FRESH Review

“(Online) dating is nothing more than a meat market”

 

 

Online dating (kencan online) dapat jadi sangat manis dengan segala emotional connection yang terjalin, bahkan sebelum bertemu langsung dengan si pacar. Bayangkan bisa merasa demikian dekat lewat kesamaan interest, hobi, selera. Tapi online dating juga tak jarang berakhir sebagai kekecewaan yang membawa bencana – begitu ketemu beneran dengan pasangan yang katanya sekian persen cocok tersebut. Karena namanya juga online. Orang bisa beda banget antara di dunia nyata dengan yang ia tampilkan di dunia maya. Bisa jadi orangnya ternyata jorok, toxic, ‘cakep di foto doang’, atau minta split bill melulu alias pelit. Horor komedi debutan sutradara Mimi Cave mengangkat fenomena susahnya dapat jodoh lewat online sampai-sampai membuat orang jadi desperate, dan akhirnya jatuh ke dalam sesuatu yang lebih berbahaya daripada kiriman gambar nude tak diinginkan. Jebakan stranger danger.

Sebenarnya memang sudah cukup lama aplikasi dating online seperti Tinder, Grindr, dan lain sebagainya disebut orang seperti pasar daging. Perilaku memilih pasangan dengan swipe kanan, swipe kiri seperti sedang belanja produk. It make us feels like a product. Film Fresh kemudian menarik kesamaan tersebut dengan literally masukin soal perdagangan daging manusia sebagai lapisan kisah perempuan yang mencari asmara.

 

Noa (Daisy Edgar-Jones jadi protagonis yang cukup unik di dalam genrenya) udah capek cari cowok di aplikasi. Udah susah payah nyari di antara sekian banyak mata keranjang, eh yang dia dapatkan modelnya gak jauh-jauh dari cowok ignorant yang super self-centered nan egois. Jadi, Noa udah no-ah lah main online-onlinean. Dan memang akhirnya Noa merasakan magicnya jatuh cinta lewat cara yang ‘tradisional’. Dia ditegur sama cowok yang simpatik di swayalan, Noa tertarik. Dan yah, Noa merasa cocok sama Steve (Sebastian Stan dalam full-charming mode). Jadianlah mereka. Hanya sahabat Noa yang ngerasa ada red flag pada Steve yang cukup misterius – karena mana ada sih orang yang gak punya sosmed hari gini. Kecurigaan si sahabat terbukti saat Noa pergi liburan bersama Steve ke suatu tempat. Dan sejak saat itu, kabar Noa tak terdengar lagi.

fresh-trailer-e1644943774263
Steve memang gak mau split bill, dia maunya split your body apart!!

 

Soal cari-pacar memang sudah sering jadi latar untuk cerita horor, terutama serem-serem di ranah penculikan dan penyiksaan. Like, serial killer sudah lama menjebak perempuan-perempuan, bahkan di dunia kita. Film Fresh ini berusaha ngasih sesuatu yang segar untuk latar tersebut. Satu hal yang berhasil dilakukan film ini untuk tampil berbeda itu adalah cara membangun narasinya. Dalam film ini ada dialog kagumnya Noa sama Steve yang memang gentle, berbeda dari cowok lain yang ia kenal sebelumnya. Saat mereka ciuman, justru Steve yang merasa gak enak karena mereka belum saling kenal betul. “We do this too fast”, kata Steve, yang lantas bikin Noa heran – belum pernah ia mendengar cowok yang bilang hubungan berjalan terlalu cepat sebelumnya. Nah, aku kagum seperti itu juga saat menonton Fresh ini. Jarang-jarang aku melihat film horor bunuh-bunuhan yang gak mau berjalan terlalu cepat sebelumnya. Biasanya cerita bunuh-bunuhan pengen dengan segera memperlihatkan adegan berdarah, mempertontonkan karakter psikopat. Gak mau berlama-lama menceritakan karakter karena takut penonton bakal bosan.

Film ini took time to fleshed out (lol no pun intended) relasi Noa dengan Steve. Gak langsung bunuh-bunuhan. Kita dibuat mengerti dulu kenapa Noa bisa mau-mau aja ama Steve, kenapa Noa gak melihat ‘red flag’ seperti kata sahabatnya. Alasan kenapa selama ini dia yang cakep itu terus menjomblo juga dipaparkan. Chemistry antara Daisy dan Sebastian turut mempermudah kita percaya bahwa Noa telah bertemu orang yang tepat. Bisa dibilang, kita ikut tertipu oleh Steve. Atau setidaknya, dengan melimpahkan waktu untuk karakter tersebut, kita jadi bisa melihat seolah deep inside ada perasaan juga di dalam Steve kepada Noa. Perasaan yang nanti bakal dimainkan ke dalam sekuen-sekuen Noa berusaha keluar dari kurungan Steve. Horornya film ini baru keluar tiga-puluh menit into the movie, barengan ama kredit judul, yang turut membuat film ini unik meskipun cuma dalam hal gaya.

Ingat ketika film ini berangkat dari buruknya arah modern dating online berkembang yang membuat film ini unik? Well, permasalahan ‘modern’ itu dengan cepat jadi non-existent karena hubungan Noa dan Steve justru terjalin secara tradisional. Bertemu di dunia nyata, menjalin hubungan yang sangat ragawi alih-alih menonjolkan koneksi emosional. Bukannya Noa dan Steve gak punya hubungan emosional, tapi karena nanti diungkap Steve adalah kanibal yang kerjaannya ngejual daging perempuan yang ia culik, potong, dan olah sendiri, soal dia aslinya beneran cinta atau enggak jadi gak relevan lagi karena perkembangan karakter Steve sampai di pengungkapan tersebut. Steve beneran stop jadi karakter. Dia cuma jadi obstacle, sekaligus bercelah supaya progatonis perempuan bisa ada kesempatan kabur. Jadi film ini gak berhasil mempertahankan keunikan jualannya, yakni soal modern dating apps. Padahal bisa saja mereka membuat Noa sebenarnya sudah diincar oleh Steve lewat akun-akun palsu di apps itu sedari awal. Dengan begitu kan tema dating onlinenya masih bisa ikut kebawa, dan yang paling penting Noa dan Steve jadi gak ketemu lewat kebetulan kayak cerita ftv remaja.

Yang dipertahankan oleh Fresh, sayangnya, adalah ‘penyakit’ tidak menggali apa yang diangkat. Film ini sebenarnya punya banyak bahasan loh. Selain modern dating dan karakter Steve tadi, juga ada elemen yang mengarah ke Stockholm Syndrome; ada bahasan keluarga si Steve. Ada jaringan pembeli daging manusia – you know, pria-pria kaya yang sinting. Semua itu ada jadi sebagai bahan ‘masakan’ cerita, sebagai pembentuk dunia cerita, tapi gak diolah. Gak dibahas. Bahkan tema utama soal feminism-nya pun dibiarkan tak tergali. Karakter film ini gak punya perkembangan. Cewek-cewek yang juga jadi korban Steve, mereka hanya ada di sana kayak gak ada kehidupan, yang punya kehidupan cuma Noa. Bahkan sahabat Noa dibiarkan eksis di sana gitu aja. Semuanya tentang Noa si karakter utama, yang gak dikasih konflik apa-apa selain cuma ngerasa telah tertipu. Development dia ya cuma ditipu cowok. Gak ada hint soal setelah semuanya dia punya pandangan gimana terhadap pacaran, terhadap cowok. Atau apa kek. Semua yang ada di dunia Fresh ini ya just out to get women like her. Cowok kalo gak psikopat, ya kanibal, atau pengecut, atau egois. Bahkan cewek lain bisa juga jahat sama dia. Film ini gak punya pandangan atau pendapat sendiri selain template agenda cewek feminis.

Nonton film ini terasa seperti nonton film modern agenda-ish kebanyakan. Yang seolah tersusun oleh tema atau agenda yang ingin disampaikan duluan, lalu baru bikin cerita yang menyambungkan agenda-agenda tersebut. Oh, kita harus masukin cewek harus mandiri, atau all men are trash, atau ustadz bisa kalah melawan setan, atau semacamnya. Setelah itu baru kita apain nih adegannya biar menggambarkan itu. Tidak lagi seperti film yang semestinya; yakni film yang adegan-adegannya benar-benar berkembang dari perspektif karakter yang dibuat menghidupi ruh cerita. Makanya film ini gak ada perkembangan karakter. Karena mereka cuma dibuat untuk melakoni tema. Tidak seperti manusia yang beneran hidup dan mengambil keputusan dan belajar lewat kesalahan. Berbeda dengan film yang beneran bercerita, film-film model Fresh ini karakter utamanya akan dibuat selalu benar. Enggak boleh ada cela. Notice gak, Noa bisa keluar dengan selamat relatif tanpa luka selain luka hasil berantem di final battle dengan Steve – yang dipotong Steve darinya selama dikurung cuma bagian pantat yang basically kita gak lihat boroknya. Karena begitulah karakter film agenda didesain. Gak boleh ada borok. 

fresh-daisy-edgar-jones-Cropped
Mau paha atau dada?

 

Padahal horor justru biasanya bakal membuat karakter utama babak belur habis-habisan sebagai simbol perjuangan. Berdarah-darah, luka-luka. Beberapa merangkak saking beratnya perjuangan. Semua itu sebagai simbol transformasi menjadi pribadi yang lebih baik deep inside. Nah inilah yang jadi last nail in the coffin untuk film ini bagiku. Sebagai horor dia juga gagal.

Enggak ada tensi. Ini film dengan adegan kanibal. Melibatkan banyak adegan (on maupun off screen) perempuan yang dipotong anggota tubuhnya. Tapi gak sekalipun terasa disturbing. Semuanya bersih dan gaya. Sok disturbing doang. Adegan makan daging manusia yang disajikan dengan mewah cuma tinggal eat-and-spit it out later. Enggak ada rintangan, gak ada build up suspens. Padahal itu konteksnya si Noa berpura-pura ‘setuju’ dengan kerjaan Steve. Dialog ironi menanyakan “Ini bukan daging gue, kan?” hanya dimainkan untuk ironi yang ngarah ke komedi. Arahan ke horornya kurang kuat. Banyak adegan meja makan yang lebih powerful, banyak adegan makan yang lebih disturbing muncul dalam film-film yang bahkan bukan horor kanibal. Like, adegan nyiapin makanan di serial Servant aja bisa lebih ngasih uneasy feelings ketimbang adegan masak daging-manusia di film ini. Fresh ini cuma punya visual cakep. Potongan anggota tubuh berbungkus plastik di freezer. Daging yang dimasak. Shot orang ngunyah. Tapi feelingnya gak berhasil dikeluarkan oleh sutradara. Aku lebih merinding nonton ibu-ibu makan di Swallow (2020) atau adegan di Raw (2017)

 

 

 

 

Sudah begitu lama kita terpapar horor-horor mainstream yang cuma punya jumpscare, sehingga begitu ada yang beda, kita langsung bilang fresh. Kita jadi kurang kritis. Ini persis kayak kelakuan saat main dating apps. Ngeliat ada cakep dikit, kita berhenti swipe, dan just try our luck. Kelakuan seperti itulah yang bikin dating online udah jadi kayak pasar daging. Aku sih harapnya jangan sampai film horor juga jadi kayak begitu. Mentang-mentang ada yang beda dikit, langsung kita bilang bagus. Film ini sendiri, memang punya tema positif, looksnya beda, tapi penceritaannya datar, horornya datar, komedinya datar, naskahnya datar, main aman dengan temanya. Keunikannya langsung jadi hilang karena bermain sebagai template agenda. This isn’t fresh. Dengan begitu banyak pemanis agenda, film ini cuma kayak makanan kalengan buatku.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for FRESH.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya pengalaman seram seputar dating online?

Share in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

THE PLATFORM Review

“In a consumer society there are inevitably two kinds of slaves: the prisoners of addiction and the prisoners of envy”
 

 
 
Hidup kadang di atas, kadang di bawah. Namun sutradara asal Spanyol, Galder Gaztelu-Urrutia tidak sedang membicarakan roda. Alih-alih, dalam sci-fi horor The Platform ia membangun struktur semacam menara; dua ratus ruangan yang disusun bertingkat, berjejer vertikal, diberi nomor satu dari yang paling atas hingga berurut sampai ke paling bawah. Dalam setiap lantai/ruangan, ‘dipenjarakan’ dua orang. Setiap bulan, masing-masing lantai dirotasi penghuninya. Kadang mereka di lantai atas, kadang mereka di lantai ratusan ke bawah. 
Struktur tersebut difungsikan oleh Galder sebagai alegori dari sistem kapitalis, konsumerisme yang diam-diam telah memerangkap masyarakat. Dan Galder memanglah sukses berat dalam menggambarkan itu semua. Bagaimana tidak? Dalam penjara buatan Galder ini setiap harinya diturunkan platform berisi berbagai jenis makanan yang lezat-lezat. ‘Tawanan’ di lantai atas kebagian duluan mencicipi, sebelum akhirnya (tepatnya setelah dua menit) platform makanan ini turun, mengantarkan apapun yang masih tersisa kepada penghuni lantai di bawah, dan begitu seterusnya sehingga semua dua-ratus-lebih lantai kebagian. Atau tidak. Sampai di sini mungkin sebagian dari kalian sudah bisa menebak bagaimana tepatnya dunia film ini adalah cermin dari perilaku masyarakat sekarang, sebab sekiranya kalian bisa mengira seperti apa ‘rupa’ makanan lezat berlimpah itu setelah melewati lantai demi lantai penuh oleh sepasang orang kelaparan. But for the sake of this movie, mari kita tengok dari tokoh utama cerita ini.

Pertimbangkanlah gambar ini sebagai peringatan spoiler yang bakal datang

 
Goreng (Ivan Massague bukan meranin makanan loh ya, melainkan seorang pria yang bakal ancur lebur dihantui oleh realita sosial) terbangun dan mendapati dirinya berada di lantai 48. Rekan satu-lantainya bilang ini posisi yang cukup lumayan. Goreng tentu saja belum tau kenapa sebabnya, karena pria ini baru saja mengajukan diri ikut masuk ke ‘penjara’ yang di dunia cerita sebenarnya adalah fasilitas rehabilitasi, dikenal sebagai Vertical Self-Management Center. Goreng masuk sebab ingin mendisiplinkan dirinya dari rokok. Setiap peserta boleh membawa satu barang untuk dikarantina bersamanya. Goreng memilih buku. Teman selantai Goreng memilih pisau, dan lantas menertawakan Goreng; apa gunanya buku di sini? Dan kemudian turunlah platform makanan itu. Penuh berisi makanan sisa. Yang udah gak karu-karuan bentuknya karena sudah digarap oleh penghuni 47 lantai di atas. Goreng tentu saja tak selera, meski teman selantainya makan dengan lahap. Goreng yang awalnya naif belajar banyak dari temannya, serta dari kenyataan mengerikan tatkala mereka mendapat giliran tinggal di lantai level ratusan. Tempat mimpi buruk menjadi kenyataan, survival buas karena tidak ada makanan yang sampai ke sana. Goreng akhirnya paham kegunaan benda seperti pisau di lantai-lantai bawah saat pisau itu mengoyak lepas daging paha kakinya.
The Platform nyata-nyata bukanlah makanan buat semua orang. Gambaran kekerasan dan tindak amoral para tokoh ditampilkan dengan vulgar. Kasar. Jijik. Ya, jijik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian dalam film ini. Kita akan dikasih lihat betapa menjijikannya sikap manusia yang mementingkan diri sendiri. Tapi juga akan membuat kita jijik kepada diri sendiri, lantaran kita mengerti mereka. Kita paham kenapa mereka melakukan itu. Pemakluman penghuni lantai bawah yang gak kebagian makanan menjadi kanibal karena keadaan memaksa mereka, orang-orang di atas makan duluan, dan ketika digilir kita merasa wajar orang-orang yang di bawah akan melakukan hal yang sama saat mereka sudah di atas. Siklus mengerikan ini tidak bisa dihentikan. Dan ironi dari ini semua adalah; bahwa sebenarnya makanan di atas platform itu cukup untuk mereka semua, dari lantai satu hingga lantai dua-ratus, tiga-ratus, berapapun.
Maka Goreng mencoba menyadarkan semua orang, dia berusaha membuat mereka sadar bahwa tidak perlu mengambil makan banyak-banyak. Semua sudah diberikan jatah makanan yang cukup untuk melewati hari sehingga tidak akan ada yang kelaparan. Namun dendam diperlakukan hina, ketakutan akan kelaparan esok hari, dan fakta beberapa orang pada dasarnya memang rasis (film juga menampilkan agama, ras, dan golongan sebagai bagian dari penokohan) membuat usahanya sia-sia. Goreng didengar oleh orang-orang di bawahnya ketika dia mendorong mereka dengan ancaman. Tapi apa gunanya jika tidak semuanya sadar dan bersikap seperti tirani malah akan menimbulkan kebencian yang secara jangka panjang tidak bakal mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Itulah konundrum yang paralel dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Gak usah jauh-jauh, lihat sekarang – di masa-masa seluruh dunia dalam pandemi virus corona – banyak orang membeli barang di luar yang benar-benar ia butuhkan. Di negara luar orang rebutan tisu toilet. Di negara kita, orang berebut masker. Hand sanitizer. Bahkan alat-alat kesehatan. Orang-orang berduit, tentu saja. Memborong semua sehingga banyak orang, terutama yang less-fortunate enggak kebagian. Sama seperti di film ini, orang-orang tetap memakan makanan yang sebenarnya bukan jatah mereka sehingga makanan tersebut tidak mencukupi. Mentang-mentang punya kesempatan duluan. Orang-orang seperti susah membedakan yang mereka butuhkan dengan yang tidak. Semuanya pada tamak. Yeah, mereka bisa beralasan survival instinct. Film ini menunjukkan bukan salah mereka sedang di atas, melainkan karena mereka pernah di bawah. Di sinilah letak kebobrokan sistem tersebut, sistem masyarakat kita yang over-konsumtif. Yang berkecukupan tidak merasa punya keharusan untuk berbagi. Setiap tokoh dalam film ini terpenjara oleh candu dan iri atas makanan karena sistem membuat mereka jadi melihat pada posisi atas atau bawah.

Masalah kesejahteraan ekonomi sebenarnya sangat terkait dengan masalah moral. Bukan eksak soal punya banyak duit atau tidak. Bahkan film ini menunjukkan, dalam keadaan yang sama-sama berkekurangan pun akan ada gap; yang berasal dari perbedaan kesempatan. Inti masalahnya adalah terletak pada kebutaan kita membedakan mana yang kita berhak miliki dengan mana yang kita pikir berhak untuk kita miliki. 

 

Goreng harus bertrimakasi kepada temannya; Trimagasi

 
Tidak ada jawaban yang saklek benar untuk mengatasi persoalan ini. Sepertinya memang harus dengan kesadaran sendiri. Tidak bisa dipaksa. Jikapun berubah, maka itu tidak dalam waktu dekat. Prosesnya bakal lama. Makanya Goreng gagal semua, meskipun sebenarnya banyak juga yang berjuang untuk menjadi lebih baik di dalam sana. Makanya pula, film tidak membahas penyelesaian hingga ke akarnya. Melainkan memberikan jawaban lewat metafora. Dan ini bakal jadi turn off buat sebagian penonton yang mengharap solusi alias jawaban. Akhir film dapat jadi membingungkan ataupun tidak menyelesaikan apa-apa. Buatku; ya ada beberapa elemen yang gak diberikan alasan yang jelas kenapa bisa ada, alias ada elemen yang kayak maksa. Namun soal endingnya, aku mengerti kenapa film memilih untuk menutup seperti demikian.
True resolution yang dipercaya oleh Goreng adalah mengirimkan kembali seorang kecil yang ia temukan di lantai paling bawah ke lantai paling atas; ke tempat manajemen gedung. Hanya si anak saja, tanpa dirinya. Goreng memilih untuk tetap tinggal di lantai dasar. Makna dari semua ini adalah film ingin menunjukkan kepada kita bahwa harapan itu masih ada. Yakni berupa generasi muda, yang sama sekali belum tersentuh dan dikotori oleh sistem. Goreng tidak bisa ikut karena untuk sampai ke sana saja ia sudah literally kotor dan menjadi bagian dari sistem. Anak itu merupakan simbol dari buah perjuangan kemanusiaan, sebuah clean-slate. Memang mengirim anak itu ke atas belum tentu bakal langsung menghentikan semua amoral dan membuat orang seketika menjadi lebih baik. Namun mengirimkannya adalah pesan mutlak bahwa ada kesalahan di sistem (bisa ada anak yang masuk, meskipun peraturan menyatakan tidak boleh), dan fakta bahwa anak itu masih hidup dan sehat adalah bukti nyata kemanusiaan masih punya harapan.
 
 
 
 
Ini bukan thriller ruang tertutup yang biasa. Cerita sarat metafora dari realita dunia konsumtif kita. So naturally, this will be very hard to watch. Apalagi film memang tidak ragu-ragu untuk menjadi semenjijikkan mungkin. Blood, vomit, feses, moral bobrok, salah satu dari empat itu akan membuat kita mual duluan. Ditonton dalam waktu-waktu wabah virus sekarang, film ini sangat relevan. Film tidak tersaji subtil, dan beberapa elemen seperti diadakan begitu tanpa ada penjelasan, membuat sebagian penonton enggak puas. Namun yang patut kita apresiasi adalah film berusaha mencari penyelesaian dengan nada yang positif, dengan memperlihatkan manusia masih bisa bertaruh pada harapan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PLATFORM.

 
 
 
That’s all we have for now.
Hanya butuh satu orang, satu orang mulai makan melebihi yang ia butuhkan – memakan jatah orang lain – dan keseimbangan itu akan runtuh. Menurut kalian apa yang kira-kira menyebabkan tawanan di lantai atas memakan lebih banyak dari yang ia butuhkan?
Ini adalah struktur  vertikal, menurut kalian apakah akan ada bedanya jika struktur penjaranya berupa kamar-kamar yang disusun horizontal? apakah beda posisi/kelas itu akan terasa?
Apa kalian punya interpretasi sendiri terhadap ending film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.