JAILANGKUNG Review

“See yourself as a soul with a body rather than a body with a soul.”

 

 

Di mana ada film horor, aku akan duduk ngejogrok di sana tanpa perlu dijemput atau diantar. Kayak Jailangkung yang ngeliat ada pesta kecil-kecilan. Horor selalu adalah objek cerita yang menarik, maka tak heran genre ini menjadi penjualan mudah untuk bisnis bioskop. Buktinya, liat deh box office film Indonesia tahun 2017 ini; horor naik tahta kembali dengan gampangnya. Film Jailangkung terbaru ini sempat menyinggung bahwa tubuh dan sukma harus berimbang. Harus sehat dua-duanya. Dan ketika kebutuhan fisikal kita sudah terpenuhi, maka kita merasa dorongan keperluan untuk memuaskan dahaga atas keingintahuan spiritual. Di sinilah film horor seperti Jailangkung memiliki peran besar.

Kita demen ditakut-takuti, Kita penasaran melihat hantu. Kita bahkan mencoba berkomunikasi dengan hantu, lewat permainan jailangkung. Karena kita adalah makhluk jiwa dan raga.

 

Meskipun digarap oleh duo yang sama, Jailangkung adalah cerita yang sama sekali terpisah dan tidak ada sangkut pautnya dengan Jelangkung yang sukses mengangkat pamor horor di sinema Indonesia tahun 2001 lampau. Pada kesempatan ini, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo memilih untuk menggarap horor yang LEBIH GROUNDED. Bukan lagi soal pengungkapan mitos urban oleh sekelompok remaja, Jailangkung bercerita seputar keluarga yang harus menyelidiki misteri seputar penyakit ayah mereka. Naturally, cerita keluarga seperti ini mudah untuk kita relasikan. Kita akan melihat Bella dan saudari-saudari nyabergerak sebagai satu unit menghadapi masalah supranatural, mereka harus bermain jailangkung, dan ultimately, narasi juga akan menyinggung budaya lokal saat mitos hantu Matianak mulai mengambil tempat sebagai ‘penjahat utama’. Jadi, film ini punya amunisi yang tepat untuk menjadi sesajen horor untuk ditonton merinding bareng keluarga.

Kemunculan hantunya lumayan seram. Suara cekikikan hantu itu sanggup membuat kita merinding. Kalo mau iseng, coba deh sekalian hitung detak jantung masing-masing saat adegan Bella di tangga darurat rumah sakit. Timing penampakannya diatur dengan tepat. Penggunaan beberapa overhead shot membuat film ini terlihat sangat profesional. But there’s not much reflecting or reasoning behind those scenes except just to show that the filmmakers have enough budget so they can use drone to do the filming. Ditambah dengan scoring yang maksain feel banget, lucunya, shot-shot cantik itu malah bablas terlihat seperti video musik atau malah potongan iklan ketimbang sebuah media penceritaan.

Kreativitas oleh film ini ditampakkan dari betapa lihainya mereka menemukan cara untuk menggunakan adegan-adegan flashback. Lewat kenangan lah, lewat kaset video lah. Dan buat yang gak bisa nangkep nada ironisku; flashback adalah cara tergampang yang bisa dipikirkan oleh filmmaker untuk menjelaskan misteri dan backstory di dalam film horor. Serius deh, sedari awal aku sudah meragukan segi kreativitas film ini sebab dari banyaknya hal yang bisa dilakukan untuk memasarkan film tentang papan pemanggil arwah dengan cara yang berbeda, film ini berpuas diri comes up dengan mantra “Datang gendong, pulang bopong” yang terdengar konyol. I mean, musti bangetkah judulnya Jailangkung (beda ejaan doang)? Selain alasan komersial, aku gak bisa nemuin alasan kreatif di balik pemilihan itu. Dan setelah menonton filmnya, yang melimpah oleh flashback dan eksposisi, dugaanku terhadap kreativitas film ini terbukti sudah.

Hantunya bisa ngeja b-o-r-i-n-g gak ya?

 

Kita tidak bisa membuat penonton instantly peduli sama tokoh hanya karena tokoh-tokoh tersebut dimainkan oleh orang-orang kece. Tokoh tersebut perlu diberikan karakter, mereka perlu dihadapkan kepada tantangan dan pilihan yang sulit, yang nantinya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang baru. So people could latch onto them. Dua bintang muda yang lagi hits-hitsnya, Amanda Rawles dan Jefri Nichol, tidak diberikan banyak hal yang bisa mereka lakukan. Film ini enggak membantu banyak untuk usia akting mereka yang masih belia dan butuh banyak perkembangan. Penokohan Bella dan Rama sangat hampa. Rama hanya ada di sana untuk dua alasan; sebagai sarana untuk eksposisi, dan supaya ada sosok yang bisa ‘didambakan’ oleh Bella. Aku sempat ngakak sih, Bella bersikeras untuk menjaga ayahnya di rumah sakit, dia membujuk kakaknya pulang dan beristirahat. Tapi setelahnya kakaknya pulang, Rama pun turut minta diri pamit pulang, dan di situ ekspresi Bella kayak kecewa banget seolah Rama gak ngerti ‘kode’ darinya yang pengen jaga berduaan hhihi.

Bella sesungguhnya punya akar motivasi. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudari dalam keluarga yang sudah lama ditinggal mati oleh ibu. Sebagai anak tengah, tentu dia haus untuk membuktikan diri, bahwa dia juga capable untuk mengurus diri serta keluarganya, bahwa dia juga bisa seperti kakaknya yang mandiri. Pengarakteran ini disinggung sedikit sekali, sehingga di akhir film tidak ada perubahan yang dialami oleh karakter Bella. Seolah filmnya malu malu menyolek bahu Amanda Rawles. Semua kejadian tidak diset up untuk nantinya resolve around penokohan Bella. Sebagai seorang tokoh utama, Bella enggak ngapa-ngapain; bukan dia yang menggendong, bukan dia yang ngebopong. Malahan, di akhir, justru dia yang harus diselamatkan. Motivasi tokoh ini jadi sia-sia belaka, seperti terlupakan.

Dan bukan motivasi tokoh lead saja yang dilupakan oleh film ini. Ada banyak elemen yang hanya disinggung sekilas tanpa ada penyelesaian atau kontinuitas yang masuk akal. Sejak dari adegan pembuka yang terasa rushed banget, film ini tidak mampu untuk membuat kita bertapak kepada momen horor yang hendak dibangunnya. Hantu Matianak tersebut tidak pernah dijelaskan tuntas apakah dia menyerang silsilah keluarga mereka, let alone the reasons behind it. Plot poin soal ibu mereka juga enggak ada penyelesaian. Banyak penonton yang aku kenal juga mempermasalahkan soal ayah Bella yang tadinya nyasar di hutan, kemudian di adegan berikutnya dia sudah main jailangkung di dalam ruangan. Jangankan pemain-pemain muda, pemain senior semacam Lukman Sardi dan Wulan Guritno aja terlihat payah, terima kasih kepada penulisan tokoh dan naskah yang kayak diketik oleh anak kecil. Ngomong-ngomong soal anak kecil, tentu saja tokoh cilik di film ini tidak mendapatkan jiwa sama sekali. Mereka cuma jasad untuk media horor, jadi kenapa musti bersikap manusiawi, kan?

ada pesta, ada jailangkung

 

Kualitas dialognya juga mempersulit para tokoh untuk mendapatkan bobot yang berarti. Ada adegan ketika Rama kebingungan bertanya kenapa boneka jailangkungnya nutup sendiri padahal jelas-jelas dia yang goyangin. Mantra pemanggilannya juga dilafalkan oleh para aktor dengan little to no weight, sehingga tidak menimbulkan kesan apa-apa. Padahal tokoh yang diperankan Butet Kertaradjasa udah literally nyontohin gimana cara dan intonasi yang dramatis dan menimbulkan efek seram.

Segalanya terasa setengah-setengah. Ada momen ketika Bella berlari, dan aku mengira kita bakal mendapat long continuous take dari udara yang kreatif saat mereka mencari kakak di dalam rumah. Ternyata enggak. Mereka melakukanya di tempat paling mudah, yakni di areal pekuburan. Sepertinya film ini bisa lebih baik jika dipush menjadi lebih dewasa. Karena film ini menyinggung soal kehamilan, it would be better kalo Bella sendiri yang ngalamin apa yang dialami oleh Angel. Mereka bisa menggali banyak drama dari sana, Rama juga bisa jadi punya peran yang lebih berarti. Dan tentu saja horornya akan lebih kena, karena apa yang dialami Angel dalam film ini adalah hal yang sangat menyeramkan, apalagi buat wanita. Sayangnya, film ini – mungkin karena mengingat batasan usia penonton – tidak bisa menggali elemen tersebut. Membuatnya hanya sepintas dan terasa rushed out.

 

 

 

Ada kisah horor yang mumpuni dan berpotensi sangat seram terkubur di dalam film ini. It was a grounded story, diwarnai oleh mitos dan budaya pula. Aku gak tau apa yang terjadi di dapur produksi mereka, but the end product yang kita tonton sangatlah mengecewakan. Semuanya generik, gak seram, karakternya membosankan. Selayang pandang memang terasa profesioal, namun tidak ada bobot di dalamnya. Horornya digarap dengan buru-buru, meninggalkan banyak kesempatan demi jumpscare yang benar-benar out-of-place dan gak perlu. Karena semestinya film horor adalah soal jiwa, ketakutan dari dalam, alih-alih ketakutan fisik semata. Jika filmmaker lain memutuskan untuk mengikuti ‘kesuksesan’ film ini, maka bisa dipastikan masa depan film horor Indonesia akan sangat gelap dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG.

 

 

 

That’s all we have now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Bowo says:

    Danur & Jailangkung, 2 film yg sukses bikin penontonnya kecewa.
    Satu-satunya harapan tinggal Pengabdi Setan-nya Joko Anwar.
    Nice review.

  2. Hadi says:

    Film ini seolah2 penonton itu gak penting, coba bayangkan ada rumah besar mewah di aebuah pulau dan kesana harus naik pesawat. Belum lagi dari tempat pesawat harus pakai mobil (entah dari mana datangnya itu mobil ditengah hutan) didalam rumah ada listrik dan tv trus rumah itu penuh daun2 !!! Mungkin ada pohon dalam rumah itu yang tumbuh atau..ya sudahlah…pokoknya itu film orang tajir gila ceritanya,intinya bagi saya ini film tidak peduli dengan penton dan terkesan tolol maaf

Leave a Reply