GOOD TIME Review

“Bad times don’t last, but bad guys do.”

 

 

Apalah artinya masa-masa sulit. Semuanya akan terasa ringan jika kita hadapi bareng orang yang kita cinta. Jadi, demi melewati semua masa-masa keras tersebut, Connie mengajak adiknya menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan merampok bank.

Kedua bersaudara ini sudah semestinya saling menjaga. Namun kemudian, Nick, adik Connie tertangkap saat mereka melarikan diri dari kejaran polisi. Connie dan Nick memang adalah saudara yang sama-sama dibesarkan dalam lingkungan di mana kata panci dan gunting diasosiasikan sebagai kesakitan oleh Nick. Dan Connie lebih yakin dari sekedar positif bahwa adiknya yang mengalami gangguan mental itu tidak akan bertahan di dalam penjara. Tidak semalam pun. Maka Connie melakukan apapun yang dia bisa, dan kita tahu cowok ini enggak akan segan menggali lubang sedalam-dalamnya, untuk mencari uang guna membebaskan Nick.

Kita akan mengikuti petualangan Connie basically secara real time, dari pagi, ke malam, dan ke pagi lagi. Cerita menjadi sangat urgen dan really contained. Kita tidak pernah terlepas dari perpindahan waktu dan segala tindakan, aksi yang terjadi, terasa begitu in-the-moment. Dan cara kamera merekam suasana malam yang ia lalui adalah sangat mengundang kita untuk terus mengintip ke dalam kota itu. Kita akan dapat banyak close ups yang menguatkan ketegangan dan stres yang dialami oleh karakter. Film bisa menjadi seperti sebuah dokumenter karena banyaknya long takes yang digunakan untuk merekam perjalanan, benar-benar terasa real bagaimana kumuh dan kerasnya keadaan malam tersebut. Suasana malam itu berdengung, literally scoring musik akan mengalun ngebuzz memberikan suasana restless yang disturbing. Gaya dan perspektif yang unik dan begitu klop, adegan pembukanya saja sudah begitu kuat ketempel oleh emosi sebagaimana kita melihat Nick menjawab pertanyaan-pertanyaan game dari seorang psikiater.

“Apa lagu favoritmu?” / “Hard Times”

 

Masa sulit membuat kita sering mempertanyakan apa gunanya mencoba. Si bijak Homer Simpsons malah pernah bilang “Pelajarannya adalah, jangan pernah berusaha”. Namun film ini memberikan kita pelajaran yang lain untuk kita petik.  Sesulit-sulitnya hidup, semua itu tidak akan bertahan lama. Hanya persoalan gimana kita memandang, mempercayai, dan menjalankannya. Sekaligus juga film ini memberi kita peringatan, bahwa perbuatan jahat awetnya seumur-umur. Sekali kita menjustifikasi satu perbuatan miring yang kita lakukan, tak sulit lagi bagi kita untuk mengambil tindakan salah berikutnya – dan kemudian kembali menganggapnya benar.

 

Berkebalikan dengan hidup, dalam dunia sinema justru bad films last, dan bad acting tidak mesti bertahan. Robert Pattinson dan para aktor Twilight (2008) adalah contoh hidupnya. Di saat kejelekan Twilight akan tetap abadi kayak vampire-vampire pengisinya, karir para pemainnya toh masih bisa berkembang menjadi lebih baik. Di semester awal tahun 2017, kita sudah melihat penampilan terbaik dari Kristen Stewart dalam Personal Shopper. Dan dalam Good Time, di mana dia berperan sebagai Connie si total a-hole, Robert Pattinson gak mau kalah, dia pun menyuguhkan permainan akting yang sangat ngegrunge, dia menyelam sempurna ke dalam karakter. Ini benar adalah performa terbaik yang pernah Pattinson tampilkan kepada kita.

Penampilan yang sangat unhinged ditambah penulisan karakter yang teramat nekad menghasilkan sebuah FILM YANG BENAR-BENAR LANCANG. Tidak ada kualitas baik dari dalam pribadi Connie. Dia melakukan hal yang kurang ajar. Dia mengatakan hal-hal yang so politically incorrect, yang enggak semua orang berani mengatakannya di dalam film, terlebih di dunia nyata. Satu-satunya hal yang bisa membuat kita sedikit simpatik adalah kecintaannya terhadap sang adik. Dan film ini paham, itu sudah cukup. Dalam dunia film ini, kehidupan jalanan yang keras, para kriminal itu setidaknya ingin melakukan sesuatu yang baik buat satu orang, sekali saja. Kita melihat mereka saling bantu, jika diperlukan. Tapi tidak pernah terlalu ramah untuk menjadi satu kesatuan pembela kebenaran moral. Mereka hanya punya pemahaman, dan mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Benny dan Josh Safdie, dua bersaudara yang menulis sekaligus menyutradarai film ini, menyetir cerita ke arah yang jauh sekali dari keHollywood-Hollywoodan. Enggak bakal ketemu deh adegan pemanis di mana tokoh utamanya menjadi pahlawan. Good Time adalah versi lain dari Hell or High Water (2016). Actually, Benny ikutan bermain, dia berperan sebagai Nick yang mengalami cacat mental. Dia bermain sama kerennya dengan dia mengepalai film ini. Adegan pembuka berhasil membuka mata kita, membuat kita sangat tertarik. Ketika Nick ditanyai oleh psikiater, kita bisa melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut mengganggunya. Kepedihan tertampang jelas di ekspresi diamnya, kita bisa ngerasain. Kita paham dia benci hidupnya, dia benci duduk di sana, ditanyain, dipaksa mengingat masa lalu. Rasa ingin melihat Nick dan Connie berhasil tak tertangkap dan sukses memulai hidup baru dalam diri kita datang dari sini.

oke jadi sudah jelas kan ini bukan film tentang biskuit chocochips

 

Babak pertama film ini praktisnya dapat kita sebut sebagai kesempurnaan. Tone, karakter, style, semua disetup dengan sungguh menarik. Menurutku film ini fresh banget, serta extremely surprising. Namun di bagian tengah, ketika Connie menumpang di rumah orang untuk beberapa waktu, pacenya agak melambat. Kita akan gak sabar menanti cerita untuk bergerak lagi. Terkadang, film memang sengaja memperlambat tempo. Mereka mempersembahkan karakter baru, dan membiarkan si tokoh ini bercerita tentang apa yang terjadi kepada dirinya, supaya kita bisa sedikit tertarik. Esensinya sih, film ingin memperlihatkan paralelnya tokoh ini dengan Connie sehubungan dengan ‘good times’ yang mereka lalui.

 

 

Oleh Benny dan Josh, film ini menjelma menjadi sesuatu yang bisa kita nikmati sambil duduk santai, kerja kameranya teramat impresif, padahal kita enggak sungguh-sungguh enjoy sama apa yang kita lihat di layar. Misalnya, satu adegan ciuman yang luar biasa cringe-worthy itu. Kita tidak lagi melihat aktor bermain peran di sini, yang kita lihat adalah kriminal-kriminal beneran yang melakukan hal-hal filthy. Kenekatan menampilan tindakan gross senyata ini tak pelak adalah kenekatan yang semestinya mendapat respek. Aku angkat topi buat filmmakers dan para aktor yang melakukannya. Ini udah sukses jadi salah satu thriller urban favoritku. Pastilah salah satu waktu yang baik ketika kita menontonnya, dan impresinya dijamin bertahan lama.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GOOD TIME.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are loser.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply