MORBIUS Review

“Health is a human right, not a privilege”

 

 

Makhluk menyeramkan dijadikan simbol pahlawan memang agak-agak mengherankan, tapi plausible untuk dilakukan. Buktinya? Batman yang berlambang kelelawar dengan modus operandi mengincar rasa takut di malam hari sukses juga jadi salah satu superhero paling ikonik di seluruh dunia. Counter Marvel untuk karakter DC Comic tersebut adalah Morbius. Gak tanggung-tanggung, kekuatan Morbius berhubungan bukan dengan kelelawar biasa, melainkan kelelawar penghisap darah, yang literally membuatnya menjadi vampir. While the origin story dari Morbius sebenarnya lebih cocok sebagai cerita penjahat, sutradara Daniel Espinosa justru diembankan untuk membuat film ini jadi cerita pahlawan. Orang yang menghisap darah manusia demi kemampuan untuk berbuat kebaikan jelas jadi konsep yang menarik, genrenya filmnya otomatis akan menyerempet ke horor. Nyatanya, film Morbius ini memang menghisap, tapi lebih seperti Dementor ketimbang vampir. Film ini menghisap excitement kita saking boringnya. 

Espinosa kesusahan untuk mengimbangi tuntutan naskah membuat Morbius menjadi pahlawan. Set up karakternya tampak sebagai bagian paling mudah yang berhasil Espinosa lakukan. Morbius adalah seorang dokter yang mendedikasikan dirinya untuk mencari kesembuhan dari penyakit-penyakit, karena dirinya sendiri mengidap penyakit darah yang langka. Penyakit yang mengharuskan dirinya pakai tongkat untuk berjalan. Penyakit yang membuat dirinya – dan sahabatnya, Milo – sedari kecil dibully. Penyakit yang gak ada obatnya. See, Michael Morbius bisa banget dapat simpati. Dia dokter pintar yang ramah – ada adegan dia dekat dengan pasien anak-anak, yang mau cari perfect cure untuk mengobati bukan saja dirinya dan sahabat, tapi juga seluruh umat manusia. Namun ketika elemen yang lebih gelap dari cerita ini tiba, Espinosa kehilangan segala keseimbangan. Michael menemukan cara menyatukan DNA manusia dengan kelelawar, dia mencoba serum ciptaannya kepada dirinya sendiri. Sekarang dia berubah menjadi vampir superkuat yang dahaganya akan darah manusia nyaris tak-terkendali. Di titik yang mulai seru tersebut (bayangkan konflik luar-dalam, konflik moral, konflik dengan sahabat yang menerpa Michael), film ini justru gagap dalam eksplorasi. Ini cerita orang yang mau jadi hero tapi harus relakan dirinya sebagai anti-hero, yang tidak tampil seunik itu.

morbiusl-intro-1646070476
This film do sucks!

 

Plot point naskah Morbius memang terasa seperti cerita villain, atau setidaknya cerita anti-hero. Memang sih, ada usaha membuat Morbius jadi pahlawan, cerita tidak melulu membahas konflik personal. Ada bagian dia menumpas kejahatan publik, seperti persoalan sindikat uang palsu. Atau lihat ketika film membuat korban-korban pertama yang dimangsa oleh Morbius adalah security yang bukan orang baek-baek. Tapi in terms of development, cerita Morbius mengambil poin-poin cerita orang yang berdegradasi. I mean, blueprintnya mirip cerita The Fly, malah. Ilmuwan yang mencoba eksperimen untuk kebaikan yang lebih besar, tapi malah mengubah hidupnya menjadi less and less human. Saga seseorang yang menyadari ambisi pribadi pada akhirnya mendatangkan petaka, bahwa dia harus meluruskan niatnya. Kalo gak mau jauh-jauh, kita bisa bandingkan Morbius yang asalnya ada karakter dari dunia cerita Spider-Man ini mirip ama Lizardman. Itu loh, musuh Spider-Man yang tadinya dokter yang bereksperimen dengan cicak demi mengobati lengannya, lalu malah berubah menjadi manusia kadal. Karakter yang telah muncul di film The Amazing Spider-Man (2012), film Spider-Man yang dibuat oleh Sony, seperti Morbius ini.

So yea, ultimately aku merasa film Morbius terjebak dalam jaring-jaring cinematic universe buatan Sony. Kreatifnya terhambat karena apparently Sony hanya tahu satu cara membuat cerita tentang orang yang menjadi monster, dan hanya tahu satu cara untuk membuat cerita tentang monster yang jadi protagonis atau anti-hero utama. Sehingga jadilah Michael Morbius sebagai karakter template. Originnya standar cerita villain. Lalu untuk membuatnya sebagai superhero, film simply mempaste-kan elemen-elemen Venom (also a Sony universe). Ya, pergulatan inner Michael dengan kekuatan vampir yang membuatnya jadi monster pemangsa manusia dilakukan dengan dangkal dan sederhana, sehingga nyaris gak banyak berbeda dengan Eddie Brock yang bergulat dengan Venom yang sesekali sosoknya muncul ke ‘permukaan’ tubuh Brock. Dalam film Morbius, wajah Michael akan kerap menjadi seram ala vampir lengkap dengan mata merah dan taring-taring tajam untuk menandakan dia kesusahan menahan dahaga atau kekuatan vampirnya. Film bahkan ngakuin persamaan tersebut dengan membuat Michael menyebut “Aku Venom” kepada seorang penjahat yang ketakutan. Studio mungkin menyangka sengaja ngakuin kemiripan dengan menjadikannya candaan itu bakal membuat film ini terdengar pintar. It is not. Malah jadi kayak kreasi yang malas.

Bedanya dengan Venom cuma di Morbius gak ada banter dialog yang lucu (yang bikin Venom menghibur memang cuma interaksi antara Eddie dan simbiote di dalam tubuhnya) – Michael gak berdialog dengan darah vampirnya – dan di Morbius efek CGI lebih parah. Sosok wajah versi vampir para karakter terlihat murahan. Malah lebih kayak vampir low budget, yang lebih works out sebagai film komedi yang sengaja bikin CGI kasar. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak menggunakan efek prostetik saja untuk menghidupkan sosok vampir. Padahal mengingat film ini berbau horor, efek prostetik yang praktikal jelas jadi pilihan yang lebih tepat dalam menghidupkan creature-nya. Lihat The Fly (terutama yang versi Cronenberg). Lihat Malignant yang berhasil jadi horor campy dengan paduan efek praktikal dan digital. Morbius adalah cerita seorang manusia bertransformasi menjadi vampir buas, tapi semua transformasi crucial bagi karakter terjadi off-screen. Film ini melewatkan banyak momen-momen body horror yang harusnya menguatkan karakter yang menghidupi cerita mereka.

Adegan aksi tentu saja jadi ikut kena getahnya. Pertarungan-pertarungan di Morbius sama sekali tidak bisa untuk diikuti lantaran film bergantung terlalu banyak kepada CGI. Kita gak bisa melihat apa yang terjadi dengan jelas, semua cepat – karakter melayang ke sana ke mari, mencakar-cakar liar dengan efek bayangan afterimage atau aura di sekeliling mereka. Pada momen-momen ‘krusial’ sebelum serangan mendarat, film menggunakan slow motion. Yang tetap gak ngefek apa-apa selain membuat dua vampir yang bertarung tampak cheesy dan konyol not in a good way.

morbius-2-1024x576
At least Twilight punya adegan main baseball dengan lagu Muse, Morbius punya apa?

 

Jared Leto gak banyak ngapa-ngapain di sini selain pasang tampang kayak orang sakit, dan menggeram-geram saat jadi vampir. Momen yang mengharuskan dia untuk menggali ke dalam karakternya gak pernah bertahan lama. Film terus saja kembali entah itu ke eksposisi mumbo jumbo sains, atau ke elemen-elemen template, atau ke porsi laga yang completely unwatchable. Leto memainkan Morbius yang berawal dari dokter yang pede bakal bisa menemukan obat/solusi ke dilema moral dari penemuannya. Dan stop sampai di sana. Gak kuat lagi terasa perubahan atau perkembangan karakternya. Bagian ketika dia nanti jadi menerima kenyataan dan mencoba menggunakan kutukannya menjadi kekuatan jadi samar dan lemah karena tertutupi oleh film yang malah mencuatkan motivasinya untuk menyetop sahabatnya saja. Setelah midpoint karakter yang diperankan Leto jadi kalah mencuat. Motivasi penjahat film ini justru lebih kuat dan lebih clear.

Gagasan cerita sebenarnya cukup menarik. Dan sebenarnya cukup relevan ditonton di masa-masa kehidupan kita masih dibayangi oleh Covid. Karena lewat konflik dua karakter sentralnya, film ini mengangat diskusi soal kesehatan apakah sebuah hak atau sebuah privilege sebagian orang saja. Jawaban yang disuguhkan film ini dari akhiran perjuangan Morbius cukup dark, dan it could be true reflecting our society. 

 

Relasi yang jadi inti cerita adalah antara Michael dengan sahabat masa kecil senasib sepenanggungannya di panti, Milo (Matt Smith pun berusaha memanfaatkan setiap screen timenya untuk menghasilkan karakter yang menarik). Mereka harus terpisah karena Michael dikirim ke sekolah khusus untuk mengembangkan bakat dan kepintarannya, sementara Milo yang terus menunggu janji Michael untuk kembali (dan membawa obat kesembuhan mereka) perlahan menjadi bitter dengan dunia yang meremehkan mereka. Saat Michael ketakutan dengan efek obatnya dan berusaha menghilangkan itu, Milo justru melihat ini sebagai kesembuhan yang luar biasa. Keduanya jadi berantem karena beda pandangan. Hubungan inilah yang mestinya terus digali, dengan seksama dengan detil. Rajut persahabatan dan konflik mereka sehingga benar-benar berarti dan jadi stake bagi karakter, sehingga kita bisa mempedulikan mereka lebih dari sekadar “Oh si Milo lebih kuat karena mau menyantap darah asli, bukan sintesis kayak Morbius”. Ya, film ini hanya memperlihatkan ala kadarnya. Melompat periode waktu seenaknya. Persahabatan dan konflik mereka gak ada ritmenya. Pertemuan pertama Leto dan Smith yang kita lihat ternyata udah bukan dalam konteks mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama. Sense mereka itu sahabat dekat gak kerasa karena film memperlakukan persahabatan mereka sama kayak Michael ketemu karakter-karakter lain.

Film malah membagi fokusnya dengan soal romance si Michael dengan karakter dokter perempuan. Yang juga sama-sama kurang tergalinya. Bedanya, soal ini dibiarkan di permukaan karena film ingin menjadikannya hook buat sekuel. Ya, kembali ke permasalahan utama. Film Morbius terjebak di jaring-jaring cinematic universe. Alih-alih bikin cerita yang benar-benar mendarat dan selesai – apa yang terjadi dengan pacarnya, bagaimana status buron Michael setelah final battle, apa arti semuanya bagi Michael – studio lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan punchline berupa teaser untuk film berikutnya. Kita juga melihat karakter dari Disney-Marvel muncul dalam sebuah situasi yang membingungkan. Pada akhirnya, itulah yang tampak lebih penting bagi film ini. Bagaimana membangun universe superhero versi sendiri. Karakter, relasi, dan dilema moral mereka tak lebih seperti sekelabat kepak kelelawat saja.

 

 

 

Makanya film ini terasa lifeless. Padahal kalo digali, dia bisa jadi pahlawan baru yang benar-benar menarik dengan genre horor, aksi supernatural, dan dilema karakter yang grounded. Nyatanya film mengabaikan semua kreasi untuk craft experience yang biasa-biasa aja. Malah cenderung membosankan. Terlalu bergantung ke CGI yang dibuat ala kadar, karakter yang template antihero sederhana (hanya karena mereka bingung membuat superhero ke dalam cerita villain), dan plot origin yang basi. Jika ini adalah jawaban terbaik yang bisa disuguhkan Marvel untuk DC dengan Batmannya, well, Marvel perlu memikirkan ulang lagi rencana dan cara mereka menghandle karakter-karakter supernya. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MORBIUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kesehatan itu hak atau privilege?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

 

Comments

    • Abilmut says:

      Moon knight juga ada adegan yg mirip2 batman gitu, waktu dia ngepakin jubah nya. Asli nya moon knight di komik kan emang sangat mirip batman, dari mulai salah satu kepribadian ganda nya milyuner dan juga pake alat2 canggih. Cuma pasti nya versi series (mcu) byk dirubah, mau bikin fans batman ngamuk (termasuk saya) dan membanjiri rating jelek klo ngikutin komik? Wkwk

      • Arya says:

        Ini mungkin kalo dijadiin kartu Yugioh, mereka tipe dan archetypenya sama, tapi Batman attributenya Dark, Moon Knight attributenya Light hahaha

Leave a Reply