SPACE JAM: A NEW LEGACY Review

“Let others be themselves”

 

Sekuel cenderung untuk menjadi lebih besar. Karena, tahulah, saat kita membuat sesuatu yang udah ada originalnya, kita akan otomatis dipush untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi si origin tersebut. Jadi, sutradara Malcolm D. Lee berpikir;

Apa yang lebih besar daripada outer space – semesta luar angkasa? Cyber-space – semesta siber internet!

Apa yang lebih besar daripada NBA dan kartun Looney Tunes? NBA dan seluruh IP Studio Warner Bros!!

Dan apa yang lebih besar daripada Michael “Air” Jordan?? Well, itu pertanyaan untuk diskusi basket yang lebih mendalam. Aku jelas bukan ahlinya. Tapi untuk sekarang, cukuplah kalo mengenal Lebron James sebagai atlet basket tergede di era kekinian.

Memiliki ketiga faktor di atas, Space Jam: A New Legacy jelaslah lebih besar daripada pendahulunya, Space Jam, yang hadir dua-puluh-lima tahun yang lalu. Namun seiring kita ngobrolin soal film ini nanti, Space Jam kedua ini akan membuktikan bahwa menjadi lebih besar itu tidak serta berarti lebih baik. 

space-jam-new-legacy-trailer-tgj
Kalo soal akting sih, memang Michael B Jordan lebih besar

 

Yang jelas-jelas dilakukan dengan lebih baik oleh film kedua-yang-gak-really-bersambungan-dengan-film-pertama ini adalah konflik yang lebih berbobot secara emosional. Ada cerita hangat mengenai ayah dengan putranya sebagai inti cerita. Ayah dalam film ini adalah seorang atlet basket tersohor, yang mencapai posisi nomor satu sekarang tersebut dengan bekerja keras, tekun berlatih, dan membuang Game Boy (dengan game Bugs Bunny) kesukaannya ke tempat sampah. Sedangkan anak dalam film ini adalah seorang young man yang berjuang mengutarakan kepada ayahnya tersebut bahwa dia sebenarnya lebih tertarik kepada merancang video game – particularly game basket – ketimbang ke kamp basket; ketimbang bermain basket beneran. Nah langsung kebayang dong, dinamika ayah-anak yang jadi konflik dalam cerita ini. Si ayah ingin anaknya sesukses dirinya, tetapi dia terlalu memprojeksikan dirinya kepada si anak. Tidak pernah sekalipun dia bertanya si anak sebenarnya pengen apa.

Lebron James yang memainkan versi fiksi dari dirinya sendiri diberikan ‘lapangan bermain’ yang lebih emosional  ketimbang Michael Jordan di Space Jam yang karakternya unwillingly keseret ke dalam masalah tokoh-tokoh kartun yang harus tanding basket. Dalam film kedua ini, sikap James kepada Dom, anaknya, dan to some extend kepada hal lain selain basket-lah, yang memantik konflik lain. Yang membuat cerita bergulir maju. Sikap James eventually membuat sebuah program kecerdasan-buatan tersinggung. Sehingga A.I. tersebut – bernama Al G. Rhythm (dimainkan dengan fenomenal menghibur oleh Don Cheadle) – menculik James dan Dom ke dunia siber. Memisahkan ayah-anak tersebut. Dan menghost pertandingan basket di antara keduanya, dengan stake yang gak main-main. Kalo James kalah, semua manusia yang dia jebak untuk nonton pertandingan, akan terperangkap di dunia siber yang boring tanpa-Looney Tunes.

Percaya atau tidak, pada galian ini cerita Space Jam 2 sebenarnya masih ‘masuk akal’. Meskipun dimanipulasi sehingga gak tau yang sebenarnya, tapi Dom kentara lebih merasa enjoy bersama Al G. karena di situ dia bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, James, yang terdampar di dunia Looney Tunes dan bersama Bugs Bunny harus mengumpulkan tim Tunes Squad untuk melawan tim penuh kreasi bentukan Dom dan Al G., actually harus bisa menjadi seperti Al G. Tema mempercayai kemampuan dan pilihan orang lain bergulir terus, bahkan ketika pertandingan basket ‘curang’ mereka dimulai. Semuanya diberikan penambat berupa tema tersebut sehingga adegan-adegan dalam film ini tidak hanya menghibur semata, melainkan juga bukan tidak mungkin menghasilkan air mata. Film membuat kekonyolan kartun ala Looney Tunes (and you know betapa konyolnya Looney Tunes) menjadi seimbang dengan konflik yang grounded seperti ini. Anak-anak dan para orangtua yang menonton bisa menangkap pesan-pesan parenting dan bersosial yang dioper oleh film. 

Kita bisa saja meminta orang untuk menjadi sesuatu yang kita mau, atau untuk melakukan sesuatu sesuai dengan cara kita. Dan mereka mungkin akan melakukannya, entah itu karena hormat, atau segan, atau ngerasa gak enak. Or worse, karena takut. Semua itu enggak akan berujung baik kepada mereka sendiri. Bila mereka adalah anak, maka perkembangan si anak ini akan terhambat. Seperti Dom, yang ‘terpaksa’ memprioritaskan his dad’s things ketimbang hobinya. Seperti tim Looney Tunes yang babak belur karena menahan diri, mengikuti basket seperti yang James tahu. Kita seharusnya membiarkan yang lain menjadi siapa, apa yang mereka mau. Lihat apa yang terjadi ketika James akhirnya membiarkan Looney Tunes melakukan apa yang Looney Tunes biasa lakukan.

 

Untuk beberapa part pun, film menerapkan tema tersebut. Mereka membiarkan Lebron James menjadi Lebron James. “Gue bukan aktor, gue pemain basket!” seru karakter James dalam salah satu humor self-aware film ini. Ada usaha untuk meminimalisir screentime James berakting, karena ya walaupun dia punya karisma di dalam lapangan, tapi akting tetap tidak semudah itu. Film menggunakan cara yakni membuat James menjadi tokoh animasi 2D saat berada di dunia Looney Tunes. Kupikir ini bisa berhasil karena memang permainan ekspresi James sebelas duabelas ama Michael Jordan. Tapi ternyata, jadi tokoh kartun bukan jawaban tepat. Karena kini James harus menajamkan voice acting, yang ternyata malah lebih parah daripada akting live-actionnya hahaha.. Deliverynya sangat kikuk, apalagi harus bersanding dengan voice-actor profesional.

Maka film pun ‘mengembalikannya’ menjadi manusia saat bertanding di dunia game bikinan Dom dan Al G. Sebagai bonus untuk kita, saat bertanding, film membuat para kartun Looney Tunes menjadi animasi 3D tanpa meninggalkan kekonyolan khas mereka nanti. Untuk aku yang waktu kecil melihat Bugs Bunny, Daffy Duck, Tweety dan teman-teman, ini jelas adalah upgrade yang menyenangkan. Senang saja melihat tokoh-tokoh kartun yang jadi teman bermain dahulu diremajakan tanpa mengurangi ruh mereka. Aksi-aksi ‘basket’ ini pun pada dasarnya lebih seru daripada film pertama. Film menggunakan lebih banyak arsenal kartun dan nostalgia kita terhadapnya. Tepuk tanganku justru paling kenceng saat adegan Porky Pig ngerap. It was stupid, but hey, ini Looney Tunes!!

Space-space-jam-a-new-legacy-clip-features-porky-pig-rapping
Nominee Best Musical Performance untuk next My Dirt Sheet Awards!

 

Jika saja film ini stick to what they are. Jika saja film ini tetap bermain-main di nostalgia Looney Tunes saja, di humor-humor self-reference Lebron James saja, di cerita grounded ayah-anak sebagai fokus. Jika saja film enggak concern ke sekuel harus bigger…

Kritikus luar menganggap film ini adalah sebuah proyek iklan raksasa dari studi raksasa. Dan ternyata itu memang tidak melebih-lebihkan. Karena persis seperti itulah film ini terasa. Yang kusebutkan di paragraf-paragraf atas itu actually adalah hasil pemilahan yang sangat alot karena sebenarnya banyak sekali referensi-referensi melebar dan irelevan dengan cerita yang dimasukkan oleh film ini hampir dalam setiap kesempatan. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak berpuas diri dengan referensi kartun Looney Tunes dan beberapa Warner Bros lain seperti Tiny Toon, Animaniacs, Flinstones, atau Scooby Doo saja. Lebih masuk akal, apalagi kalo memang mengincar pasar anak-anak. Akan ada bagian ketika Bugs Bunny dan Lebron James berkeliling universe, untuk mengumpulkan anggota Looney Tunes yang mencar-mencar. Mereka masuk ke kartun DC, okelah masih bisa dimaklumi. At least, masih kartun.  Untuk anak-anak. Walaupun alasan mencar itu sendiri tidak kuat. Inilah yang jadi masalah. Cerita ini menangani ‘crossover’ tersebut seakan memang cuma ditujukan untuk promosi silang saja. Tidak diberikan muatan cerita atau alasan yang berintegrasi dengan tema ataupun konteks. 

Tapi tidak cukup di situ. Film ini memasukkan semua merek produk-produk Warner Bros. Dari yang di luar kartun kayak Harry Potter, Kong, hingga ke yang gak ramah anak pun nongol, kayak Rick and Morty, dan karakter di A Clockwork Orange. Untuk alasan hura-hura yang gak jelas, film ini membuat pertandingan basket James dan Dom ditonton oleh semua produk Warner Bros. Ini jadi distraksi dan annoying karena seperti film malah ngajak penonton untuk nunjuk-nunjuk “ih ada si anu, si itu” ketimbang beneran fokus kepada cerita yang mereka miliki. Ini kembali kepada fundamental kenapa dibuat seperti itu dan apakah memang harus dibuat seperti itu. Dari jawaban atas itulah, film ini runtuh. Karena mereka melakukan dan invest banyak untuk hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Dan gak perlu. Ketika membuat film, konsern sepenuhnya ya haruslah pada film itu sendiri. Tidak kemana-mana mengiklankan semua produk selagi bisa.

 

 

 

Hiburan di sini adalah melihat karakter Looney Tunes kembali melakukan hal yang membuat mereka, mereka. Melihat Lebron James melakukan yang ia bisa – main basket – dengan karakter-karakter kartun. Dalam lingkup cerita yang bisa relate dan punya pesan yang bagus. Hiburan di sini bukan melihat seliweran film-film lain – mengatakan mereka menghibur sama dengan mengatakan nonton iklan adalah hiburan bagi kita. Film ini, meskipun punya cerita yang lebih kuat dan emosional, terhimpun dari banyak sekali komponen untuk ngiklan. Film ini jadi besar karena memasukkan banyak iklan. Jadilah dia enggak cukup bagus sebagai sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPACE JAM: A NEW LEGACY

 

 

 

Th.. th… tha… that’s all, folks!

Karakter ikonik Looney Tunes Pepe le Pew (sigung yang bucin banget sama kucing bernama Penelope) dicut dari film ini karena dianggap sebagai salah satu produk rape culture, sehingga tidak baik bagi tontonan anak-anak. Bagaimana pendapat kalian tentang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

DORA AND THE LOST CITY OF GOLD Review

“The greatest adventure is the search for wisdom”

 

 

Dora, si bolang yang suka nanya-nanya itu, kini sudah gede. Petualangan kartun warna-warni yang kita saksikan di televisi dulu itu, disugestikan oleh film live-action ini, adalah sebagai imajinasi Dora yang tinggal di rumah di hutan bersama ayah dan ibunya yang arkeolog dan sesama petualang. Sebab, Dora juga tinggal di dalam dunianya sendiri. Tempat monyet bisa ngomong. Tas, dan peta bisa bernyanyi. Dan rubah bisa mencuri. ‘keberadaan’ mereka itulah awal masalahnya. Keluarganya khawatir Dora butuh teman yang bukan monyet atau buaya atau ular boa. Dora pun dikirim ke kota untuk tinggal bersama keluarga sepupu karibnya, Diego. Dora yang anak-hutan kayak Tarzan dimasukkan ke sekolah supaya berinteraksi dengan remaja-remaja sebayanya. Dia lalu berteman dengan Regina George dan cewek-cewek ‘plastik’ yang sok kecakepan. Eh, maaf, itu sinopsis Mean Girls (2004) gak sengaja kecampur. Cerita Dora di sekolah sedikit lain. Dora jelas enggak perlu nunggu hari Rabu untuk pakai baju pink. Malahan dia enggak begitu peduli untuk menjadi orang yang bukan dirinya meskipun anak-anak di sekolah – bahkan Diego – menganggapnya aneh.

Aku sebenarnya masih empet sama yang namanya live-action dari animasi atau kartun berkat Lion King 2019 (“Katakan ‘tidak’! Katakan ‘tidak’!”) Live-action seharusnya enggak maksa seperti itu. Harus ada penyesuaian ketika kita memindahkan dari tampilan satu ke tampilan lain, sementara harus tetap mempertahankan elemen yang disukai dari versi aslinya. Dora mengubah cemberutku menjadi senyuman. Paling enggak untuk separuh awal.

Film garapan James Bobin ini memiliki babak pertama dengan banyak kejadian menarik. Bobin paham cara memperlakukan elemen-elemen yang menjadikan kartun Dora spesial ke medium yang lebih ‘nyata’. Untuk kemudian bermain-main dengannya. Momen-momen khas (dan annoying) seperti Dora yang suka break the fourth wall dengan nanya ke kita (padahal jawabannya ada di depan mata!) tidak dihilangkan ataupun disalin mentah-mentah. Film mengenali betapa surealisnya sikap dan kebiasaan Dora, berteman dengan hewan dan benda mati, serta ngobrol seolah ada orang yang melihatnya. Film juga menekankan bahwa Dora adalah petualang yang cerdas, tangkas, dan pemberani. Film menggabungkan, menyesuaikan – ngomong seolah-olah ditonton itu simply paralel dengan kegiatan ngestory/ngevlog, dua unsur tersebut sehingga karakter Dora dalam film ini menjelma menjadi salah satu karakter paling menarik dalam film anak-anak.

Dora adalah remaja yang percaya diri, yang tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri. Namun dia juga adalah seorang yang kesepian. Yang ingin disampaikan oleh film lewat karakter Dora adalah betapapun pinternya, kita tetap tidak bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain. Petualangan Dora membuka pikirannya terhadap hal tersebut karena Dora terbantu oleh kemampuan ‘khusus’ yang dimiliki oleh teman-teman sekolahnya.

kebayang nonton sama anak-anak, terus mereka ngobrol sama Dora di layar bioskop kayak kita dulu ngobrol ama layar tv hihi

 

I got my eyes set on Isabela Moner sejak Instant Family (2019) awal tahun ini. Pendekatan natural Moner dalam men-tackle tokoh anak rebel yang sebenarnya stereotipe membuat tokoh itu menjadi luwes bergerak dalam range emosi yang jauh. Sebagai Dora, Moner mengemban tugas yang sekilas receh. Tapi ada unsur sureal, karena Dora menggunakan gelagat ceria dan quirky sebagai mekanisme pertahanan dari penolakan ataupun kemungkinan dikucilkan. Semua itu harus cewek ini sampaikan dalam nada komedi. Dan Moner punya penguasaan waktu-komedi yang tepat sehingga elemen-elemen kartun yang tokohnya sampaikan diterima oleh kita sebagai candaan yang menguatkan karakternya. Simak dengan selownya Moner mengucapkan dialog “Hutan bukan tempat berbahaya. Asalkan kita tidak menyentuh apapun. Dan tidak bernapas terlalu dalam”, atau adegan simpel ketika Dora menyapa semua manusia yang ia temui di bandara dan sekolah.

Dora and the Lost City of Gold bekerja terbaik ketika si Dora berada di kota beneran. Cerita fish-out-of-water yang disuguhkan tampak spesial oleh keunikan tokoh Dora. Dia menyebutnya ‘berinteraksi dengan orang lokal’. Aku ngakak ketika isi tas Dora dibongkar di gerbang sekolah, dan kita menemukan banyak benda-benda ‘survival di hutan’ di dalam sana. Film tampak ingin mengomentari bahwa kota tidak lebih baik daripada hutan. Dora mendapat momen ‘welcome to the jungle‘nya justru ketika dia berada di kota. Dia merasa lebih kesepian di sana ketimbang di antara pohon-pohon. Film akan berjalan di arah yang totally berbeda jika terus membahas Dora yang berusaha hidup di kota.

Sayangnya, naskah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Naskah melakukan pilihan aneh yang membuat cerita seperti udah maju, terus balik lagi. Dora ditarik kembali ke hutan karena diculik. Dia harus menemukan ayah dan ibunya yang menghilang dalam ekspedisi pencarian Kota Emas Parapata di hutan. Sebelum mereka ditemukan lebih dulu oleh para penculik yang bermaksud menangguk emas dari pengetahuan mereka. Jadi naskah film ini cerita bermula di hutan, kemudian inciting incident menyebabkan Dora harus pindah ke kota, namun plot poin-satunya membawa Dora kembali lagi ke hutan. Cerita fish-out-of-water malah berbalik ke teman-teman Dora yang harus belajar survive di hutan. Melihat Dora beraksi di ranah yang sudah ia jago, kendati exciting dan kocak, tetap tidak sebanding dengan tawaran yang sudah di-tease ke kita tentang Dora berusaha hidup bersosialisasi di kota. Petualangan Dora bersama teman-teman di hutan cukup seru. Seperti Indiana Jones versi cewek. Versi lebih cilik daripada kelihatannya. Eksplorasi mereka melingkupi pemecahan teka-teki hingga aksi meloloskan diri dari jebakan. Porsi aksi ini sebenarnya lumayan punya suspens. Tapi film senantiasa menarik diri kembali, mengingatkan kepada kita bahwa yang kita tonton ini tak lebih dari kartun anak-anak. Misalnya ketika Dora hendak tergencet tembok yang menutup; cara keluar dari situasi ini sangat kartun – melibatkan Boots CGI melakukan tingkah ‘ajaib’. Ada banyak adegan-adegan seperti petualangan beneran yang kemudian didaratkan oleh elemen kartun, meredamkan sense-of-danger. Yang dilakukan supaya tetap senada ama kartunnya, atau juga mungkin dirasa terlalu ‘berat’ untuk konsumsi anak-anak.

Parapata mungkin ada di parampatan depan sono, dek

 

Buat anak kecil memang film ini mengandung pembelajaran. Mereka bisa belajar soal mencari ilmu pengetahuan adalah hal yang mengasyikkan. Harta yang paling berharga dalam film ini bukan hanya keluarga, melainkan teman-teman dan ilmu. Film berpesan untuk tetap mencari ilmu sekalipun kau tampak aneh, diejek ‘nerd’, atau ‘dork‘ seperti Dora karenanya. Anak-anak akan dapat cepat menangkap pesan tersebut karena cerita dan adegan film ini memang dirancang untuk kepentingan mereka.

Tapi juga, menurutku film ini sedikit krisis eksistensi diri. Film tergiur untuk menjadi tontonan nostalgia untuk anak-anak yang dulu menonton kartunnya. Film mengambil tokoh remaja untuk menimbulkan kesan Dora tumbuh bersama mereka. Tapi ceritanya yang masih untuk anak kecil membuat Dora lebih cocok untuk anak kecil jaman sekarang. I mean, film ingin menarik bagi remaja atau yang lebih tua, tapi sekaligus juga hadir sebagai tontonan anak kecil. Ini sedikit membingungkan. Maka kita mendapat adegan Dora menggali lubang untuk buang-air sambil berdendang. Menurutku, keinginan film untuk menggapai lebih banyak lapisan penonton membuat penceritaannya menjadi setengah-setengah. Sepertinya akan lebih bagus jika terarah, Doranya tetap anak kecil dan ceritanya bertualang begini, atau Dora remaja dengan cerita dia di kota. Tapi tentu saja, bukan lagi Dora namanya jika tidak bertualang di hutan.

 

 

 

Jadi film memilih untuk tidak menjadi lebih besar dari yang ia bisa. Film mengadaptasi banyak elemen unik dari kartun, dan mengolahnya untuk menghidupkan Dora-yang-sama tapi dalam lingkungan baru yang supposedly lebih real, untuk penonton anak-anak jaman kekinian. Buatku masalah film ini bukan pada pilihannya menjadi receh atau menjadi film anak-anak banget. Dora justru punya pesona di ranah itu. Tapi adaptasi kartun Nickelodeon ini terbingungkan oleh nostalgia, sehingga naskah jadi sedikit messy. Ini gak akan jadi masalah untuk anak-anak sih, mereka akan senang sekali diajak orangtua dan kakak mereka kenalan ama Dora dan Boots, bernyanyi dan bertualang bersama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DORA AND THE LOST CITY OF GOLD