The Girl on the Train Review

“Save your skin from the corrosive acids of toxic people.”

 

thegirlonthetrain-poster

 

Emily Blunt bermain sebagai Rachel Watson, seorang wanita yang hobi naik kereta setiap hari. She is a very broken woman, Rachel sudah lama bergulat dengan alkohol; kebiasaan yang jadi awal kehancuran hidupnya. Naik kereta jadi semacam obat yang ampuh bagi Rachel yang begitu mendambakan kehidupan manis as wanita ini mulai mengarang cerita tentang hidup orang-orang yang ia perhatikan dari balik jendela kereta. Siapa nama mereka, di mana mereka bekerja, apa yang mereka lakukan di dalam rumah sederhana-nan-nyaman masing-masing. Satu-satunya rumah yang dicuekin oleh Rachel adalah rumah bekas ia tinggal dulu, karena sekarang rumah tersebut dihuni oleh mantan suaminya, bersama istri, Anna, dan bayi mereka. But even so, favorit Rachel adalah rumah yang berjarak hanya beberapa pintu dari rumahnya dulu; rumah yang ditempati oleh seorang cewek bernama Megan. Rachel begitu tersedot ke dalam fantasinya sendiri tentang gimana Megan dan pasangannya menjalani hari.
Sampai suatu ketika, Rachel melihat kejadian yang mengejutkan. Yang eventually membawa dirinya ke sebuah lorong gelap. Tempat di mana cerita yang terbendung mulai berubah menjadi misteri ‘siapa-pelakunya’, dan Rachel – bersama kita, para penonton – harus memilah mana kejadian yang nyata dan mana peristiwa yang rekaan dari kepala Rachel yang penuh oleh buih minuman keras.

Terdengar sebagai cerita thriller yang intens, bukan? Tidak susah buatku untuk menjual premis cerita ini sehingga menarik, karena kalo ada satu poin unggul dari The Girl on the Train, maka itu adalah betapa gampangnya film ini untuk dioversell. For instance, film ini diadaptasi dari novel yang sangat populer. Semua kutubuku yang aku kenal mengaku pernah membaca karangan Paula Hawkins ini, and they all urged me to watch this. Banyak orang membanding-bandingkan film ini dengan Gone Girl (2014) karena punya elemen cerita yang sama; MISTERI HILANGNYA SEORANG WANITA. Marketing filmnya pun dibuat bombastis. Maksudku, lihat saja tulisan tagline posternya “Based on thriller that shocked the world”. Like, they are really trying to sell bahwa film ini akan menjadi sungguh luar biasa. Suwer!

mungkin ia melihat zombie, but that’s another train movie.
mungkin ia melihat zombie, but that’s another train movie.

 

The other one thing yang jadi kelebihan film ini adalah Emily Blunt herself. Oke, jajaran pemain dalam film ini sesungguhnya sudah memberikan penampilan yang baik. Haley Bennet is good dan memancing penasaran sebagai Megan. Rebecca Ferguson yang jadi Anna juga really good. Anna adalah karakter yang lumayan intriguing; Di tengah-tengah kemapanan, ia malah merindukan hidup sebagai ‘The Other Woman’. Allison Janney bermain excellent sebagai detektif yang berusaha menyibak tabir kebenaran kasus yang terjadi. Cast pria juga cukup baik dalam kapasitas karakter yang terbatas. The Girl on the Train, however, semacam punya rel yang menjaga ketat jalannya para karakter. Emily Blunt terasa terlalu bagus untuk apa yang mereka sediakan bagi tokohnya. Emily is far too good for this movie! Dan itu udah kelihatan dari beberapa menit pertama film ini berjalan. Emily begitu menyelam ke dalam Rachel yang teler. Aku jadi benar-benar percaya film ini bakal sangat impresif, aku jadi enggak sabar untuk melihat ke mana ceritanya akan beranjak. Perjalanan macam apa yang bakal diexperience oleh Rachel..

The Girl on the Train bergerak seperti sebuah perjalanan kereta, butuh waktu yang lama untuk sampai ke tempat yang ingin kita tuju. As the movie continue to progress, kita seolah ngeliat set-up yang bergerak sekelebat di luar jendela. Dan begitu kita tiba di sana – actually, cerita film ini butuh sekitar satu jam untuk dimulai – it’s okay, misterinya menarik, namun kita tidak benar-benar merasakan apapun kepada karakternya karena film ini TIDAK PUNYA BOBOT EMOSI.

 

Pada kenyataannya, film ini benar mengandalkan kepada keoverhypean yang bisa ia dapatkan. The Girl on the Train bergantung seerat-eratnya kepada standar film Hollywood. Setelah satu jam train ride yang hampa, film ini mulai masuk ke dalam teritori melodramatis seekstrim-ekstrimnya. Para karakter mulai mengambil keputusan yang purely demi memancing rasa kaget dari diri kita, setiap tindakan diniatkan untuk menambah kesan dramatis, padahal justru tidak pernah bekerja dengan semestinya. Dialog-dialog yang mereka ucapkan bergeser dari bagus, ke lumayan, ke bikin nyengir hanya dalam beberapa menit sahaja. Ini aku mau nanya serius deh sama yang udah baca novelnya; dialog di buku beneran se-lame dialog yang ada di film? Karena aku tak jarang dibuat bergidik kayak lagi baca fan fiction ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh para tokoh.

not pictured here: self-respect.
not pictured here: self-respect.

 

Apa yang berpotensi menjadi narasi yang sangat menarik dengan sisi psikologis yang compelling diubah oleh film ini menjadi kesempatan untuk MEMERAS DRAMA SEBANYAK MUNGKIN. Ini adalah jenis film di mana masing-masing karakternya turn out punya hubungan intim dan pernah tidur with each other. Sungguh cheesy, aku jadi kebayang serial The Secret Life of American Teenager saat menonton film ini. Adegan-adegan erotis itu don’t really have purpose. Multiple perspektif diceritakan dengan enggak mulus sehingga hanya terlihat sebagai upaya untuk menggali lebih banyak drama. Bahkan Emily Blunt tidak berhasil membuat kita peduli sepenuhnya kepada Rachel, let alone tokoh yang lain. Walaupun setiap adegan ditargetkan untuk membuat kita mengasihani apa yang menimpa mereka.

I don’t know what happen, really. Arahan filmnya terasa tidak cocok untuk narasi yang menarik seperti ini. Padahal sutradara Tate Taylor membuatku kagum saat ia menangani drama The Help (2011). Film The Help actually masuk top-8 film favoritku tahun 2011. Namun di The Girl on the Train, eksekusi Taylor malah jatoh flat. Arahannya tidak menyumbang banyak untuk kebaikan film ini. In fact, aku pikir pilihan-pilihan aneh dari Taylor membuat film ini jadi kelihatan jelek. Film ini tidak berhasil tampak sebagai film misteri mengejutkan dunia seperti yang digadangkan. Film ini jauh dibandingkan Gone Girl. Film ini lebih cocok disebut sebagai opera sabun yang berbalut misteri.

Bahkan setelah semua usaha menjadi overdramatis, film ini masih juga gagal untuk membuat kita terpana oleh twistnya. Mainly, karena kita sudah bisa melihatnya datang dari jauh. Tepatnya, kita sudah bisa mereka twist film ini sejak adegan Megan, tanpa alasan yang jelas, bilang dia minta berhenti menjadi penjaga-anak keluarga Tom, mantan suami Rachel. Untuk kemudian dipertegas lagi oleh ekspresi Tom ketika Anna menyampaikan soal tersebut kepadanya. Twist sebenarnya film ini, aku pikir, adalah gimana kekerasan bisa merasuk ke balik dinding-dinding rumah tangga. Dalam film ini kita melihat how abusive people can be terhadap pasangannya. Dan film ini menggambarkan hal abusive tersebut lewat violence yang lumayan graphic. I admit aku sama sekali tidak mengira Anna melanjutkan apa yang tadinya upaya bela diri yang dilakukan Rachel menjelang akhir cerita.

Jika seseorang capable melakukan sesuatu hal yang tidak baik terhadap orang lain ketika dia bersama ataupun demi dirimu, maka besar kemungkinan mereka tidak akan segan untuk melakukan hal tidak baik terhadap dirimu saat dia bersama orang yang lain. Tidak sebatas masalah trust, it’s all about to recognized it sehingga kita bisa berdiri demi diri sendiri. Hal inilah yang gagal direalize oleh tiga wanita utama pada cerita film ini. Minuman keras bisa menjadi metafora yang-tak-terniatkan-oleh-film as tiga karakter wanita tersebut punya candu terhadap hal yang merusak diri mereka sendiri.

 

 

 

 
Cerita yang sebenarnya bisa menjadi sangat menarik, akan tetapi film ini tidak mengesekusinya dengan benar-benar pas. Butuh waktu yang sangat lama sebelum film actually starts menjadi engaging. Performance yang bagus dari para pemain menjadi sia-sia karena naskah yang terlalu menonton untuk menjadi super melodramatic, sehingga para aktor seolah terkurung memainkan peran dan dialog yang berpindah dari bagus ke sekelas ftv secepat kereta melaju di atas rel. Itulah sebabnya kenapa multiple perspektif yang dipake oleh film ini terasa justru bikin film terputus-putus. Pemasaran yang pinter dan penampilan yang splendid, cuma itu yang bisa dibanggakan oleh drama misteri tanpa bobot emosi ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE GIRL ON THE TRAIN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply