“Blood’s not thicker than money”
Seorang wanita menatap lekat-lekat pria berseragam orange yang didudukkan petugas di hadapannya. Tangan pria itu diborgol pada besi meja di antara mereka. Wanita ini menuntut informasi langsung atas kejadian perampokan lebih dari empat-belas tahun silam kepada sang pria. Apa yang sebenarnya terjadi pada kasus tersebut? Mengapa si pria melakukan apa yang ia lakukan – apa tepatnya yang ia lakukan? Siapa wanita yang mengaku jurnalis itu? Kenapa kamera begitu bergoyang-goyang padahal kedua tokoh sedang duduk tenang – satunya malah terborgol?
Cerita Darah Daging lantas tumpah meruah. It was so all over the place. Laga perampokan bank yang diselangi oleh flashback pengenalan tokohnya. Namun tidak satupun pertanyaan urgen yang muncul seketika di benak kita saat melihat adegan pembuka itu yang langsung ditampilkan sebagai tubuh cerita. Film bermaksud mengajak kita berpikir – which is good – tapi kita tak diberikan pegangan dan sudah mati rasa duluan. Pembangunan dunianya terasa hampa dan gak bekerja di dalam logika. Tokoh-tokohnya hanya bidak pada naskah – at best, mereka adalah trope cerita crime ala orang-susah-yang-terpaksa-merampok. Sulit bagi kita untuk meraba poin utama sebab Donny Alamsyah si narapidana yang diwawancarai Estelle Linden di adegan pembuka tadi bahkan bukan pusat dari cerita. Kita akan berpikir dia tokoh penting atau apa, tapi tokoh Donny yang bernama Salim hanyalah satu dari lima pria berhelm hitam seragam yang merampok bank di siang buta. Membagi jatah senapan laras panjang di trotoar terbuka. Tindak perampokan yang berlangsung di depan mata kita tampak sama amatirnya dengan cara film merekam dan menyuguhkan adegan perampokan tersebut. Karena kita sama sekali tidak tahu harus merasakan apa – ketegangan tidak pernah mengalir karena untuk percaya mereka tidak segera dilaporkan ke yang berwajib aja rasanya susah. Film segera sadar kita butuh untuk kenal dengan kelima tokoh, maka selagi perampokan berjalan kita dibawa menembus helm masing-masing perampok; flashback lagi melihat alasan mereka mau ikut merampok bank secara bergantian.
Salim bukan pemimpin kelompok. Pemimpinnya adalah Arya yang diperankan oleh Ario Bayu, yang dengan tegas mengatakan tidak boleh ada korban. Dua anggota lainnya adalah saudara seibu angkat Arya, Rahmat dan Fikri. Nama terakhir adalah orang termuda dan yang paling nervous karena bank yang mereka kerjai adalah bank tempatnya bekerja. Sebagai badboy di dalam grup adalah tokohnya Tanta Ginting yang menyuplai senjata. Di titik ini kita semakin bingung kenapa Salim seperti tidak ada hubungan dengan semuanya. Satu-satu yang menjadi ciri karakternya adalah dalam beraksi pun – ketika tentu saja aksi mereka jadi kacau, jatuh korban, helm mereka lepas, polisi memburu – Salim hanya merangkak ketakutan. Dia tidak membantu Arya dan saudaranya berusaha membawa Fikri ke rumah sakit. Dia tidak membantu Bornenya Tanta Ginting retaliate dengan menembaki polisi dan memburu Arya yang lari ke jalanan. Salim hanya diam di sana, mengikuti ke mana naskah menyuruh tokoh-tokoh yang lebih menarik pergi, dan baru bergerak ketika tiba giliran naskah menyuruhnya. Dia cuma pelaku yang masih hidup, dan film tak membuatnya masih hidup dalam cara yang tak mempermalukan dirinya.
Things would make sense if it was a story about guy who feel guilty and kupikir memang begitu. ‘Daging’ cerita Darah Daging sebenarnya adalah soal kekeluargaan yang kuat mampu tercipta pada orang-orang yang bukan sedarah. Nasib dan sama-sama hidup susah dirangkul oleh kebaikan, menghasilkan hubungan yang bahkan lebih kuat dari keluarga betulan. Salim mencoba menjadi bagian dari keluarga tersebut, tetapi saat itu dia gagal memahami makna ikatan kekeluargaan Arya dan saudara-saudaranya. Percakapan dengan Hanna si tokoh Estelle Linden membantu Salim memahami semua itu. Inilah sesungguhnya inti dari film ini. Wawancara personal yang intens antara Salim dengan Hanna di penjara. Harus jelas alasan dan motivasi Salim mau melakukan wawancara, menceritakan kembali kesalahan besar yang ia, dan Arya, lakukan. Sehingga kepentingan dan urgensi tokoh ini terasa. Nun jauh di lubuk hati ia berusaha membenarkan apa yang ia lakukan dulu. Dan Hanna adalah faktor penentu yang sebenarnya juga tidak perlu disembunyikan dan dijadikan twist.
Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi yang pasti uang memungkinkan kita untuk memilih jalan sengsara sendiri. Jika keluarga beneran aja bisa berantem dan sengsara karena duit, apalagi keluarga seperti ‘keluarga’ Arya pada Darah Daging. Mereka seharusnya ingat kebersamaan mereka justru pada saat tidak ada uang di antara mereka. Mereka harusnya sadar mereka tak butuh uang untuk menjadi keluarga, untuk merasakan kasih sayang seorang ibu sedari awal.
Namun film malah ngambil waktu terlalu lama dan membuat fokus di adegan rampok. Dia dijadikan genre aksi. Lewat rangkaian flashback bergantian yang diselipkan tadilah, Sarjono Sutrisno yang menyutradarai film-panjang untuk pertama kali, bermaksud memancing sisi dramatis. Di balik kejahatan yang para tokoh lakukan, ada tujuan yang mengharukan; bahwa mereka sebenarnya terpaksa tapi harus melakukannya. Namun berpindah-pindah sesering yang dilakukan film ini membuat kita terlepas dari cerita. Intensitas dari sekuen perampokan itu jadi sirna. Kita pun tidak seketika kenal mereka dengan baik, karena tidak ada yang ter-establish oleh banyak cut ke masa lalu. Film jadi melelahkan, membutuhkan waktu terlalu lama untuk sampai ke gagasan utama. Juga semakin susah untuk dinikmati, karena pada bagian aksi kamera bergoyang jauh lebih hiperaktif lagi.
Jika pada paruh awal kita diminta untuk merasakan ketegangan laga, maka pada paruh akhir film menyuruh kita untuk menyaksikan flashback yang semakin lama semakin keterlaluan – lantaran kali ini juga dibarengi dengan slow-motion yang menyiksa. Film harusnya berjalan runut. Cara cerita ini berjalan dengan rentetan flashback pengungkap di belakang, malah seolah film meminta kita untuk meratapi orang asing yang sudah meninggal. “Oooh mereka merampok buat balas jasa pada ibu… ooh mereka mati karena merampok bawa-bawa yang bukan keluarga huhuuu sediihh” Konyol!
Padahal ini seharusnya adalah ‘selebrasi’ dari perasaan bersalah Salim. Bagian paling mengena kepada penonton justru saat wawancara Salim dengan Hanna. Saat Salim menyadari betapa devastating pilihan yang mereka lakukan. Maka dari itu harusnya film berfokus pada wawancara Salim tersebut. Film tidak perlu memakan lebih dari satu jam memperlihatkan aksi tembak dan kejar-kejaran yang konyol (ada satu adegan yang menampilkan tokoh yang diuber oleh polisi dan orang yang mau menembak dirinya kabur ke sekolah dasar, karena siapa peduli sama logika), yang bahkan tidak berpusat pada tokoh utama. Tapi tentu saja, memfilmkan dua orang berdialog supaya menjadi intens dan menarik itu susah – butuh penulisan yang cerdas pula. Aktor-aktornya juga harus mumpuni. Memainkannya sebagai laga adalah langkah yang lebih mudah. Untuk pembuat film dengan jam terbang lebih banyak dan lebih kompeten, tentu bercerita lewat dialog sehingga menghasilkan thriller yang intens adalah tantangan. Coba lihat film klasik 12 Angry Men (1957) yang isinya orang berdebat dari awal sampai akhir namun tetap menarik ditonton hingga sekarang. Atau film bisa ‘menyontek’ struktur satu-satunya horor yang menang Best Picture Oscar; The Silence of the Lambs (1991), basic-nya sudah serupa hanya saja berani (dan mampu) menonjolkan dialog dengan narapidana sebagai hidangan utama dan elemen horor membayangi.
Laga butuh source yang lebih besar, dan skill penggarapan yang lebih mumpuni daripada sekadar menggoyang-goyangkan kamera. Sekurang memuaskannya cara bercerita Darah Daging yang menonjolkan aksi yang perampokannya bahkan kalah seru dibandingkan perampokan di babak akhir Pertaruhan (2017) dan kemudian diisi flashback, dan semakin banyak lagi flashback menjelang akhir – menimbun inti cerita semakin jauh jatuh ke dalam lubang ketidakkompetenan; toh sepertinya ini adalah pilihan yang benar. Sebab jika menggarap dengan fokus adegan laga saja filmnya tetap terasa lebih panjang daripada durasi sebenarnya, bayangkan seperti apa hasilnya jika pembuat film ini nekat memfokuskan dan bergantung pada dialog wawancara.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DARAH DAGING
That’s all we have for now.
Film ini dengan lucunya menyugestikan membesarkan anak-anak jalanan yang cowok akan berujung kriminal sedangkan anak-anak jalanan yang cewek akan turn out oke jadi anak baik-baik. Bagaimana pendapat kalian tentang hal tersebut? Apakah kalian percaya uang adalah akar dari segala kejahatan?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Min pernah nnton SILENCED nggak? Film korea yang ituttu tentang sekolah tunarungu yang muridnya d perkosa oleh gurunya sendiri dan d bawa ke persidangan namun tidak d hukum seberat perbuatannya?
beluuum, wah menarik kayaknya… review bareng mau gak? udah lama nih aku gak bikin segmen Readers’ Neatpick lagi haha
Duhhhh gimana ya minn. Bukannya nggk mau. Tapi aku tuh nggk ngerti apapun tentag seluk beluk film. Jadi ya nggk bakal bisa jawab kalo d tnya ttg detail2 filmnya. Aq cuman penonton biasa yang kebetulan nonton filmnya karna banyak yang ngereview positif. Dn ternyata memang dark banget filmnnya apalagi endingnya kek ambigu gitu. Aq nggk tau sih ending ambigu kyk gini apa nggk. xD
Gini aja deh mjn. Gimana kalo adain sayembara aja. Siapa yang mau jadi Ngereview bareng mimin di readers’ neatpick ttg film SILENCED
Pling nggk film apapun deh. Pgn baca2 in readers neatpick nya mydirtsheet nih. Tpi cuman ada beberapa. Tambahin lagiiii…. Wkwkkwk
Hahaha paling ntar nanyanya aku arahin seputar ambigu dan pendapat aja, bukan teknis filmnya
Silenced yang main Gong Yoo & Jung Yu Mi. Mereka ketemu lagi di Kim Ji Young: Born 1982. Btw, mas arya gak ngereview Kim Ji Young atau Last Christmas gitu? hehe.. :p
gak kekejar kayaknya yang di bioskop olehku haha.. tunggu digitalnya aja