PETUALANGAN SHERINA 2 Review

 

“Play by the rules, but be ferocious”

 

 

Petualangan Sherina (2000) arguably adalah salah satu film anak terbaik Indonesia. Bahkan di kota asalku yang gak ada bioskop, gaung film itu terdengar keras.  Di sekolahku dulu anak-anak pada nari “Matahariiiii bersinar terang” sama geng masing-masing. Semua pada bawa bekel tupperware isi keping coklat warna-warni. Pose Sherina dan Sadam bertolak punggung, ditiru jadi pose andalan saat berfoto.  Tahun segitu memang film lagi ‘sepi’, Petualangan Sherina hadir bukan cuma jadi hiburan satu-satunya. tapi juga dengan cerita yang ringan nan asik, lagu-lagu yang catchy, dan karakter yang memorable. Sekarang, 23 tahun setelahnya, Riri Riza kembali menghadirkan Petualangan Sherina, di saat yang menurutku juga masih mirip dengan keadaan kemunculan film pertama. Yakni saat kita para penonton bioskop merasa ‘sepi’ dan perlu dihibur oleh karakter yang kita kenal dan lagu-lagu yang catchy. Petualangan Sherina 2 memang dihadirkan untuk memuaskan dahaga nostalgia serta menjawab rasa kangen terhadap para karakter. Bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Jadi apa Sherina dan Sadam – ‘teman-teman kecil’kita dulu itu sekarang.

Sherina M. Darmawan kini jadi reporter stasiun televisi. Cocok sih, mengingat karakternya di film pertama dulu sebagai anak yang cerdas, mandiri, kritis dan tak ragu untuk mendebat sesuatu yang menurut dia mengganjal. Salah satu quote-nya yang paling kuingat dulu adalah ketika bertanya apakah kenakalan itu juga keturunan, karena kalo ada anak yang baik, biasanya orangtua bakal dengan bangga bilang turunan ibu/ayahnya. Sherina thought kenakalan mungkin juga ‘bekerja’ seperti demikian. Dengan kualitas dan sikap seperti itu, Sherina memang pantas jadi jurnalis handal, aku sempat kepikiran karakter Gale Weathers di franchise Scream. Sherina di sekuel ini memang nyaris se-ferocious perempuan itu. Kita melihat dia kesal enggak jadi dikirim meliput ke Swiss. Alih-alih ke sana, Sherina malah ditugasi ke hutan Kalimantan. Meliput penangkaran orangutan. Di hutan itulah nanti Sherina reunian dengan Sadam. Karena sikap pantang melihat hal gak bener Sherina-lah, mereka terlibat petualangan baru; melacak anak orangutan yang dicuri untuk dijual kepada sosialita pengoleksi hewan eksotis. Bergerak sendiri karena menurut Sherina, ngatur strategi itu kelamaan.

Sherina, M-nya apa?

 

Dua-puluh-tiga tahun tentu saja bukan rentang yang sebentar. Film ini tahu persis siapa market mereka. Penonton yang juga ikut bertumbuh; yang dulu menonton Petualangan Sherina saat masih kecil, dan kini bakal kembali ke bioskop menyaksikan kelanjutan cerita. Dan kembalinya mungkin bukan sendiri, melainkan bersama ‘jagoan’ kecil mereka. Jadilah film ini diarahkan untuk jadi tontonan keluarga, tapi dengan cerita yang sedikit lebih dewasa. Film ini paham bahwa kita yang nonton bakal penasaran sama Sherina dan Sadam kini seperti apa. Dalam 23 tahun itu apa yang terjadi pada hubungan mereka. Jadi film ini ‘menggoda’ kita. Sherina dan Sadam dibuat sudah lama berpisah. Bibit-bibit hubungan romantis mereka disebar, karena mereka masing-masing belum berkeluarga. Sherina Munaf dan Derby Romero tampak mudah saja menyambung chemistry karakter mereka.  Kisah yang terjadi kepada mereka setelah kejadian film pertama, hingga mereka SMP dan SMA dan kuliah, turut disebar menghiasi petualangan mereka di hutan. Akan ada momen-momen mereka berdialog yang akrab maupun yang bikin kita penasaran. Bikin kita gemes. Bahkan mungkin sukses membuat penonton terkenang kepada sahabat yang sudah lama tidak bersua.

Ini tentu saja berkaitan dengan development karakter. Urusan naskah. Sebenarnya film ini jauh lebih ‘ambisius’ dibandingkan film pertamanya dulu itu. Ambisius dalam artian ada lebih banyak hal yang dibahas di sini. Naskah-lah yang bertindak sebagai tulang punggung, menjaga agar cerita tetap berjalan sesuai dengan perkembangan karakter.  Perkembangan karakter Sherina yang sedari kecil sudah senang debat dan kritis tadi, kini dikembangkan menjadi ‘flaw’ bagi karakternya. Setiap protagonis utama harus punya flaw/cela karena dari situlah nanti dia bakal mendapat pembelajaran yang membentuk journey karakter yang melingkar sebagai akhir cerita. Flaw Sherina inilah yang menarik, Film tidak terjebak untuk menghadirkan protagonis perempuan yang serba-perfect. Flaw membuat karakter Sherina manusiawi, semanusiawi ketika dulu saat masih kecil karakternya diperlihatkan punya hobi ‘pura-pura’ jadi jagoan. Waktu masih kecil, sikap kritis membuat Sherina tampak lucu. Kini, sikapnya itu malah membuat orang di sekitarnya kurang nyaman. Sherina jadi sedikit bossy. Gak mau diatur, dan maunya hanya melakukan pemikiran sendiri. Sikap itu jualah yang jadi akar rengganggnya hubungan Sherina dengan Sadam. Proses Sherina dealing with her flaw inilah yang tercermin pada aksi-aksi mereka nanti saat berusaha menyelamatkan anak orangutan yang diculik. Memberikan bobot di balik sajian luar cerita.

Jika waktu kecil Sherina belajar untuk melihat hal lebih dekat, kini dia perlu belajar membuka diri untuk melihat dari sudut pandang lain. ‘Mendengar’ orang lain. Gak bisa hanya dengan terus nurutin apa yang menurut dia langkah yang tepat.  Memang, terkadang kita perlu untuk bermain sesuai aturan. Play by the rules, dan mainkanlah dengan lebih baik dari orang lain.

 

Selain soal itu, film juga tampak ‘serius’ bicara soal pelestarian alam, khususnya satwa. Dua karakter antagonis – pasangan yang mengoleksi hewan eksotis – boleh saja dibuat komikal. Ratih yang diperankan Isyana Sarasvati udah kayak Scarlet J.,,eh, udah kayak Cruella De Vil di 101 Dalmatians, hanya lebih konyol. Dia juga dikasih ‘villain song’ yang buatku justru paling memorable di antara lagu-lagu lain di film ini. Tapi kalo diliat-liat karakter jahat komikal tersebut seperti menyentil keadaan yang kita jumpai di kehidupan nyata. Maraknya tren memelihara hewan liar, seperti bayi monyet, bayi macan, dan lain sebagainya di kalangan figur publik. Memelihara tapi bukan untuk melestarikan melainkan hanya untuk dijadikan konten. Menaikkan status sosial. Film ini ngasih pesan dan informasi kepada penonton bahwa hal tersebut adalah sama saja dengan tindak kejahatan. Ini pesan yang penting banget untuk dilihat terutama oleh penonton cilik, karena memberikan edukasi pelestarian satwa dan lingkungan kepada mereka. Salah satu lagu di film ini bahkan menyuarakan soal orangutan dan hutan kalimantan.

Hatiku sedih, hatiku gundah, kok malah jadi berpisah

 

Film ini tahu untuk play within its strength. Dan strength film ini tak lain tak bukan adalah nostalgia. Honestly, aku gak expect film ini bahkan dimulai dengan mengembalikan status-quo kepada formula film pertama. Sherina dari kota, dikirim ke daerah, bertemu Sadam di sana. Banyak sekali adegan-adegan yang bakal ngingetin kita pada momen-momen di film pertama. Nostalgia yang paling kerasa itu terutama pada adegan musikalnya. Seperti film pertama, sekuel ini juga diarahkan sebagai sajian musikal. Sherina dan Sadam akan menyanyikan kejadian dan perasaan yang mereka lalui. Dan kebanyakan lagu-lagu di film ini mereferensikan lagu-lagu pada film pertama. Di satu sisi hal ini memang sweet banget. Mendengar kembali lagu-lagu yang mungkin udah kita nyanyikan berulang kali sedari kecil tentu saja ngasih sensasi menyenangkan tersendiri, walaupun liriknya sedikit diubah mengikuti keadaan cerita yang sekarang. Di sisi lain, terasa jadi agak maksain juga. I’d prefer mereka menyanyikan anthem dari lagu-lagu baru ketimbang cuma mengubah lirik.  Musical number di film ini terasa kurang banyak range-nya dibandingkan dengan lagu-lagu di film pertama. Dulu itu Sherina sedih aja ada lagunya. Di film kali ini kayaknya relatif saat perasaan lagi ‘up’ saja yang dinyanyikan. Dulu, ada battle nyanyi segala. Antara Sherina dan Sadam, ledek-ledekan sambil bernyanyi di halaman sekolah. Di film sekarang, meski Sherina bertemu dengan Ratih, film gak ngasih battle nyanyi lagi kepada kita.

Karena di film ini sekarang ‘battle’ jadi beneran berantem. Sherina dan Sadam jadi literally jagoan, karena bisa berantem ngalahin komplotan penculik dan bodyguard pribadi Ratih dan suami. Memang make sense, sih, kalo setelah kejadian film pertama, Sherina dan Sadam belajar membela diri sehingga kini mereka bisa beraksi. Film juga tak lupa ngebuild soal adegan aksi berantem ini pada sepuluh menit awal dengan memperlihatkan Sherina mukulin samsak dan foto dia ikutan karate. Tapi ya rasanya aneh dan too much aja. Kayak pas Sherina dan Sadam berhadapan dengan cewek bodyguard Ratih, vibenya masih terasa gak klop dengan ‘Petualangan Sherina’ yang kita tahu. Hampir kayak di Pitch Perfect 3 tau-tau Amy bisa berantem, padahal di dua film sebelumnya vibe film itu ya tentang lomba acapella saja. Vibe berantem ini juga bikin komplotan penjahat harus jadi ‘serius’, sehingga presence aktor-aktor dengan akting mumpuni jadi penjahat konyol diganti oleh yang fokus ke bisa action saja. Dan ‘lubang’ di departemen akting ini kerasa banget.

Alih-alih melebarkan sayap ke departemen aksi, menurutku film baiknya melebarkan sayap ke pengembangan karakter lain, Toh cerita kali ini sebenarnya melibatkan banyak karakter baru. Selain karakter antagonis tadi,  ada si kameraman partnernya Sherina, yang kayaknya ada rasa sama Sherina. Ada anak kecil yang ikut membantu menyelamatkan orangutan. Gak semuanya mendapatkan porsi yang cukup. Padahal kalo digali, kayaknya bisa menambah kedalaman cerita. Yang paling kerasa kurang itu adalah si anak kecil. Si Sindai ini kayak udah didesain sebagai cerminan Sherina waktu kecil, tapi enggak banyak adegan yang menampilkan Sherina berinteraksi dengan Sindai. Relasi di antara mereka tidak pernah benar-benar di-build up. Padahal akan keren sekali kalo berdua ini lebih banyak beraksi dan bareng-bareng. I just don’t know kenapa film gak simply membuat Sherina, Sadam, dan Sindai bertualang bersama. Kenapa mereka harus terpisah jadi dua ‘regu’ dan not really berinteraksi dan menjalin hubungan. Padahal Sindai kan posisinya representatif bagi penonton cilik yang diajak ngikut kakak-kakak atau orangtua mereka yang telah ikut tumbuh bersama Sherina dan Sadam. Jadi tidak ada salahnya kalo peran dan karakter Sindai juga ikut lebih banyak tergali.

 




Betapa bahagianya. Kita akan certainly have a great fun time jika datang ke film ini mengharapkan nostalgia ketemu karakter-karakter yang udah kayak teman lama. Arahan film ini tahu apa-apa saja yang harus dideliver, dan melakukan itu dengan sangat efektif. Kisah petualangan baru Sherina diwarnai oleh pesona-pesona yang ada di film pertama. Tontonan keluarga ini meriah oleh lagu-lagu dan cerita yang seru. Bermain-main dengan rasa penasaran kita terhadap lanjutan hubungan karakternya. Dan sebagaimana ihwalnya sebuah sekuel, film ini pun aim for jadi bigger. Punya pesan menjaga alam. Bahkan punya vibe action segala. Naskah menjaga semua itu tersusun rapi, tapi tetap saja buatku film ini beberapa kali terasa too much, sekaligus too little dalam ngehandle hal-hal esensial untuk bangunan cerita. Misalnya karakter-karakter baru yang kurang tergali. Membandingkannya dengan film pertama yang juga punya naskah bener dan terarah, film itu terasa lebih tight karena lebih simpel. Menurutku film kali ini, considering lebih banyak hal yang ditawarkan, terasa agak kewalahan juga. Namun paling enggak, mereka deliver their strength nicely.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PETUALANGAN SHERINA 2

 




That’s all we have for now.

Awalnya sih aku kurang relate sama Sherina yang kerja kantoran, happy pula. Menurutku Sherina lebih cocok sebagai jurnalis yang happynya saat turun ke lapangan. Sadam juga sebenarnya buatku agak ‘jauh’ juga dari yang kecilnya suka bintang, jadi fokus ke penangkaran orangutan. Gimana menurut kalian, apakah kalian punya versi fan-fic Sherina dan Sadam tuh cocoknya gedenya jadi apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Farrah says:

    Wah keluar juga reviewnya, btw, kok aku ngerasa pacenya agak terlalu cepet ya mas? Kayak awalnya Sherina nolak gamau ke Kalimantan, bilang buat apa liputan disana dll dll, trs tau2 pas sampe sana lgsg tertarik & lupa sama yg acara di Swiss.
    Lalu pas adegan Sayu hilang, dia tiba2 malah lebih excited daripada Sadam himself yg jelas jelas ‘tugas’nya. Aku ngerasa ada yg gak smooth aja di perubahan excitementnya Sherina, atau memang karakternya dibuild up seperti itu ya?

    • Arya says:

      Bener, menurutku itu karena mereka mau nyamain formula yang di film pertama, Sherina disuruh pindah, kesel, abis tu jadi happy-happy aja. Cuma kalo yang di pertama, flownya kerasa enak. Kita lebih mudah konek ke soal ninggalin teman dsb, plus Sherina di situ ada lagu sedih ttg kepindahannya. Di film kedua ini memang flownya kurang enak. Naskah ngangkat flaw Sherina, tapi arahan masih kayak sungkan berlama-lama di bahasan itu.

      Aku pun pas nonton di awal itu sebenarnya masih berusaha ‘memakesense kan’ dulu Sherina yg kini kok malah ambis ke Swiss dll, tapi tau-tau dia udah happy karena di sana ada Sadam. Ini makanya aku bilang banyaknya bahasan jadi too much buat kehandle dengan lebih rapi. Normalnya cerita kayak gini tu, si Sherina mau stay di hutan karena ingin mengungkap kasus penculikan orangutan – dan itu dibikin personal ke dia. Mestinya film ini lepas aja dari formula film pertama, yang Sherina masuk ke dalam situasi penculikan – sebuah situasi yang ‘kebetulan’ kena ke dia. Karena cerita kali ini berangkat dari flaw yang lebih enak untuk penggalian. Tapi film tetap ngikut pola film pertama, sehingga di sini pilihan Sherina jatohnya agak ambigu, dan lebih ke ‘kebetulan’ (yang buntutnya ya ujug2 dia kok lebih excited dari Sadam)

Leave a Reply