THE VIGIL Review

“Guilt can hold you back from growing”

 

Dalam agama Yahudi ada suatu praktek atau ritual kematian yang disebut dengan Shemira. Ketika seseorang meninggal dunia, mayatnya harus dijaga pada malam hari oleh keluarga ataupun orang terkasih si mendiang, hingga dimakamkan pada esok pagi. Jika tidak ada keluarga atau sanak terdekat, maka bisa digantikan oleh orang lain yang (berani!) disewa untuk duduk bersama mayat tersebut. Sang penjaga wajib untuk terus membaca kitab selama berjaga. Poin dari ritual ini adalah untuk membimbing arwah sang mayat ke jalan yang benar, sekaligus melindunginya dari roh dan setan-setan jahat. Nah, kali lain kalian mengutuk pekerjaan kalian yang melelahkan, berat, atau bayarannya kecil, ingatlah akan apa yang harus dilalui Yakov dalam The Vigil ini demi mendapatkan uang saku.

Yakov menerima tawaran jadi shomer untuk jenazah seorang pria tua. Kondisi istri pria tersebut sudah tidak memungkinkan untuk berjaga. Si ibu menderita dementia dan sering berceloteh soal hal-hal mengerikan seputar suaminya. Awalnya Yakov tak begitu ambil pusing, toh bukan pertama kali ini dia menjaga mayat. Namun ternyata memang ada sesuatu yang mengerikan pada kematian pria tersebut. Malam itu, Yakov mulai dihantui; mendengar suara, melihat hal-hal ganjil, hingga dia mengalami kembali peristiwa naas di masa lalunya. Semua itu adalah perbuatan dari setan bernama Mazzik, yang berpindah ke Yakov dari sang mendiang. Yakov pun harus berusaha membebaskan diri, meski itu berarti dia harus berkonfrontasi dengan duka dan sesal yang selama ini menghimpit jiwanya.

So yea, film garapan Keith Thomas ini mungkin terdengar sedikit mirip ama Jaga Pocong (2018), tapi ini jelas-jelas adalah cerita versi jewish yang lebih kental kultur dan yang dibuat dengan jauh lebih berbobot pula!

“Kalo udah gak kuat, saya harus melambaikan tangan ke arah mana?”

 

Tantangan menggarap horor dalam lingkungan sempit – cerita ini basically berlangsung di satu tempat, dalam satu kurun waktu yang juga sempit dan tertutup – adalah bagaimana mengembangkan kejadiannya dengan tampak natural. Enggak kayak dipanjang-panjangin, ataupun seperti episodik. Harus juga bisa tampil tidak monoton. Singkatnya, tantangannya adalah harus bisa mengembangkan suspens. Biasanya, film-film horor yang mengincar pasar mainstream akan main aman dengan mengisi cerita tersebut dengan berbagai jumpscare dan permainan kamera yang terus menerus membuat kita penontonnya berada dalam situasi kaget-bersiap-kaget.

Bagi The Vigil yang merupakan horor indie, tanpa backingan studio gede di belakangnya, restriksi bukan hanya terletak pada cerita. Bukan hanya terletak pada set lokasi dan waktu. Melainkan juga pada biaya. Budget film ini gak gede. Namun, Keith Thomas gak lantas menyerah dan ikut-ikutan mengandalkan kepada jumpscare. Thomas berusaha mengarahkan film ini bukan ke horor ala wahana rumah hantu, melainkan lebih ke horor yang benar-benar situasi dan psikologi. Untuk membuat situasi yang mencekam, Thomas menyuruh sinematografernya bermain-main dengan cahaya. Film ini mengandalkan bayangan untuk membuat kita merasakan merinding yang dialami oleh Yakov protagonisnya. Ada sesuatu di belakang sana, di dalam kegelapan, dan film tidak keburu napsu untuk membuat kita kaget dan melepaskan suspens dan tensi. Eksplorasi ruang-ruang rumah juga dilakukan dengan perlahan. Thomas memberikan ruang supaya terasa seperti progres yang natural. Di dalam setiap ruangan yang Yakov datangi, akan ada pelajaran atau development baru yang kita turut pelajari. Film memainkannya dengan cerdas sehingga tidak terasa seperti maksa. Penggunaan teknologi seperti percakapan telepon ataupun facetime internet merupakan bentuk geliat film ini untuk terus menggali elemen-elemen seram sekaligus karakter dan ceritanya. Film ini berhasil memperlihatkan ‘keharusan’ Yakov berada di rumah tersebut. Jadi saat nonton ini kita pun tidak sibuk emosi nyuruh karakternya kabur. Kita ikut merasakan setiap gerakan dan pilihan bersama karakternya.

Ketika harus menampilkan sosok Mazzik yang seram itu pun, film berkelit dengan trik penempatan dan distorsi-distorsi lensa. Sehingga kesan sureal berupa semua kejadian itu nyata-atau-di-dalam-kepala yang diincar oleh naskah dapat dengan konsisten hadir. Karena, ya, tidak seperti Jaga Pocong yang benar-benar literal dukun dan manusia yang menjaga mayat yang jadi hantu, film The Vigil ini menggali lapisan psikologis di balik elemen supranaturalnya. Ada sesuatu yang lebih dalam pada karakter Yakov yang harus menjaga mayat. Ada makna dan simbol pada makhluk demit bernama Mazzik itu.

Duka, sesal, dan rasa bersalah dapat melakukan dua hal kepada kita. Entah itu, membuat kita tidak bisa maju dan bertumbuh karena selalu melihat ke belakang, atau dapat menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk menjadi lebih baik. Yakov penuh akan tiga hal itu, makanya dia jadi sasaran Mazzik. Yang merupakan duka, sesal, dan rasa bersalah yang bercampur menjadi hantu, menempel kepada orang, dan greatly menghambat hidup mereka. Perjuangan Yakov dealing with Mazzik sesungguhnya adalah perjuangan personalnya dalam menerima dan merespon negatif di dalam hatinya. 

 

Penulisan Yakov menjadikannya karakter yang sangat menarik, terutama untuk cerita horor. Pertama, naskah mencipta konflik dari pekerjaannya sebagai shomer dengan keyakinan Yakov terhadap agamanya. Yakov, saat pertama kita jumpa dirinya, berada pada titik dia mulai meninggalkan agamanya. Dia Yahudi, tapi tak lagi berpenampilan seperti Yahudi ortodoks seperti kerabatnya. Jadi, instantly, karakter ini menarik minat kita. Membuat kita bertanya, kenapa dia seperti itu. Alasan kenapa dia mulai tak percaya agamanya itulah yang perlahan dibuka oleh film, menciptakan lapisan-lapisan baru karakter tersebut. Mungkin ada tema soal iman di sini. Mungkin Yakov diganggu karena dia mengerjakan tuntunan agama selagi dia mulai meninggalkan agama tersebut.

Kemunculan Mazzik meningkatkan volume keseraman film ini. Bukan hanya karena tampangnya nyeremin ataupun karena film ini sukses berat membangun adegan-adegan gelap yang seram, tapi juga karena Mazzik menjadi kunci apa yang dirasakan oleh Yakov. Semua itu berhubungan dengan jawaban atas pertanyaan kenapa Yakov meninggalkan agamanya tadi. Peristiwa naas yang menjadi sumber derita itulah yang mengerikan, bagaimana peristiwa tersebut membentuk Yakov. Mempersulit hidupnya. Film bijak sekali memperlihatkan bagaimana Yakov berusaha bergaul. Ada diperlihatkan Yakov ditaksir cewek, dan dia enggak bisa bertingkah layaknya cowok gugup yang normal. Ada sesuatu yang off dari dirinya. Sebagai Yakov, cerita ini sesungguhnya adalah one-man show untuk Dave Davis, dan dia berhasil nailed every range of Yakov’s emotions.

Kita tidak bisa tak-peduli sama orang yang krisis iman dan krisis kepercayaan diri sekaligus

 

Lawan main Davis memang tidak banyak diberikan ruang dalam durasi satu-setengah jam ini. Karakter-karakter pendukung itu ada yang cuma muncul di awal ama di akhir saja, atau hanya muncul di layar video atau lewat sambungan telepon. Padahal ada Lynn Cohen juga bermain di sini, sebagai istri dari mendiang yang dijaga Yakov. Perannya terbatas pada tampil creepy (kayak orang-orang tua pada film horor kebanyakan) sambil sesekali ngelempar eksposisi untuk membantu kita menyusun misteri. Tapinya lagi, kalo aktor senior seperti Cohen yang nyebutin, eksposisi itu tak pernah jadi flat out membosankan, begitupun juga dengan ke-creepy-an yang gak lantas jadi over-the-top. Dari segi penampilan, film ini masih enjoyable buat semua kalangan. Meskipun memang, secara horornya sendiri, film ini bisa jadi agak segmented.

Penonton yang mengharapkan ini bakal kayak horor mainstream, bakal menganggap film ini biasa aja atau malah cenderung membosankan. Karena itu tadi, minim jumpscare dan pengembangan yang lambat. Endingnya pun gak ada kelok-kelokan, tidak ada gantung-menggantung. Ini adalah jenis film yang ketika habis ya benar-benar habis. Hanya dengan sedikit pemancing pembicaraan kita di akhir. Karena kalo dilihat dari permukaan luar saja, film ini memang akan menghasilkan reaksi “cuma itu?”. Padahal film ini sesungguhnya mengajak kita menyelam ke apa yang dirasakan oleh karakternya, Bukan hanya menyelam lewat visual, tapi juga ke perasaan horor tersebut. Hanya ketika rasa itu konek ke kita, maka film ini baru bekerja. Baru bisa terasa amat menyeramkan.

 

 

Punya tawaran lebih banyak dan lebih dalam daripada sekadar horor tentang orang yang menjaga mayat. Dari identitas saja film ini sudah punya keunikan, karena membahas dari sudut pandang yang jarang dieksplorasi. Lalu, muatan ceritanya pun mengemas soal iman/agama, soal perilaku kebencian terhadap golongan tertentu, soal tanggungjawab kepada keluarga dalam sajian horor yang limited. Maksudnya, terbatas lokasi, waktu, dan budget. Keterbatasan tersebut menghasilkan geliat-geliat kreasi dan penceritaan yang pada akhirnya menjadi kekuatan utama horor ini. Permainan cahaya, build-up suspens, jalin cerita – punya sedikit resources tapi bisa menghasilkan sewah ini. Maka, gak heran kalo film ini bakal jadi salah satu inspirasi bagi filmmaker muda ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE VIGIL.

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah di ending itu Yakov sudah benar-benar terbebas dari Mazzik?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

Leave a Reply