THE SNOWMAN Review

“A family ship will never sink until it is abandoned by its crew.”

 

 

 

Tidak ada alasan buat The Snowman untuk bergulir menjadi film yang, paling enggak menjadi film yang baik. Film ini diangkat dari novel best-seller. Eksekutif produsernya adalah the one and only Martin Scorsese. Disutradarai oleh Tomas Alfredson yang bikin salah satu film vampir paling beda, Let the Right One In (2008). Dibintangi oleh aktor-aktor kawakan yang di antaranya berjudul Michael Fassbender, Rebecca Ferguson, juga J.K. Simmons. Namun, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya bisa membayangkan, kalolah film ini manusia salju, maka ia adalah manusia salju yang pecah berantakan ketika masih berbentuk bola, dan pecahannya terhampar gitu saja di tanah. Menciptakan sebuah kekacauan yang tampak berkilau dan sejuk dipandang mata. INDAH. TAPI KACAU

 

Dan inilah persembahan musikal kami buat film ini.

“Do you want to build a snowman?”

/Martin,/ knock knock knock knock!

/Ayo bikin film Snowman.

Misteri pembunuhaaaan.

Pembunuhnya bunuhin cewek,

Mutilasi,

Jadiin bonekaa.

Bikin mirip Zodiak,

Tapi enggak,

Ceritanya musim dingiiinnn.

Ayo bikin film Snowmaaann.

Pastikan hasilnya keren./

Lu aja

/Oke, bye/

 

Keindahan sinematografi dan talenta-talenta luar biasa itu jadi membeku sia-sia oleh penceritaan yang sangat membingungkan. Tokoh utama kita adalah Michael Fassbender sebagai Harry Hole, seorang detektif pemabuk yang sedang memburu seorang pembunuh berantai yang meninggalkan jejak berupa orang-orangan salju yang actually dibangun dari anggota tubuh korbannya. Kesamaan antara para korban adalah mereka wanita, yang punya anak dan keluarga. Si pembunuh juga lantas mengirimkan pesan misterius kepada Harry dan rekannya. Jadi kita melihat mereka ngumpulin petunjuk, sekaligus bergulat dengan masalah pribadi. Harry, eventually, menemukan bahwa kasus ini sangat relatable bagi dirinya.

Tanda pertama film ini punya masalah adalah di boneka salju itu sendiri. Jika Goosebumps saja gagal membuat anak-anak ketakutan sama orang-orangan salju, maka kesempatan apa yang dipunya oleh film ini, yang boneka saljunya kelihatan literally seperti dua bola salju biasa dengan mata dan mulut dari biji kopi hitam. Setiap kali film ini ngezoom wajah seringai boneka salju sambil mainin musik dramatis, setiap kali itu pula aku gagal untuk merasa takut. Mereka enggak seram, itu aja. Kasih liat merah darah, mungkin mereka jadi sedikit menakutkan. Tapi enggak, mereka tampil biasa aja, padahal ada mayat di baliknya.

Tokoh utamanya juga ditampilkan biasa sekali. Harry Hole semestinya adalah tokoh detektif yang jenius, namun dia merusak dirinya sendiri dengan mabuk-mabukan, dengan tidur di jalanan. Dia meninggalkan keluarganya. Actually, porsi kenapa dia disebut cakap dalam pekerjaan tidak pernah benar-benar dibuktikan. Malahan, hingga film berakhir, kita tidak pernah benar-benar kenal sama tokoh ini. Michael Fassbender melakukan semampunya untuk menghidupkan emosi Harry. Dia berusaha menampilkan banyak hal meskipun karakternya digali dengan teramat minim. Kita enggak pernah mengerti isi kepala si Harry. Kenapa dia begitu candu, dia pemabuk berat, dia mengganti rokoknya. Film ini tidak menampilka alasan di balik semua kelakuan itu. Kita mengerti dia punya masalah in regards to his family. Dia menjauh dari mereka lantaran dia sadar akan membawa dampak buruk bagi keluarga, tapi film tidak menjelaskan kenapa Harry suka minum, kenapa dia melakukan semua kebiasaan jelek yang ia kerjakan.

Kenapa seorang ayah meninggalkan istri dan anaknya. Pertanyaan itulah yang menjadi konflik utama dari film The Snowman. Isu abandonment menguar kuat di sini. Beberapa memang adalah pertanda dari tindak ketidakbertanggungjawaban. Film ini mengangkat pertanyaan, bagaimana jika seorang ayah baru merasa bertanggungjawab ketika dia pergi dari keluarga. Kapankah ninggalin keluara jadi terhitung bertanggungjawab. Kenapa Ayah, dan bukan Ibu, yang dipersalahkan, bukankah rumah tangga itu dibentuk oleh dua orang. Apapun alasannya, toh film masih tetap berpegang kepada moralnya bahwa meninggalkan keluarga adalah hal yang paling dingin yang bisa dilakukan oleh kepala keluarga, apapun alasannya.

 

Keseluruhan film terasa seperti bagian set up. Aku terus menunggu, menunggu, dan menunggu cerita berjalan, mengenal karakternya. Aku dengan sepenuh hati menguatkan diri, nanti bakal ada jawaban, aku akan mengerti semua. Tapi tetap aja, segala pilihan random si tokoh, segala adegan dan subplot itu tetap berujung pada kenihilan. Film ini banyak membangun, untuk pada akhirnya tidak menjadi apa-apa. Aku tidak mengerti background story dari Harry, kalian pikir mungkin aku yang tertidur dan terbangun di kursi, namun enggak. Aku melek sepanjang film. Berusaha memahami. Berjuang menangkap simbolisme, kalau-kalau ada informasi tersirat yang kulewatkan. Tapi aku tidak menemukan apa-apa. Malah terasa seperti ada bagian yang hilang pada film ini. Jika ini puzzle 500 keping, maka menonton film ini rasanya seperti kita berhasil menyusun 450 kepingnya, sedangkan keping sisanya lupa dimasukin penjual ke dalam kotak yang kita bawa pulang.

Misteri sebenarnya adalah dari sekian banyak nama belakang, kenapa namanya mesti Hole coba?

 

Tokoh-tokoh yang lain juga sama dibentuk dengan gak memuaskannya. Backstory Tokoh Rebecca Ferguson diceritakan lewat flashback, namun tetap saja masih kabur, karena tampak sekenanya. Hampir seperti adegan yang ditambahkan begitu saja. Tokohnya J.K. Simmons, dong, misteri banget. Meskipun kita mengerti perannya di dalam cerita, akan tetapi di luar kepentingan supaya film misteri detektif ini jadi punya banyak tersangka sehingga aspek whodunit lebih kerasa, kemunculan tokohnya – lengkap dengan apa yang ia lakukan di sana, tampak sangat random dan seperti tidak ada urusan untuk mejeng di film. Sekuens tokoh ini melingkupi adegan-adegan konferensi soal kota mereka yang diperjuangkan sebagai tuan rumah Piala Dunia, dan buatku ini totally aneh dan gak klop sama elemen cerita yang lain.

Tomas Alfredson adalah sutradara yang paham bagaimana menangkap pemandangan indah. Dia mengerti cara membuat film terlihat cantik. Namun dalam menggarap bagian aksi, tampaknya adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Terbukti dari sekuens konfrontasi di menit-menit terakhir film. Editingnya parah sekali. Aku gak yakin apakah gerak kamera yang mereka lakukan disengaja supaya pemeran figurannya enggak keliatan banget atau memang sutradara enggak tahu bagaimana cara ngesyut adegan aksi. Mungkin juga sih, semua editing choppy itu dilakukan karena mereka enggak mau filmnya jadi terlalu sadis, tapinya lagi, ini adalah film pembunuhan dengan korban dimutilasi, pembunuhnya sendiri bersenjata kawat tipis, jadi kenapa mereka enggak embrace aja kesadisan adalah pertanyaan yang gak bisa kutemukan jawabannya untuk film ini.

Dan setelah semua itu, semua pilihan random, dan cerita convoluted itu, film ini masih punya nyali untuk masukin teaser seolah film ini bakal ada sekuelnya. Seolah film ini banyak yang suka. SEOLAH penonton begitu peduli dan minta nambah lagi. Ha!

 

 

Punya potensi untuk menjadi tontonan misteri yang menantang, sesungguhnya ini adalah film noir yang sudah seperti ditakdirkan untuk jadi bagus dengan segala talent gede di belakangnya. Tapi enggak. Film ini seperti es krim di tengah panas mentari, dengan cepat mencair menjadi tidak berbentuk. Tidak lagi sedap untuk dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for THE SNOWMAN.

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

Leave a Reply