beresonansi juga dengan masyarakat. Film ini punya niat dan pesan yang baik. Hanya masalahnya, penyampaian dan perspektifnya saja yang timpang. Film ini tidak mempertanyakan gagasan, melainkan dengan pedenya ngasih jawaban mutlak. Karakter-karakternya diposisikan sebagai objek dari jawaban yang diusung. Bukan subjeknya. Sebenarnya film ini sama saja dengan film-film agenda-ish yang biasa kita saksikan. Tapi biasanya film agenda-ish suka hadir dengan karakter perempuan yang selalu benar. Film ini tampil dengan karakter perempuan yang terus-menerus dipersalahkan. Dan ya, hadir untuk ngasih gagasan yang tidak seimbang. But I believe, bakal ada juga penonton yang sependapat, kayak film agenda-ish yang penggemar banyak banget karena segagasan. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BABY BLUES.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah gender role tradisional dalam parenting masih relevan untuk diterapkan? Jika tidak, kenapa? Apa faktor yang menyebabkan gender role tersebut kini bisa berubah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Leave a Reply