THE EDGE OF SEVENTEEN Review

“The reality is people mess up; don’t let one mistake ruin a beautiful thing.”

 

 

Sekolah itu penjara, dan SMA adalah neraka. Remaja sangat menakutkan. Menjadi remaja adalah salah satu pengalaman tiada tara di dalam hidup. My Chemical Romance menuliskan dalam lagu mereka bahwa remaja tidak peduli pada apapun selama tidak ada yang terluka. Namun sebagai remaja, kita suka nyerempet bahaya. Dan ‘terluka’ yang disebutkan dalam lagu Teenager tersebut, sesungguhnya hanya berlaku dalam batasan fisik.
Gak percaya? Liat saja Nadine.
Setiap hari cewek tujuhbelas tahun ini makan ati mengarungi neraka SMA sembari kudu berhadapan dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sebagai remaja yang ngalemin tragedi personal semasa kecil, Nadine membenci semua orang, atau bahkan semua apapun yang berada di sekitarnya. Dia susah bergaul dengan teman-teman di sekolah. Sobatnya cuma Krista seorang. Eh tunggu, Nadine punya satu ‘sahabat’ lagi yaitu gurunya; Mr. Bruner, yang mana sering jadi pelampiasan curhat Nadine. Dan dalam kamus Nadine, curhat berarti mencurahkan segala emosi dan kekesalan, yang biasanya ditanggepin tak-kalah sarkasnya oleh sang guru.

 

Mulai dari jaman John Hughes, sudah banyak film-film yang mengangkat tema kecemasan remaja sehingga ‘Angsty-Teen’ bisa dibilang sudah menjelma sebagai genre tersendiri. Meskipun begitu, The Edge of Seventeen berhasil mempersembahkan VISI YANG TERASA SEGAR. Penulisan kejadian dan reaksi tokoh-tokohnya dibuat senyata mungkin. Sehingga setiap kali hidup berbelok semakin parah buat Nadine, kita tidak melihatnya sebagai usaha memancing sisi dramatis semata. BFF Nadine pacaran sama abangnya, yea that suck. Harry Potter aja galau berhari-hari waktu menyadari dia naksir berat sama Ginny, adik Ron. Dan mendapati diri dalam keadaan teman kita pacaran sama anggota keluarga adalah benar-benar hal yang awkward. Namun, hal tersebut dibuat oleh film sebagai salah satu dari sekian banyak ‘pukulan di perut’ yang diterima oleh Nadine.

Apa-apa yang terjadi kepada Nadine di sepanjang film – yang tak jarang adalah buah perbuatannya sendiri – terasa sebagai kejadian yang datang dari kenyataan. Bisa benar-benar terjadi, karena memang di dunia nyata kita sering mendapati keadaan menjadi buruk begitu saja. Situasi dalam hidup tidak selalu mengenakkan, dan film ini akan mengajak kita melihat situasi terrible tersebut lewat mata nanar seorang cewek remaja yang sudah melewati banyak tragedi. Elemen tersebutlah yang membuat film ini menjadi menarik buatku.

People make mistakes, whoever they are. Teman-teman segeng kita bikin salah. Orangtua kita pernah salah. Kakak pernah salah. Adik pernah salah. Aku apalagi. Makanya ada lebaran. I mean, poinku adalah semua orang pasti pernah bikin salah karena terkadang, in life shit just happens. Jangan biarkan satu kesalahan merusak susu sebelanga. Dan orang-orang tidak serta merta pantes dilabelin brengsek hanya karena pernah membuat kesalahan. Film ini actually menelaah hal tersebut dengan sangat baik dan memberikan kedalaman perspektif yang jauh lebih dewasa dibandingkan yang berani dicapai oleh film-film high school kebanyakan.

 

Aku baru melihat penampilan Heilee Steinfeld dalam tiga kesempatan. Aku suka dia di True Grit (2010). Dalam Pitch Perfect 2 (2015), however, dia enggak begitu lucu malah sedikit membosankan, lagu yang dia apal lagu karangannya doang, nyanyinya Flashlight melulu. Sebagai Nadine di The Edge of Seventeen, Heilee Steinfeld mempersembahkan penampilan terbaik yang pernah aku lihat darinya. Karakternya di sini memang semacam drama queen akut. Dia kasar sama keluarga, sama teman, sama guru; semua orang di sekitar Nadine masuk ke dalam daftar kemarahannya. Di akhir film, kita melihat Nadine berubah menjadi lebih baik, tapi pergerakan arc tokoh ini enggak gede-gede amat. Maksudku, film ini membuat kita begitu peduli dengan dramanya yang terasa nyata sehingga kita tahu kita tidak tahu apa yang terjadi kepada tokoh ini setelah kredit bergulir. Nadine adalah karakter anti-hero wanita yang langka, di mana dia sendiri adalah protagonis sekaligus yang paling dekat dengan yang kita sebut antagonis dalam film ini.

How do you like me now?

 

Dalam menjelaskan kenapa Nadine memilih bersikap demikian, film tidak mengambil jalan yang gampang. Tragedi keluarga yang menimpa Nadine waktu ia kecil bukanlah akar dari permasalahan, karena dalam satu adegan flashback kita melihat Nadine sudah susye untuk di’ajak omong baik-baik’ bahkan jauh sebelum kejadian naas itu terjadi. Seolah film ini ingin menepis tuduhan yang mengatakan karakternya ngeangst karena memang genre filmnya begitu. Ada alasan logis di balik setiap sikap dan tindak Nadine.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya, just… wow. Nadine dengan gampangnya meledak marah dan melontarkan serangkaian kalimat paling menyinggung perasaan yang bisa dia pikirkan kepada orang lain. Dan film ini pun tidak menahan-nahan apapun. Dialognya dibuat sungguh menggigit, karena orang-orang yang dibentak oleh Nadine eventually akan membalas dengan mengatakan hal yang sama pedihnya. Malahan, banyak kata-kata dan ungkapan yang digunakan oleh film ini yang bisa bikin Booker T bilang “Oh, tell me she didn’t just say that!”. Tidak sekalipun film ini berusaha untuk menghaluskan bahasa demi terdengar sopan. Sebab memang seperti yang digambarkan oleh film inilah interaksi antar remaja SMA berlangsung. Mereka bicara dengan kasar dan vulgar. Tapi justru disitulah letak keberanian film ini; TAMPIL APA ADANYA MENYUGUHKAN REALITA. Anak SMA bersikap sewajarnya anak SMA bersikap di dunia nyata.

Namun jika kita menonton film ini, sesungguhnya ceritanya akan terasa sangat bijak. Dengan rating Dewasanya, The Edge of Seventeen lebih ditujukan kepada penonton yang sudah pernah mengalamin masa-masa tujuh belas tahun, sehingga mereka bisa menoleh sebentar ke masa-masa ‘sulit’ hidup mereka dan merayakannya.

Mungkin kita hanya belum cukup dewasa buat angka tujuhbelas ketika menginjaknya. Mungkin kita yang terlalu bersemangat menunggu hari ketika kita pikir kita sudah cukup dewasa sehingga kita lupa untuk bersiap ketika things going rough.

 

BRUTAL AND HONEST. Tapi, ada juga sih bagian yang enggak begitu realistis. Kayak tokoh guru Nadine yang diperankan oleh Woody Harrelson. At one time, Nadine bilang bahwa dia mau bunuh diri dan si Pak Guru malah bilang dirinya juga mau bunuh diri dan sedang nulis pesan kematian. Tokoh Mr. Bruner ini mengatakan banyak hal yang tidak semestinya diucapkan oleh seorang pendidik. Like, kalo didenger ama Kepala Sekolah, pastilah dia sudah dipecat di tempat. Namun begitu, hubungan yang tercipta di antara Nadine dengan bapak gurunya ini adalah salah satu elemen terkuat di dalam narasi. It plays as a contrast for Nadine’s need of a father figure. Percakapan mereka sarat oleh humor-humor bagus dan bermakna.

Pak, tahu enggak,…. you’ve just made the list!

 

Alasan terbesar kenapa cowok males dan gak suka nonton drama remaja, apalagi kalo tokoh utamanya cewek, dan digarap oleh cewek pula, adalah karena sudah hampir pasti enggak bakal ada tokoh-tokoh cowok yang manusiawi. Cowok dalam film-film kayak gini biasanya either digambarkan sebagai antagonis, tanpa kedalaman-karakter, yang eksistensinya ditujukan buat ngasih air mata kepada tokoh utama doang. Ataupun digambarkan cupu dan konyol parah. Salah satu poin yang bikin The Edge of Seventeen yang disutradarai-serta-ditulis oleh cewek bernama Kelly Fremon Craig berbeda dan menyenangkan ditonton oleh cowok adalah tokoh-tokoh prianya juga diberikan kedalaman, dikasih background story, sehingga kita para penonton bisa mengerti mereka. Kakak cowok Nadine ada di sana bukan sebagai bagian dari sibling rivalvy dalam mendapatkan perhatian ibu sahaja. Bahkan cowok yang dikirimin ‘surat cinta’ oleh Nadine tidak pernah benar-benar come off as an asshole, sebab kita juga paham mengapa dia melakukan apa yang ia lakukan.

 

Dengan perspektif yang terasa menyegarkan, film ini toh tak bisa lepas dari segala tropes dan klise penceritaan genrenya. Setelah lewat midpoint, kita segera dapat menyimpulkan ke mana arah cerita film ini berlabuh. Kita bisa menunjuk satu tokoh dan dengan tepat menebak dia bakal ngapain di akhir cerita. Kita dengan mudah menerka siapa jadian dengan siapa. Tapinya lagi, kita bisa merasakan bahwa film ini dikerjakan dengan penuh passion. Karakter dan dialognya menguar kuat. Dan bagian terpentingnya adalah film ini mampu membahas situasi yang amat tidak mengenakkan dengan begitu nyata. Nadine bukan semata remaja galau hanya karena itu adalah cara termudah dalam menulis karakter drama, dia galau karena keadaan dan cara dia memandang keadaan tersebut.

Because of how well-written this is, jika dijejerin, film ini layak gaul bareng Heathers (1988) dan geng Mean Girls (2004) di level teratas kategori film remaja. And after all those insults and horrible situations, pada akhirnya, menonton film ini akan membuat kita berharap kita bisa menghentikan waktu di umur tujuh belas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE EDGE OF SEVENTEEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Comments

  1. arya says:

    Waa jadi pengen nonton lagi abis baca komennya… Iya sih, Nadine ini kayak karakter yang benar-benar ada gitu di sekolah. Jarang sih film remaja kayak gini, apalagi zaman sekarang. Cringe udah di mana-mana. Remaja lokal cringe sama cinta-cintaan dan geng-gengan. Remaja luar cringe di woke/political agenda xD

Leave a Reply