“Empathy is the most essential quality of civilization”
Ini baru film horor panjang kedua Ari Aster, tapi Midsommar udah sukses menjadi film-yang-paling-banyak-dirikues-reviewnya sepanjang blog ini berdiri. Jangankan sebelum tayang di bioskop Indonesia, sewaktu naskahnya bocor di internet saja aku sudah ‘dirongrong’ untuk membaca dan memberikan penilaian. Well, of course aku sebenarnya juga menggelinjang nungguin film yang sempat hampir batal tayang di bioskop sini ini. Hereditary adalah film terbaik terfavoritku tahun 2018. Dalam film tersebut Aster menunjukkan kekuatannya menghimpun horor dari drama manusiawi. Mengetahui itu semua, aku tahu bisa mengharapkan apa kepada Midsommar, dan aku menantinya dengan sabar. Aku ingin sekali karya Ari Aster ini jadi film terbaik lagi.
Setelah aku selesai menonton Midsommar, aku merasa sangat resah. Oleh adegan-adegan. Oleh karakter. Oleh penceritaan. Oleh ceritanya. Drama kejiwaan manusia mengakar dengan kuat. Film benar-benar meluangkan waktu untuk itu. Judulnya mengacu kepada festival musim panas yang dikunjungi oleh tokoh film, akan tetapi cerita belum akan membawa kita ke sana; tidak hingga sampai babak kedua. Untuk seluruh babak pertama kita benar-benar dipahamkan dulu kepada situasi Dani si tokoh utama. Hubungan asmara cewek ini lagi di ujung tanduk. Karena Dani orangnya panikan, secara emosional dia butuh didukung setiap saat. Dan sikap Dani terkait hal tersebut mulai terasa mengganggu bagi cowoknya yang merasa keseret-seret dalam drama wanita. Jika bukan karena hal yang ditakutkan Dani menjadi kenyataan, pastilah mereka berdua sudah putus. Namun duka Dani membuat mereka tetap melanjutkan hubungan. Di sinilah film menggambarkan toxicnya hubungan Dani dan Christian. Akan lebih baik mereka putus saja. Tapi Dani butuh sandaran emosional, dan Christian enggak sampai hati mutusin cewek yang sedang berkabung (emangnya siapa yang tega?). Arti ‘Enggak sampai hati’ di sini menjadi mendua karena memang begitulah sikap Christian kepada Dani seterusnya; tidak sepenuh hati dia jadi sandaran. Christian dan teman-temannya enggak setulus hati menenangkan mental Dani. Mereka enggak sepenuhnya senang tatkala Dani memutuskan untuk ikut ke festival musim panas di alam pedesaan Swedia
Midsommar menggunakan visual untuk menggambarkan sekaligus mengontraskan gejolak di dalam karakter Dani. Tampilan film ini sangat benderang dan meriah ketika sudah sampai di desa komunitas tempat kejadian perkara nantinya. Akan sulit menerkanya sebagai film horor hanya dengan melihat warna dan segala keindahan yang terpampang. If anything, kejadiannya seperti berada di dalam dunia mimpi berkat cahaya dan warna yang natural tapi tak terasa begitu-natural. Namun semua itu akan cepat berubah menjadi mimpi buruk karena justru pada saat di festival itulah kejadian-kejadian berdarah yang bisa bikin mual film ini terjadi. Ada sesuatu yang aneh pada tempat yang penuh suka ria dengan banyak obat-obatan untuk rekreasi tersebut. Sampai ke titik yang membuat tradisi dan upacara mereka tidak bisa lagi dianggap seenteng perbedaan budaya semata. Jika kalian menonton film ini untuk melihat kepiawaian teknik dan efek gore – yang jadi nilai jual lebih film – maka kalian akan kesal menontonnya di bioskop Indonesia yang banyak penyensoran.
Untungnya, bukan sebatas kesadisan dan kevulgaran yang dilakukan dengan hebat oleh film ini. Melainkan inti dan hati ceritanya. Tentang toxic relationship dan pentingnya untuk merasakan empati dalam menjalin hubungan tadilah yang dijadikan kemudi utama penggerak cerita. Naskah film ini tidak berkembang demi menjawab pertanyaan seputar membasmi ritual atau mengungkap misteri pemujaan dan sekte di balik festival. Bagian itu justru elemen terlemah pada film karena tidak memuat hal yang benar-benar baru. Banyak kejadian berkaitan dengan ritual atau sekte yang mengingatkan kita pada film lain. Horor klasik asal Inggris The Wicker Man (1973) akan menjadi hal pertama yang terlintas ketika menyaksikan film ini. Midsommar secara fokus membahas soal membuka diri terhadap hubungan baru yang lebih sehat yang disimbolkan dengan sangat ekstrim. Pertanyaan yang dijadikan plot poin naskah adalah apakah Dani bakal mempertahankan hubungan dengan Christian, dan ultimately apakah Dani akan menganggap pacarnya tersebut sebagai keluarga. Lihat saja cara gendeng film ini menyimbolkan tindak membakar barang-barang dari mantan.
Sebagai manusia, kita paling enggak mau merasa sendirian. Apalagi jika dalam kesedihan. Kita butuh orang untuk diajak berbagi. Ini di satu sisi menyebakan menjalin hubungan itu cukup tricky. Kita enggak bisa begitu saja membagi semua hal kepada orang lain tanpa membuat mereka merasa dituntut dan diseret ke dalam hal negatif. Kuncinya adalah pada pemahaman dan empati.
Tokoh Dani ditulis dengan sangat melingker sehingga kita paham apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan. Keluarga. Pihak untuk mendengarkan dan berbagi perasaan dengannya. Sepanjang film dia harus menyadari dan melihat mana yang pantas untuk ia anggap sebagai keluarga. Naskah menuliskan ini semua dengan jelas lewat dialog dan bukti-bukti visual. Christian yang memeluknya dalam diam di bagian awal dikontraskan dengan penduduk komunitas yang mengikuti irama tangisan Dani di menjelang akhir film. Tadinya tidak ada teman yang ikut berduka dengan dirinya. Dani sendirian, terpisah secara emosi dari kelompoknya. Salah satu hal paling mengganggu yang diangkat oleh film ini adalah betapa orang-orang desa yang udah kayak orang gila itu justru lebih punya empati ketimbang geng Christian yang terpelajar. Para penduduk desa ikutan mengerang kesakitan ketika ada tetua mereka yang sakaratul maut ketika ‘gagal’ bunuh diri dalam sebuah upacara adat. Para wanita di komunitas ikut menangis bersama Dina. Merekalah yang sebenarnya dicari oleh Dani. Bagi Dina, bukan masalah lagi perkara mereka-mereka itu sinting atau bukan. Yang jelas sekarang dia sudah bisa berbagi bukan hanya kesedihan dan duka, melainkan juga kebahagiaan dan suka cita. Ia tak lagi merasa terkucilkan.
Film mencapai puncaknya ketika mengeksplorasi hubungan antara Dani dan Christian. Penampilan Florence Pugh sebagai Dani menjadi salah satu kunci utama keberhasilan ini. Tadinya aku sudah cukup respek sama aktor ini, karena dia kelihatan sangat total bermain sebagai pegulat di Fighting with My Family (2019). Namun di Midsommar, dia bermain jauh lebih total lagi. Secara emosional, tentu saja. Ari Aster berhasil lagi menarik yang terbaik dari pemainnya, seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Toni Collette di Hereditary. Kedua penampilan ini pantas untuk diganjar Oscar, meskipun memang sepertinya peran horor sulit untuk diloloskan.
Ketika kita melongok ke luar dari masalah Dani, begitu kita ingin merasakan dunia cerita secara utuh, film mulai terasa melemah. Karakter-karakter yang lain terasa sempit dimensinya. Jika pun ada ruang, seperti karakter salah satu teman Dani yang bernama Pelle, maka itu digunakan sebagai twist alias ada sesuatu yang ditutupi. Cerita fish-out-of-water sekelompok remaja hidup dalam lingkungan dengan peraturan yang menurut mereka ajaib tak pernah tampak benar-benar menantang karena ada beberapa kali kita harus menahan ketidakpercayaan lantaran mereka seperti tak pernah curiga melihat gelagat yang enggak-enggak. Seperti, film bisa saja berakhir jika semua pendatang di komunitas itu sepakat untuk pergi. Tapi tidak, film membuat mereka ‘terpisah’ dan tidak bergerak seperti manusia sungguhan. Melainkan sebuah bidak pada naskah.
Soal tragedi pada keluarga Dani di awal hadir dengan terlalu kompleks untuk tujuan melandaskan betapa sendirinya Dani bersama pikiran dan perasaannya. Film seolah mengisyaratkan peristiwa tragedi itu bakal balik dan berhubungan ke akhir cerita, tapi ternyata tidak. Mungkin ada petunjuk visual yang kulewatkan, entahlah, tapi aku merasa peristiwa tersebut seperti ditinggalkan begitu tujuannya sudah tercapai. Yang membuat penggambaran kejadiannya jadi terasa eksesif. Meski memang sekalian digunakan untuk melandaskan genre – sejauh mana film menampilkan adegan kematian – tapi aku tetap merasa mestinya ada cara yang lebih bisa klop merangkai kejadian sehingga tidak terkesan terlalu eksploitatif (terhadap genrenya sendiri).
Jadi itulah sebabnya aku merasa resah setelah menonton ini. Dari teknis kamera, editing, penampilan, visual, efek – ini benar-benar film juara. Gagasannya pun bikin merinding. Tidak peduli seperti apa keluargamu, yang penting kita bisa merasa menjadi bagian – dilihat, didengar, dimengerti – mereka. Namun juga aku merasa film ini tidak se-wah Hereditary. Ada elemen pada cerita dan penceritaannya yang terlalu dibuat untuk memenuhi standar pada genrenya. Sehingga jadi gimmicky. Selain itu, beberapa bagian mestinya bisa dipercepat temponya, karena ada yang tidak terlalu signifikan untuk menambah bobot cerita seperti adegan mereka getting high together. Catatan penting untuk yang mau nonton adalah ini film yang berpotensi besar untuk mengganggu dan bikin gak nyaman, meskipun memang lebih berhumor ketimbang Hereditary.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MIDSOMMAR.
That’s all we have for now.
Menurut kalian, kenapa orang-orang sekarang susah untuk merasakan empati, bahkan kepada keluarganya sendiri? Apakah rasa empati itu memang lebih mudah untuk tumbuh dalam lingkungan kecil penuh kontrol seperti pada penduduk desa dalam film ini?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Ga menikmati aku film ini pas nonton bioskop. Mungkin udah ternoda dengan horror kebanyakan hehehe. Ngerti sih kenapa dibilang bagus, tapi lebih suka tipe umum yang merasakan tegang pas mau dibunuhnya atau selidikin sektenya gitu.
Oh baca review ini jadi lebih ngerti. Tadinya bingung kayaknya Christian jahat banget sampai dikorbanin gitu. Ternyata memang iya ya Dani merasa diterima full sedangkan kelompok Christian terimanya terpaksa. Mungkin harusnya putus aja ya kalau emang ga bisa jadi sandarannya Dani?
film ini bakal terasa paling seram oleh orang-orang yang ngalamin relationship yang serupa, soalnya ternyata di film ini sektenya hanya ‘pengalihan’ – gambaran ekstrim dari perasaan si cewek.. kalo kita nontonnya buat lihat sadisnya sekte, ya pasti gak puas nonton di bioskop karena bioskop menyensor kulit luar itu, makanya aku lebih milih nunggu internet hahaha
Seperti hubungan Dani yang lebih baik berakhir, Midsommar emang mending gak usah tayang skalian deh. Dan bener aja disensor ya buanyak banget..
Jujur aku berfikir sampe akhir kalau mereka gak sinting sama sekali. Mereka cuma total aja menjalankan ritual kebudayaan mereka. Adegan dua orang tua yang bunuh diri itu of course bikin aku terkejut, tapi setelah dijelaskan anehnya aku setuju. Begitupun ritual pengorbanan mereka. Katena kesan seperti itulah film ini jadi tidak “se-ngeri” Hereditary yang penuh adegan diluar nalar berikut beberapa Jump Scare-nya, belum lagi tujuan dari sekte di Hereditary lebih seram karena mereka pengen membangkitkan iblis ke dunia sedangkan sekte di Midsommar ini tujuannya begitu “positif” karena berkaitan dengan alam dan penyucian diri.
Yup, Trauma yang dimiliki Dani memang seharusnya tidak se ekstrem itu kalau memang hal itu tidak akan dipakai lagi. Even kalau kematian kelurganya Dani lebih simpel seperti terjebak di rumah yang terbakar atau “sekedar” kecelakaan mobil misalnya, film tetep akan work juga.
iya, mereka malah nyinggung adiknya bipolar segala kan, seolah itu bakal jadi penting dan berkaitan – padahal gak mesti ‘seheboh’ itu persisnya kematian keluarga Dani digambarkan
Setuju banget mas. Nonton film ini tuh bikin ngga nyaman secara perasaan, dan aku baru sadar pas baca review ini.. krn waktu ntn pun aku sambil mikir, ini ‘perasaan’ apa ya, ngerasa takut yg bgt2 jg engga, geli sm adegan sadisnya pun ga terlalu.. ternyata bener, memang filmnya aja yg bikin resah. Makanya aku penasaran akan dapet score brp hehehe
Aku baca2 di review lain katanya ada plost twist kalo si Dani yg sebenernya bunuh keluarganya di awal, dan banyak clue2 yg bisa kita temuin kl kita ntn film ini 2-3kali, krn dialog2nya penting semua (kayak dialog yg blg soal inses di sekte ini), tp aku segen bgt mau ntn lagi, takut kl ntn lagi bisa depresi kayak Dani :’’’’’’)
oya, dani yang mungkin membunuh keluarganya? aku gak ngeliat ada garis ke sana sih.. cuma memang sempat ‘curiga’ sama keterlibatan Pelle lebih jauh karena artistik di kamar orangtua Dani juga bunga-bunga kayak adat sekte itu.. juga dari kalimat-kalimat Pelle yang seperti memang diam-diam meniatkan Dani ikut mereka sedari awal.
Wah aku malah ngga ngeh kalo ada bunga2 di kamar org tuanya.. penasaran sih sebenernya.
Tp nyambung dr teori mas Arya yg blg Pelle meniatkan Dani ikut dari awal, kemungkinan besar memang iya, krn pas Christian cs nyampe ke desa Harga, mereka semua hanya disapa welcome sm penduduk desa, beda sm Dani yg disapa ‘welcome home’
sebenarnya wallpaper kamarnya sih, bunga-bunga haha
iyaa, sikap Pelle dan orang-orang itu terasa lebih manis ke Dani sedari awal, mungkin mereka memang ngincar Dani, tapi toh buat jadi May Queen seperti memang murni kemampuan Dani ‘menari’ kan, dia enggak jatoh. Susah untuk menerka sekiranya Dani gagal, apakah dia tetap diterima di sana. Atau masa iya para penari sengaja mengalah? Di sini nih sebenarnya aku masih belum terlalu mengerti
Mari kampanyekan Academy Awards:
Joaquin Phoenix (Joker) for Best Actor
Florence Pugh (Midsommar) for Best Actress
Hehehe
Brad Pitt juga jangan dilupakaann hehehe
Kak belum nonton yang versi uncut ya?
Soalnya aku ada pertanyaan tentang kondisi mayat Simon yang ditemuin sama Christian.
Di wikipedia ditulis kalo Simon dibunuh dengan ritual Blood Eagle.
Apa itu ritual Blood Eagle, ada di Wikipedia penjelasannya 😀 (sadis banget sih ini, jadi tulang rusuknya dibuka gitu buat ngeluarin paru-parunya en entar paru-paru nya dikeluarin en dibentuk kaya sayap)
Nah yang pengen aku tanyain, kondisi mayat Simon di film itu paru-paru nya masih kembang kempis kak *wtf
Intinya itu dia masih hidup atau sudah mati sih?
Kepo aja gitu sama ini soalnya menurutku ini yang paling what the f*ck sadisnya :((
*maaf kalo spoiler ya kak..
iya aku nonton yang uncut kok hihi
kempang kempis itu karena kita ngelihat dari sudut pandang Christian yang saat itu tengah ‘mabok’, jadi paru-paru Simon kayak ngembang ngempis padahal dia sudah mati. Soalnya di beberapa adegan sepanjang film, setiap kali ada tokoh yang ‘high’ pasti di layar ada objek yang kayak gerak-gerak, kayak pas Christian di meja makan sebelum itu juga makanan di tengah meja bergelombang gitu bentuknya
Udah wara wiri blog ini sejak Midsommar tayang akhirnya direview juga, walau agak kesal kenapa ratingnya cuma segitu hehe
Aku belum nonton versi uncutnya, aku penasaran pas di awal bukannya tamu yang datang ke Harga itu ada banyak ya, tapi kok tiba-tiba ngilang semua tinggal Christian cs dan pasangan Simon Connie doang yang lain pada kemana, trus sepertimya warga desa yg bawa Simon-Connie ini ada dendam ya sama pasangan ini, apakah Pelle juga ada dendam dengan Christian cs makanya diajak ke desa itu khusus buat ditumbalin? Trus kalo misal temennya gak nyuri kitab atau ngencingin pohon leluhur kira2 tetep ditumbalin apa nggak?
Memang itu sih kelemahan film ini, langkah2 pemainnya kayak diatur banget utk kepentingan cerita sehingga jadinya gak natural, tapi setuju banget kalo Florence Pugh musti diganjar Oscar atas perannya di film ini. Hampir semua poin aku setuju sih yang aku nggak setuju cuma ratingnya doang lol bercanda
aku kesel sih ama Oscar, suka mandang sebelah mata sama film horor – taun kemaren aja bagus banget gak dapet
kayak diatur banget itu sih yang bikin aku jadi naroknya di 6.5 aja.. tapi iya juga ya, di awal-awal kan banyak turis yang kita lihat datang ke Harga, tapi kenapa bisa tinggal mereka-mereka aja? ke mana yang lain? apa jangan-jangan nilainya kuturunin lagi aja nih? ahahaha
Kayaknya, turis2 yg lain itu warga asli deh, soalnya gak bnyak yg berkelompok, banyakan sendiri2. dan mereka pas ketemu sama warga asli mereka tau cara menyapanya. (tangan di bahu dn megang leher dsb).
oo mereka orang asli yang merantau, terus kembali ke Harga kayak si Pelle itu ya… cuma kayaknya bedanya mereka enggak berhasil bawa ‘orang luar’
Hai hai, salken, ku sudah sering baca review diblog ini tp blm pernah sampai komen Hehe. Ku mau coba jawab pertanyaannya Kebu.
Menurutku kalo temen-temennya Christian mengikuti ritual dari A to Z lalu ga melanggar adat dan ketentuan seperti yang kencing sembarangan atau kepo sama kitab dan Simon-Connie yang pengen pulang ditengah jalan lalu malah jadi korban. Ku rasa mereka akan ‘aman’ tidak diganjar ‘balasan’ seperti Dani. Christian pun dijadiin korban tumbal sama Dani ya karena Dani sudah shock dengan sikap Christian dan tahu lihat Christian di ‘anu’-in oleh warna desa wanita.
Intinya seperti mereka mo kasih hikmah bahwa jika kita sedang menjalani sesuatu hal :
1. Ga usah banyak tanya
2. Ikutin aturan
3. Tahan diri, jalanin dulu sampai selesai
Gimana hasil endingnya takdir itu akan memberikan jawaban dulu baru boleh berpikir/bertindak/komen, jangan ambil jalan pintas dan punya pemikiran/keputusan sendiri dulu. Cuma yang namanya manusia kan ya susah banget ngendaliin hawa nafsu untuk ke-3 point diatas. Jadi ya harus terima resiko kali kita ga jalanin 3 point itu dan kita sudah terima hasilnya akan ‘lebih aman seperti Dani yang endingnya fine-fine. Tapi ga tau juga sih misalkan ditambahkan ada 1 orang pengunjung asing seperti Dani yang mengikuti ritual sampai selesai akan seperti apa. Akankah tetap akan dijadikan ‘tumbal seserahan’ atau aman seperti Pelle dan Dani.
Dani berhasil mematuhi tiga aturan itu ya… menarik nih andai-andainya; jika Dani enggak menang festival nari, apakah dia bakal bisa pulang atau dijadiin tumbal jugak, seru aku mikirin ini sampe beberapa hari setelah nonton ahahaha
Waini, klo Dani ga menang Festival Nari ku rasa dia akan lebih tambah bingung depresi mengingat Christian abis digituin trus kan dibuat kaku duduk akibat efek bius.
bisa bisa Dani malah stres dan bunuhin semua orang di sana ya ahahaha
Baru nonton film ini. Sialnya, pas udah kelar baru tau kalo ada versi uncut-nya. Males banget kalo nonton lagi. Bedanya apa ya, Bang, yg uncut sama yg gak?
Eh, alasan si cowok dimasukin ke beruang sebelum dibakar apa, Bang? Ga engeh euy, mungkin ga nyimak.
Oh iya, kalo dibandingin, lebih serem Hereditary sih. Kalo Midsommar kesereman2nya banyak muncul karena ada kecerobohan si tokoh. Foto buku, ngencingin pohon, mau kabur dari desa, dll. Kalo Hereditary kan kayak emang udah diincer tuh tokohnya.
yang versi bioskop gak diliatin (sampai abis) ritual-ritualnya
memang tradisi mereka begitu – kenapa musti beruang sepertinya karena beruang habitatnya di situ, maka jadi binatang budaya – muncul di lukisan etc.. Kalo menurut interpretasi aku soal kenapa harus dipakein ‘baju’ beruang adalah sebagai simbol melenyapkan yang sudah tidak ada gunanya; sepanjang film kita sudah ditanamkan prinsip komunitas Harga tersebut bahwa mereka mementingkan lingkaran kehidupan (ada pembagian fungsi sosial berdasarkan kategori umur, yang udah uzur diwajibkan bunuh diri supaya cepat direcycle oleh alam). Jadi beruang yang dimanfaatkan adalah dalamnya, kulitnya disiapkan untuk direcycle. Sedangkan si Christian; komunitasnya kan kecil, ada disinggung soal inbreed (kawin dengan sepupu) yang kadang sengaja dilakukan untuk dapat oracle (si cacat yang disucikan), selain itu untuk regenerasi dihintkan kepada kita mereka sengaja ‘ngundang’ turis luar untuk dikawinkan dengan anggota – biar keturunan yang normal. Nah, si turis kegunannya cuma ngasih anak.. setelah anaknya jadi – setelah bibitnya masuk, si Christian gak guna lagi buat komunitas Harga; sama kayak kulit beruang. Biar estetik ya digabungin aja terus baru dibakar haha
Klo menurutku karena Dani berhasil menjadi May Queen jadi dia punya 1-2 hak untuk memilih siapa yang akan dikorbankan nah Christian dia pilihlah untuk dikorbankan oleh Dani ya karena Dani sudah capek kecewa dengan sikap Christian dan ditambah lagi Dani melihat Christian melakukan ritual Anuan ramean dengan warna desa. Gimana ga tambah kegoncang itu jiwanya Dani. Endingnya kan ekspresi Dani kayak lega gitu tho setelah pembakaran rumah korban.
Film ini dan Joker sebenarnya sangat tidak disarankan ditonton oleh orang yang psikisnya sedang depresi dan terguncang, karena akan bisa dijadikan role model untuk next stepnya dia kalo dah mentok dan ga dekat dengan agama 🙁
iya ya, Dani sama Joker sama-sama mencari pertolongan di ‘tempat yang salah’
Masih gak habis fikir bagaimana mereka yg terlihat ramah tamah, tapi kenyataanya sadis.
– apakah ada kemungkinan para turis jika pulang baik2 akan dibiarkan hidup? kaya connie sama simon yg ternyata di bunuh krena mereka maksa pulang.
– wajah nya mark itu di pakai siapa ya? itu udah pasti dikuliti dan ditempel ke orang lain kan? karena kalau dilihat dari postur badannya terlihat beda. dan sepertinya gak pakai celana ya?
– kaki hitam yg d tanam itu kaki josh kah? karena pas adegan pembakaran kaki josh sepertinya mash utuh.
– badan mark dimana saat dibakar?
-kayaknya mereka bakal tetap nemuin cara untuk menumbalkan orang, mungkin malah semua cowok pendatang disuruh mating ritual dan kemudian dibunuh setelah beres
– aku nganggapnya dipakai sama si yang marah dia ngencingin pohon itu sih, dia yang paling gak seneng sama si Mark
– iya si Josh, kepotong sih kayaknya pas dibakar itu
– ini gak tau deh, dijadiin pupuk kali.. atau jangan-jangan dimakan, hiii!
Mas, review Joker kapan??