“You can call me a monster. That’s fine. It honestly doesn’t bother me. Because you see, that’s what society does, they put labels on things they don’t understand.”
Monster besutan Kore-eda Hirokazu seperti mengajak kita bermain-main dengan prasangka. Vibe yang dibuat misterius lewat konsep melihat kejadian dari berbagai sudut seolah menuntun kita kepada pertanyaan “siapa sebenarnya yang monster di sini?” Aku sendiri teringat sama kalimat promo dari salah satu superstar WWE jagoanku, Bray Wyatt (rest in peace). Kalimat yang aku kutip sebagai penggalan pengantar ulasan ini. Basically karakter/gimmick Bray Wyatt saat mengucapkan itu adalah seorang yang merasa dirinya berbeda, dan orang-orang yang tidak mengerti dirinya, takut kepadanya. Mencampakkan dirinya. Namun upon arriving to the squared-circle, Bray telah mengembrace perbedaan dirinya, dan menjadikan itu sebagai kekuatan. He now takes back control from them. Dia tidak lagi peduli sama yang orang-orang katakan terhadapnya. Kalimat itu mengantarkanku kepada pemahaman bahwa film Monster pada intinya adalah sebuah journey menuju self honesty seperti yang telah diembrace oleh Bray Wyatt (walau karakter film ini tidak mesti berakhir jadi sekelam Bray Wyatt). Dan dalam journey nya tersebut, setidaknya ada empat jenis ‘monster’ yang dibicarakan oleh karya Kore-eda ini.
Jika kita sama judgmental-nya dengan society yang suka dengan cepat melabeli orang yang ‘berbeda’ sebagai monster, atau alien, atau whatever, maka kita juga akan cepat melepehkan film ini without giving it much thought. Naskahnya, dari luar, tampak berpindah ke mana-mana tanpa karakter utama yang jelas. Konsep kembali kepada kejadian A tapi dari perspektif yang berbeda, bisa sekilas tampak seperti usaha manipulatif arahan yang menyandarkan diri kepada kejutan-kejutan dari pengungkapan kejadian. Monster dibuka dari seorang single mother yang merasa kelakukan anaknya yang baru kelas 5 SD jadi berubah, dan dia mencurigai itu semua karena ulah wali kelas anaknya di sekolah. Sehingga si ibu mulai mencecar sekolah yang juga tampak menutup-nutupi kejadian. Kemudian cerita memindahkan kita ke belakang si wali kelas, guru cowok yang ternyata tidak sejahat ataupun seaneh kelihatannya. Dan finally di pertengahan akhir, film akhirnya settled di bahasan dari perspektif Minato, si anak kelas 5, yang sikap dan tingkah lakunya bikin cemas ibunya tadi. Bukan hanya tiga perspektif, film ini actually juga bisa dibilang berpindah genre tiga kali. Di awal seperti thriller, lalu jadi studi karakter yang ironis, dan berakhir sebagai drama anak-anak. Perpindahan tersebut tidak dilakukan dengan se’sopan’ cara film menceritakan/mengeksplorasi tiap sudut pandang karakter (lewat sinematografi dan musik yang brilian), melainkan dengan deliberately rough. Kembali ke kejadian sebelumnya dengan memusingkan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang membuat kita urung menjudge terlalu cepat. Desain yang diniatkan seperti begini, justru semakin menarikku masuk dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Kore-eda melakukannya seperti ini?”
Kenapa, jika cuma ingin memperlihatkan prasangka yang ternyata membuat semua orang adalah ‘monster’ bagi orang lain, film berkutat lama di perspektif Minota dan ‘teman rahasianya’ Yori Hoshikawa?
Kenapa pula, jika inti yang ingin diceritakan itu adalah drama anak yang merasakan sesuatu yang tak-biasa di dalam dirinya, film ini harus melewati perspektif karakter yang lain terlebih dahulu?
Clearly, film ingin penonton merasakan. Bukan hanya merasakan dramatic irony, ataupun kejutan-kejutan ‘oh ternyata dia begini, dia tidak jahat, dan sebagainya’. Melainkan film ingin penonton merasakan atau mengalami sendiri keadaan yang menciptakan berbagai bentuk monster. Dan ultimately film ingin penonton merasakan journey yang dialami oleh seseorang ketika dia mulai merasa benar dirinya adalah monster.
Kita diperlihatkan gimana monster di film ini terbentuk lewat bagian awal yang membahas perspektif ibu Minato. Gimana bola liar desas desus membuat dia jadi mengantagoniskan pak guru. Lalu membesar mencurigai pihak sekolah, mencurigai kepsek. Bahkan si ibu jadi melihat Minato, anaknya sendiri sebagai ‘monster’. Bentuk monster pertama yang diperlihatkan oleh film adalah monster prasangka. Pak Guru yang malang; hanya karena pembawaan dan gesturnya, apapun yang ia lakukan (meskipun niatnya baik) mudah disalahartikan oleh orang lain sebagai tindakan yang creepy. The worst part about monster tipe ini adalah, dirinya sendiri tidak mengerti atau tidak bisa melihat kenapa orang lain bisa melihatnya dalam ‘cahaya’ yang menakutkan seperti itu. Ini mengakibatkan pembelaan yang dia lakukan akan semakin memperparah keadaan. Monster kedua juga datang dari orang luar, tapi dari pelabelan. Di film ini contohnya adalah sahabat Minato, si Yori Hoshikawa, yang dilabeli monster oleh ayahnya sendiri karena Yori ini anak cowok yang ‘kemayu’. Walau Yori tampak oke-oke saja dikatain monster dan dijauhi teman, the heartbreaking part darinya adalah anak sekecil dia bahkan belum paham yang ia rasakan itu enggak exactly hal yang salah, tapi dia hanya bisa nurut saja ketika dipahamkan oleh orang lain bahwa dia adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Monster ketiga adalah kebalikan dari semuanya. Datang dari dalam diri sendiri, dan full aware yang ia lakukan pantas untuk membuat dirinya disebut monster, meski dia tahu dia tidak punya pilihan. Monster tipe berahasia ini adalah kepala sekolah Minota. Ibu guru yang melakukan hal buruk secara tak sengaja di masa lalu, tapi mau tak mau dia harus menutupi kejadian tersebut. Karena dia punya tanggungan dan hal lain yang dipertaruhkan. Nyesek, ketika kita lihat misalnya pada adegan niup terompet itu, bahwa dia aslinya adalah pribadi yang sangat lembut dan baik lagi bijaksana. Namun selain tiga tipe monster itu, yang paling malang sekaligus berbahaya adalah tipe monster yang hampir saja ‘jadi jelmaan’ oleh Minato, yang actually adalah gabungan terburuk dari yang dirasakan/dialami oleh Pak Guru, Yori, dan Bu Kepsek.
Yang paling berbahaya itu adalah monster yang disebut dengan self-loathing. Orang yang memonsterkan dirinya sendiri, dan berkubang dalam perasaan buruk dan prasangkanya sendiri. Orang yang self-loathing akan menghindar dari minta tolong, dan bahkan bisa sampai menyakiti diri sendiri.
Itulah kenapa cerita ini sebenarnya merupakan cerita Minato. Anak yang tahu persis dirinya ‘berbeda’ dari anak cowok lain, dia knows better about himself ketimbang Yori terhadap dirinya sendiri, tapi juga tidak seberani Yori. Sehingga Minato memendam semuanya di dalam diri. Minato punya rahasia seperti Bu Kepsek tapi tidak punya positif force behind it, selain takut malu dan tidak diterima oleh teman-temannya. Dia takut ketahuan kalo dia suka ama cowok. Minato bahkan tidak mau nunjukin dia bersahabat akrab dengan Yori di depan teman-teman sekelas yang lain. Kediam-diamannya ini membuat dia tampak aneh di mata ibunya. Yang gak beres pada Minato jadi terlihat lebih besar oleh sang ibu. Tindakan Minato seperti potong rambut diri sendiri bisa demikian red flag bagi ibu (padahal alasannya either karena sesimpel keinosenan anak kecil yang mau ngilangin ‘noda’ bekas disentuh oleh teman yang dianggap ‘berpenyakit’, atau hanya karena tidak mau rambut panjangnya dianggap kecewek-cewekan). Bayangkan gimana reaksi ibu begitu mendengar Minato bilang soal terlahir kembali saat ngobrolin ayah yang sudah meninggal. Kalo sudah menumpuk begitu, biasanya orang seperti Minato akan menarik diri dari lingkungan sosial. Dan itulah yang persisnya Minato lakukan di pertengahan akhir cerita.
Jadi film ini adalah journey Minato menemukan kedamaian atas dirinya yang sebenarnya. Stake cerita ini adalah salah pilih sedikit, Minato akan benar-benar jadi monster self loathing yang berbahaya terutama bagi dirinya sendiri. Beruntung dirinya punya sahabat dan tempat pelarian, yaitu Yori. Di pertengahan akhir itulah, film menjadi tontonan yang dramatis lagi beautiful dalam memperlihatkan struggle Minato – yang masih seorang anak kelas lima SD! Pencarian jati diri, menghadapi resiko bullying, ‘berguyon’ dengan ide telahir kembali, dilakukan oleh film dengan penuh respek terhadap perspektif, dengan desain detil, menutup kepada sebuah kejujuran dan penerimaan diri yang dengan metaforanya sendiri memperlihatkan ‘lesson learned, tapi hidup hanya akan lebih menantang dari sini’.
Konsep/struktur tiga perspektif, dan cerita yang seperti berevolusi antara tiga ‘genre’ berbeda, secara psikologis membawa kita ke dalam journey yang dialami karakter dan lingkungan mereka. Kita jadi melihat monster-monster itu bisa bertumbuh dari karakter yang begitu compelling dan terasa dekat karena mereka hidup dalam environment yang sederhana. Film ini tidak lagi terasa seperti kecohan dari kenyataan yang sengaja disembunyikan belaka. Everything we see is not what it seems, terutama jika kita terbuka melihat dari sudut pandang lain. Dan ini diwujudkan oleh film ke dalam visual-visual yang punya tone misterius yang kuat sehingga minat penonton juga semakin membendung menyaksikannya. Satu lagi adegan yang artinya bisa mendua, yang aku suka di film ini adalah adegan penghapus jatuh. Ibu Minato hendak pergi beli semangka, dan saat dia lewat Minato sedang menyondongkan badan ke bawah hendak mengambil penghapusnya yang jatuh ke lantai. Adegan itu langsung dicut memperlihatkan Ibu kembali dari belanja, dan saat masuk dia melihat Minato masih dalam posisi nyondongin badan ke bawah yang sama dengan saat dia pergi. Seolah Minato gerakannya berhenti saat dia pergi, dan baru bergerak lagi saat dia pulang. Ini kan misterius sekali. Kalo baru nonton otomatis kita akan menyangka hal yang serupa dengan Ibu “Ni anak kesurupan apa gimana sih!?” Tapi tentu saja adegan tersebut bisa jadi hanya kebetulan penghapusnya jatuh lagi, dan kengerian itu hanya berasal dari prasangka ibu terhadap Minato berkelakuan aneh yang sudah terbangun sebelum kejadian tersebut terjadi.
Tahun 2024 kayaknya bakal jadi roller coaster yang hebat, sebab kemaren film pertama yang aku review ‘meh’ banget, dan film kedua di ulasan tahun ini. WOW. At first, aku memang honestly cukup judgmental terhadap penceritaannya yang seperti mengarah ke ‘ternyata begini, ternyata begitu’ doang. Tapi ternyata, aku menyadari film ini punya desain khusus dalam menyampaikan journey karakternya. Journey yang hanya bisa maksimal jika kita ikut secara menyeluruh merasakan gimana ‘monster’ itu bisa terbentuk. Yang lantas ditutup dengan pilihan karakter untuk mengembrace monster versi dirinya sendiri. Awalnya bermain dengan prasangka, tapi film justru menjadi begitu powerful dengan berkembang membuat kita berefleksi, berkontemplasi, bukan tidak mungkin di antara kita jadi ada yang menunjuk hidungnya sendiri demi mendapat jawaban masing-masing dari menonton film ini. Film Jepang ini ticked the box untuk ‘syarat’ skor tertinggiku. Cerita yang berevolusi, dengan konsep yang kuat dan karakter dan dunia yang luar biasa compelling.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for MONSTER
That’s all we have for now.
Tanyakan kepada diri sendiri, monster seperti apakah aku?
Dan jika tidak keberatan, silakan share di komen yaa
Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL