ANTLERS, RON’S GONE WRONG, THE WORST PERSON IN THE WORLD, CINTA PERTAMA KEDUA & KETIGA, HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA, MASS, GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE, THE UNFORGIVABLE Mini Reviews

Kompilasi Mini Review Edisi Januari 2022

ANTLERS Review

Oh betapa aku pengen banget Guillermo del Toro langsung yang ngedirect film ini. Sayangnya, beliau cuma duduk sebagai produser. Bukan apa-apa. Bukannya sutradara Scott Cooper gak kompeten. Dia toh berhasil juga menguarkan sensasi horor dan kegelapan yang merayap di dalam naskah. Antlers di tangan Cooper tetaplah sebuah dongeng horor yang mencekam dan tepat mengenai psyche terdalam manusia. Tapi itulah masalahnya. Antlers ini udah kayak untuk del Toro banget sebenarnya.

Pertama, ini adalah horor creature. Film ini punya makhluk mitos yang jadi personifikasi dari ketakutan manusia. Yang diangkat oleh film ini adalah legenda Wendigo. Kostum dan efek yang digunakan film ini untuk menghidupkan makhluk tersebut tampak meyakinkan. Momen-momen tranformasi hingga ke aksi bunuh-bunuhannya dilakukan dengan cakep, gak murahan. Visual film ini memang bikin kita sangat merinding.

Kedua, cerita tentang hubungan keluarga. Antlers sesungguhnya bicara mengenai abuse orangtua kepada anak, Julia (protagonis utama cerita) adalah korban dan kini saat sudah dewasa sebagai guru, dia melihat red flag pada salah satu anak didiknya. Namun misteri si anak ternyata lebih dalam daripada itu. Dari hubungan Julia dengan abangnya, yang paralel dengan hubungan si anak dengan saudaranya, film berusaha menilik bagaimana anak-anak korban abuse tumbuh menjadi pelindung bagi yang lainnya. Nah di bagian cerita inilah Antlers kurang rapi dan butuh banget bantuan penceritaan ala dongeng yang dikuasai oleh del Toro. Antlers bercerita tumpang tindih, perspektifnya akan sering berpindah, dan sang sutradara terasa seperti terbata ketika harus menyatukan metafora monster dengan horor yang lebih manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANTLERS.

CINTA PERTAMA, KEDUA & KETIGA Review

Aku nonton ini sampai tiga kali. Nonton pertama, aku ketiduran. Kedua kali menonton, aku melepaskan diri gitu aja menjelang akhir film. Barulah saat nonton lagi, aku benar-benar menguatkan diri. Aku menonton sebanyak itu bukan karena membosankan. Melainkan justru karena film-panjang kedua Gina S. Noer sebagai sutradara ini begitu melimpah ruah oleh emosi. Sedangkan aku, bukanlah orang yang bisa nyaman menghadapi sekian banyak emosi, sehingga diriku langsung menutup. It is just too much for me.

And too real. Sesungguhnya inilah kekuatan yang dimilik oleh Cinta Pertama, Kedua & Ketiga.  Layer ceritanya sendiri cukup berlapis. Ini bukan sekadar cinta-cintaan anak muda, karena seperti yang disebut oleh judul, cinta tidak pernah sesederhana itu. Bayangkan tiba-tiba menjadi saudara tiri bagi orang yang kita cintai. Cinta bukan hanya milik anak muda. Cinta bukan hanya kepada lawan jenis yang menarik hati kita. Kompleksnya semakin bertambah ketika karakter orangtua yang ada di sini dituliskan sebagai pengidap alzheimer. Meletakkan sudut pandang utama pada anak bungsu yang punya tanggung jawab mengurus orangtua sementara dirinya mulai dihantam realita kehidupan sendiri membuat film ini menjadi semakin pelik.

Walau Gina berhasil mengarahkan para pelakon ceritanya untuk bermain senatural dan sehidup mungkin, kompleksnya materi yang ditangani juga tampak meng-overwhelm dirinya. Film ini mulai mengembang terlalu lebar. Ada beberapa elemen cerita yang mestinya bisa dimampatkan saja ke dalam karakter, tidak perlu ditarik masalah dari luar. Ending film yang menguarkan perasaan pun bisa tampak ngambang oleh penonton yang tergiring ke dalam permasalahan pelik cinta para karakter.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CINTA PERTAMA, KEDUA & KETIGA.

GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE Review

Akhirnya sekuel yang benar-benar pantas untuk melanjutkan napas Ghostbusters sebagai salah satu film paling ikonik dalam budaya-pop kita. Film karya Jason Reitman ini bukan hanya menghaturkan respek dan homage kepada Ghostbusters original, melainkan juga kepada film petualangan keluarga ala 80-90an. Dan sejujurnya, film ini justru paling bersinar saat menjadi film keluarga tersebut.

Yang paling fun buatku adalah persahabatan antara Phoebe dengan Podcast (yup, that his name) Phoebe ke farmhouse milik mendiang kakeknya. Phoebe yang suka banget ama science, gak ada teman. Mendiang kakeknya punya reputasi sebagai orang aneh di kota kecil tersebut, you know, sendirian di rumah dengan tanah yang luas, melakukan entah hal apa di sana. Keluarga Phoebe – ibunya yang single parent, abangnya – juga sama-sama berusaha dealing with this reputation. Semua terefleksi ke dalam hubungan sosial mereka. Dan Podcast jadi teman pertama Phoebe, dan mereka bertualang dan ngajakin kita jalan-jalan melihat cerita-cerita legend lainnya di kota. Cerita menarik ini tidak bisa berkembang karena berada dalam bayang-bayang originalnya. Dan sepanjang durasi aku berharap film ini mengeksplor quirk dan charm miliknya sendiri alih-alih berusaha mengikat cerita dan jadi ajang nostalgia.

Bukannya film ini gagal sebagai ajang nostalgia. Justru karena cukup berhasillah, maka Ghostbusters: Afterlife hanya terasa jadi seperti afterthought dari film original. Padahal ceritanya punya potensi loh. Castnya juga oke-oke. 

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE.

HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA Review

Red flag yang paling kentara di dunia ‘persekuelan’ itu sebenarnya bukan pada pergantian genre (ini justru bagus dan fresh), melainkan pada pergantian pemeran. Jika franchise film favoritmu mendadak diganti pemainnya, maka bersiap-siaplah untuk kemungkinan terburuk. Gak percaya? Tontonlah Hotel Transylvania: Transformania yang tidak lagi menampilkan Adam Sandler sebagai pengisi suara Drac.

Sebagai sekuel keempat dari dunia monster yang berbisnis hotel, sebenarnya film ini tidak kehabisan cerita. Konsep yang sekarang ini cukup menarik. Drac dan para monster itu seperti ‘bertukar tempat’ dengan Johnny, manusia yang jadi bagian dari keluarga mereka. Drac dan para monster kini berubah menjadi manusia, sementara Johnny menjadi monster naga. Konflik dan kelucuan dipantik dari pertukaran ini. Duo sutradara Derek Drymon dan Jennifer Kluska mengajak penonton untuk mensyukuri dan merayakan being a human, kekurangan dan kelebihannya, lewat mata monster. Dalam kapasitas yang sederhana, mereka sebenarnya cukup berhasil. Kekurangdalaman, atau katakanlah kedangkalan eksplorasi sebenarnya selalu tertutupi oleh kharisma dan chemistry di antara aktor pengisi suara. Itulah yang kali ini gak ada dalam film keempat ini. 

Alih-alih berakting menjadi Drac dan Drac versi manusia yang kini kehilangan kekuatan dan menempuh banyak rintangan sembari terus put up with Johnny’s always happy persona, Brian Hull melakukan apa yang ia tahu. Menirukan suara Adam Sandler yang sedang berakting menjadi Drac. Betapa malangnya si drakula itu. Dalam cerita dia kehilangan kekuatan monsternya, di dalam penceritaan film ini dia kehilangan ruhnya sebagai karakter yang sudah dibuild up dalam tiga film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA.

MASS Review

Obrolin! Serius, setiap masalah bisa selesai dengan kita obrolkan dengan orang. Entah itu masalahnya sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri, atau dengan orang lain, membicarakan masalah itu akan membantu membuka perspektif. Membantu menguatkan diri kita dalam menghadapi masalahnya. Cuma ya itu, membawa diri untuk mengobrolkan suatu masalah itulah yang paling susah. Apalagi kalo masalah yang merundung kita adalah persoalan anak yang tewas dalam peristiwa penembakan sekolah. Bagaimana cara kita berdamai. Maukah kita ngobrol dan beramah tamah kepada orangtua si pelaku, yang sebenarnya sama dengan kita – kehilangan anak yang mereka cintai.

Dari premisnya memang langsung ketahuan. Mass adalah film yang begitu emosional dan bisa mengoyak-ngoyak perasaan saat ditonton. Bikin getir dan tercekat menontonnya. Namun karena itu jugalah karya Fran Kanz ini jadi begitu penting untuk ditonton. Mass memang tidak memberikan entertainment, Mass ‘menghibur’ kita dengan bikin plong setelah melalui menit-menit yang tidak nyaman awalnya dan penuh emosi selanjutnya.

Hanya empat karakter, duduk di satu ruangan, namuan film ini mampu bikin kita merasakan begitu banyak. Pengarahan sutradara serta penampilan akting para karakter mampu membawa kita ikut merasakan. Film ini tidak pernah mengadegankan penembakan sekolah, namun dari cerita para karakter (yang dibuild up detilnya dengan perlahan dan sempurna) kita seperti sedang melihat tragedi itu secara langsung. Kalian pikir film berisi dialog membosankan, Mass akan buktikan kalo itu salah. Satu yang kurang buatku di film ini adalah openingnya yang entah kenapa menampilkan karakter yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah empat karakter sentral.

The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MASS.

RON’S GONE WRONG Review

Perumpamaan mungkin memang bukan aspek terkuat yang dimiliki animasi Ron’s Gone Wrong. Karena clearly B-Bots itu adalah hape bagi anak-anak. Tapi bukan berarti itu melemahkan pesan ataupun membuat film ini jadi dangkal. Ron’s Gone Wrong hanya melakukannya dengan efisien dan tepat sasaran.

Film ini ingin menyasar anak-anak yang semakin hari pergaulannya terbatas di dunia maya. Ketergantungan dengan hape. Melalui hubungan yang terjalin antara Barney dan Ron si robot ‘rusak’ film memperkenalkan ulang apa arti persahabatan yang sesungguhnya. Film ini sama sekali tidak mengantagoniskan teknologi. Barney yang gak punya B-Bot tetap menginginkan teknologi tersebut, dan justru robot itulah yang bakal mengajarkannya banyak hal. Ini berarti film sebenarnya menyentil kitalah yang telah salah kaprah menggunakan teknologi.

Dengan tujuan tersebut, para sutradara mengarahkan film untuk menjadi ringan dan banyak candaan yang poke fun kepada jargon-jargon internet dan istilah pergaulan jaman sekarang. Petualangan yang dihadirkan juga cukup beragam sehingga penonton cilik gak akan bosan. Walaupun gak sepenuhnya original, tapi film ini hadir dengan pesona khas tersendiri. Si Ron itu sendiri bakal jadi pemeriah utama film.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RON’S GONE WRONG.

THE UNFORGIVABLE Review

Untuk sekitar 95% durasi, aku sangat menikmati cerita The Unforgivable yang emosional. Sandra Bullock pun memainkan karakternya dengan juara sekali. Di film ini dia adalah perempuan yang dibebaskan bersyarat dari penjara. Dia sudah mendekam di penjara selama dua puluh tahun, karena tindakan yang terus menghantuinya lewat flashback. Salah satu syarat yang harus ia patuhi adalah tidak mencari/menghubungi adiknya yang kini telah dewasa, yang kini telah lupa dan hidup dengan identitas baru bersama keluarga baru. Syarat yang langsung ia ‘langgar’ karena begitu rindunya dengan adik tercinta.

Narasi film ini berjalan dengan mengiris hati. Kita akan melihat bagaimana karakter si Sandra Bullock mengalami kesulitan hidup bersosial. Dia gak bisa dengan gampang menjalin persahabatan, apalagi menjalin asmara. Catatan kriminalnya begitu kelam, dia telah melakukan hal yang tak-termaafkan oleh society. Apalagi film juga memperlihatkan keluarga dari korban Bullock di masa lalu itu yang kini berkonflik dengan dirinya sendiri mau menuntut balas atau tidak. Apa tepatnya yang terjadi dulu itu, diungkap oleh film dengan perlahan. Dalam balutan drama psikologis. Bullock memainkan karakternya seperti minuman soda yang diaduk, siap meledak, tapi dia menahannya. Melihat dia berusaha bertahan itulah simpati kita muncul.

Semua itu sayangnya runtuh total begitu di menjelang akhir, film mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya dilakukan oleh karakter ini. Pengungkapan tersebut udah jadi twist yang mengubah pandangan kita. Ini ternyata bukanlah perjuangan seseorang membersihkan namanya yang telah melakukan kejahatan. Yang dimainkan Bullock ternyata adalah karakter yang selalu benar. Film tega-teganya menimpakan kesalahan kepada anak kecil. Semua drama, semua yang udah kita rasakan itu jadi seperti misfired.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE UNFORGIVABLE.

THE WORST PERSON IN THE WORLD Review

Mendengar begitu banyak pencapaian film ini, begitu banyak penonton yang suka, aku memang merasa jadi the worst person in the world karena belum juga menonton dan mereview film ini. Dan setelah nonton, ya aku memang merasa ketinggalan. Filmnya memang bagus.

Ingat monolog Yuni di rumah kosong tentang dituntut harus figuring out hidupnya mau jadi seperti apa, dan dia gak bisa, dan itu bukan berarti dia gak punya masa depan? Keseluruhan film The Worst Person in the World adalah gambaran dari monolog film Yuni tersebut. Julie, nama karakternya, berpindah-pindah dari sekolah kedokteran ke psikologi ke fotografer karena dia mencari siapa dirinya. Julie gak nyaman terikat satu relationship karena dia butuh untuk figuring out siapa dirinya. Julie menjadi the worst person in the world bukan karena dia selingkuh (they used terms gak-selingkuh padahal ngelakuin banyak hal pribadi yang lebih meaningful daripada hubungan badan) sama orang asing, ataupun bukan karena dia bilang anak yang suka dipeluk bakal jadi pecandu ke muka ibu yang lagi curhat anaknya suka dipeluk. Film garapan Joachim Trier ini menelisik personal seseorang yang belum figuring out hidupnya dengan nada komedi unik sehingga menyentuh ranah realisme yang bikin kita cukup terhenyak menontonnya.

Sampai akhir durasi, Julie masih belum yakin dirinya bakal jadi ibu yang baik, dia masih percaya dirinya worst person untuk berbagai alasan lain, tapi ini tidak benar-benar berarti karakter Julie tidak mengalami pembelajaran. Di sinilah kekuatan unik naskah film ini. Keunikan yang disalurkan lewat penceritaan sutradara. Perkembangan itu digambarkan dalam ‘bentuk’ yang lain. Ada kesan berantakan yang semakin terbenahi seiring perjalanan Julie. Ada pembelajaran dan penyadaran, tapi tetap tidak semudah itu bagi Julie, ataupun bagi kita sebagai manusia, untuk menyortir hidup walaupun kita tahu yang terbaik dan yang harus dilakukan. Itulah kompleksnya manusia, dan film ini berhasil menggambarkan tersebut. Dengan begitu baik, sehingga terkadang agak susah bagi penonton untuk mengikuti, dan butuh waktu lama untuk bisa bersimpati penuh dengan si karakter utama. 

Memang, film ini sebenarnya lebih cocok untuk mendapat review panjang tersendiri. Dan sekali lagi aku merasa sebagai worst person karena gak punya waktu luang dan malah memutuskan untuk mereviewnya secara singkat.

The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE WORST PERSON IN THE WORLD.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sepertinya kompilasi review ini bakal jadi segmen tetap setiap akhir bulan, karena ternyata pe-erku semakin banyak, dan tetep selalu ada film yang gagal kutonton tepat waktu. Kuharap penilaiannya masih tetap bisa memuaskan.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. arya says:

    Bener sih kayaknya, feelingku juga begitu. Oscar bakal ngelirik film-film yang lebih ‘wah’. Apalagi pemainnya. Mereka bakal nyari aktor yang lebih happening kayaknya

  2. Miyanov says:

    Ending Mass salah satu ending yg berasa bgt ademnya ya, Bang. Udah nunggu bgt kapan dua ibu ini saling nguatin. Suka bgt pokoknya ama Mass!

      • Miyanov says:

        Bikin ambyar si rasanya haha. Poin utamanya bahwa closure itu penting, ya. Walau mungkin berat dan sakit ps prosesnya, tp at least kita udah ngomong unek-unek kita. Film yg penting menurutku

        • arya says:

          Prosesnya itu yang paling sakit yaa. Film ini jadi buatku mikirin film Senyap, keluarga korban pembantaian 60an mencari closure ke keluarga pelaku. Ah, seandainya film itu bisa sehappy ending Mass ini… apakah masalah PKI di negara kita bakal bisa dapat closure yang mengademkan semuanya…

      • Miyanov says:

        Udh lama denger soal Film Senyap tp masih belum siap mental buat nonton. Iya, diluar segala intrik politik, seharusnya kita ga lupa bahwa kita bicara soal manusia di peristiwa ’65.

Leave a Reply