PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI Review

 

“Tell me why are we so blind to see that the ones we hurt are you and me?”

 

 

“Hati-hati, lu kan cina!” Peringatan yang simpel, tapi begitu menakutkan. Kek, gimana caranya kita menyembunyikan siapa diri kita supaya aman. Inilah kenapa rasisme itu begitu despicable. Di Indonesia, sayangnya, kerusuhan dengan isu rasis memang beneran pernah tercatat juga di sejarah. Dan peristiwa kelam itulah yang diangkat oleh Joko Anwar dalam karya terbarunya – kali ini thriller action, namun juga tak kalah ‘horor’. Pengepungan di Bukit Duri dibentuk sebagai distopia what if isu perpecahan golongan alias rasisme ini ‘dipelihara’ oleh negara. Yang sayangnya lagi, banyak hal di film ini yang bakal terasa relevan, yang berarti kita tidak terlalu jauh dari masa depan rekaan sang sutradara. Ngeri ga tuh?

Dalam sekejap warna keceriaan dan kepolosan anak sekolah yang masalahnya cuma malu-malu ingin ngasihin surat cinta ke teman yang ditaksir berubah menjadi kengerian yang hakiki tatkala kerusuhan di luar tembok sekolah terjadi. Dalam sekejap itu pula, tone film berubah, kerusuhan, penjarahan, kekerasan yang menyasar ke karakter Tionghoa, kita dibawa ke jalan melihat semua itu. Setelah adegan prolog yang memilukan, kita loncat ke masa kini, Edwin – clearly survivor dari kejadian di pembuka – mengajar di tempat kerjaannya yang baru. Sekolah Bukit Duri. Sekolah, yang sayangnya lagi, beda banget ama sekolah dia dulu. Di gedung ini, siswanya adalah para berandalan, anak-anak yang gamau diatur. Terlebih oleh orang bermata sipit seperti Edwin. Ya, di masa kini cerita, isu perpecahan rakyat itu sudah full blown jadi masalah nasional, anak-anak pribumi mengisi waktu luang dengan memburu anak-anak bermata seperti Edwin. Menyakiti dan menyiksa mereka. Sebagai guru gambar yang juga korban dari semua ini, Edwin berusaha memahami murid-muridnya. Ada yang jahat banget kayak Jefri, dan ada pula yang sebenarnya baik seperti Khristo. Apalagi Edwin ngajar di tempat yang berbahaya bagi dirinya ini demi satu misi. Mencari keponakannya yang dia ga tau siapa.

Jakarta udah kayak tetanggaan sama Gangsta’s Paradise

 

As Morgan Oey walks through the hall, sebagai guru baru di sekolah yang isinya berandal semua, I take a look and realize vibe film ini mirip sama Dangerous Minds (1995). Michelle Pfeiffer di film itu jadi guru baru di sekolah yang muridnya udah kayak gangster semua. Both karakter Morgan dan Michelle ngajar di tempat yang siap untuk memangsa mereka idup-idup. Murid-murid sekolah Edwin benci banget ama orang cina – yang mereka hina dengan sebutan “babi” – karena mereka dibesarkan di lingkungan dan situasi saat rasisme merajalela. Film memang tidak menyelam banget ke persoalan kenapa situasi itu bisa terjadi, karena fokus cerita yang diambil adalah tentang Edwin yang mencoba set some authority, mendamaikan rasa hate itu melalui pelajaran menggambarnya, dan sama seperti Michelle Pfeiffer dalam Dangerous Minds, film ingin menonjolkan interaksi antara si guru minoritas di lingkungan yang berbahaya bagi mereka. Koneksi yang mungkin bakal terbangun adalah bibit drama yang kuat untuk cerita seperti ini.

Namun semakin ke tengah, Pengepungan di Bukit Duri semakin meninggalkan ranah ini sebab film mengincar bentuk lain. Aksi thriller. Pandangan nyelekit soal akibat ketika generasi muda dibesarkan dengan penuh kebencian. Edwin-nya Morgan Oey sekarang jadi ngingetin ke Jenny-nya Kelly Reilly di Eden Lake (2008) seiring film semakin nonjolin sisi sadis-sadisan. Keduanya sama-sama guru yang sekarang gak punya cara lain selain melawan anak-anak yang harusnya mereka didik, dengan kekerasan. Meskipun ‘anak’ di film ini udah SMA, gak sekecil di Eden Lake, tetep aja adegan kekerasan dan bahasa-bahasa kasarnya bikin film ini hard to watch. Disturbing, kalo boleh dibilang. Apalagi kejadiannya diangkat dari isu yang beneran pernah terjadi. Bahwa orang-orang Tionghoa pernah gak aman di bumi pertiwi. Both films include adegan bakar orang – aku gamau bandingin deh, pokoknya udah bakar-bakaran ini tu sadis banget. Walau  sukses berat pada adegan-adegan action dan thrillernya – adegan berantemnya terasa punya bobot dramatis dari gimana Edwin ngerasa beban harus nyakitin muridnya –  Pengepungan Bukit Duri seharusnya tidak ninggalin ranah drama terlalu banyak. Like, bahkan Eden Lake bisa berakhir dengan total disturbing karena gak lupa bahwa dia adalah cerita tentang ibu guru yang terlalu naif dan temanya adalah gimana keluarga/rumah jauh lebih berpengaruh terhadap perilaku anak. Bahwa didikan orangtua tetap adalah yang utama. Pengepungan Bukit Duri, sebaliknya, tidak punya banyak journey untuk Edwin sebab semuanya difungsikan untuk membangun kejutan pada plot. Masalahnya adalah, elemen kejutan itu sebenarnya tidak perlu untuk dijadikan kejutan, karena siapapun yang hobi nonton film pasti akan tahu formula dramatisnya. Pasti akan tahu ponakan yang dicari itu siapa; haruslah si itu supaya film bisa punya konflik personal (consider this as a warning because this is the last time aku pake “itu”, selanjutnya aku akan langsung nyebut nama karakternya)

Pengepungan Bukit Duri enggak really tentang pengepungan, ataupun juga soal penyerangan, tapi lebih ke sebuah negosiasi. Gimana Edwin yang di hari naas itu sedang mengatur ruang kelas bersama ibu guru dan dua murid tiba-tiba diserbu oleh geng Jefri yang dendam karena merasa telah dipermalukan, sehingga Edwin dkk harus mengunci diri di aula, sementara Jefri dan gengnya yang terdiri dari murid berbagai sifat juga menunggu dengan buas dari balik pintu. Film bicara tentang absennya otoritas dan itu lalu terefleksi ke posisi Edwin di mata Jefri. Bagaimana caranya dia bisa diterima sebagai guru di tengah murid-murid yang dibesarkan oleh kebencian. Bagaimana cara dia keluar dari situasi ini. Puncak no return adalah ketika Edwin menyadari dia tidak bisa mengendalikan situasi dan dia mungkin harus melakukan yang tidak ia inginkan, tapi penyadarannya itu dipersulit dengan kenyataan bahwa yang dia cari ternyata adalah orang yang ingin membunuhnya.

 

Begitulah sepertinya journey dramatis yang diincar. Namun journey karakter atau plot tidak pernah jadi trait terkuat dari Joko Anwar. Dia tidak bicara pada karakter. Instead, film-film Joko Anwar selalu lebih cenderung untuk mengajak langsung penonton, entah itu merasakan ataupun membicarakan hal-hal yang pada filmnya sendiri disengaja untuk hanya ditampilkan sebagai ‘clue’. Pada film ini misalnya, yang tahu perkiraan Edwin soal siapa keponakannya itu salah adalah kita. Adegannya dibuat tanpa ada Edwin di sana. Momen ketika Edwin tahu siapa ponakan yang dia cari bukan momen ketika dia masih bisa berkonfrontasi dengan ponakannya itu, melainkan ketika dia melihat rekaman setelah ponakannya tidak sengaja terbunuh olehnya. Jadi ketika penonton merasakan dramatisnya kejadian, karakter ceritanya sendiri masih void oleh dramatis tersebut. Bagi Edwin, semuanya belum seratus persen, tapi kita penontonlah yang ngerasain. Banyak lagi elemen di cerita ini yang sebenarnya tidak diberikan jawaban ataupun konklusinya dientengkan begitu saja, kayak bu guru Diana yang seems suspicious tapi tidak berujung apa-apa, ataupun nasib para karakter yang saat kejadian mereka kaburnya berhasil atau enggak, film membiarkan ini jadi perbincangan penonton walaupun sebenarnya film ini memang tidak ngasih konklusi apa-apa.

SMA Duri kalo isinya orang Duri beneran gimana ya hahaha

 

Lupakan dulu Edwin, Pengepungan Bukit Duri sebenarnya punya karakter yang lebih kompleks. Karakter yang sudut pandangnya akan sangat amat menarik untuk diangkat terlebih konteks berangkat dari isu perpecahan golongan karena rasis ini. Karakter yang mewakili generasi muda penontonnya, karena dia juga terbentuk dari insecurity. Jefri yang diperankan oleh Omara Esteghlal. Jefri, ketua dari geng pembenci dan penyiksa anak-anak cina tapi sesungguhnya menyembunyikan jati dirinya sebagai anak campuran. Jefri yang sebenarnya juga adalah korban, hasil dari situasi ini, tapi balik memberangus semua sosok authority. J,K. Rowling memegang formula karakter yang sama, dan dia melahirkan Voldemort dari formula tersebut. Jo.Ko. Anwar hanya menelurkan Jefri sebagai vilain sadis. Kita hanya melihat glimpse dari akar insecuritynya, tapi kemudian film total menunjukkan dia sebagai bos penjahat yang pernah membunuh orang dan gak bakal ragu untuk melakukannya sekali lagi.  Dialog yang diberikan kepadanya tidak pernah melipir terlalu jauh dari umpatan kasar. Sudut pandangnya tidak pernah dipertemukan dengan Edwin, meskipun bagian tengah cerita ini berisi dialog mereka negoisasi cara Edwin menyerahkan diri. Jefri adalah kesempatan terbesar yang dilewatkan oleh film ini. Jefri adalah kesempatan untuk film ini membuktikan bahwa ceritanya bukan hanya ekspoitasi ataupun cuma membonceng isu rasis atau propaganda di baliknya, tapi film ini hanya menggunakan Jefri untuk kejutan di akhir, sehingga wajar banyak yang mengkritik film ini sebagai dangkal.

 




As good as the intention might be, pembangunan dunia yang meyakinkan, dan muatan gambaran yang menyadarkan kita bahwa distopia mengerikan itu mungkin tidak begitu jauh dari kita jika kita tidak segera mengubah situasi, film ini perlu untuk mengangkat lebih banyak perspektif di dalam ceritanya. Perspektif yang tidak diangkat membuat film jadi bukan hanya tidak imbang, tapi juga kehilangan pijakan journey. Kesannya jadi film ini hanya kayak sajian eksploitasi aksi thriller yang minjem isu beneran tanpa benar-benar menceritakan apa-apa. Padahal dia punya karakter yang sangat kompleks. Ini yang paling aku sayangkan dari film ini. Aku masih bisa respek pilihannya untuk menonjolkan aksi sadis – maybe we could take that as a warning – tapi ketika ada sudut pandang yang bisa banget untuk dikembangkan tapi film malah memilih untuk menyimpannya needlesly sebagai kejutan di akhir, film ini kehilangan otoritasnya buatku. Semakin ke ujung, film sepertinya semakin mengempis. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa film ini tidak langsung menyebut saja bahwa kejadian di awal adalah tahun 1998? Kenapa harus ‘disamarkan’ menjadi tahun lain?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



QODRAT 2 Review

 

“Be careful, the Devil can hear your prayers too”

 

 

Seorang perempuan berkompromi dengan iblis. Dalam gaun tidurnya, perempuan itu tampak begitu tak berdaya sementara sosok menyeramkan di depannya semakin mendekat. Mengoverpower seutuhnya insan yang sudah siap memberikan segalanya demi keselamatan keluarga tersebut. Eits jangan salah, ini bukan Nosferatu (2025) loh, melainkan pembuka dari Qodrat 2, sekuel petualangan ustad pembela kebenaran, garapan Charles Gozali. Sama seperti film pertamanya yang dibuka oleh adegan yang sepertinya homage buat horor klasik The Exorcist, film kedua ini pun ngasih nod ke another classic horror sebelum akhirnya menyala dengan dunianya sendiri. Qodrat 2 berjalan persis yang sudah kita antisipasi dari bagaimana film pertamanya bergulir. Charles Gozali menyuguhkan seteru epik ustad melawan setan layaknya superhero melawan supervillain. For better and worse, sebab kendatipun pertempuran ‘relijius’ ini kelam, intense, dan somehow tragis (ini adalah tentang manusia berhadapan dengan dosa mereka, afterall), namun elemen universe dan ala-ala superheronya juga membuat film ini kehilangan balance vibenya.

Yang di pembuka tadi adalah Azizah, istri dari ustad Qodrat. Saat kejadian film pertama, ternyata Azizah meminta kepada iblis untuk spare her son. Azizah menjual dirinya, but guess what. Iblis bukan pemegang janji. Anak mereka tetap mati, suaminya ditangkap dan nyaris kehilangan diri, sementara Azizah, sendirian menggila, berkubang dalam dosa. Qodrat 2 ngasih kita pandangan lebih personal tentang keluarga ustad Qodrat sehubungan dengan build up ronde dua seteru si ustad dengan si iblis. Qodrat yang kini sudah ‘kembali ke jalan yang benar’ bermaksud mencari istrinya, only to find her dalam genggaman setan lain. Azizah kini bekerja sebagai buruh pabrik. Bersama sejumlah karyawan wanita lainnya, Azizah dalam bahaya karena pabrik itu mengadakan tumbal untuk setan. Qodrat harus berjuang menyelamatkan istrinya yang merasa masihkah dirinya yang kotor itu bisa diselamatkan.

Mengandung adegan sholat paling tragis dalam sinema horor

 

Nyatanya, perempuan bernama Azizah itu turns out memang sebuah addition yang kuat untuk sekuel ini. Acha Septriasa total banget memerankannya. Azizah jadi pemantik dramatis tunggal di film kali ini. Dialah yang kalut luar biasa karena telah menjual diri kepada setan, for nothing, dan sekarang dirinya ngerasa jadi makhluk Tuhan paling kotor sedunia akhirat. Kita diperlihatkan kegalauan maksimal tersebut dari adegan yang menurutku paling powerful yang bisa dibuat – dan dimainkan – dalam konteks horor reliji. Adegan orang sholat, niatnya untuk tobat, tapi dia bahkan gak mampu untuk mengucapkan bacaan-bacaan sholat tersebut karena dia ngerasa rendah serendah-rendahnya telah pernah berserah diri kepada setan. Cara Acha mainin emosinya, ngebuild up hingga ke nanti dia nangis, menyerah, dan terpuruk, was soooo gooood. Kamera pun tahu ini, sehingga langsung aja ngerekam tanpa perlu trik ini itu. Meski kayak sederhana begitu, ini bukan adegan yang gampang untuk terdeliver dengan benar secara emosional. karena salah-salah, penonton malah akan mengira Azizah gak bisa sholat karena gak apal bacaan alih-alih karena dia can’t bring herself menghadap Tuhan.

Berhati-hatilah karena doa kita juga bisa didengar oleh setan dan iblis. Berhati-hatilah karena mereka akan meminta untuk menjual segalanya kepada mereka. Kepercayaan, jiwa, semuanya sampai kita tak punya apa-apa lagi selain dosa.

 

Sama seperti Lily-Rose Depp di Nosferatu, range akting Acha sebagai perempuan yang berhubungan dengan iblis di sini melingkupi harus berakting kesurupan. Setelah sebelumnya jadi pocong lead di Mumun (2022), jadi Azizah mode kesurupan bisa dimainkan dengan jor-joran juga oleh Acha, tapi juga seperti pada film-film horor umumnya, gak benar-benar ada yang spesial dari adegan kesurupan yang dilakukan selain harus ngasih smirk atau cengiran edan. Dan suara yang terdistorsi ampe ke titik agak susah didengar dialognya. Ngomongin soal sosok setan, Qodrat 2 tampak berusaha ngasih wujud dan presence yang ikonik buat Assuala ataupun Zhadug, but again, menurutku horor-horor Indonesia terutama yang udah niat buat fokus ke seteru atau nonjolin karakter jahatnya kayak film ini, perlu lebih serius baik itu dalam hal desain atau juga castingnya. Ambil contoh lagi aja si Nosferatu, film itu berusaha membuat casting dan perannya (yang memang sudah ikonik sejak dulu) jadi lebih ikonik dan bermain-main dengan desain, Semesta Qodrat perlu melakukan hal yang sama, berikan kepada kita ‘lawan yang sepadan’ dengan Vino G. Bastian sebagai jagoan. Paling enggak, seperti film pertamanya, yang ngasih duel epik Vino lawan Marsha yang ceritanya kesurupan.

Qodrat 2 sebenarnya masih punya momen-momen cool dan badass, kayak pas truk terjun bebas dengan ustad Qodrat di samping pak supir yang sedang kesurupan, atau pas Qodrat diminta sujud kepada iblis. Hanya saja momen-momen tersebut sekarang terasa lebih jarang dan kurang epik. Qodrat dan Azizah aja rasanya juga kurang dramatis, like, pertemuan pertama mereka di pabrik lebih terasa kayak ‘meet cute’ atau ‘damsel in distress’ momen ketimbang ya reuni antara dua manusia yang ngerasa terancam dan saling gak bertemu lagi – Azizah kan menyangka suaminya itu telah tiada. Penyebab utama kurasa datangnya dari karakter Qodrat itu sendiri. Journeynya beres di film pertama, kini dia sudah gak rusak lagi, dan total jadi ustad pembela kebenaran. Sehingga dia jadi jagoan yang datar. Gejolak journey emosi sumbernya kini dari Azizah. Masalah itu muncul ketika film yang memang dari perspektif Qodrat (karena dia jagoannya) memasukkan dua perspektif ini, fokus cerita jadi mendua. Qodrat kalah menarik dari Azizah. Setiap pertempuran Qodrat kini bahkan jadi lebih ke cool yang mengarah ke lucu dibandingkan pertarungan dia di film pertama. Akibatnya tone film juga jadi tidak konsisten. Adegan sholat Azizah tadi kayak kerasa out of place karena di tengah banyak aksi di pabrik yang vibenya lebih kayak ke throwback ketika Vino menjadi Wiro Sableng.

“Assalamualaikum, ustad Qodrat… Anu, ini bukan setan, ini Wiro. Balikin dong humor sayaaa”

 

Kasus tumbal di pabrik yang jadi sentral stage tampak seperti ingin men-tackle issue kesetaraan dan hak perempuan dalam dunia kerja. Tapi pembahasannya begitu underwhelming. Terasa seperti episode singkat alih-alih menyeluruh seperti kasus pesantren pada film pertama. Ancaman horor yang berasal dari sana juga ter-downplay oleh karakter-karakter antagonis tapi dibentuknya konyol kayak penjahat di film level anak-anak. Tidak terasa ancamannya meskipun memang ada kematian mengerikan di sana.

Namun dari semua, yang paling mengganggu buatku di film ini adalah cetakan universenya. Qodrat 2 actually turut dibuka oleh highlight kejadian pada film pertama. Ini sungguh cara yang enggak banget untuk dipakai di film. Selain buang-buang waktu yang sebenarnya lebih baik dipakai untuk development karakter, cara ini juga seolah membuat film tidak lagi menganggap dirinya film, melainkan episode serial. Bahkan jika fungsinya untuk sekadar mengingatkan pun, cara highlight seperti demikian merupakan cara yang paling gampang dan males yang bisa diambil oleh film ini. Apalagi mengingat cerita film kedua ini toh practically berlangsung dari kejadian film pertama (hanya perspektif berbeda), sehingga menggunakan highlight terasa semakin mentah. Bukan cuma penyambung ke film awal, film ini juga ngasih momen penyambung ke film berikutnya sebagai bagian dari babak penutup. Akibatnya, film yang sudah dimulai dengan awkward semakin terasa kayak episode tv saja dengan penutup yang seperti itu.

 




Cerita sekuel ini sebenarnya semakin personal, karena kali ini mengusut juga derita dari karakter istri. Karakter yang drama dan emosinya dimainkan dengan jor-joran banget oleh Acha Septriasa. Dengan konsep dan visi yang tegas, sayangnya  perspektif baru ini terbukti jadi penantang yang tangguh bagi keseimbangan penceritaan. Ustad Qodrat jadi terasa datar dibanding istrinya. Bahkan nada ceritanya pun jadi kurang balance, sebab ada yang drama banget tapi malah membuat penonton tertawa karena vibe kocak juga dibuat hadir. Momen-momen yang memang keren masih ada, tapi terasa kurang epik. Gimmick jagoan yang ngasih nod ke horor ataupun maybe ke film silat 80an sudah bagus untuk dipertahankan, hanya saja film ini butuh untuk lebih serius lagi sedikit, demi mencocokkan dirinya dengan muatan cerita yang dikandung. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for QODRAT 2

 




That’s all we have for now.

Sejauh dua filmnya ini, momen ustad Qodrat mana yang menurut kalian paling bad ass?

Silakan share favoritnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JUMBO Review

 

“We all have voice, and they are all worth listening to.”

 

 

Semua orang punya cerita. Semua merasa ceritanya masing-masing pantas untuk disuarakan. Tapi kalo setiap orang berebut untuk bercerita, siapa yang bakal mendengarkan cerita-cerita tersebut? Nenek dalam film Jumbo, debut karya Ryan Adriandhy, sungguhlah telah membuat point yang teramat valid. Point yang juga jadi tema yang membungkus cerita film animasi anak ini. Karena Jumbo adalah dongeng anak-anak modern tentang empati. Melihat yang ada tapi selama ini tidak-terlihat. Mendengar yang ada tapi selama ini tidak-sempat-terdengarkan karena kita semua begitu sibuk dengan drama masing-masing. Maka luangkanlah waktu sedikit untuk ke bioskop dan biarkan film yang digarap lima tahun ini mengisahkan kepada kita pembelajaran hidup tersebut. Ssstt, dengarkan.

Jumbo itu julukan yang diberikan oleh teman-teman kepada Don, karena badan bocah itu memang, ah katakanlah “chubby”. Julukan juga sebenarnya terlalu positif sih, karena actually Jumbo itu ledekan. Teman-teman Don agak males kalo Don ikutan main bareng mereka lantaran Don kurang gesit dan omongannya soal buku dongeng Ksatria Gelembung melulu. Don just can’t help it. Buku dongeng bergambar itu satu-satunya yang ia punya yang ngingetin dia pada kedua orangtuanya. Buku itu begitu penting bagi Don, sehingga sekarang dia mendaftar untuk ikut festival; Don ingin mementaskan cerita di buku itu. Harapannya supaya teman-teman yang lain senang padanya jika ia juara. Itulah masalah Don, dia merasa tidak punya teman, padahal selama ini ada Nurman dan Mae yang selalu membantunya. Bocah bongsor ini pun akhirnya harus membuktikan bukan cuma badannya yang jumbo, saat dia belajar untuk balik membantu hantu cilik yang sudah menolong dirinya.

My new dream tag team: Don dan Steven Universe!!

 

Yeah, aku pun gak expect loh. Kirain Jumbo ini cerita anak-anak yang ngangkat keseharian yang ‘normal’. Tapi ternyata film ini punya elemen fantasi yang kuat. Ada cerita dongeng, keajaiban, dan bahkan hantu. Sosok hantu di dunia-ceritanya memang tidak digarap jadi menyeramkan yang membuat film ini jadi horor. Tapi lebih kayak fantasi seperti magic yang kilau kemilau. Ceritanya juga di luar ekspektasi. Jumbo punya layer dan karakter-karakternya tidak satu-dimensi. Semua karakter sentral punya backstory, film meluangkan waktu untuk membahas backstory tersebut. Dengan berlapisnya cerita dan elemen fantasi yang mengangkat cerita grounded ini menjadi “fantastik”, maka gak muluk kalo kita bilang, Jumbo ini punya kualitas storytelling yang bisa nyaingin Pixar. At least, dalam kotak yang sama. Karena Jumbo bukan cuma tentang kejadian atau petualangan, tapi narasinya berisi. Padet oleh pembelajaran, ada world building, dengan karakterisasi yang kuat. Sehingga, anak-anak dan orang dewasa penontonnya dapat belajar sesuatu yang berharga tentang empati.

Film anak-anak di Indonesia jumlahnya gak banyak, film animasi apalagi. Dari jumlah yang sedikit itupun, biasanya film yang menyasar untuk anak-anak terlalu bermanis-manis. Satu dimensi. Mengganggap anak kecil penontonnya tidak akan mampu mengerti jika ceritanya tidak konyol, apalagi serius. Dan tokoh utamanya biasanya akan, wuih, dimuliakan. Sosok teladan yang tidak ada salah. Padahal pada formula naskah yang bagus, tokoh utama itu harus ada celanya. Harus ada kesalahan yang dia percaya, sehingga nanti pembelajaran dia menjadi orang yang lebih baik dengan menyadari kesalahannya jadi terasa dan itu yang bakal membuat cerita filmnya manusiawi dan dramatis. Jumbo sama sekali enggak pandering ke penonton cilik dan berani menuliskan flaw atau cela pada karakter utamanya, Don. Makanya nonton film ini tuh sedih, kita merasa ikut belajar bersama Don. Karena cela Don itu grounded dan relate kepada kita. Don bukan cuma korban bully dikatain gendut – yang aku yakin banyak anak relate juga – tapi yang bikin kita lebih-lebih simpati lagi sama dia adalah ketika dia nunjukin flaw yaitu dia ngerasa dia yang  ‘si paling menderita’. Don overlook teman-teman yang selalu ada di sampingnya. Don mengejar crowd yang salah, dan dia take for a granted jasa sahabat baiknya. Don malah sempet enggan memenuhi janji kepada si hantu cilik karena dia ngerasa pentasnyalah yang lebih penting. Kesel sih ngeliat Don sedikit egois tapi kita ga sepenuhnya bisa marah karena cerita tidak terbentuk supaya kita nyalahin Don, melainkan untuk membuat kita merefleksikan diri. Bahwa tak jarang kita juga seperti dia.

Kita cenderung kurang bisa berempati di tengah kesusahan kita sendiri. Tidak lagi punya orang tua, selalu diejek dan enggak diajak bermain oleh teman-teman; bukan cuma Don, setiap kita yang berada di posisi itu akan gampang merasa kita yang paling menderita. Ngerasa kita yang paling kurang. Kesusahan teman? lebih susah aku kok! Kisah Don membuka mata dan telinga untuk merasakan kehadiran dan ‘cerita’ teman-temannya ini bakal ngajarin kita soal yang namanya empati. Semua orang punya cerita yang sama pantasnya untuk kita dengar dan dibereskan bersama.

 

Makanya film ini punya banyak backstory. Supaya kita bisa memahami dari mana setiap karakter itu berasal. Atta si anak bandel yang suka mengganggu Don, ternyata anak yang tak kalah cerdas dan juga sebatang kara bersama abangnya di bengkel radio. Mereka bermusuhan bukan karena yang satu jahat, yang satu baik, melainkan hanya belum saling mengenal ‘peran’ satu sama lain saja. Cara film memunculkan backstory cukup baik. Perspektif utama tidak pernah benar-benar berpindah dari Don meskipun kita sering melihat apa yang dilakukan atau dipikirkan oleh karakter lain. Secara visual pun, film ini melakukannya dengan variasi. Bukan sekadar dijadikan flashback. Jumbo hebatnya sanggup untuk bermain-main dengan kreasi animasi. Sehingga penceritaan film semakin fluid. Bercorak khas. Ini sekaligus adalah showcase betapa film ini punya visi yang kuat sebagai animasi. Secara detil dan ekspresi, teknisnya memang belum dewa kayak Pixar, tapi yang disajikan film ini sama sekali tidak buruk. Justru ada di level yang lebih tinggi dari yang kita semua bayangkan, untuk standar animasi Indonesia. Sehingga film ini bisa dibilang breakthrough. Bisa kok film animasi Indonesia sebagus ini! Animasi dan vokal aktingnya klop sehingga dunia Jumbo beneran kerasa hidup dan ngalir saat ditonton. Kudos buat para pengisi suara.

Also, ada Aubrey Plaza hahaha

 

 

Dan sama seperti animasi-animasi Pixar, Jumbo ini pun begitu penuh hati sehingga jago mengaduk emosi penonton. Ada adegan nyanyi juga, yang menurutku sangat well done, incorporating elemen fantasi yang dimiliki oleh ceritanya. Honestly, yang bikin aku agak kecele cuma strukturnya. Aku agak kaget juga saat tau ternyata ‘makhluk ajaib’ yang ditanam film untuk ngeset up fantasi itu ternyata simply a ghost, tapi naskah dengan cepat recover dan aku gak permasalahin lagi bahwasanya tiba-tiba ada hantu di cerita yang awalnya seperti kehidupan nyata ini. Malahan berbalik jadi pujian karena film ini bisa ngangkat ‘hantu’ tanpa membuat film jadi horor. Kecele yang kumaksud adalah soal pentas seninya. Mungkin karena keburu bandingin film ini dengan Pixar, maka aku nyangka Jumbo bakal ngikutin formula tradisional. Yakni ditutup dengan penampilan seni para karakter, ultimately nunjukin mereka jadi sahabat setelah ngelaluin banyak hal bersama. Tapi ternyata bagian pentas seni – yang cantik dan penuh emosi itu – adanya di tengah. Film ternyata bikin mold cerita sendiri, dan kita harus hargai itu. Toh cerita Jumbo juga finish dengan strong, delivering emosi dan aksi yang gak kalah serunya. Persahabatan para karakter ciliknya bener-bener kerasa membantu mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 




Yang punya hati besar ternyata bukan cuma karakter di dalam cerita, tapi juga film ini sendiri. Bener-bener di luar ekspektasi film animasi dalam negeri bisa ngasih pengalaman nonton seperti ini. Bukan karena teknisnya loh, melainkan lebih kepada karena biasanya film untuk anak-anak buatan Indonesia itu gak dalem, bermanis-manis, dan satu dimensi. Film ini sebaliknya, bener-bener ngasih yang terbaik dari gimana cerita untuk anak-anak dan keluarga itu seharusnya. Kalo dari narasinya sih sepertinya film ini ngincer untuk tayang agustusan, tapi tayang lebaran adalah langkah berani yang tepat. Senang sekali ngeliat studio penuh oleh keluarga. Yang bercucur nonton ini bukan hanya anak kecil tapi juga orang dewasa pendamping mereka. Ini sungguh pencapaian yang luar biasa buat perfilman kita.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JUMBO

 

 




That’s all we have for now.

Film ini juga sepertinya punya concern soal penggusuran tanah atau lahan. Yang boleh jadi memang dinilai seperti bentuk dari kurangnya empati kepada sesama. Bagaimana menurut kalian?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL