“You don’t have to change a thing, the world could change its heart.”
Hidup adalah sihir dan keajaiban. A wonder. Tapi kita lebih sering lupa ketimbang sadar. Jiwa dan hati kita kerap tersilaukan. Film ini, dengan kapasitas emosi yang sungguh manusiawi, bertindak sebagai pengingat untuk itu.
Adalah Auggie, anak kecil yang terlahir ke dunia semburat cemas di wajah ayahnya dan teriakan pilu sang ibu. Dua-puluh-tujuh operasi harus didera oleh wajah Auggie supaya dia bisa bertahan hidup. Dan tumbuh menjadi anak normal. Auggie suka Star Wars. Hari favoritnya adalah Halloween. Dia suka olahraga – di video game. Dia main Maincraft. Dia gemar pelajaran ilmu alam. Auggie pengen jadi astronot supaya dia bisa terbang ke bulan di mana dia bisa terus memakai helm antariksanya. Karena di sekolah yang sekarang sedang ditujunya bersama orangtua dan kakak, Auggie tahu dia tidak bisa pakai helm, seberapapun kepengennya. Auggie dan keluarganya tahu persis kesulitan apa yang bakal didapat ketika anak-anak yang lain melihat wajah Auggie. Ada anak kecil lain yang menangis ketakutan demi melihat wajah Auggie, bayangkan!
Anak-anak cenderung jujur, dan kadang kejujuran itu menyakitkan. Tak pelak, akan ada cibiran. Bisik-bisik. Perundungan. Pengucilan. Bumi tidak pernah menjadi sebuah tempat yang benar-benar sopan untuk anak-anak seperti Auggie. Film mengeksplorasi semua itu bukan hanya langsung dari mata Auggie, melainkan juga dari keluarganya, dari kakaknya, dari teman dekatnya. Dan hal inilah yang membuat Wonder tampil berbeda dari film-film yang punya cerita yang mirip. Sudut pandang menyeluruh tentang bagaimana orang-orang sekitar Auggie terpengaruh oleh keadaannya.
Cerita yang membahas sebuah tokoh yang mengalami kekurangan, fisik maupun mental, kerap terjatuh ke dalam lembah keterlalusentimentilan. You know, film tersebut jadi target mudah kritik lantaran menghadirkan aspek-aspek emosional yang terlalu manipulatif. Dibuat demi memeras sebanyak mungkin air mata kita-kita yang nonton. Kita melihat adegan anak dibully, kemudian dicuekin orangtuanya, dan kita bisa bilang ini adalah trik ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ yang tentu saja dibangun untuk menumpuk drama. Tapi, aku menemukan kejadian yang kita saksikan pada film Wonder ini cukup akurat, dan gak kayak dibuat-buat. Anak-anak memang bisa begitu kejam kepada temannya yang berbeda, apalagi cacat. Aku pernah seharian nungguin adikku yang baru masuk SD, dan aku melihat beberapa anak dimarahin oleh guru karena melempari seorang anak yang tampak jelas berasal dari luar pulau, dan setelah itu ada satu dua anak yang menenangkan si anak korban bully yang menangis. Ada juga yang seperti adikku, hanya memandang dari jauh – dari belakangku. Balik ke Wonder, menurutku film ini sangat spesial karena dia berusaha menampilkan realita bahwa akan selalu ada perundung, but also akan selalu ada anak-anak yang memberanikan diri untuk memilih baik ketimbang jujur.
Sudut pandang cerita Wonder kerap berganti demi memperlihatkan sisi lain dari orang-orang sekitar Auggie yang terkena pengaruh darinya, namun fokus tetap pada tokoh Auggie. Bahkan para penampil sepertinya juga paham akan hal ini. Sutradara dan penulis Stephen Chbosky indeed berhasil memancing yang terbaik dari para aktornya. Sebagai orangtua Auggie ada Owen Wilson dan Julia Roberts, keduanya bermain sangat baik. Aku sendiri suka banget sama penampilan Owen Wilson sebagai ayah yang tidak ingin menutupi kenyataan kepada anaknya, dan dia berusaha seceria mungkin demi itu. Ketika mereka enggak duel lightsaber atau main video game, Ayah akan mengambil ini sebagai kesempatan untuk mengajak Auggie duduk bicara tentang bagaimana dunia dan he kinda have to deal with it. Namun baik Wilson maupun Roberts, mereka tidak berusaha mencuri spotlight dari Auggie. Karena film ini adalah tentang Auggie dan merupakan kesempatan buat Jacob Tremblay bersinar. Dan di film ini, melalui penampilan tegar dan bikin sedih, dengan seiap ekspresi kuat menguar dari balik riasan efek meyakinkan itu, Tremblay membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik di antara generasinya.
Auggie adalah karakter yang sangat likeable. Tapi sesungguhnya ada satu arc cerita lagi yang wajib kita perhatikan, karena menurutku, storyline ini, in a way, lebih kuat. Tentang Via, kakak Auggie. Tentang bagaimana dia merasa tersisihkan. Via adalah cewek yang mandiri, dia sayang banget sama adiknya. Namun dia juga sedang berada dalam masa hidup yang sulit sebagai remaja. Dia juga butuh perhatian kedua orangtua. Masalah Via paralel dengan masalah Auggie, mereka berdua mengalami kesulitan dengan teman. Film menggiring kedua sudut pandang ini, juga sudut pandang teman-teman yang lain, dan menyimpulnya menjadi kisah yang hangat dan sangat manis.
Auggie dan Via. Terkadang aku merasa aku seperti mereka berdua, rolled into one miserable, most pathetic entity in the world. Dan memang itulah yang diniatkan oleh film ini. Supaya kita merasa kita sama dengan mereka, dan anak-anak yang lain. Supaya kita sadar bahwa tidak ada yang sempurna. And yet, kita tetap memandang rumput orang lebih hijau. Kita iri, ada yang kita inginkan dari apa yang dimiliki oleh orang. We wonder how to be better, dan kita berubah. Beberapa orang menjadi tukang bully karena ini. Beberapa menjadi penyendiri. Kena bully setiap hari. Intinya, syukuri apa yang kita punya, karena dunialah yang musti mengubah hatinya. Caranya? dengan mencoba untuk selalu berbuat baik.
Jika David Lynch menggunakan pendekatan horor sebagai topeng cerita emosional di The Elephant Man (1980), maka Chbosky lebih memilih penggunaan ragam perspektif. Sayangnya, ini juga sekaligus menjadi kelemahan sebab dalam penanganannya, Wonder tampak terburu-buru mengakhiri beberapa arc. They kinda wrap things up really quick in just one scene. Misalnya adalah cerita dari sudut pandang teman baik Via. Diceritakan setelah musim panas, persahabatan mereka merenggang, mereka gak gaul bareng lagi, mereka tidak pernah ngobrol seperti dulu lagi, untuk kemudian arc ini dibungkus begitu saja, kesannya terburu-buru. Mereka baikan, dan Auggie secara tidak langsung berperan di sana. Film mestinya bisa menuntaskan dengan lebih baik, dan di luar aspek beberapa arc yang rushed tersebut, aku gak menemukan masalah lagi.
Secara emosional, ini adalah film yang memuaskan. Bukan karena yang jahat dapat hukuman. Tapi, karena film adaptasi novel best-seller ini sukses menyampaikan pesan, bukan hanya soal menghargai orang seperti Auggie layaknya manusia yang berperasaan, sekaligus juga tentang bagaimana komen singkat, candaan sepele dapat berdampak gede kepada orang yang dibercandain. Harapannya adalah semoga dengan menonton film keluarga ini, anak-anak (bahkan orang dewasa!) jadi tergerak, jadi berani untuk mengambil tindakan yang benar dalam pergaulan mereka dengan teman sehari-hari.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WONDER.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge
Comments