“Politics have no relation to morals.”
Untuk melepas penat kerja sepekan, kita perlu waktu libur satu hari. Liburan diciptakan supaya dinamika performa kita harmonis; agar stres yang menumpuk, mumet dan kebosanan yang terhimpun selama hari-hari rutinitas, dapat terlampiaskan. Sehingga kita merasa lega, dan siap untuk dihujani dengan tugas dan kerjaan berikutnya. Semua perlu liburan sebagaimana butuh kerja. Orang yang kurang piknik, akan gampang marah-marah, isi twitnya dijamin bakalan nyolot ga tentu arah hihi
Konsep melepas beban tersebut juga berlaku dalam praktek kehidupan sosial yang lebih luas. Kriminalitas yang terjadi di masyarakat mungkin salah satunya disebabkan oleh pelaku yang merasa terbebani oleh peraturan. Jadi, mereka melakukan kejahatan sebagai bentuk penyaluran. Supaya mereka bisa lega dan dapat melanjutkan menjadi orang yang baik hari berikutnya. Maka, sudah semestinyalah, perlu diberikan waktu khusus untuk semua orang supaya bisa melampiaskan nafsu bejat mereka, tanpa perlu takut kena hukuman. Kurang lebih kayak liburan, cuma yang ini adalah libur dari kebaikan. Dunia dijamin menjadi tempat yang lebih baik jika hal tersebut dilakukan. Benarkah demikian?
Sejak diluncurkan tahun 2013 yang lalu, The Purge sudah berusaha untuk membawa kita berdiskusi ke ranah yang menyeramkan soal apakah sebaiknya disediakan waktu khusus di mana semua orang bisa melanggar hukum semaunya. Aku sendiri sangat tertarik dengan tema moral dan hubungan sosial yang dibincangkan oleh film ini, makanya setiap ada sekuelnya yang keluar, aku selalu menonton dengan antusias. Mengerikan memang, membayangkan gimana cara kerja Malam Purge di dunia nyata. Kota yang dengan lantas berubah menjadi seperti wasteland di dunia Mad Max; dengan geng-geng haus darah berkuasa di setiap bloknya. Aku bergidik sendiri mengingat gimana jadinya kalo di Indonesia beneran ada yang kayak gini. Apa aku akan bikin gang sendiri, atau malah jadi duluan yang terbunuh haha
The First Purge membawa kita melihat reaksi masyarakat Staten Island ketika mereka mengetahui tempat tinggal mereka dijadikan tempat uji coba Purge oleh partai New Founding Fathers, yang mana membuat mereka semua adalah tikus percobaannya. Para warga bebas untuk memilih enggak ikutan dan mengungsi sebentar ke daerah lain. Atau; mereka bisa tinggal di rumah dengan dibayar, dan bahkan dibayar lebih gede lagi jika ikutan berpartisipasi melepas stres dalam 12 jam bebas hukum tersebut. Ini adalah elemen yang sudah banyak diperbincangkan orang saat film pertama Purge keluar. Benerkah orang-orang akan langsung bunuh-bunuhan jika membunuh dilegalkan. Tapi kita – apalagi kalo sudah menonton American Animals (2018) – tahu lebih baik. Berbuat jahat itu tak segampang dan semenarik yang kita bayangkan. Malahan, hanya ada satu orang yang diperlihatkan oleh The First Purge sebagai yang benar-benar menikmati Purge sebagai ajang pemuas nafsu bunuh-bunuhan. Penduduk yang lain, ya mereka menjarah, merampok, melakukan vandalisme, tapi setelah itu mereka lantas berpesta. Tidak ada darah yang diteteskan. Kondisi yang seperti ragu-ragu, reaksi pertama terhadap percobaan Purge, inilah yang membuat separuh awal The First Purge terasa segar.
Film ingin menunjukkan kemanusiaan belumlah sirna dari dunia, sesakit apapun keadaan sepertinya. Bahwa chaos sejatinya tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena dirancang. Program Purge tidak akan berhasil jika tidak ada pihak yang menyetir, yang menyebarkan ketakutan, yang menggunakannya sebagai alat politik. Yang menyebabkan manusia begitu berbahaya bukan karena insting bertahan hidup, melainkan karena manusia adalah makhluk yang berpolitik.
Film ini juga bermain-main dengan trope di dalam semestanya sendiri. Seperti kenapa peserta Purge selalu memakai topeng. Kenapa masih menutupi identitas padahal pada malam Purge semua tindak kejahatan dilegalkan. The First Purge mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengaitkannya dengan sisi psikologis. Bahwa mungkin rasa malu itu masih ada. Menyadari ikut serta karena punya dendam yang tak berani diselesaikan dengan baek-baek, mengakui bahwa mengikuti nafsu binatang adalah perbuatan tercela, bahwa membunuh, merampok, memperkosa, sekalipun legal masihlah tindakan yang tidak pantas dibanggakan. Maka orang-orang lebih suka memakai topeng. Untuk meyakinkan bahwa mereka pada malam Purge bukanlah mereka yang sebenarnya. Di samping masalah psikologis tersebut, The First Purge juga memperlihatkan alasan lain tentang mengapa topeng digunakan. Sayangnya, alasan kedua yang mereka angkat ini tidaklah semenarik yang pertama, dan lebih disayangkan lagi justru alasan kedua itulah yang benar-benar diangkat menjadi topik utama oleh film.
Hadir pertama kali berbungkus thriller home invasion, Purge kemudian menghadirkan sekuel yang menjawab permintaan penonton. Orang-orang ingin melihat lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi saat malam Purge. Jadi di film kedua kita melihat cakupan yang lebih luas, kita dibawa turun ke jalanan pada malam paling berbahaya di Amerika tersebut. Setelah film kedua itu, semesta Purge mandek. Mereka hanya memperlihatkan hal yang basically sama pada film sesudahnya. Tidak ada pandangan yang lebih jauh mengenai Purge itu sendiri. The First Purge menjanjikan sudut pandang ketika acara tersebut pertama kali dicetuskan, dan film ini gagal memenuhi janjinya tersebut. The First Purge is exactly kayak film yang sudah-sudah. Mereka tetap tidak mengangkat sudut yang lain. Formulanya masih sama, berupa orang-orang yang harus mempersiapkan diri beberapa menit menjelang sirene dibunyikan, dan kemudian mereka terjebak situasi Purge, dan mereka harus bertahan hidup. Elemen-elemen psikologis hanya jadi latar. Cerita aktual tentang bagaimana Purge bisa dicetuskan tetap berupa eksposisi sepintas lewat montase headline berita.
Sebenarnya di film ini kita akan beneran bertemu dengan pencipta konsep Purge sebagai bagian dari kampanye politik partainya. Tapi karakter yang mestinya punya beban konflik moral, punya dilema, yang menarik untuk digali ini pun hanya terasa seperti tempelan. Karena fokus jarang sekali jatuh padanya. Kehadiran tokoh ini lebih terasa seperti karena film butuh sesuatu untuk direveal; kalian tahu, kayak kebanyakan film yang merasa perlu untuk masukin unsur twist. Kita diperkenalkan kepadanya begitu saja, ‘undur diri’nya juga turut terasa abrupt sekali. Instead, cerita akan berfokus kepada seorang pemimpin gang. Bandar narkoba muda yang sudah meraja di kota tersebut. Moral konflik yang dipasangkan kepadanya sebagai kait cerita adalah bahwa gimana dia menolak Purge yang membunuh manusia dalam satu malam, sementara kerjaannya sendiri merusak manusia 364 hari non-stop. Susah untuk peduli sama si tokoh utama – walaupun Y’lan Noel mainnya lumayan berkharisma dan cukup meyakinkan. Maka, film membawa cerita mengarah kepada warna ‘melindungi rumah sendiri’ dalam usahanya menyinari tokoh utama dengan cahaya simpati; gimana lingkungan tempat tinggal mereka digugah oleh kepentingan, dan mereka harus bekerja sama melindungi kemanusiaan di dalamnya.
The First Purge tetap seperti home invasion skala besar, dengan bukan saja unsur kekerasan yang dikurangi (karena cerita ini seperti setengah psikologis, dan setengah ‘ah sudahlah bikin yang heboh seperti biasa aja’), secara teknis film ini juga tampak lebih ‘murah’ ketimbang film-filmnya sebelum ini. Penulisannya menjurus ke konyol pada beberapa poin. Ada indikasi mereka ingin memparalelkan kejadian film dengan keadaan di dunia nyata, seperti ketika seorang politisi literally bilang “kita harus bikin Amerika hebat lagi”. Tidak ada kesubtilan, mereka menyebutnya dengan gamblang. I mean, bahkan nyindir juga mestinya ada seninya kan. Efek-efek yang ada kerap terasa ketinggalan jaman, ada bagian ketika film bermaksud merekam adegan yang misterius dengan banyak asap dan percikan darah, namun jatuhnya malah over-the-top because it feels cheap.
Pada satu poin, aku sempat heran apakah ini berubah menjadi film Searching (2018) apa gimana karena tiba-tiba kita melihat seorang tokoh penting dieksekusi lewat layar monitor. Kita tidak tahu gimana, bahkan apakah itu benar-benar si tokoh karena kita enggak bisa melihat wajahnya. Hanya orang yang terlihat mirip dia. Kenapa film tidak memperlihatkan langsung saja. Apa adegan tersebut ditambahin belakangan, baru sadar ada yang kurang tapi kontrak pemainnya sudah habis? Setelah paruh pertama, cerita benar-benar meninggalkan pacing, dan segala macem. Yang membuatku tertawa adalah ketika pasukan tokoh utama kita diberondong oleh drone, Dmitri masuk ke kolong mobil, dia hanya bisa melihat kaki teman-temannya – mereka sedang dihujani peluru. Dan setelah dronenya pergi, Dmitri langsung keluar begitu saja. Like, darimana dia tahu dronenya sudah pergi atau keadaan sudah benar-benar aman? Film tidak lagi memperhatikan sudut pandang, dan pada titik ini, kita hanya menonton untuk melihat orang mati dengan cara sesadis yang bisa kita harapkan.
Purge adalah alegori budaya kekerasan, korupnya politik Amerika, dan sistem ekonomi neoliberalisme yang curang. Salah satu episode Rick and Morty say it’s best. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin akan binasa. Purge pada akhirnya akan memutar roda ekonomi; penjualan senjata, sistem keamanan rumah. Kelas ekonomi bawah harus berjuang, sampai-sampai ada yang menjual hidup mereka demi keluarganya
Jika ini adalah Purge Night pertama kamu, mungkin aja sih, kamu-kamu bakal suka sama filmnya. Karena memang konsep dunia Purge ini selalu menarik. Makanya, para pembuat filmnya jadi susah move on. Installment barunya selalu terasa sama, dan enggak benar-benar menggali sudut yang baru. Mereka juga membuat serial TV The Purge, dan sejauh aku menonton (tiga episode) serial tersebut juga tak banyak berbeda dengan film ini. Jadinya ya enggak maju-maju. Tidak ada pencapaian pada setiap sekuelnya, tidak ada resiko yang diambil. Malahan, film ini tampak seperti yang paling males dibanding yang lain. Terhibur sih, tapi tetep aja kecewa karena aku pengen melihat Purge dibahas lebih dalam. Alasan kenapa ada Purge adalah hal yang dijanjikan oleh cerita, tapi kita tidak benar-benar mendapatkan hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FIRST PURGE.
That’s all we have for now.
Akankah kalian berpartisipasi jika Indonesia melakukan Purge? Berapa duit yang kalian minta? Benarkah kita butuh satu hari untuk melampiaskan diri akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik? Perlukah kejahatan dan dendam itu disalurkan?
Dan pada akhirnya, di mana posisi kita – para penonton semesta Purge; apakah kita menonton untuk melihat bagaimana akhirnya, atau hanya memuaskan dahaga karena kekerasan memang melegakan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Aku yg kelewat atau gimana. Aku g tau apa alasan orang2 yg g ikut purge tp juga g ikut ngungsi.
Mereka sebenarnya sudah diset untuk tetap tinggal sih sama NFFA (misi partai ini kan sebenarnya menghapus orang-orang miskin biar gak nyusahin negara); Staten Island dipilih karena penduduknya banyak yang pendapatannya kecil. Diimingi duitlah mereka supaya mau tetap tinggal. Yang harga dirinya tinggi dan menolak dibayar, tidak benar-benar punya pilihan selain tetap tinggal karena mereka punya sesuatu untuk dilindungi; si gangster D gak bisa ninggalin daerah jualannya karena nanti diambil sama gangster saingan, protesters memilih bertahan untuk melindungi daerah itu
Belum nonton sih yg baru ni..
tapi dulu pas pertama kali nonton ga sengaja di teve langsung menarik, gegara konsep nya unik, dkasi 1 malam buat ga khawatir ga bakal ada polisi yg ngejer lw karena melanggar hukum..
cuma liat review 4,5 mu jadi agak buat aing “ah entar aja nonton klo ada waktu, ga usah sekarang…” haha..
btw, tq review nya..
Blessed to you our New Founding Fathers and Indonesia, a nation reborn.. #mauPemilu2019 ;p
yang ada .5 itu buatku filmnya seru sih Rong, tapi ya kalo bagus enggaknya sih ya gitu-gitu aja filmnya hahaha.. wah pernah ditayangin di tv? banyak sensor kayaknya ya?
siapa tau ntar salah satu capres ada yang bikin program Purge hahaha
bisa soalnya di tv berbayar pe, channel luar negeri.. wkwkwkw
oh kirain channel tv indonesia haha
sy penggemar seri the purge sejak pertama kali muncul. dan seperti film2 franchise sejenis (paranormal activity dll.) makin lama memang kyk ftv2 dgn plot yg hampir sama cuman ganti pemeran aja. ngakak juga saat Dimitri keluar dari kolong mobil si Dronenya masih ada tapi Drone nya malah lempeng-lempeng aja apa kehabisan peluru kali ya..
si Dimitri antara berani, pasrah, atau gak berani melanggar kata-kata sutradara ahahah