THE WALL Review

“You can’t see me.”

 

 

Poster film ini enggak bohong ketika ia bilang “Ini bukan perang. Ini adalah permainan.” Walau sejatinya setiap pihak yang terlibat peperangan bakal selalu ngalamin dilema moral, The Wall memfokuskan eksplorasinya kepada apa yang sebenarnya dilakukan orang saat berperang. Dari bentuknya yang paling polos, memang, perang tak lebih adalah permainan bunuh-bunuhan yang melibatkan strategi. Kadang kita gak peduli lagi soal kenapa kita mulai saling menyerang, kita cuma mau mengalahkan musuh. Seperti permainan catur, but worse. Kehorriblean perang enggak seketika berakhir ketika para pemimpin sudah menyerah. Ini lebih seperti permainan Yugioh, di mana kedua duelist sudah mengerahkan kartu-kartu terkuatnya, namun kedua pihak tetap bertahan dengan sisa seratus life point. They want to break each other mentally, bersilat lidah menggunakan siasat, dengan harapan pihak lawan keceplos mengungkapkan kelemahan. Duduk diam, stalling, menunggu pihak seberang salah langkah. The Wall adalah sebuah MIND GAME.

Sersan Isaac (kalo dipanggil Ize juga nengok) dan Sersan Matthews (te-ret-te teeet! Tet te-re-teeet!) bangkit dari pos pengintaian mereka di site di tengah gurun Irak. Kepanasan dan lelah. Perang sudah hampir berakhir, sekitar mereka terlihat sepi. Selain mereka berdua, manusia yang tampak hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa di bawah sana, dekat pipa-pipa, mobil, dan reruntuhan tembok. Jadi, mereka turun mengecek keadaan. Out in the open, Sersan Matthews jatuh ditembaki. Isaac yang berusaha menolong juga kena tembus peluru entah dari mana. Serabutan, dia terjun berlindung ke balik reruntuhan tembok. Apa akal? Yes exactly! Sersan Isaac harus berpikir keras mengerahkan segala pengetahuan yang ia tahu, sebab si sniper Irak misterius itu dengan pinternya menghubungi radio tentara Amerika tersebut. Permainan kucing-kucingan mental mereka dimulai as si sniper menggunakan kelihaiannya bicara to get the soldier to show themselves, sementara Ize (namanya dilafalkan “eyes”) membuka mata lebar-lebar mencari tahu di mana posisi maut yang mengintainya.

Peluru bisa melihat John Cena

 

The Wall adalah FILM YANG AMAT KECIL. Durasinya singkat. Lokasinya di gurun thok, dan pemainnya hanya tiga orang. Satu di antaranya adalah suara di radio. Dari segi produksi, film ini terlihat relatif sederhana. Apalagi jika dibandingkan dengan karya-karya Doug Liman sebelum ini; aku terutama suka ama The Bourne Identity (2002) yang benar-benar menunjukkan talenta super yang dimiliki oleh sutradara ini. Tapi dari segi emosi, film yang berelemen thriller-pada-satu-lokasi kayak gini bisa menjadi sangat menarik sebab kita akan melihat cerita yang sangat personal. Sejak nonton 12 Angry Men (1957) yang keren banget, aku selalu tertarik sama contained-thriller. Dan The Wall, meskipun miskin aksi dan ledakan, film ini kaya oleh sudut pandang manusia yang berseberangan, namun essentially mereka adalah orang yang sama-sama terikat, katakanlah pada sumpah setia, dan struggling menjaga ‘kesetiaan’ berbangsa dan beragama tersebut dalam keadaan yang buruk.

Si sniper Irak, at one point, bilang bahwa semuanya tergantung dari sudut mana kita melihat. Namun sebenarnya dalam perang semuanya sama aja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. The Wall mengambil resiko mengangkat soal ketidakgunaan perang dengan memberikan perspektif ‘duluan-ayam-atau-telur’, membangun tembok tersendiri, figuratively, di dalam struktur cerita.

 

Yang paling efektif yang dilakukan film ini adalah bagaimana dia membuat kita tetap tertarik dan terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Sebagai filmmaker, Liman lumayan underrated, so it’s understandable dia pengen bikin film yang kecil-namun-intim seperti film ini. Dalam menggarap The Wall, Liman memilih untuk tidak membuat presentasi yang terlalu Hollywood. Dia menggunakan teknik pacing yang sama dengan yang dilakukan oleh BW Purba Negara dalam film Ziarah (2017); deliberately slow. Kamera enggak akan dipindah-pindah, dia akan jarang sekali ngecut adegan. Liman tidak ingin mempersingka waktu, dia hanya ingin kita semua lebih terinvest ke dalam hal-hal sesimpel bikin tali laso ataupun turniket untuk membebat pendarahan. Meskipun film ini enggak exactly real time, kadang Isaac kehilangan kesadaran dan kita meloncati dimensi waktu. Namun pada sebagian besar waktu, semua peristiwa diperlihatkan sehingga kita bisa turut ngerasain frustasi yang dialami oleh tokoh utama. Dan semua adegan pengulur waktu itu akan terbayar tunai oleh emosi .

Elemen perang psikologis antara Isaac dengan Sniper misterius Irak (“Elo Juba kan, ngaku!”) mengangkat film ini menjadi semakin menarik. Tidak banyak adegan aksi dalam film ini, yang mana bisa jadi membosankan untuk beberapa penonton, but it was a contained-psychological- thriller, tiga istilah yang kalo digabungkan maka sudah pasti akan ada aku duduk manis di sana menontonnya. Tapi bukan berarti film ini tidak akan mempengaruhi kita secara fisik. I mean, coba deh nonton ini siang-siang pas puasa. Wuihhh. Matahari film ini terasa memanggang kita. Debu dan pasir di mulut mereka membuat kita ingin meludah. Hausnya para tentara beneran kontan terasa. Nonton film ini rasanya getir sekali.

“unless you’re a professional”

 

Tentu saja penampilan akting para aktor menjadi hal yang paling signifikan jika kau punya film yang tidak banyak menjual ledakan. To be honest, aku enggak naruh harapan gede ke John Cena. But oh wow, dia jadi biggest surprise buatku dalam film ini. Karisma Cena membuatnya sangat likeable sebagai sersan Matthews. Dengan gampangnya dia dipercaya sebagai tentara, karena di WWE pun gimmicknya adalah seseorang yang menjunjung tinggi patriotisme. Di sini, Cena punya bermain intens dan kocak bersamaan. Dan karakternya di sini punya ‘weight’ yang tidak kita lihat di dalam ring. Ngeliat Cena merangkak dramatis adalah hal biasa di episode WWE, tetapi di film ini adegan tersebut benar-benar kejual dengan real olehnya. Aaron Taylor-Johnson, pada awalnya aku enggak ngeh, sebab aksen redneck dan literal kamuflase menyamarkannya. He is that good in this movie, melebur sempurna. Adegan-adegan yang harus ia lakukan kebanyakan adalah adegan yang menjurus ke horor, you know, like in body-horror, di mana dia harus mencongkel keluar peluru dari kakiknya. Grueling to watch banget. Dan kita benar-benar merasakan derita dan sakitnya.

Sebagai antagonis, suara di radio yang terus ngajak Isaac ngobrol terdengar sangat licin dan berbahaya. Dia punya agenda untuk mencari sisi lemah dari tentara yang berusaha dia bunuh, dia ingin memancing mereka keluar, dan yang ia lakukan bukan semata talk trash kayak pegulat yang mau bertanding. Sniper Irak ini tahu banyak tentang Amerika, dia belajar banyak dari korban-korbannya, dan mendengar Isaac ngobrol dengan suara itu membuat kita ngeri sendiri perihal siapa yang akan terpengaruh oleh siapa.

Kata-kata bisa dijadikan tembok yang paling efektif dalam rangka menyamarkan diri, baik sadar atau enggak. Bukan sekali-dua kali kita sengaja menggunakan kalimat yang bermakna mendua untuk menyembunyikan maksud ataupun buat cari celah untuk ngelak komit dari sesuatu nantinya. Orang banyak memutarbalikkan kata, putting words onto people’s mouth, menjadikan kata-kata sebagai senjata yang berbahaya. Dan kita bisa alami sendiri gimana orang mengucapkan alasan untuk menjustifikasi perbuatan yang mereka lakukan. Tembok yang paling berbahaya tercipta dari mulut manusia adalah tembok alasan agama. Mata untuk mata, katanya. But really, semua itu sebenarnya adalah kedok yang tidak sadar mereka kenakan dengan bangganya.

 

Bukan helikopter saja yang jatuh di babak akhir film. Keseluruhan ceritanya juga. Sangat pilu dan mengecewakan menyaksikan film ini kebingungan mengakhiri narasinya. Resiko yang diambilnya membuahkan ujung yang enggak enak. Character-arc yang mestinya bisa kokoh dibangun, malah runtuh begitu saja. In fact, malah segala yang usaha yang dilakukan tokoh utama terasa sia-sia. Inner journeynya menjadi hampa, meninggalkan kita kebingungan apakah ini psiko-thriller yang sangat lemah ataukah ini action yang gagal meledak. Semuanya jadi terasa enggak realistis, tidak menyisakan ruang reaching bagi kita. Terkadang, aku mikir film ini sengaja enggak total ngasih perspektif karena kan jarang banget ada film yang mempersembahkan Amerika sebagai underdog tanpa memperlihatkan mereka sebagai pahlawan, dan film ini masih ragu-ragu untuk menampilkan hal tersebut. So film ini kindof terbentur dinding serupa yang ia bangun pada narasinya.

 

 

 

 

Punya performance akting yang sangat kuat, diarahkan dengan fantastis. Terutama; punya kesempatan buat menjadi studi sosial yang sangat intens yang membuat kita duduk di posisi karakter di ujung perang, namun film ini kesulitan untuk melanjutkan langkah yang dipilihnya. Untuk dua babak awal, film akan terus membuat kita tertarik, karena ini adalah perang psikologis. Ini adalah tentang gimana sebuah pemikiran dapat menyingkap tembok yang dibangun seseorang di dalam dirinya. Saat penyelesaiannyalah film terasa seperti kembang api yang masuk angin. Meletup pelan alih-alih meledak. Tidak memberikan penyelesaian ataupun decisive journey sebagai sebuah pesan dan insight yang berharga.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for THE WALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

ALIEN: COVENANT Review

“When you stray from the trail, that’s when you get lost.”

 

 

Susah memang untuk memuaskan banyak orang, toh begitu, Ridley Scott tetap berusaha. Dan buah dari perjuangannya itu dapat kita nikmati dalam wujud sci-fi horor terbarunya yang berjudul Alien: Covenant. Film ini terlihat sangat berjuang untuk berada di tengah, sepertinya sutradara ini mendengarkan keluhan protes penonton as Scott ngimbangin unsur filosofis penciptaan yang ia angkat lebih banyak di Prometheus (2012) dengan nostalgia horor yang sudah mengakar sedari Alien (1979)a very effective sci-fi thriller btw! Jadi, antara sekuel dari Prometheus atau prekuel dari Alien, film kali ini membahas dunianya dengan actually memberikan lebih banyak jawaban sekaligus tetap membuat kita tersedot oleh thrilling action, suspens, dan jalan cerita yang kali ini ditulis dengan sama baik dan rapinya, hanya saja lebih terang dan straightforward. Apakah hasil akhirnya adalah film yang lebih baik?

We be the judge.

Haha bukan mau mengakhiri ulasan ini lebih cepat, actually we have a long way to go. Tapi, of course, kita para penontonlah yang jadi hakim untuk sebuah film.

 

Saat selesai nonton, sejujurnya aku enggak bisa langsung mutusin palu penilaian buat film ini. I got a mixed feeling, ini soal cinta-fans lawan realita lagi, sih. Aku suka banget sama Alien dan Prometehus, serta Aliens (1986), sementara film-filmnya lainnya dari franchise ini; well ya, katakanlah aku gak cukup peduli untuk menonton mereka dua kali. Ridley Scott mengerti bahwa film sci-fi yang bagus adalah yang tidak memberikan semua jawaban dengan gamblang, dan film-film alien garapannya memang meninggalkan banyak bagian-tak-terjawab dan dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Dalam Alien, kita tidak pernah dapet penjelasan siapa yang mengirim sinyal ke pesawat Ripley dan kenapanya. Tapi banyak fans (dan – herannya – kritik) yang menganggap apa yang dilakukan Scott terhadap cerita Promotheus terlalu, ah, enggak-fun. Didedikasikan untuk ngejawab beberapa, Alien: Covenant menjelma menjadi horor thriller yang amat SERU DAN MENYENANGKAN UNTUK DIIKUTI, lebih gampang untuk disukai, namun di lain pihak, juga terasa seperti VERSI YANG LEBIH LEMAH DARI GABUNGAN ALIEN DENGAN PROMETHEUS.

Alien: KoEnak

 

Buat yang belum nonton Prometheus (or even have no idea film ini ada hubungannya ama Prometheus), adegan pembuka antara David (Michael Fassbender‘s reprising his Android role dengan meyakinkan) dengan pembuatnya akan terasa sangat thought-provoking. Aku pun suka, jika saja aku bisa overlook bahwa adegan ini sebenarnya lebih kayak versi rangkuman karakter David yang dipersimpel. Dan kemudian kita dibawa terbang ke spaceship Covenant di mana belasan kru manusianya terbangun mendadak dari cryosleep. Kru android yang selalu stand-by, Walter (wow Michael Fassbender mainin dua android ‘kembar’ tapi juga essentially sangat berbeda), enggak perlu repot-repot jelasin sebabnya lantaran pesawat induk tersebut terang-terangan lagi dalam masalah. Peristiwa ‘kiamat kecil’ ini sukses bikin seisi awak trauma, sehingga begitu mereka menangkap sinyal dari sebuah planet yang bisa ditinggali – malahan, menurut data, planet ini bisa saja berpotensi lebih baik dari planet tujuan misi awal mereka, lebih dekat tujuh tahun pula! Kapten langsung memerintahkan Covenant untuk belok arah, menuju planet tersebut.

Alien adalah franchise yang kerap berganti-ganti genre, meski tetap mempertahankan beberapa ‘pakem’ yang sudah menjadi cirri khas. Elemen cerita Alien: Covenant tentang awak pesawat yang memilih untuk berganti jalur di tengah jalan, however, terasa seolah celetukan dari Ridley Scott tentang bagaimana mestinya franchise ini bisa menjadi lebih baik. Ini sama seperti ketika kita mengusahakan sesuatu; semestinya tetap fokus lurus pada tujuan dan tidak stray away, melipir ke mana-mana. Karena film ini memang terasa seperti usaha untuk kembali ke akar semula dari film Alien.

 

Paruh pertama ketika kru menjelajahi planet misterius adalah bagian film yang terasa refreshing. Inilah pertama kalinya (Alien Versus Predator kita anggap angin lalu saja , yaa) kita melihat alien memanfaatkan setting di lingkungan outdoor. Ridley Scott adalah sutradara yang punya mata tajam dalam urusan shot-shot cakep, yang setiap framenya bermakna terhadap narasi, it was actually a pleasant sight ngeliat horor scientific digenerate ke alam terbuka. Lihat saja sekuen ketika kru Covenant diserang Xenomorph baru di ladang yang penuh dengan ilalang dan gandum; adegan yang intensnya bikin kita nyaris berputar-putar ngeri di tempat duduk. Ridley Scott benar-benar cakap dalam mengolah situasi kacau menjadi pemandangan mimpi buruk yang indah.

kemudian coklat menghujani ladang gandum, dan PUFF..jadilah koko krunch!

 

Tampaknya sudah jadi pakem, atau bisa dibilang semacam running-jokes, dalam setiap film franchise Alien bahwa insiden Xenomorph (apapun variannya) menembus tubuh manusia selalu dimulai dari tindakan bego oleh tokoh-tokoh yang mestinya adalah orang-orang cerdas itu. Dalam film ini, cerita memberikan usaha yang efektif dalam menjustifikasi tindakan bloon tersebut. Sehingga kita bisa merasakan beban emosi kepada tokohnya, kita jadi mengerti kenapa mereka harus melakukan whatever it is yang mereka lakukan. Karena misi mereka adalah untuk bikin populasi pertama di planet baru, maka para anggota kru ini adalah orang-orang yang sudah menikah, atau paling enggak punya pasangan. Aspek ini bermain baik menghantarkan emosi dan pembenaran ketika ada satu kru yang tewas dan pasangannya meledak ngelakuin hal yang bertentangan dengan nalar. Benar, mereka semua pada dasarnya adalah umpan hidup, tapi sekali lagi film ini memainkan kekuatan yang dimilik oleh Alien orisinal; kita enggak tahu pasti siapa yang bakal bertahan hidup hingga akhir. Para aktor bermain sangat simpatis dalam menghidupkan tokoh mereka. Dan sekali lagi kita dapet tokoh utama berupa sesosok wanita setrong, yang tadinya aku kira bakal jadi tokoh yang annoying, tapi enggak. Ada sedikit jiwa Ripley dalam tokoh Daniels ini.

Ada satu kalimat dari tokoh Kapten, yang actually membuat karakternya lumayan kuat serta menarik sebab nunjukin gimana dia dealing with krisis kepercayaan – ditambah beberapa keputusan salah yang ia ambil sejak ditunjuk jadi pemimpin kru, dan kalimat ini relevan dengan keadaan negara kita sekarang. Kapten tersebut sedikit galau lantaran tadinya dia cuma Wakil, namun it was revealed dia enggak kepilih2 jadi Kapten; dengan alasan “Orang yang taat beragama tidak akan pernah diberikan kekuasaan, karena kau akan dianggap ekstremis. Dianggap seorang yang gila!” Padahal sebenarnya, taat beragama berarti taat pada satu jalan lurus.

 

Begitu lewat dari mid-point, narasi beranjak ke arah yang sedikit berbeda. Pertemuan David dengan Walter membawa kita ke bagian cerita yang difungsikan sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh film Prometheus. Penampilan Fassbenderlah yang memegang peranan penting di bagian ini, kita melihat dia dengan begitu menariknya memainkan dua tokoh android yang memiliki pandangan yang berbeda. Emosi dan premis pada adegan dengan seruling kayu terasa sangat kuat tersampaikan. Karakter David dengan point of view yang twisted, yang terbosesi dengan prinsip Tuhan dan ciptaanNya terlihat meyakinkan sekaligus creepy in a thought-provoking way. Ketika dia memerankan Walter dengan kapasitas drama lebih utama, pun, Fassbender berhasil mempertahankan sisi compellingnya. Oleh karenanya, meski kita bisa berargumen soal apakah elemen ini justru merampas sisi drama survival karakter-karakter lain yang lebih seru dari kita, bagian akhir dari babak kedua pun masih bisa kita nikmati dari segi penampilan aktingnya.

Bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia, hanya karena Dia bisa. Bagaimana jika sifat arogan kita sendiri yang membuat kita merasa begitu penting sehingga menganggap keberadaan kita punya suatu maksud tujuan. Bagaimana jika kita sudah menjadi sok pentingnya sampai-sampai kita akhirnya tiba di tahap bisa menciptakan android karena kita bisa. Dan sama seperti David, bagaimana jika kita sebenarnya terperangkap dalam ilusi menciptakan sesuatu; obsesi terhadap seni, terhada kreasi dan penciptaan. Obsesi menjadi Tuhan.

 

Tidak hingga di babak akhirlah semua nostalgia itu kumplit terasa. Kita akan dibawa kembali ke pesawat yang serta merta menjadi ruang tertutup. Film ini dengan sabar nahan-nahan kemunculan Xenomorph klasik yang sudah ditunggu-tunggu banyak penonton yang udah ngikutin franchise ini dari awal. Tampilannya mantep, Xenomorph adalah salah satu monster dengan desain terkeren dalam sejarah horor. Di sini, efek komputer dan efek praktikal berhasil digunakan bareng dengan sangat mulus untuk menghidupkan Xenomorph. Tapi ada perbedaan mendasar antara alien film ini dengan alien yang muncul di original. Dalam film Aliens jadul, tentu saja teknologi tidak sebaik sekarang; kita tidak melihat Xenomorph secara full, monster ini ditampillan ‘terbatas’, sehingga misteri dan suspen adalah senjata utama supaya bikin kita takut maksimal. And it was done dengan sangat efektif. Dalam film Covenant ini; Xenomorph tampil frontal, ketakutan datang dari cepatnya gerakan dan sergapan makhluk ini, bahkan di sini kita belajar banyak tentang asalmulanya, sehingga tak-pelak misteri seputar Xenomorph terasa sirna. Ditambah dengan elemen David/Walter yang predictable, film ini ditutup dengan note yang lebih rendah dari saat ia dimulai.

 

 
Sama seperti ketika kita membandingkan Ghost in the Shell (2017) dengan versi anime orisinilnya, film ini akan terasa seperti gabungan Alien dan Prometheus dengan level easy. Tidak begitu menantang pikiran karena cerita kali ini lebih straightforward. Film ini berusaha kembali ke akarnya yang berubah sci-fi body horor, dan ia melaksanakan misinya dengan gemilang. Dari jajaran franchise Alien, film ini termasuk yang paling seru. Gampang untuk disukai, film ini berusaha tampil seimbang dan memuaskan banyak orang. Sendirinya adalah film yang stunning. Editingnya precise. Kesannya film gede banget, hey, it’s an Alien movie by Ridley Scott! Masalahnya adalah aku suka Alien dan Prometheus untuk alasan yang dalam film ini dikurangi elemennya. Narasi film ini pun terasa lebih kacau buatku. Dan predictable. So yea.. untuk mempersingkat, kupikir yang gaksuka sama Prometheus bakalan suka banget sama film alien terbaru ini.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALIEN: COVENANT

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.