“Cherish every moment with those you love at every stage of your journey”
Hidup memang penuh penyesalan. Kalo tidak, kalimat pertanyaan “Apa yang bakal kalian ucapkan buat kalian di masa lalu?” tidak akan pernah terpikirkan. Kita semua pengen ketemu sama kita waktu masih muda, supaya bisa ngasih nasihat. Supaya mereka gak memilih jalan yang sama, bikin kesalahan yang sama. Hidup memang penuh penyesalan, kalo tidak, time travel tidak akan pernah kita impikan. Karena memperbaiki hidup seperti demikianlah yang jadi poin utama dari angan-angan bisa pergi ke masa lalu. Karya terbaru Shawn Levy literally mengambil konsep time travel dan pertanyaan tersebut sebagai tema cerita, dan Levy menggodoknya menjadi sajian laga sci-fi yang bukan saja seru, tapi juga grounded dan terasa manusiawi. Tuk memastikan dirinya gak bakal pengen balik ke masa lalu memperbaiki film ini, Levy memaksimalkan kadar hiburan film ini. Ia menyuntikkan dosis komedi dalam jumlah ‘mematikan’, dengan meng-cast Ryan Reynolds sebagai karakter utama. Membuat The Adam Project jadi semacam Reynolds show yang sudah amat familiar bagi kita. To the point jadi amat terlalu familiar, it could become stale.
Tentu saja, pergi ke masa lalu akan membawa masalah tersendiri. Cerita-cerita tentang time travel akan berkutat dengan hal-hal trivial yang menuntut kelogisan semisal bagaimana bisa terjadi, lalu soal efek kupu-kupu dari mengubah masa lalu, ataupun soal berapa versi diri kita yang ada – which leads to a multiverse. Makanay cerita-cerita time travel cenderung jadi ribet sendiri. The Adam Project gak mau pusing-pusing sama hal tersebut. Dengan singkat dan padat film ini menyebut time-travel exist sembari menepis kemungkinan multiverse (semua orang nantinya akan jadi amnesia atau semacamnya). Soal teknologi kefiksiilmiahannya memang tetap ada, kita masih bisa geek out dengan alat-alat flashy dan aksi heboh. Tapi kita tidak diminta untuk memikirkannya lebih lanjut. Film ingin kita langsung fokus ke permasalahan yang membayangi para karakter. Fokus ke gagasan yang dibawa. Karena itulah, on the plus side, The Adam Project gampang terasa grounded.
Peran Reynolds di sini bernama Adam Reed. Di tahun 2050, dia seorang pilot pesawat tempur yang oleh bosnya dikirim untuk misi time travel. Tapi Adam menemukan ada kejanggalan. Jadi dia bermaksud bergerak sendiri, tapi ketahuan dan diserang. Adam yang terluka terdampar di tahun 2022. Di situlah dia bertemu dengan dirinya yang masih dua-belas tahun. Kedua Adam, dengan segala kemiripan dan perbedaan mereka, bekerja sama menyelamatkan masa depan. Untuk itu, mereka harus ke masa lalu, meminta bantuan kepada bapak yang selama ini jadi sumber amarah Adam.
See, di balik hingar bingar dan mumbo jumbo sci-fi, film ini bicara tentang hubungan ayah dan anak lewat pergulatan personal yang digambarkan oleh interaksi antara Adam Gede dengan Adam Kecil. Keduanya kehilangan ayah, dan sedang dalam fase berbeda. Adam Kecil, di tahun 2022, masih sedih atas kematian bapaknya. Tapi Adam Gede, yang udah sekitar 40 tahun umurnya, tentu sudah outgrow that phase. Kesedihan Adam telah berubah menjadi kemarahan dan ketidaksukaan. Dia resent ayahnya gak pernah ada. Ayah yang bahkan setelah pergi pun, meninggalkan pe-er pelik untuknya. Adam Project, yakni proyek time travel yang jadi konflik-luar film ini, memang diciptakan oleh sang ayah. Interaksi Adam Gede dengan Adam Kecil boleh jadi lucu dengan banyak saling ejek dan remarks kocak, tapi sesungguhnya itu adalah momen-momen Adam membuka perspektif baru. Dua karakter ini saling belajar satu sama lain, yang tentu saja berarti Adam belajar lebih banyak melalui konfrontasi dengan dirinya sendiri, yang selama ini telah ia kubur oleh kemarahan. Film bicara soal kemarahan sebagai reaksi dari grief dan kesedihan itu lebih lanjut lagi dengan juga menilik sisi Adam Kecil, yang justru marahnya kepada sang ibu sebagai bentuk dari pelampiasan kesedihan.
Tema cinta dan kehilangan memang bergulir kuat, gak sekadar tempelan. Realisasi perlahan yang disadari Adam mengenai kemarahan dan mengantagoniskan orang sebenarnya adalah bentuk dari menutupi perasaan sedih atas kehilangan (marah memanglah emosi yang sekompleks itu), turut membawa dirinya kepada pembelajaran satu lagi. Yakni soal menghargai waktu yang ada. Menghargai orang-orang yang bersama dan mencintai kita di dalam setiap tahapan waktu yang kita lalui. Karena yah, kita tidak pernah tahu seberapa cepat waktu berjalan.
Warna ringan film ini sebagian besar datang dari penampilan akting. Reynolds seperti biasa memainkan seorang bermulut tajam; ini udah jadi trademarknya sekarang. Hiburan film memang datang dari dialog-dialog Reynolds dengan karakter lain. Terutama dengan Mark Ruffalo yang jadi ayahnya – Ruffalo sendiri sudah terbiasa dan jago juga dalam timing komedi gaya celetukan yang juga dilakukan oleh film-film Marvel. Komedi semacam ini diseimbangkan oleh akting Jennifer Garner sebagai ibu. Weakest karakter adalah perannya Zoe Saldana yang baru akan benar-benar ngefek di akhi. Serta pemeran antagonis Catherine Keener, yang karakterisasinya memang standar sekali. Tidak ada layer dalam motivasi penjahat-ala-kartun-minggu-pagi miliknya.
The elephant in the room adalah aktor cilik Walker Scobell yang luar biasa mirip Reynolds, memainkan Adam Kecil. Reaksinya ketemu dengan diri yang sudah dewasa, berotot, punya alat-alat canggih, juga kocak sekali. Persis kayak yang diharapkan kalo ada anak kecil yang melihat dirinya udah gede, rasa penarasan dan excitement-nya dapet. Tapinya lagi, Scobell memang hanya perlu menirukan Reynolds karena di sini si Reynolds sendiri memang tidak memainkan karakter. Reynolds yang seperti memainkan dirinya sendiri mempermudah Scobell. Gak perlu kayak Helena Bonham-Carter yang berakting jadi Emma Watson berakting jadi Hermione yang akting jadi Bellatrix di Harry Potter. Inilah kenapa aku gak benar-benar terkesan sama Adam Kecil. Aku gak bilang mudah dan semua orang bisa niruin Reynolds, tapi hanya gak ada lapisan aja. Dia niruinnya sama persis, ya mannerismnya, ya mimiknya, ya pace nyamber obrolannya. Mestinya Reynolds di sini bisa memberikan karakter yang ia perankan lebih sebagai karakter lagi, bukan sebagai dirinya.
Jadi setidaknya ada dua kemudahan yang diambil film ini. Soal karakter Adam yang basically cuma Ryan Reynolds. Dan soal time travelnya tadi. Gak ribet dalam melandaskan teori dan logika-film. But wait, there’s more conveniences alias kemudahan. Adegan-adegan aksinya – yang btw melibatkan orang-orang yang bisa tak kelihatan – tidak pernah terasa menggebu. Heboh sih iya, tapi gak ada intensitas. Penjahatnya tetap mudah dikalahkan. Sekuen berantemnya pun gak wow banget, banyak elemen yang udah pernah kita lihat (termasuk senjata yang mirip Lightsaber, eventho film berusaha menyetir ini sebagai komedi dalam cerita). Selain itu, film memang banyak memasukkan referensi kisah time travel dan sci-fi lain. Sehingga semua itu jadi datar aja, plus juga karena kita gak benar-benar melihat stake. Tahun 2050 diserahkan kepada imajinasi kita, which is good, hanya saja keadaan di tahun itu juga dijadikan informasi pembanding. Adam ingin mencegah 2050 hancur, dan katanya tahun itu ‘bad’. Dengan demikian, dunia tahun 2050 itu sekarang jadi stake, dan kita jadi perlu melihat seperti apa dunia di masa depan itu supaya kita bisa peduli dunia yang sekarang gak jadi seperti itu. Film ngambil kemudahan dengan gak memperlihatkan, yang berakhir gak gampang bagi kita untuk peduli sama petualangan mereka. Kemudahan tersebut lantas jadi kelemahan.
Dan bicara soal kelemahan, ada satu logika yang aneh sekali dalam sains cerita. Okelah, mereka ngeset dan bikin logis time travel dengan cara simpel mereka sendiri. Yang kubicarakan ini adalah sains soal kenapa Adam Gede butuh Adam Kecil untuk bertualang. Diceritakan di sini adalah karena Adam Gede tertembak, dia terluka, sehingga pesawat mutakhirnya gak lagi mengenali DNA tubuhnya. Maka dia butuh Adam Kecil yang gak terluka. Dia butuh DNA yang ‘sehat’. Question is, bagaimana luka tembak dapat mengubah DNA seseorang? Aku bukan ahli DNA tapi kalo ada yang kupelajari tentangnya maka itu adalah DNA makhluk akan sama; Luka atau bahkan cacat (yang bukan dari lahir) enggak akan mengubah DNA. Kayak, kalo Animorphs menyadap DNA hewan yang luka, maka saat mereka berubah menjadi hewan tersebut, mereka akan jadi hewan yang sehat, bukan yang luka. DNA itu genetik, dan luka fisik tidak terimprint di sana. The Adam Project tidak berhasil menjelaskan kenapa pesawat tidak lagi mengenali DNA Adam Gede dengan logis. Sehingga poin sepenting Adam Kecil harus ikut jadi sangat lemah. The whole movie ternyata bergantung kepada logika selemah itu. Aku gak nyebut plot hole atau apa, tapi kalo kita peduli sama letak perban di kepala orang sakit dalam film-film, maka hal sepenting DNA ini juga harusnya jadi concern kita, sebab benar-benar berkaitan dengan cerita ini bisa berjalan atau tidak.
Tadinya aku pikir mungkin di akhir akan diungkap kalo soal DNA itu cuma bualan Adam semata, bahwa dia sebenarnya pengen Adam Kecil ikut, atau gimana kek. Atau kupikir bakal ada penjelasan lanjutan. Tapi gak ada. Ini hanyalah cara mudah berikutnya dari film untuk menjelaskan kenapa Adam Kecil harus ikut bertualang. Padahalnya lagi, soal DNA ini bisa dijelaskan dengan menyebut senjata masa depan memang dapat mengubah DNA, makanya kalo mati ditembak ini orang jadi hancur. Tapi, film gak nyebut apa-apa soal senjata tembak. Orang lenyap hanya disebut sebagai akibat dari mati di luar timeline/universe hidupnya yang asli. Lagi-lagi, kemudahan bercerita. Eh, tapi lama-lama kemudahan itu jadi tampak seperti kemalasan ya!
Kalo aku guru IPA atau sains, maka aku akan ngasih nilai merah untuk film ini. Karena penjelasannya terlampau sederhana hingga cenderung malas. Film hanya menjelaskan time travel, tapi tidak menjelaskan soal DNA yang mereka angkat. Tapi untungnya aku bukan guru. Aku hanya penonton yang menulis ulasan film. Maka aku menilai dari filmnya saja. Yang bercerita dengan menghibur, memastikan kita tidak beruwet-ruwet dalam konsep time travel, dan makin mendaratkan cerita dengan tema keluarga yang grounded. Tapi uh-oh, film ini masih juga terasa malas, karena sebagai aksi sci-fi, dia masih generik, lebih banyak masukin referensi daripada adegan original, dengan stake yang gak terasa. Bahkan kematian dalam cerita, gak pernah terasa sedih-sedih amat.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE ADAM PROJECT.
That’s all we have for now.
Kalo berkesempatan ke masa lalu, tahun mana yang kalian tuju dan apa yang akan kalian katakan kepada diri kalian di tahun itu?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA