CARS 3 Review

“Those who can’t do, teach.”

 

 

What is your goal in life? Well, entah itu jadi seniman sukses, orang kaya, selebriti tenar, penulis hits, kita mestinya ngeset tujuan kita segede-gedenya. Lupakan jadi yang biasa-biasa aja. Apalagi berhenti mengejar keinginan tersebut. Teruslah ngegeber gas untuk mengejar  mimpi mulia yang kita punya. Lightning McQueen tahu persis akan hal ini. Sebagai pembalap dia enggak bisa untuk enggak meniatkan diri menjadi juara satu. Untuk menjadi yang tercepat. Makanya, dia terus mendorong dirinya untuk menjadi lebih baik dan lebih cepat. McQueen punya ‘mantra penyemangat’ sendiri yang selalu dia ikrarkan setiap kali hendak mulai balapan.

It is about self empowerment. Kita harus punya mindset juara. Akan tetapi, yang diingatkan oleh Cars 3 kepada kita semua adalah definisi juara sebenarnya lebih dari piala semata.

 

Cars adalah franchise kedua dari Pixar – selain Toy Story – yang udah sampai pada film ketiga. Cars pertama tayang di tahun 2006 dan entah sudah berapa kali aku menonton film ini. Bukan karena suka banget, melainkan karena film itu adalah satu-satunya yang bisa mendiamkan tangisan adek bungsuku. Jadi dulu, nyaris setiap hari dvd Cars disetel di rumah. Filmnya sih oke. Apakah butuh sekuel?  Jawabannya tentu saja tidak, jika kita melihat betapa ‘kacaunya’ Cars 2 (2011). Bisa jadi Cars 2 adalah film Pixar terburuk yang pernah dibuat. Aku mengerti sekuel sebaiknya memang dibuat berbeda dengan film orisinalnya. Cars 2 punya nyali untuk tampil beda. Tetapi, mengubah dari apa yang tadinya film tentang mobil balap menjadi film tentang mobil yang jadi mata-mata, dengan practically memasangkan karakter paling annoying di sejarah Pixar sebagai tokoh utama, jelas bukan langkah yang brilian.

Cars 3 sepertinya sadar akan kekhilafan mereka.

Film kali ini dikembalikan ke jalan yang lurus.Kembali ke soal mobil balapan, separuh bagian awal Cars 3 nyaris terasa seperti Pixar mencoba menyematkan kata maaf. Mater, dalam film ini, didorong jauh ke latar. Dia cuma muncul di beberapa adegan singkat, hanya supaya fansnya enggak ngamuk. Itu juga kalo ada hihi. Selebihnya kita akan mengikuti McQueen as dia belajar untuk mengingat kembali apa yang membuat dia menjadi pembalap in the first place.

Kalian bisa jadi apa saja. Jadilah mobil balap.

 

Lightning McQueen yang disuarakan oleh Owen Wilson sudah semakin tua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya, dia masih bisa melaju cepat. Hanya saja, teknologi semakin berkembang. Jadi, McQueen mulai sering kalah. Mobil-mobil balap generasi baru bermunculan, dengan teknologi paling mutakhir terpasang pada mereka. Zamanlah yang sekarang harus dipacu oleh McQueen. Dia lantas belajar untuk menjadi pembalap yang lebih baik, dia pergi berlatih ke sebuah tempat canggih yang sudah disediakan oleh sponsor. Di sana, McQueen dilatih oleh seorang pelatih bernama Cruz. Which is a fresh, interesting new character yang berhasil menyeimbangkan kementokan karakterisasi McQueen sendiri.

Trailer film ini menyugestikan seolah Cars 3 diberikan arahan yang lebih serius. Film ini tampak hadir lebih gelap, kita melihat McQueen terpelintir rusak, sebelum akhirnya terbanting ke jalan. Nyatanya, film ini basically MIRRORING KEJADIAN PADA FILM PERTAMA. Di mana kala itu McQueen adalah pembalap baru dan dia bertemu – kemudian diajarkan banyak – oleh Doc Hudson. Relationship McQueen dan Hudson akan banyak dieksplorasi dalam Cars 3 karena adalah aspek yang penting, essentially McQueen sekarang berada di posisi Hudson. An old, tired race car. Kita akan melihat McQueen berlatih untuk menjadi lebih kencang, untuk menjadi lebih baik. Dia bersedia belajar menggunakan teknologi baru yang somehow tidak berjalan begitu baik buatnya. Bersama pelatih barunya, McQueen balapan di pantai berpasir. Mereka berdua ikutan demolition derby. McQueen benar-benar mencoba untuk mencari ke dalam dirinya, apa yang membuatnya jadi pembalap. Di bagian latihan ini, film picks ups considerably. Ada pesan yang baik di sini, dan menjelang akhir semuanya menjadi surprisingly menyentuh dengan sebuah keputusan yang diambil. Mungkin banyak yang bisa menebak ke mana arah cerita, tapi tetep aja kerasa sangat touching karena kita akhirnya melihat karakter McQueen berputar satu lap, he comes full circle di akhir cerita. Dan menurutku, ending film ini sangat memuaskan.

Jika enggak ada manusia, kenapa mobil-mobil itu punya pegangan pintu?

 

While penonton cilik mungkin akan ileran ngeliat mobil-mobil baru nan mengkilap – Cars 3 tampak mulus seperti biasa, jika tidak lebih – penonton yang lebih dewasa bakalan sedikit berkontemplasi dibuat oleh pesan yang terkandung di dalam narasi.

Apakah kelak kita akan undur diri dengan sukarela, menyerahkan obor itu kepada generasi berikutnya, atau apakah kita akan terus melaju dalam jalan yang kita tahu ada ujungnya, risking everything just to keep up? Keseluruhan pembelajaran Cars 3 adalah tentang warisan. Kapan harus berhenti, merelakan, dan menyadari bahwa bukan semata kemenangan yang akan abadi. It’s our excellency.

 

Jika setiap mobil punya akselerasi, maka film ini pun ada. Antara film baru di’starter’ dengan kita mulai menikmati cerita, sesungguhnya memakan waktu yang enggak cepet. Paruh pertama film ini boring banget. Ada banyak lelucon yang jatoh bebas menjadi datar sedatar-datarnya. Kalian tahu, serial Cars selalu memancing jokes dan anekdot seputar personifikasinya terhadap dunia manusia. Yang memang sekilas terdengar amusing, tapi kalo dipikir-pikir rada gak make sense.

Banyak yang membandingkan film ini dengan sekuel-sekuel Rocky. Aku agak berbeda dengan pendapat itu, karena buatku, Cars 3 lebih kepada personal McQueen. Dia enggak necessarily pengen mengalahkan Storm, si mobil balap yang lebih muda namun rada angkuh dan kasar. McQueen ingin buktikan kalo dia sendiri masih mampu berlari di lintasan itu, bahwa dia adalah pembalap yang punya tujuan hanya satu. Aspek ‘ketika si muda menjadi tua’ ini bisa kita tarik garis lurus dengan keadaan Pixar sekarang. Bagi anak-anak, Cars adalah Pixar. Sedangkan bagi kita yang udah nonton lebih duluan, Cars adalah franchise Pixar yang paling ‘lemah. Bandingkan saja dengan Toy Story (1995). Pixar sudah exist cukup lama, dia sudah enggak ‘muda’ lagi, dan kita bisa lihat karya mereka juga enggak sekonsisten dulu lagi briliannya. Cars 3 adalah usaha Pixar menunjukkan mereka still can go wild-and-young. Tapi pertanyaan yang harus kita tanyaka adalah, akankah kita melihat successor ataupun rival baru yang lebih muda, yang bakal membuktikan bahwa mereka lebih baik dari Pixar?

 

 

 

Tidak banyak ‘pergantian gigi’ seperti yang kita kira, namun tak pelak ini adalah kisah mentorship yang menyentuh. It work best as a bigger picture, jika kita menonton ini setelah menonton film yang pertama. Bagusnya pun kurang lebih sama, deh. Kita bisa ngeskip Cars 2 entirely dan enggak akan banyak nemuin lobang di continuity. Penokohan membuat karakter lama jadi punya depth baru. Even newcomer diberikan penulisan yang lebih nendang lagi. Tapi leluconnya kinda datar, it’s hard enough membayangkan peraturan universe mobil-mobil itu. Dent pada konsep, dan Pixar berusaha sebaik mungkin menggali apa yang mereka bisa dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CARS 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply