“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”
Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”
Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.
Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?
Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.
Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.
Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.
Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’
Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.
Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.
Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.
That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
setuju sekaliiiii. Padahal waktu liat traillernya udah excited, mengira film ini bakal mendobrak ‘sesuatu’. Tapi, ya malah porsi drama lebaynya yg menguasai :))
sebagai jurnalis/reporter, siaran live seperti di endingnya pun ga masuk akal buatku. Aku berharap sebuah penyelesaian yang elegan. Tapi ya, ujung2nya kaya nonton termehek-mehek trans tv saja~
bisa berbobot banget nih film yaa, memang gak masuk akal banget bisa kejadian begitu.. ini kita belum ngomongin ketidakkonsistenan bahasa padahal ahahaha
Yah payah, ku kecewa.
aktingnya lumayan kok, ada yang lucu juga haha
wah sepertinya Arya memang harus nonton 99 Cahaya di Langit Eropa (part 1), film pertamanya Hanum Rais. Apa yang diinginkan dalam review ini sudah ada di film pertamanya. Makin ke sini memang makin mundur.
Kesimpulan -> 99 Cahaya di Langit Eropa > Hanum & Rangga > Bulan Terbelah di Langit Amerika
berarti semuanya sekuel gagal yaa, cuma mengulang-ngulang yang pertama, gak berhasil mengangkat/mengembangkan topik yang baru dari sana.. kebayang kalo kayak mas yg udah ngikutin dari pertama, nonton film yang ini berlipat ganda boringnya xD
Film hoax nih haha..kirain ada cut nyak dien di film eh taunya dipenjara kpk, malah menantunya yg muncul
belum sampe episode itu filmnya haha.. mungkin 3-5 sekuel lagi xD
Bang Arya hebat ya, bisa nonton film ini tanpa terpengaruh dengan masalah politik yang menimpa pengarang novelnya. Atau justru Bang Arya memang tidak mengikuti berita politik? (No Offense loh!)
Saya sih berusaha netral meski tidak berniat nonton filmnya (bukan karena masalah politik loh ya! Toh saya memang tidak mengikuti semua seriesnya).
Dan saya sih maklum kalau banyak yang membenci nih film, soalnya film ini diangkat dari kisah hidup pengarangnya, andaikan novelnya fiksi mungkin filmnya masih bisa diterima.
OOT! Berhubung Bang Arya menyinggung masalah macet di atas. Saya cuman bisa bersyukur karena di kotaku Alhamdulillah tidak pernah terjadi kemacetan, saya pribadi justru sering banget melanggar lampu merah (saya tidak bangga loh ya! Hehehehe) karena saking sepinya jalan plus Pak Polisi jarang jaga di persimpangan lampu merah. Hahahahaha…
Maklum lah kotaku termasuk kota kecil sih, Bioskop pun baru tahun 2017 kemarin diresmikan pertama kali. Hahahaha
BTW kotaku di Sampit, Kalteng.
Untuk kesekian kalinya, ini aku ngomong apa sih! 🙂
haha none taken, aku juga netral sih soal politik mah… sama sekali gak dimasukin ke alasan nonton. Aku nonton ini karena memang tertarik pertanyaan yang kudengar di trailernya aja, film ini sepertinya punya sesuatu untuk diomongin. Tapi ternyataaa hahaha
macet dan lampu merah itu sebenarnya buat ilustrasi analogiku aja sih, aturan-aturan di Islam kayak aturan-aturan lalu lintas. Kita butuh aturan, meski ya memang aku lebih sering melanggarnya juga sih xD
Kota masa kecilku (Duri, Riau) kecil banget, paling lampu merah cuma tiga biji, itupun cuma jadi hiasan – sama kayak helm, gak dipake, pengendaranya pada sakti-sakti semua
Not Recommended
Entah kenapa kalau nonton film drama religi Indonesia khususnya yang bernuansa Islami, saya malu sendiri soalnya kebanyakannya sih dibuat berlebihan sekali, orang Indonesia muslim di luar negeri kayanya lebay gimana gitu, seakan2 dia siapa sampai seluruh dunia harus tau kehebatan karakter film, kwkwkw ngomong apa saya, soalnya banyak sih contoh;
1.Ayat-ayat Cinta 1 dan 2 – tokoh Fahri sangat sempurna, AAC 2 luar biasa lebay (Check)
2.Ketika Cinta Bertasbih, lupa nama karakternya, tapi sempurna juga (Check)
3. Series 99 Cahaya, Terbelah (Check)
Masih ada lagi sih lupa judulnya karena nonton udah lama, ada satu film religi yang menurut saya lumayan Bagus sih Hijrah Cinta, film tentang Alm. Ustad Jefri, kalau menurut saya film ini yang benar-benar humanis dan tidak menggurui serta tidak menampakkan kehebatan tokoh utama, hehehe
kecenderungannya tokoh utama di film religi selalu dibuat terlalu sempurna ya, tipe-tipe teraniaya juga gak sih kebanyakan? referensiku kurang sih soal religi… kalo dramanya selalu cinta segitiga atau poligami gak?
yang baru-baru ini, Udah Putusin Aja itu tokoh utamanya bagus sebenarnya, ‘cacat’ parah hahaha – tapi ya, sayang, ceritanya agak terlalu menggurui, dunianya pun agak terlalu forced, ditambah kayaknya yang bikin film itu juga tidak terlalu ‘populer’ di kalangan netizen haha
Bukan teraniaya sih (saya jadi ingat sinetron azab), hahaha kebanyakan sih dibuat emang terlalu sempurna karakter utamanya, terus ceritanya
selalu fokus ke masalah Cinta, ceweklah, kalau ngga poligami, kalau ngga penyakit terus ujungnya mati atau gimana gitu terlalu apa ya bahasa, cheesy? Film religi berkutat seputar itu aja kaya ngga ada pembahasan lain, hahaha sering frustasi kalau nonton (tapi tetap ditonton, mungkin berharap bakal berbenah ceritanya), hahaha paling lawak sih sejauh ini Ayat Ayat Cinta 2.
Mencari Hilal lumayan sih filmnya, walaupun ngga istimewa banget, tapi bolehlah dari pada film religi tentang poligami dan cinta-cintaan, hehehe
mungkin karena religi itu pasarnya ibu-ibu pengajian kali ya, makanya cerita jadi seputar rumah tangga dan poligami… padahal kayak Mencari Hilal itu sebenarnya menyadarkan banget, religi cakupannya luas
Itulah ‘salah’nya film-film yang tokoh utamanya dibuat sempurna, akan susah membuat cerita yang jatohnya enggak playing victim – cenderungnya jadi tokoh utama selalu dizolimi dari orang-orang sekitar yang jahat. Tokoh Hanum sebenarnya ‘enggak sempurna’ kan, dia punya idealisme, dia punya ego, tapi naskah masih ngotot membuat dia yang paling mulia, dengan cara ‘menjatuhkan’ orang-orang di sekitarnya – mereka cuma jadi entah itu pion atau satu-dimensi. Mestinya kan tokoh utama yang belajar, dia yang memperbaiki kesalahan dan sudut pandangnya sendiri
kok belum review film saingannya yang lebih populer dari film ini ?
belum sempat ke bioskop lagi euuyy, minggu depan paling baru bisa nonton-nonton lagi