MARY AND THE WITCH’S FLOWER Review

“To see ourselves as others see us can be eye-opening.”

 

 

Mary and the Witch’s Flower yang datang dari tangan yang sudah membawa The Secret World of Arietty (2010) dan When Marnie was There (2015) kepada kita ini actually adalah animasi paling pertama yang ditelurkan oleh Studio yang bisa dibilang ‘anak’ dari Studio Ghibli; yakni Studio Ponoc. Jadi, tentu saja aku senang. Bahwa masih ada yang mau mewarisi fantasi dan dongeng kanak-kanak simpel di dunia sinematik yang sepertinya begitu sibuk berlomba-lomba membangun universe yang ‘wah’ untuk mencetak uang dan jumlah penonton, tapi nyaris melupakan akar rasa, cipta, dan karsa. Mary and the Witch’s Flower dengan segera menjerat imajinasi kita lewat sekuens aksi yang menguar kuat pesona animasi Studio Ghibli; menawan dengan begitu banyak hal-hal kreatif yang bisa dinikmati. Cerita akan membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan makhluk hidup yang aneh, teknologi yang kelihatan tidak mungkin, simpelnya kita bisa bilang film ini akan membawa kita menonton hal-hal yang mungkin hanya ada di dunia mimpi. Tidak akan pernah bosan rasanya melihat animasi secantik yang ditampilkan film ini, gambar-gambar yang seolah menyeruak lompat keluar dari layar.

Sesuai dengan dongeng yang jadi adaptasi ceritanya, ‘Hero’ kita dalam film ini adalah Mary, seorang anak cewek berambut merah berantakan yang anak-anak banget. Dia gampang tertarik dengan banyak hal, bahkan kerjaan tukang kebun mengikat bunga agar tegak lurus aja terlihat sebagai sebuah tugas yang mengasyikkan baginya. Namun Mary ini anaknya ceroboh. Dia ingin membantu seputar pekerjaan rumah Bibi Charlotte, hanya saja setiap yang ia sentuh berakhir berantakan. Mary sebenarnya bosan, libur musim panas masih seminggu lagi, dia enggak tahu harus ngapain. Mau main juga sama siapa? Anak seusianya yang gak pergi liburan ke luar kota cuma Peter, yang nyebelin karena hobi menggoda Mary. Jadi, Mary memutuskan jalan-jalan ke hutan. Di mana ia bermain dengan dua ekor kucing.  Suatu saat, Mary mengikuti kedua kucing tersebut terlalu jauh ke dalam hutan, sampai ia menemukan bunga biru aneh dan sapu jerami. Karena kecerobohannya, bunga bundar itu pecah, cairannya mengenai tangan Mary, dan hal aneh bin ajaib pun terjadi. Mary jadi punya kemampuan sihir, dia jadi bisa terbang dengan sapu jerami tadi. Eventually, dia terbang menembus awan menuju sebuah tempat fantastis yang mengajarkan ilmu sihir!

bahkan J.K. Rowling sepertinya juga baca kisah “The Little Broomstick”

 

Dari seseorang yang suka kesel sendiri ama rambutnya, Mary jadi dipuja karena rambut merahnya dikenal sebagai ciri penyihir yang sangat cakap. Dari yang selalu fail ngerjain sesuatu, Mary jadi punya kekuatan dan tentu saja tanggung jawab yang enggak kecil. Mary, dalam esensi cerita, harus figure out apa yang sebenarnya ia butuhkan; untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang ceroboh dan selalu ‘salah’ dalam ngerjain sesuatu, atau menjadi penyihir yang kuat agar bisa membantu lebih banyak makhluk. Perjalanan tokoh Mary mestinya adalah sebuah perjalanan yang menarik, karena kita pun lebih sering daripada enggak, menginginkan diri kita menjadi sedikit lebih sempurna.

Aku menyebut arc tokoh seperti Mary ini sebagai arc-komik, karena sebagian besar beginilah tokoh-tokoh superhero dalam buku komik mendapatkan kekuatan. Ambil contoh Spiderman. Peter Parker digigit oleh laba-laba dan mendadak dia jadi punya kekuatan super, dia bertanggung jawab menyelamatkan dunia dari orang-orang jahat. Mary mendapat kekuatan sihir dari bunga yang tanpa sengaja ia temukan. Kekuatan Mary, seperti kekuatan Spiderman, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mereka dapatkan. Mary bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Di Endor, sekolah sihir yang ia datangi, semua orang begitu kagum akan kekuatan Mary, sementara dia sendiri tahu persis kekuatannya dari bunga – bukan miliknya sendiri. Perjalanan tokoh Mary adalah membuktikan apakah dia pantas punya kekuatan seperti itu, bagaimana jika nanti dia tidak lagi punya. Film ini menceritakan pertanyaan tersebut dengan cara yang lumayan fresh di sepertiga akhir cerita. Hanya saja, aku tidak merasa begitu peduli terhadap tokoh ini lantaran segala perjalanan dan arcnya tersebut enggak pernah terasa begitu jelas, dalam sense penokohan.

Kita ingin untuk punya semua jawaban. Mary benar-benar mewakili kanak-kanak dalam diri kita yang menginginkan perubahan. Kita mau tampak lebih baik untuk diri kita sendiri. Karena kita pikir, orang-orang di sekitar kita menginginkan hal tersebut. Namun kenyataannya adalah, mereka tidak akan melihat diri kita sebagaimana kita melihat ourselves. Kualitas yang kita miliki, hanya bisa dinilai oleh orang lain yang merasakan langsung apa yang kita perbuat demi, untuk, dan kepada mereka.

 

Yang membedakan Mary dengan Peter Parker, atau bahkan dengan Harry Potter sekalipun, adalah kehidupan Mary sebelum dia ketemu bunga dan sapu terbang adalah kehidupan yang minim drama. Jadi ketika dia mendapat kemampuan baru, semua itu hanya tampak seperti ‘mainan baru’ baginya. Petualangan magical tersebut seperti hal menyenangkan yang bisa ia kerjakan selama satu malam. Biasanya, sebuah cerita dengan tokohnya yang mengalami petualangan, tokohnya akan menemukan sesuatu yang integral dengan masalah dalam hidupnya, dan sesuatu yang ia temukan tersebut akan membuatnya belajar, akan mengubah hidupnya. Seberapa besar perubahan yang mereka alami akan bertindak sebagai bukti kesuksesan penokohan. Mary tidak punya masalah apa-apa, selain dia ingin mengisi hari dengan hal yang berguna yang ia lakukan. Di luar keputusan kesatria yang ia ambil di akhir petualangan, Mary tidak benar-benar belajar banyak tentang apapun yang ia alami selama bertualang. Sebagai tokoh, Mary tidak diberikan ‘kerjaan’ yang membuatnya terlalu stand out. Dia hanyalah seorang anak yang enggak bisa mengerjakan apapun dengan baik, sehinggadia mendapat kekuatan yang menyebabkan dia bisa melakukan sihir-sihir yang keren tentu adalah gagasan yang bagus, namun film membuat kekuatan itu tampak seperti hal yang ia temukan, tanpa membuat Mary melakukan hal yang benar-benar signifikan dengan kekuatan tersebut terhadap dirinya yang terdahulu.

bayangkan Rey balik jadi scavenger lagi setelah belajar dan menguasai The Force

 

Adegan pembuka film ini sebenarnya sudah sangat memukau. Sayangnya, tokoh-tokoh yang kita temukan setelah itu tidak berhasil untuk menarik minat dengan sama kuatnya. Malahan, aku merasa openingnya sendiri lebih menarik untuk dijadikan film utuh ketimbang apa yang actually kita dapatkan. Apa yang Mary pelajari tentang sejarah keluarganya tak pelak akan lebih nendang buat penokohannya. Padahal, film ini sebenarnya juga menyinggung soal ilmu pengetahuan dan dampaknya terhadap lingkungan. Tokoh antagonis film ini berencana untuk melakukan rangkaian eksperimen yang membuat hewan-hewan dan manusia bertransformasi menjadi makhluk baru. Sebuah tindakan yang tentu saja melawan etika dan kemanusiaan. Tapinya lagi, selain kerjaan yang jahat ini, kita tidak mengerti apa motivasi tegas dari antagonis untuk melakukan hal tersebut.

 

 

 

Dari segi visual dan musik, film ini sungguh bikin takjub. Adegan pembukanya juga membuat kita geregetan. Aspek teknikal film ini sepertinya tidak perlu dikhawatirkan. Sebagai film pertama, aku punya harapan gede buat Studio Ponoc. Terutama aku berharap mereka dapat bercerita dengan lebih baik lagi, karena apa yang kita dapat pada film ini adalah spektakel yang thrilling, namun naskahnya kosong dalam penokohan, karakter-karakternya masih butuh a lot of work dengan cerita yang mestinya bisa dibuat lebih jelas dan tegas lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MARY AND THE WITCH’S FLOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Leave a Reply