A WRINKLE IN TIME Review

“The best way to gain self-confidence is to do what you’re afraid to do.”

 

 

Sebagaimana kita tidak bisa menilai film gitu aja dari trailernya, betapapun kecewanya, aku tidak bisa mengatakan A Wrinkle in Time sebuah film yang buruk semata karena lagu Scar to Your Beautiful nya Alessia Cara yang udah bikin trailer film ini terasa empowering, sama sekali tidak ditemukan di actual filmnya. Akan tetapi, petualangan fantasi anak-anak terbaru dari Disney ini menjelma, dari novel dengan pesan dan pelajaran tentang perbedaan yang kuat menjadi film yang kurang memuaskan untuk alasan yang lain. Dan sebagaimana guru waktu SD dulu suka memuji sebelum menasehati “tulisan tangan kamu bagus ya, tapi…..”aku akan mengulas terlebih dahulu elemen-elemen yang membuat film ini pantas untuk ditonton lantaran ia berbeda dari fantasi kebanyakan (bahkan dari film superhero), supaya A Wrinkle in Time punya kesempatan untuk berjuang.

Beberapa momen di babak awal yang menyangkut keluarga tokoh utama kita, Meg, benar-benar terasa menyentuh. Kehangatan di rumah tangga mereka yang multikultural menguar deras. Kedua orangtua Meg adalah ilmuwan. Meg terutama sangat dekat dengan ayahnya yang berkulit putih. Adegan-adegan emosional nantinya akan banyak melibatkan hubungan ayah dan putrinya ini, dan film melandaskan bibit-bibit tersebut dengan sangat baik. Ayah Meg bereksperimen dengan ide yang menarik seputar bahwa dimensi di alam semesta bisa dilipat umpama kertas sehingga seseorang bisa bertransportasi dari ujung dunia ke ujung satunya lagi, berpindah beribu-ribu tahun cahaya, hanya dalam beberapa detik. Oleh percobaan tersebutlah, ayah Meg menghilang begitu saja. Empat tahun dia tak kembali, padahal namanya bukan Bang Toyib. Peristiwa ini sangat mempengaruhi Meg. Seketika dia menjadi tertutup, kepintarannya tak lagi cemerlang, hubungan sosialnya meredup – ia jadi dibullly teman-teman di sekolah. Semua aspek karakter Meg ini ditangkap dengan otentik oleh cerita, membuat aku merasa kasihan kepadanya. Meg terlibat masalah di sekolah, dia tidak lagi konfiden bergaul karena selalu memikirkan sang ayah. Sampai ketika tiga wanita aneh bertandang ke halaman belakang rumahnya. Mereka mengajak beserta adik dan cowok teman sekelas Meg mengarungi dimensi dunia demi mencari ayah Meg yang kemungkinan besar masih hidup di suatu tempat di pelosok semesta.

Setiap kita pernah takut untuk menjadi diri sendiri. Ragu untuk berdiri demi keyakinan sendiri. Padahal di dunia yang penuh warna-warni, kita paling tidak boleh untuk kehilangan jati diri. Karena jika cantik  itu luka, maka sebaliknya kita bisa mengenali kekurangan yang dimiliki dan menjadikannya sebagai kekuatan.

 

Film bekerja dengan ketulusan dan genuine maksimal pada titik terendah hidup Meg – saat dia harus berurusan dengan kehilangan dan kekecewaan mendalam yang tak ia tunjukkan. Kisah yang berpusat pada anak-anak sembari menekankan kepada kebimbangan perasaan, diwarnai dengan perbedaan kulturasi, mungkin baru sekali ini dibuat segrande ini. Karakter Meg adalah seorang kutubuku, yang justru jarang tampak pintar karena ia menutup semua rapat-rapat. Ke-insecure-annya membuat tokoh ini menjadi efektif sebagai tokoh utama. Meg harus belajar untuk mengenali kekurangan yang ia miliki. Storm Reid yang memerankan Meg lumayan baik memainkan adegan-adegan emosional yang dibebankan kepadanya. Penonton cilik akan gampang terelasi kepada tokoh ini, pun dia membawa pesan yang bagus yang bisa mereka petik dari anak cewek yang enggak pede sama apa yang dianugrahi kepadanya. Aku gak yakin apakah arahan dari sutradara Ava DuVernay mengharuskan Reid senantiasa tampil ‘gak lepas’ atau gimana, karena pada beberapa adegan di mana Meg discover hal-hal menakjubkan (kayak manusia berubah menjadi monster daun selada cantik) di depan mata kepala, anehnya Meg tidak kelihatan surprise-surprise amat.

aku mungkin gelinjang gila-gilaan demi ngelihat Oprah raksasa di halaman rumah

 

Baru-baru ini, aku membaca berita mengerikan yang dishare temen di twitter; tentang anak empat tahun yang membunuh adik bayinya karena sering dibecandain dengan “ada adek, nanti mama gak sayang lagi ama kamu”. It was such a terrible joke yang bisa dilontarkan orang dewasa kepada anak kecil, sebab kasih sayang antar anggota keluarga semestinya tidak perlu lagi dipertanyakan. Film ini bilang, cinta itu ada meski sering tidak kelihatan. A Wrinkle in Time, dalam kapasitas bijaknya, membuat perubahan dari source material sehubungan dengan Meg dan adiknya. Kita lihat Meg sempet bimbang juga ketika ayahnya berniat mengadopsi bocah bernama Charles Wallace. Dan sesungguhnya elemen adik adopsi ini menambah lapisan relationship Meg dengan keluarga, sekaligus menambah bobot terhadap aspek keluarga multicultural. Utimately, adik adopsi ini berperan penting terhadap tema besar yang diusung oleh film, yaitu kekuatan cinta, sebab antara Meg dan Charles bukan lagi sekedar keharusan karena mereka berhubungan darah, it is actually cinta sejati yang terbentuk di antara dua yang merasa sebagai sebuah keluarga.

Kita harus menerima hal yang tidak bisa kita ubah, dan pada gilirannya kita harus menerima bahwa kita harus melakukan sesuatu perihal hal yang  bisa kita ubah. Jangan takut. Kita harus belajar menyinta, sebab kemenangan dengan cinta adalah kemenangan yang sesungguhnya.

 

 

Menemukan kembali ayah memang adalah tujuan mereka, namun petualangan antardimensi yang mereka tempuhlah yang menjadi kunci petualangan mereka – yang mana juga adalah faktor yang mestinya paling kita nikmati. Di planet pertama, rombongan Meg singgah di tempat di mana perbukitannya hijau, lautnya berkilau cemerlang, dan bunga-bunganya bisa ngegosip pake bahasa warna. Sekuens yang mengikuti di poin ini benar mengagumkan. Dan, mengesampingkan fakta bahwa film gagal untuk mengeksplorasi bahasa warna dan elemen fantasi lain,  sekuens di planet ini adalah pemandangan terbaik yang dipunya oleh film secara keseluruhan. Sayang memang, untuk petualangan yang lain, efek yang digunakan tidak seimpresif yang diniatkan untuk tercapai, apalagi untuk ukuran budget sekantong pundi milik Disney.

Untuk memperparah lagi, film menjadi sangat ketergantungan kepada efek-efek ini, padahal tadinya kita udah dibuat percaya dan menapak kepada hati cerita. Masuk babak kedua, hingga akhir, hanya pertunjukan efek dengan banyak cerita yang disumpelin biar muat seratusan menit. Sentuhan manusiawinya tak lagi terasa kuat. Kita dituntun oleh dialog-dialog eksposisi, dan desain suara serta musik soundtrack yang sangat intrusif. Pada awal penerbitan bukunya di tahun 1962, cerita A Wrinkle in Time sudah dicap sebagai tidak-bisa-diadaptasi. Pada film ini terlihat jelas, terbukti bahwa ketidakbiasaan itu bukan karena teknologi melainkan karena apa yang harus diperlihatkan akan berbenturan dengan pesan cerita mengenai berimajinasi. Kekuatan narasi itu berkurang setingkat. Pun terasa ironis, untuk sebuah cerita yang memerlukan tokohnya untuk tidak mementingkan penampilan, film ini – tidak bisa tidak untuk – terlihat luar biasa berjuang menyuguhkan visual yang cantik. Akibatnya, pesan maupun penyimbolan yang berusaha diintegralkan ke dalam adegan menjadi tidak lagi bertenaga.

“Daaaaamn” Tucker, Amerika

 

Film ini bicara tentang menjadi satu dengan semesta. Sendirinya, film terlihat berdiri goyah di batu-batu gem di dalam gua planet tempat Zach Galifianakis bersemayam. Berusaha menyeimbangkan visual dengan cerita, tema dengan fantasi. Berhasil? Tidak juga, cerita kewalahan berpindah dari hubungan keluarga, ke berlarian menyelamatkan diri, ke romansa anak remaja, dan kebanyak mode lainnya. Jadinya banyak yang tertinggalkan datar. Ketiga ‘penyihir eksentrik’ itu misalnya, mereka mestinya bisa lebih banyak berperan daripada sekadar pembimbing yang bertutur paparan. Film justru menyandarkan bahunya kepada pemeran anak-anak, yang mana masuk akal karena ini adalah film anak-anak, hanya saja, umm pilihan aktornya mestinya bisa lebih dipikirkan lagi. Peran Charles Wallace tampaknya memang terlalu besar bagi aktor cilik Deric McCabe. Cerita banyak memberikan tugas dan range buat tokoh ini, yang disampaikan oleh McCabe dengan sama sekali tidak meyakinkan. It was very bad. Terutama ketika wajahnya diclose up, pada babak terakhir sering tuh, ekspresinya tampak sangat dibuat-buat.

Yang bikin aku ngakak adalah ketika Meg berteriak gimana dia tidak mau kehilangan adiknya, dia enggak akan biarkan adik terpisah dari dirinya, sementara pada adegan sebelum itu kita sama-sama melihat dia oke-oke saja berlarian dikejar angin gede tanpa kehadiran Charles, dan Meg tidak tampak merisaukan hal ini. Untuk kemudian Charles muncul begitu saja entah darimana. Ketidakkonsistensian kayak gini yang jadi pertanda cerita film sangat njelimet.

 

 

 

 

Meninggalkan elemen sci-finya, ini adalah cerita yang mengajarkan anak untuk mencapai kepercayaan diri. Tokoh utama film ini dihadapkan pada tantangan berupa kehilangan dan tuntutan sosial, yang mana ada kondisi yang juga tak bisa dihindari di luar sana. Anak kecil bisa saja akan sangat menyukai film yang menjadikan perwakilan mereka sebagai pusat semesta. Hubungan antarkeluarganya pun dibahas dengan hangat. Tapi penceritaannya bisa sangat kontra dengan apa yang mau disampaikan. Terlalu banyak yang dibahas juga, judulnya pun sepertinya lebih tepat kerutan pada tempat, alih-alih waktu, yang kemudian turut menambah kerutan pada kening kita saat menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for A WRINKLE IN TIME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Leave a Reply