DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

Leave a Reply