V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Ilhamf says:

    Eh ternyata di review juga, padahal VHS 94 aku tunggu tunggu reviewnya malah gak ada 🙁 pdhal penasaran sama review sama segmennya timo yang bagus dan brutal tapi gakerasa vibes 90 annya

    • Arya says:

      Ada kok aku review 94. Ada di link juga di review ini. Gak ke searchnya kayaknya karena format judulnya haha

      Tak suka aku segmen si Timo, kerasa beda banget ama yang lain, membuat film vhs94nya jadi aneh

Leave a Reply