V/H/S/94 Review

“It was a simpler time”

 

 

Kaset video atau VHS memang adalah dinosaurus, jika dibandingkan dengan beragam gadget berteknologi tinggi yang bisa mudah dimiliki dalam genggaman setiap orang.  Kualitas gambarnya yang bersemut-semut kalah jauh ama kejernihan HD. Suaranya yang berdesir (dan kadang terdengar bindeng) bukan apa-apa deh dibandingkan dengan kualitas audio di jaman sekarang. Tapi VHS punya keunggulan sendiri. Tidak ada menu yang rumit, tidak ada loading screen yang annoying, tidak ada software updates. Gak ada iklan! Saat kita ingin merekam, tinggal pasang kamera dan rekam. Saat mau nonton, tinggal masukin ke video dan tonton. VHS akan selalu dapat tempat di hati orang-orang yang pernah mengalami langsung masa keemasannya.

Kita bisa bilang itu karena sentimen nostalgia. Tapi sebenarnya yang dirindukan darinya adalah karena VHS terasa mewakili kehidupan di tahun 80-90an. Hidup yang lebih simpel dan bahagia.

 

Sekarang, semuanya udah overproduce. Terlalu banyak polesan. Bikin video youtube aja sekarang harus benar-benar seperti profesional. Enggak cukup dengan gambar dan suara berstandar tinggi. Harus dilengkapi pake efek dan edit-edit yang mentereng. Makek software editing yang ketinggalan satu versi update-an aja, kita bisa diketawain. Gak usah jauh-jauh, aku bahkan merindukan tahun 2000an ketika video-video yang ada di youtube masih berupa home video sederhana. Yang produksinya lebih mirip video VHS ketimbang buatan stasiun televisi. Kenapa? Karena video-video rumahan tersebut terasa lebih real. Lebih jujur. Karena itulah, kehadiran V/H/S/94 ini, yang franchisenya seperti sudah mati lantaran V/H/S: Viral (2014) yang flop, jadi angin segar buatku. Aku udah jenuh sama film-film yang terlalu sibuk berlomba untuk menjadi besar, baik dari segi visual, efek, cerita, hingga twist. Terutama film hororSebab sesungguhnya, ‘real dan jujur’ itulah yang jadi situasi penentu kualitas cerita horor. Situasi menakutkan yang dialami oleh karakter harus benar-benar beresonansi kepada kita. Ketika mereka diganggu hantu, misalnya, perasaan bersalah atau perasaan duka yang dilambangkan oleh peristiwa menakutkan itu harus sampai ke kita. Film harus mampu membuat kita mengerti perasaan tersebut, dan in turn bisa relate dan percaya kita bisa saja mengalami perasaan serupa; thus make us scare.

Banyak horor modern yang gagal menyampaikan ‘real dan jujur’ tersebut, karena mereka terlalu fokus ke membuat spectacle horor. Ke membuat wahana rumah hantu – alias wahana kaget-kagetan. Ke merangkai plot rumit dengan twist, yang justru sebenarnya mengalihkan kita dari esensi cerita. Ke membuat hantu tampak senyata mungkin, padahal justru menjauhkan kita dari ceritanya. Dua film V/H/S original yang tayang pada tahun 2012 dan 2013 – enam tahun setelah berakhirnya era VHS, dan di tengah maraknya genre found footage modern – mengerti hal tersebut. Paham bahwa culture horor berkembang justru saat VHS lagi hits-hitsnya. Maka film itu mengembalikan penonton kepada masa tersebut. Mengatakan, ‘ini loh habitat natural found footage itu’. Sehingga kedua film V/H/S pertama tersebut jadi sukses dan digemari, baik bagi yang rindu era VHS hingga bahkan oleh penonton yang gak really aware sama ‘kekuatan’ konsep videonya. 

vhs_195562848_7810f16b-65d9-4068-8375-2722a80af17c-superJumbo
VHS reborn!

 

 

Mengikuti (dan melanjutkan) konsep terdahulunya, V/H/S/94 hadir sebagai antologi horor pendek yang digarap oleh filmmaker-filmmaker yang udah dikenal sebagai ‘pemain lama’ pada genre horor brutal nan berdarah-darah. Simon Barrett, Chloe Okuno, Ryan Prows, Jennifer Reeder, and our own Timo Tjahjanto. Masing-masing horor pendek tersebut didesain berupa tontonan kaset video jadul. Estetik yang dipakai dan dipertahankan di sini adalah sudut pandang orang-pertama, dengan layar yang bersemut, suara yang berdesir, dan kamera goyang-goyang. Ada lima cerita lepas, yang salah satunya difungsikan sebagai perekat atau tubuh utama film ini. Yakni tentang sekumpulan pasukan S.W.A.T yang menyerbu markas sebuah cult. Di sana mereka menemukan banyak hal-hal mengerikan, termasuk empat video yang juga bakal kita tonton.

Cerita favoritku adalah Storm Drain karya Chloe Okuno. Seorang reporter dan kameramennya sedang meliput sebuah urban legend tentang makhluk setengah tikus setengah manusia yang hidup di gorong-gorong. Kita dibuat melihat aktivitas meliput mereka lewat kamera si kameramen. Konsep low-quality dan pov dimainkan dengan pintar di sini. Lingkungan gelap yang mereka lewati terasa semakin mencekam lewat pandangan mata kita yang terbatas. Horor itu akan benar-benar terasa ketika Okuno memperlihatkan sekelebatan makhluk di dalam sana. Untuk membuat kita tetap tertarik, Okuno membuat karakter-karakternya berbobot. Ada motivasi, dan nantinya ada hal yang menjadi ‘antagonis’ dari motivasi tersebut. Napas pendek segmen ini jadi terasa begitu berarti. Set up, pengungkapan, bahkan aftermath cerita tidak disampaikan terburu-buru. Sama sekali tidak ada niat dari segmen ini untuk membuat cerita menyusur tempat gelap yang semata untuk mengagetkan penonton. Kalian bisa melihat betapa respek dan fokus ke berceritanya si pembuat dari cara ia membuild up dan memberikan pay off kepada makhluk legenda yang dicari oleh karakternya. Segmen ini bahkan dilengkapi oleh klip-klip iklan ala 90an, yang menambah kesan real television footage.

Konsep sederhana dari video itu dijadikan lebih sederhana lagi oleh cerita The Silent Wake, garapan Simon Barrett. Di malam berbadai itu, acara pemakaman seorang pemuda misterius terpaksa ditangguhkan. Perempuan penyelenggara, terpaksa tetap menunggu di sana, kalo-kalo ada pelayat yang datang. Eksekusi konsep segmen ini pun dilakukan dengan luar biasa. Kita hanya melihat dari tiga kamera, dua statis yang terpasang di ruangan, dan satu kamera mobile yang dipegang oleh si perempuan. Perpindahan view dari ketiga itulah yang excellent. Tempo dan irama horor terbangun maksimal dari sana. Karena sebenarnya, cerita ini standar banget, bahkan elemen seramnya juga. Mati lampu, peti mati bergerak sendiri, ada suara-suara, wujud setan yang over-the-top bloody. Perpindahan sudut kamera dan cut-to-cutnya lah yang membuat cerita ‘jaga mayat’ ini bekerja efektif. Sebagai kontras dari cerita ini, ada Terror garapan Ryan Prows. Lebih banyak karakter. Ruang lebih luas. Dan bahkan ada ledakan. Sekelompok kulit putih rasis berkumpul, menyempurnakan rencana mereka yakni sebuah mengembangkan ‘senjata rahasia’ untuk memurnikan Amerika. Secara cerita, film Terror ini sebenarnya gak maksimal untuk cerita pendek. Ini terlihat dari ending yang terasa terburu-buru, tidak terasa berkembang dengan sempurna. Tapi paling tidak, segmen ini masih setia mengikuti konsep 90an dengan video low-quality dan bahkan adegan-adegan bego yang khas sekali seperti konten home video yang tidak profesional.

Ketiga film tersebut membangun konsep dan setia pada tema. Lalu datanglah The Subject karya anak bangsa. Aku gak tahu, but lol, Timo yang Safe Haven karyanya masihlah entry terbagus seantero franchise V/H/S/, seperti gak dapet memo di sini. Alih-alih bikin low-quality, dia malah bikin visual mentereng, kayak film digital biasa. Kayak film yang dibuat dengan kamera di masa sekarang, bukan 90an. Timo cuma nambah filter frame kamera dan catatan waktu 94 (dan kemudian editor film mati-matian menambah efek grain). Ceritanya yang mirip-mirip Hardcore Henry pun terasa futuristik.  Seorang ilmuwan gila menculik beberapa orang, dan mengubah mereka menjadi makhluk hibrid manusia-mesin. Kekacauan terjadi tatkala markas si ilmuwan digrebek polisi di bawah pimpinan Donny Alamsyah. Semua horor di tempat itupun lepas. Imajinasi dan ide cerita memang sungguhlah liar dan perfect untuk cerita horor, apalagi Timo di sini seperti mengajak kita berdialog soal semakin menyatu dengan teknologi tidak lantas membuat manusia kehilangan hati. Yang bagiku di sini, itu berarti film ini berargumen denganku soal film yang wah bisa juga punya hati kayak film-film yang sederhana. Masalahnya, film segmen ini tidak pernah menempatkan hati pada ceritanya. Melainkan sebuah spectacle yang luar biasa. Udah kayak aksi-aksi video game. Apalagi makhluk horor hibrid itu juga terlalu kinclong. Aku mengharapkan efek atau kostum yang grotesque, yang perpaduan manusia dan mesinnya itu bikin kita benar-benar mual ala makhluk Cronenberg. Tapi tidak. Timo membuat mereka terlalu ‘bersih’. Akting kaku dan  over-the-top sebenarnya juga dijumpai pada segmen atau cerita yang lain. Namun karena yang lain mempertahankan kesan video amatir nan jadul, akting tersebut jadi passable. Pada The Subject ini, sebaliknya, jadi malah mengganggu. Sebagai single story, aku bukannya tidak suka. Aku juga enjoy. Tapi sebagai bagian dari antologi dengan konsep tertentu, this entry just feels very out of place.

VHSTheSubject1-RT-1024x582-1 - Copy
Greatest shooter of all time, menembak lewat punggung kameramen

 

 

Entry terburuk, however, jatuh kepada segmen yang jadi tubuh utama film ini. Dan ini tidak mengherankan sih. Batu sandungan seri V/H/S selalu pada bagian segmen tubuh utama. Film ini pun kewalahan ketika harus mengikat segmen-segmen cerita yang saling tak berhubungan itu ke dalam satu film utuh. Cerita penyergapan oleh pasukan S.W.A.T itu berakhir gak jelas. Dan bahkan lebih ‘kempes’ ketimbang ending segmen Terror. Build up mayat-mayat mengenaskan (dengan bola mata tercungkil keluar) dan misteri berbagai boneka dan salib terbalik, tidak mendapat pay off sama sekali. Malah seperti diabaikan. Instead, kita malah mendapat penutup standar “oh ternyata si anu jahat”. Sambung-menyambung ceritanya pun terasa melompat-lompat. Inilah yang harus diperhatikan lagi oleh franchise ini untuk di kemudian hari. Mereka harus menemukan cara atau narasi yang lebih natural untuk menconvey konsep video-video yang sudah jadi ciri khas.

 

 

 

Untuk sebagian besar waktu aku menikmati menonton film ini. Tidak sejelek film ketiga franchise ini, walau juga bukan film yang benar-benar kuat. Aku benar-benar mengapresiasi konsep video low quality dan cerita sederhana tapi horor over-the-top dan berdarah-darah yang mereka usung. Menjadikannya kontras yang sangat menarik. Tapi memang, naturally, horor antologi seperti ini akan punya masalah balancing dan penyatuan, yang oleh film ini pun masih tetap tidak bisa tertuntaskan dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/94

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian sekarang ini kita memang telah terlalu overproduce terhadap konten sehingga kehilangan elemen ‘real dan honest’ di dalamnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

    • arya says:

      Iya, iklan sih kayaknya.. buat nyambungin ke aftermath si cewek udah selamat (tapi ternyata serem!). Biar keliatan kayak footage laporan televisi gitu. Sekalian throwback ke tahun segitu memang banyak iklan jualan seperti itu kayaknya

  1. arya says:

    Bener itu doang sih yang paling ngeganjel. Kenapa Timo bikinnya modern banget. Padahal 90an itu era horornya kan banyak juga yang horor2 kostum, yang pakek efek prostetik yang bloody, gross, segala macem. Kayak Hellraiser, Evil Dead, The Fly. Maunya si Timo ngambil referensi ke sana. Ternyata malah bikin kayak video game horor jaman sekarang

  2. arya says:

    Hahaha iya, beban berat juga kayaknya karena dia udah bikin Safe Haven, yang paling bagus, jadi tekanannya adalah gimana dia mengungguli masterpiecenya sendiri.
    Mestinya memang elemen body horor dari manusia yang terbangun sebagai robot itu yang dikuatin sih, pake efek-efek ala 90an, pas dia akhirnya melihat dirinya di cermin itu – di situ mestinya horornya kerasa kan. Bantai-bantaian mah untuk hiburan aja, udah jago si Timo urusan ini mah

  3. Miyanov says:

    Maaf bang, OOT, udh pernah nonton film Locke-nya Tom Hardy belum? Kalo udah gmna pendapatny pas nonton? Aku baru nonton dan suka banget soalnya hehe

    • arya says:

      Wah keren banget sih Locke.. Tom Hardy nyetir sambil ngobrol doang bisa berbobot. Film ini saking bagusnya, dicontek sama Indonesia loh. Judulnya Nay. Aku udah review film itu, sambil bahas Locke juga di sana

      • Miyanov says:

        Barusan baca. Kaget juga ada yang njiplak dalam kurun waktu yng deket banget ama Locke rilis. Cuma satu tahun. Sayang bgt
        Iy, aku terpesona si ama keseluruhan filmnya. Filmnya sederhana tpi berbobot. Somehow Locke ngingetin sama Surga yang Tak Dirindukan. Bedanya motivasi Locke buat tanggung jawab lebih urgent. Pun film fair buat Locke dapet ganjaran atas perbuatannya. Ga kaya SYTD yang tetap membuat Pras menang banyak.
        Menarik sih karya yang dibuat oleh laki-laki terkesan lebih berpihak pada perempuan ketimbang SYTD yang originnya ditulis perempuan tetapi memihak laki-laki

        • arya says:

          Hahaha kadang-kadang memang film indonesia itu terlalu mengutamakan ‘supaya penonton senang’ sehingga enggak lagi memikirkan hal lain. Pekanya justru ke hal-hal berdagang film, alih-alih pesan dan karakter yang dibangun

  4. Abdi_khaliq says:

    Found footage memang genre horror favoritku, so far yang paling berkesan banget dan masih seram di tonton sendirian siang2 hari tetap dimenangkan oleh “Lake Mungo”, terus yang paling baru ada “Horror in the high desert,” dan ini lebih parah dari Lake Mungo sih menurut aku pribadi, nonton siang bolong di keramaian tempat kerja masih tidak mampu membuatku untuk tidak jejeritan dan berpaling dari layar laptop karena endingnya sumpah juara banget seremnya. Wkwkwkwkwk
    Anyway ngomongin VHS 94, cuman mau ngasih pendapat ranking segmen dari yang Best to Worse menurut versi aku pribadi.
    1. “The Empty Wake” Cerita penjaga Mayat. Sumpah ini aku nonton sama teman siang bolong, jejeritan kayak bocah cewek.. Hahahahaha…
    2. “Storm Drain” Kisah Reporter Ratman. Scene Selokan bawah tanah sumpah bikin merinding dan parno.
    3. “Terror,” Penampakan manusia vampir masih bisa bikin merinding.
    4. “The Subject” Sorry to say. “Big Noooo” buat aku pribadi, karena : 1) Kualitas gambar gak masuk konsep 94, terlalu futuristik dan bening (Tetsuo the iron man : masih juara soal horror manusia robot yang menjijikan). 2) Cerita, akting dan dialog over the top. 3) Gak ada kesan real, bagaimana pun juga found footage itu semakin simple justru semakin efektif. 4) Selama nonton segmen ini, gak adegan menakutkan yang bikin aku berpaling dari layar laptop. Tidak seperti 3 segmen di atas, yang masih mampu membuat aku menutup mata dan menjerit. Hahahahaha

    • arya says:

      So far, belum ada ya yang ngomen suka sama The Subject haha.. memang tidak pada tempatnya banget berarti. Mungkin niatnya pengen bikin action-horror, tapi gak dapet horornya. Btw, Tetsuo the Ironman itu apa sih? film atau anime? aku baru denger, dan langsung penasaran.
      Horror in the High Desert aku udah nonton, tapi gak begitu suka. Suka pas bagian footage kamera di menjelang akhir aja. Bagian depan yang curiga-curigaan, buatku distracting, mungkin karena terlalu lama dan ternyata cuma ‘red herring’.

  5. Iksan says:

    Kalo menyatukan film2 ini sbenarnya sih gampang. Tinggal taruh karakter yg ada di setiap film2 pendeknya terus diakhirnya direveal aja dia tuh siapa. Beres wkwkwk

Leave a Reply