TROLLS WORLD TOUR Review

“When people talk, listen completely.”
 

 
 
Dengan lagu-lagu cover yang ngehits dan vocal Anna Kendrick, Trolls – semenjak film pertamanya di 2015 dan kini, World Tour – udah kayak Pitch Perfect buat anak-anak. And by that I mean, film ini lebih berwarna. Lebih imajinatif. Dan juga lebih annoying.
Poppy, yang sekarang udah jadi Ratu, mendapat undangan untuk berkeliling dunia mengadakan konser besar-besaran dari seseorang bernama Barb, Ratu dari Troll Rock. Undangan tersebut menguak sejarah bahwa ternyata Poppy, Branch, Biggie, dan teman-teman di desa warna warni itu bukan satu-satunya Troll di dunia. Ada enam ‘jenis’ Troll lagi, dan masing-masing mereka menyanyikan musik yang berbeda. Ada rock, funk, country, classic, techno, dan tentu saja; pop, yang merupakan musik bangsa Troll Poppy. Mengetahui hal tersebut, Poppy berniat datang walaupun dilarang oleh ayahnya, karena Poppy yakin musik akan menyatukan perbedaan di antara keenam bangsa Troll yang terpisah karena leluhur masing-masing menyangka musik merekalah yang paling baik. Poppy pun berangkat diam-diam tanpa mengetahui bahwa Barb juga punya rencana seperti dirinya. Hanya saja rencananya jahat. Barb ingin mengambil Senar dari masing-masing bangsa (mengambil dalam artian merebut dan menghancurkan kota mereka), menyatukan keenamnya, sehingga nanti seluruh dunia akan bersatu di bawah kepemimpinannya.

One nation under rock!

 
Trolls selalu merupakan tipe film yang sangat cocok ditonton dalam masa-masa kita bosan gak ngapa-ngapain di rumah, karena memang tujuan film ini hanya pengen menghibur. Ini adalah teman bagi anak-anak untuk bernyanyi dan ketawa-tawa. Kita bisa saja menontonnya dengan kritis, but it would be pointless karena keseluruhan film ini vibe-nya adalah ‘we just don’t care selain buat mengisi waktu’. Tadinya aku juga gak kepikiran mau bikin review; aku ingin give it a pass, seperti yang kulakukan pada film pertama. Aku suka sama singing voice Kendrick sejak di Pitch Perfect, jadi aku nonton aja. Tapi Trolls World Tour ini ternyata sedikit spesial keberadaannya. Dia nongol saat semua dunia practically mengurung diri, dan tak-pelak menjadi film besar pertama yang beneran tayang sesuai jadwal di bioskop; di saat film-film lain mundur, Trolls World Tour dengan nekat ‘pindah’ dari bioskop ke VOD (Video on Demand). Jadi, film ini sekarang adalah bagian dari sejarah – siapa yang tahu pandemi ini bakal sampai kapan, film-film bioskop cepat atau lambat akan ngikutin langkah film ini – ia adalah pioneer, dan aku harus mencatat film ini di blog. But I’m not gonna go easy on this movie.
Sama seperti pada film pertama, Trolls World Tour sangat memanjakan mata anak-anak. Dunia yang tampak lucu, lembut, dan aman. Air terjun dari plastik yang berkilau, pohon dan bukit yang seperti dari gulungan benang, buku yang tampak begitu empuk terjahit dengan rapi. Dunia Troll yang lain pun tergambar dengan sama ‘manja’nya, benar-benar membuat kita berada seperti di dunia troll mainan. Setiap dunia diberikan kekhasan yang memuaskan imajinasi anak-anak. Film ini dengan niat dibuat untuk mereka. Bahkan dengan semua keimutan visual tersebut, demi menjamin anak kecil enggak cepat bosan, film menyiapkan banyak lagu-lagu cover. Pola film ini adalah cerita dikit – nyanyi – cerita dikit – nyanyi. Cerita kok dikit-dikit. Bagi penonton dewasa yang mengharapkan cerita yang lebih dikembangkan, film ini memang akan cukup menjengkelkan. Karena film seperti lebih tertarik untuk bernyanyi ketimbang bercerita. Dan yang lebih jengkel lagi adalah, lagu-lagu yang dinyanyikan begitu random. Lagu populer yang dipilih, bukan lagu original alias lagu yang diciptakan untuk film ini. Pemilihan lagunya tidak banyak melewati proses berpikir. Film memasukkan yang catchy dan enggak bikin bosen. Kreatif yang diperlihatkan hanya sebatas mengganti lirik bila diperlukan (seperti ‘girl’ menjadi ‘troll dalam lagu Girl Just Wanna Have Fun) biar lebih cocok dengan karakter.
Dari enam troll dengan musik yang berbeda-beda, pesan film untuk dibawa bersosialisasi oleh anak-anak terpampang cukup jelas. Bahwa semua orang berbeda dan kita harus merayakan perbedaan tersebut karena semua punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Enam bangsa Troll yang berbeda rupa karena ras dan golongan mengajarkan kepada anak menghormati dan mengenali setiap perbedaan, memberinya kesempatan untuk berkembang; bertoleransi alih-alih menyeragamkan. Tapi juga tak kalah pentingnya dari kiasaan tersebut adalah perbedaan yang literally dipampang oleh film, yakni perbedaan selera musik. Like, selain pop dalam film ini ada banyak genre musik yang ditampilkan. Trolls World Tour dapat membuka wawasan anak terhadap musik dengan cara yang simpel – ntar mereka pas udah dewasa bisa mempelajari sejarah musik beneran, but for now film ini berfungsi dengan baik sebagai penghantar. Dan personally aku senang film ini memperkenalkan musik rock kepada anak-anak jaman sekarang yang tahunya hanya musik-musik yang pakek auto-tune. Saat begitulah tepatnya aku sadar soal musik dalam film ini juga penting.
Musik adalah soal selera, dan saat bicara selera orang bakal cenderung fanatik. Kita terkotak-kotak karena hal-hal seperti selera film atau musik. Anak indie kopi senja ngeledek anak K-Pop. Anak rock ngeledek anak EDM. Anak punk ngeledek anak jazz. Anak hiphop ngeledek anak dangdut. Padahal toh semestinya tidak begitu. Film ini menunjukkan bahwa semua musik sama pentingnya karena mereka semua berasal dari hati. Film mengajarkan kita untuk berdampingan dengan selera orang lain, karena perbedaan menghasilkan harmoni yang lebih hebat dari apapun yang berjalan sendirian di muka bumi. Kita tidak harus mengotakkan diri pada perbedaan, ataupun tidak menyuruh perbedaan menjadi bersatu agar sama. Melainkan biarkan dan kenali perbedaan. Dengarkan nada-nada yang berbeda tersebut, karena di situlah persatuan yang sesungguhnya

Musik itu kayak orang. If you love them, you’d listen to them. Saat orang lain berbicara, maka dengarkanlah dengan tuntas. Masalahnya, kita cenderung seperti Poppy. Kita seringkali belum mendengarkan dengan baik. Kebanyakan kita hanya mendengarkan dengan tujuan untuk menjawab, untuk membalas. Padahal mendengarkan dengan baik itu maksudnya adalah kita mendengar mereka dengan niat untuk dapat mengerti apa yang sedang diutarakan.

 
 
Soal harmoni dan mengembrace perbedaan sebenarnya sudah duluan kita dapatkan dari film musikal anak buatan lokal tahun lalu. Jika kalian sempat menonton Doremi & You (2019) maka kalian akan menemukan banyak kesamaan gagasan modern juga disampaikan lewat mash up lagu-lagu. Gagasan film itu semakin terasa progresif karena tayang berbarengan dengan Rumah Merah Putih; film anak lain yang mengusung tema perbedaan tapi dengan cara yang lebih tradisional. Film tersebut memandang perbedaan sebagai sesuatu yang harus diseragamkan; anak dari suku bangsa berbeda bicara dengan logat yang sama, mereka berpakaian seragam, hormat dalam upacara bendera. Doremi & You hadir dengan warna-warna. Pakaian seragam sekolah tokohnya enggak sama persis, melainkan dengan corak dan warna berbeda. Para tokoh bernyanyi dan bicara dengan kekhasan daerah masing-masing. Meskipun konflik Doremi & You dengan Trolls World Tour jauh berbeda, akan tetapi inner journey tokoh Putri dan tokoh Poppy sama persis. Mereka tadinya sama-sama pengen menyatukan kelompok, mengambil persamaan dalam setiap perbedaan. Mereka sama-sama enggak mendengarkan dengan baik. Namun di akhir cerita, mereka sama-sama belajar cara yang benar dalam merayakan perbedaan; cara yang benar untuk menghormati semua orang.

Petualangan mengumpulkan Infinity Ston… eh, Six Strings!

 
 
Dari perbandingan dua karakter tadi, kita akan menemukan Doremi & You merupakan penceritaan yang sedikit lebih baik dibandingkan Trolls World Tour. Putri merepresentasikan tokoh anak masa kini dengan lebih pas; ‘cacat’ karakternya bisa kita pahami dan tidak tampak seperti kemalasan naskah. Sedangkan Poppy tergambar sebagai karakter dengan kesalahan dan outright annoying. Sikapnya yang berusaha selalu optimis terasa tidak genuine karena setiap pilihan yang ia lakukan just don’t make sense. Ketika Putri meyalahkan teman-temannya padahal salah dirinya lah mereka jadi bermain dan sembrono sehingga menyebabkan duit kas hilang, kita tahu dia anaknya ngeboss, dan memang ada anak yang berkarakter seperti demikian di luar sana; maka film itu bisa jadi pembelajaran yang berharga buat anak-anak seperti demikian. Namun pada kasus Poppy, Ratu yang berusaha menjadi ratu yang baik dan didengarkan oleh rakyat, kebanyakan pilihan dan perintahnya mengada-ada. Ketika Branch mau membaca manual menerbangkan balon udara, Poppy membuang buku dan menyuruhnya untuk ‘just do it’ sambil tertawa-tawa. Kita melihat mereka hampir nabrak karena ulahnya ini. Kita tidak menemukan alasan untuk berada di belakang Poppy, mengikuti journeynya, karena kita tidak dapat melihat ada representasi nyata dari karakter Poppy. Kita lebih gravitate ke arah Branch karena tokoh yang disuarakan Justin Timberlake ini simply lebih ‘manusiawi’.
 
 
 
Itu semua karena film tidak meluangkan banyak waktu untuk develop karakter-karakternya. Momen untuk film ini benar-benar banyak tidak banyak, karena sebagian besar durasi didedikasikan untuk lagu-lagu cover yang bahkan enggak punya pesan paralel dengan kejadian yang sedang terjadi selain mereka berusaha menyanyikan satu genre di tempat yang enggak menghargai genre tersebut. Lagu-lagunya hadir begitu saja, tanpa banyak alasan. Seolah kitalah yang bego dan gak-asik karena mikirin gimana ceritanya Gangnam Style termasuk lagu paling penting dalam kamus Poppy tapi kemudian mereka menganggap K-Pop sebagai hal asing dan bukan bagian dari Pop. Film ini, yang mestinya adalah petualangan, menjadi repetitif yang annoying. Lagu, kenaifan Poppy, lagu lagi. Film jadi seperti lebih ingin mengajak kita bernyanyi dan melihat desain-desain tokoh yang unik nan imut untuk dijadikan mainan. Dan ini tentunya bakal sangat menghibur, terutama di saat-saat kita semua sedang terkurung entah-sampai-kapan. But as far as film goes, ada banyak film anak-anak musikal lain yang sanggup menyampaikan pesan yang baik dalam penceritaan yang lebih asyik daripada film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TROLLS WORLD TOUR.

 
 
 
That’s all we have for now.
What’s your favorite kind of music? Jika kalian adalah troll, kalian bakal jadi Bangsa yang mana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

TABU: MENGUSIK GERBANG IBLIS Review

“Hope in reality is the worst of all evils because it prolongs the torments of man.”

 

 

 

Ada ungkapan yang menyebutkan rasa penasaran membunuh seekor kucing. Rasa penasaran di sini maksudnya bisa bermacam-macam; rasa keingintahuan yang begitu besar, perasaan tak-tuntas yang ingin diselesaikan, juga sesuatu mengganjal yang ingin dipuaskan. Rasa-rasa tersebut sering menjerumuskan kepada melakukan hal-hal yang tak perlu, sia-sia, malah mungkin berbahaya. Kata berikutnya yang masih menjadi misteri; siapakah kucing dalam ungkapan tersebut? Seseorang yang masih terusik oleh rasa penasarannya; seseorang yang semakin dilarang maka semakin dilakukan.

‘Kucing’ dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis adalah Keyla dan teman-temannya yang nekat pergi ke Leuweung Hejo demi mencari penampakan makhluk halus. Bermodal kamera, peralatan kemping, dan baju ganti seragam, mereka menerobos hutan, melanggar begitu banyak pantangan, bermalam di situs angker tersebut. Dan benar saja, belum sempat bibir kita mengucapkan “penyakit kok dicari”, Diaz, salah satu teman Keyla yang paling napsu motoin hantu, kesurupan. Kemudian muncul sesosok bocah misterius. Gak jelas juga hubungannya apa si anak dengan kesurupan yang dialami Diaz. Untuk alasan tertentu pula, Keyla malah membawa anak tersebut pulang ke kota bersama mereka semua yang lari kocar-kacir dikejar nenek-nenek berkuku hitam.

Datang berenam, pulang bertujuh… hayo di hutan ngapaiiiinnnn?

 

Tabu: Mengusik Gerbang Iblis nyatanya adalah salah satu kelangkaan – dari sekian banyak horor yang dibuat oleh Indonesia tahun belakangan ini, Tabu merupakan salah satu dari sedikit sekali yang benar-benar punya cerita untuk disampaikan. Tabu membawa kita menyelam ke dalam penjelajahan rasa penasaran terhadap suatu peristiwa kehilangan. Ia membahas bagaimana rasa kepuasaan itu belum datang, jadi seorang akan terus mencari jawaban. Yang terjadi kepada Keyla adalah harapan dalam wujud terburuk. Keluarga Keyla terpecah oleh satu tragedi di masa lalu, saat Keyla masih terlalu kecil untuk seragam SMAnya. Tragedi tersebutlah yang membentuk pribadi Keyla di masa sekarang, kita melihat dia yang paling ‘takut’ tapi toh tetap ikut dalam setiap ekspedisi menyeramkan. Dia ingin mencari closure atas kejadian tersebut, jadi dia tetap mencari meskipun dia tahu kebenarannya.

 Rasa kehilangan masih terus menghantui seseorang yang berduka. Itulah ketika harapan berubah menjadi siksaan. Apapun yang kita lakukan untuk menutupinya, hati yang belum ikhlas tetap tidak akan tenang. Dalam film ini, kita akan melihat rasa yang disalahartikan sebagai harapan itu menjadi bumerang.

 

 

Hebatnya, film ini tidak menceritakan itu semua lewat dialog alias secara gamblang. Kengerian, apa yang dirasakan oleh Keyla dan keluarganya direkam secara subtil oleh kamera. Lihat juga bagaimana kamera ‘menceritakan’ hutan sebagai tempat mengerikan dan berbahaya lewat selipan shot-shot hewan liar seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Transisi dari ketika satu tokoh menciptakan realita sendiri, tetapi kemudian penyadaran itu tiba, dan dia dihempaskan lagi ke realita beneran, dilakukan dengan begitu mulus oleh pergerakan kamera yang menangkap gestur-gestur terkecil dari si tokoh. Film tidak pernah gagal menangkap sudut pandang. Semuanya diceritakan dengan cermat dan efisien. Bahkan subplot yang menurutku kocak – film ini punya nyali untuk masukin subplot cinta segitiga yang enggak benar-benar berujung – juga dilakukan dengan seperti ‘cicak’ begini; you know, diam-diam merayap dan kena. Sedari adegan pembuka di dalam gua, kita bisa paham bahwa film ini digarap dengan perhatian tinggi kepada artistry. Film ini tahu cara menceritakan sesuatu yang klise dengan membuatnya tidak metodical. Namun juga tetap mudah untuk disukai – ada banyak hal-hal yang jadi favorit penonton horor yang dapat ditemukan di sini; kematian tokoh yang menyakitkan, sosok hantu yang seram, dan jumpscare yang tepat waktu.

Maka dari itulah, aku tidak mengerti kenapa film ini memilih untuk memulai ceritanya dengan cara dan siatuasi yang paling tidak menarik (lagi) sedunia akhirat. Sekelompok remaja yang ke hutan nyari setan. Basi! Kenapa membuka dari sini jika engkau punya kisah tragis keluarga yang kehilangan anaknya. Film memilih untuk merahasiakan elemen utama cerita di awal, bahkan Keyla juga ‘disembunyikan’ – kita tidak tahu bahwa ternyata dia adalah tokoh utama sampai dia memilih untuk membawa bocah misterius tersebut ikut pulang ke rumah, dan aku gagal mengerti alasan di balik keputusan yang diambil oleh film ini. Sebab jadinya sama sekali tidak ada yang menarik pada babak pertama. Para remaja itu tidak punya motivasi yang cukup dan alasan yang jelas; kenapa harus moto hantu, kenapa harus tempat angker yang itu, kita tidak tahu apa-apa dan mereka tidak memberikan alasan kenapa kita harus peduli kepada mereka. Jujur, aku sudah siap jiwa raga untuk menjelek-jelekkan film ini, udah senam pipi – siap untuk menertawakan sekerasnya hal-hal bego yang kusangka akan dilakukan. Dan persiapanku tadi jadi tak berguna karena ternyata aku menemukan sedikit sekali yang bisa ditertawakan. Yah, selain nenek Diaz yang dengan potongan rambut begitu membuatnya mirip sekali dengan Jamie Lee Curtis di serial Scream Queen.

Dan seolah setiap ayat punya fungsi dan efek berbeda terhadap hantu-hantu

 

Babak kedua hingga akhirnya di mana film dengan tepat menginjak nada ngeri dan tragedi. Aku bahkan sedikit  ter-throwback ria melihat Mona Ratuliu menggunakan bahasa isyarat (ketahuan deh, umurku huhuu). Bahkan tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh remajanya enggak se-annoying yang sudah aku antisipasi. Mereka masih bersikap masuk akal dan reasonable, meskipun tak ada pembelaan untuk kualitas akting yang menghidupkan mereka. Namun begitu, awalan film inilah yang justru paling banyak andil dalam menurunkan nilai secara keseluruhan. keputusan untuk memasang semacam twist pada tokoh utama, ultimately melemahkan cerita karena pembangunan karakter adalah hal yang sangat penting. Kita dihalang untuk masuk ke dalam kepala Keyla, seolah pikiran dan emosinya tabu untuk kita ketahui. Malahan di awal-awal, film seperti menunjuk Diaz sebagai tokoh utama. Dan kemudian membelokkannya untuk efek dramatis. Tak perlu seperti itu, Keyla punya cukup backstory dan landasan emosi yang mampu membuat tokoh ini menjadi dramatis jikapun dikembangkan sedari awal.

Yang film ini lakukan malah membuat karakter Keyla terasa tidak ‘klik’, di awal dia terlihat paling enggak semangat untuk TKP. Padahal justru sebenarnya dia yang paling punya motivasi untuk ke sana. Meskipun inner journey Keyla semakin dapat terbaca seiring berjalannya film, tetapi film tetap tidak memperlakukan tokoh ini sebagai protagonis yang beraksi. Keyla, dengan segala keterbatasan akting Isel Fricella, kebanyakan hanya berteriak menyaksikan tokoh-tokoh lain berjuang ataupun tertangkap oleh hantu-hantu. Juga aneh film tidak memperlihatkan momen perubahan tokoh Keyla. Alih-alih, kita diperlihatkan ibunya yang berjuang untuk mengikhlaskan. Keyla seperti ikhlas begitu saja saat kita ditunjukan adegan dia menoleh ke belakang melihat sosok yang dibuat bisa berarti hantu atau hanya imajinasi yang menyimbolkan perpisahan damai yang dilakukan oleh Keyla dengan tragedinya.

 

 

 

 

Sense misterinya kuat. Penceritaan yang efektif. Tokoh-tokoh yang tidak terlalu over-the-top. Film ini punya bumbu-bumbu sebuah film horor yang bagus. Namun pilihan untuk membuka film, babak pertama, tidak menguntungkan film karena tidak menarik dan benar-benar menonjolkan keklisean. Film baru benar-benar bekerja di babak kedua, like, kalo kalian tidur atau bahkan telat masuk ke bioskop tiga-puluh menit, dan hanya menonton dari babak keduanya saja, kalian pasti akan bilang film ini bagus banget. Begitu anehnya pilihan yang dilakukan oleh film ini. Dan jangan kira ini seperti yang dilakukan oleh One Cut of the Dead (2018); film itu juga punya babak awal yang lemah namun dilakukan dengan sengaja untuk menguatkan konteks tema besarnya. Tidak demikian. Sebaliknya, babak pertama film ini tidak menambah banyak terhadap konteks karena diniatkan sebagai twist. The film works in no favor of it’s protagonist. Dia menutupi tokoh utamanya, dan sepertinya lupa sama sekali untuk menimbulkannya kembali sebagai karakter.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for TABU: MENGUSIK GERBANG IBLIS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Keyla dan keluarga, walaupun tahu itu hantu, tapi mereka masih tetap menyayangi sang adik. Kalian takut gak sih didatengi hantu kerabat sendiri? Bagaimana kalian meyakinkan diri itu beneran mereka dan bukan hantu lain yang menyamar? Menurut kalian darimana rasa penasaran Keyla muncul?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.