DILAN 1990 Review

“The last generation’s worst fears become the next one’s B-grade entertainment

 

 

Tidak hingga duduk di bioskop menonton Dilan 1990lah, aku baru menyadari bahwa tahun 1990 itu sudah begitu jauh tertinggal di belakang. I mean, kita lebih dekat ke 2030 ketimbang balik ke masa Dilan pacaran lewat telepon umum sama Milea. Bayangkan ini sejenak, pliss.. Ini bukan masalah aku merasa tua (dooo yang tua gak mau ngakuu), tetapi melihat apa yang Dilan dan Milea lakukan, kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari, gaya pacaran mereka yang tampak ajaib dan sangat menarik bagi penonton remaja di dalam studio tadi, membuatku tersadar;

Memang perjuangan generasi lain terbukti adalah hiburan buat generasi sesudahnya.

 

Jika ditayangkan di era 90an, film ini pastilah laris manis sebagai kisah cinta yang juga manis. Tapi, bagi kita yang menontonnya di tahun 2018, Dilan 1990 adalah sebuah romansa remaja yang unik. Di sinilah letak kekuatan film; dirinya terlihat beda sekaligus masih relevan dengan kondisi kekinian. Dilan, Milea, orangtua, guru, dan teman-teman mereka terasa seperti orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka lakukanlah yang bakal menarik minat kita, terutama Dilan. Hal-hal kecil kayak kerupuk dan percakapan sepele dan terlihat gak-jelas mereka memang romantis in their own unique way. Sebagian besar penonton mungkin gak akan pernah mengalami rasanya deg-degan nelfon ke rumah gebetan dengan stake bokap yang galak bisa saja yang mengangkat telfon. Atau belum pada pernah kan nelpon gebetan tapi yang ngangkat malah pembantu yang gak kalah genitnya? haha… Belum lagi mempertaruhkan koin untuk membayar telpon umum. Film ini menggambarkan itu semua dengan sederhana, sehingga tak pelak menjadi kocak.

Kisah adaptasi novel ini dibuka dengan sosok Milea yang sudah dewasa mengetik di laptopnya. Dia menulis cerita semasa SMA, ketika dia pindah ke Bandung, dan menjadi murid baru. Cerita yang ditulis Milea inilah yang menjelma jadi tontonan kita. Milea yang cakep (Vanesha Prescilla tampak seperti gak berakting di debutnya ini) lantas jadi primadona baru. Banyak yang naksir. Terutama si Dilan (meski sempat diragukan penggemar novel, Iqbal Ramadhan menghidupkan tokohnya dengan cukup kompeten). Cowok anak geng motor ini punya cara yang paling berbeda dalam mendekati Milea. Dia mengaku peramal. Ramalan ngasal, hadiah-hadiah aneh,  dan kegigihan Dilan tampaknya memang cukup ampuh. Milea luluh. Dan kita dibuat terenyuh melihat akrab dan dekatnya mereka. Sedikit konflik yang dihadirkan film ini adalah ketika masa lalu Milea datang, begitupun saat dunia geng motor Dilan menyebrang di lalu lintas roman mereka.

easter egg menyenangkan buatku; Vanesha membaca Olga dan Sepatu Roda, dan kakak Vanesha – Sissy – pernah meranin Olga di serial tv~

 

Hampir mustahil untuk membenci film ini, it’s a very lighthearted teenage… um, aku mau bilang ‘teenage drama’ tapi sepertinya kurang tepat. Lantaran there’s hardly  any dramas presented here. Konflik dalam cerita muncul di akhir-akhir dan semacam datang gitu aja. Klimaksnya nyaris enggak ada. Ini tentu saja dapat jadi ‘meh’ buat sebagian penonton, terutama yang menginginkan tantangan dalam cerita. Buatku, Dilan 1990 berlalu begitu saja. Aku tidak merasakan apa-apa kepada film ini. Kecuali mungkin sedikit kebosanan. Aku gak tahu ke arah mana narasi berjalan. Bahkan hingga ke menit 100an pun, aku belum bisa meraba apa end game film ini. Maksudnya, KENAPA MILEA DEWASA MENCERITAKAN SEMUA ITU KEPADA KITA. Motivasi Milea ingin menceritakan tentang cowok yang mengiriminya TTS yang udah diisi – kenapa kita harus peduli tentang itu? Kenapa kita wajib tahu siapa yang mengajarin dia pentingnya mengucapkan selamat tidur setiap malam? Film sangat kurang dalam mengeksplorasi ini. Bukan tanpa tujuan, hanya saja tujuannya sangat enggak penting, enggak mencengkeram. Katakanlah, jika kita melihat pada saat dewasa mereka tidak bersama, atau eventually menikah, atau ada sesuatu yang terjadi kepada Dilan saat dewasa, film ini akan terasa terpenuhi. Tapi film tidak memberikan alasan untuk kita peduli kepada apa yang terjadi, alasan kenapa kita harus menonton semua ini selain materinya berasa dari novel yang sangat populer.

Sebagai karakter, Milea kayak kertas putih. Kertas yang bakal ditulisi oleh tokoh-tokoh lain.Milea nyaris tidak punya karakter sendiri. Kita tidak melihat siapa dia on the inside untuk setengah film. Aku mempertanyakan pilihan cerita ketika Milea dijadikan sektretaris tanpa alasan, padahal itu adalah waktu yang bagus untuk menunjukkan traits baik yang dimiliki oleh karakternya. Keputusan personal yang dibuat sendiri oleh Milea muncul di paruh akhir, ketika dia ngelarang Dilan ikut berantem dengan geng motor. Film harusnya berputar membahas ini lebih banyak. Ada satu sekuen yang menurutku akan menarik sekali jika ditarik konflik, yaitu saat Milea memutuskan untuk membereskan kamar Dilan. Ini merefleksikan Milea ingin ‘memperbaiki’ Dilan, dan menurutku gak bakal ada yang senang disuruh berubah, bahkan oleh pasangan. You don’t just go around fixing people stuff. Tapi nyatanya, sekuen ini hanya digunakan oleh narasi sebagai device Milea mengetahui puisi buatan Dilan.

Rindu itu berat. Kadang pelampiasan yang bisa kita usahakan hanya dengan menuliskannya. Hanya kenangan yang dipunya Milea.

 

Ada alasannya kenapa aku lebih suka baca Lupus dan Olga ketimbang membaca novel seperti Dilan. Dalam Lupus, kalimat romantis yang kita temui adalah semacam “Masih ada becak yang bakal mangkal”. Kedengarannya lebih akrab, dan lebih mungkin untuk diucapkan tanpa mengurangi maknanya. Mendengar bahasa Dilan kepada Milea, kadang terasa menggelikan. Dilan ini udah kayak Gusur digabung ama Boim kalo di novel Lupus. Dia enggak exactly tokoh yang menguar karisma karena film tidak pernah benar-benar adil dalam menyorotnya. Dilan menghajar guru karena leher bajunya ditarik. Dia tidak berasal dari keluarga broken home, seperti trope kebanyakan. Dari kutipan poster di kamarnya, kita dapat melihat motivasi kenapa Dilan bergabung dalam geng motor, kenapa dia bandel, tapi moral Dilan tidak pernah benar-benar convincing. Kita mestinya bersimpati padanya, tapi aku bahkan gak tau kenapa Dilan jatuh cinta kepada Milea.

Setiap Dilang ngomong, pengen nimpalin dengan “Eaaaa!” “Eaaaaa!”

 

Tidak ada layer di dalam cerita; sesungguhnya ini pun turut menjadi masalah pada film-film remaja lokal yang lain. Kebanyakan hanya tentang bad boy yang sebenarnya baek, pacaran ama cewek baek-baek (yang seringnya sih anak baru), lalu ada cinta segitiga, dan ada sobat cewek yang biasanya cupu dan naksir diem-diem. Ini trope usang yang selau dipake di romansa remaja film Indonesia. Menonton aspek ini setelah di dunia ada yang namanya Lady Bird (2017) adalah kemunduran yang nyata. Sebagian besar waktu, film tampak dibuat dengan kompeten. Mereka berusaha mewujudkan periode 1990 ke layar, dan seperti yang kubilang tadi aspek ini adalah yang menonjol baik dalam Dilan 1990. Di babak awal saja, konstruksi adegannya monoton; kita akan sering banget melihat adegan semacam Milea lagi diskusi atau ngobrol, kemudian datang distraksi dari Dilan entah itu dalam wujud surat atau memang hadir langsung, dan ditutup dengan Milea ngerasa canggung dan musik yang so sweet mengalun di latar. Juga ada adegan berantem, yang menurutku masih perlu banyak ‘dikerjain’ lagi. Kamera masih goyang gak jelas. Turut mengganggu pula beberapa penggunaan CGI, green-screen yang gak benar-benar diperlukan. Begitu pula halnya dengan penggunaan montase flashback yang memberikan sensasi manis yang palsu, dan merendahkan daya ingat penonton.

 

 

Kalo remaja mencari jati diri, maka film ini adalah remaja abadi yang terus mencari tanpa dirinya pernah tahu di mana pentingnya yang ia diceritakan. Romansa yang ditampilkan memang unik dan menyenangkan, banyak remaja akan suka film ini. Pemainnya pun kece-kece. Tapi film mestinya lebih dari sebuah pemandangan cinta. Aku gak membenci film ini, malahan aku bilang hampir mustahil ada yang nonton dan bilang benci. Selain bosan dan geli-geli, film ini tidak memberikanku apa-apa lagi karena poin narasinya tidak pernah membuat kita benar-benar peduli. Mungkin urgensi itu tertinggal di tahun 90an. Aku gak tahu. Aku bukan peramal.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DILAN 1990

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.