“Hard experiences may indeed make you tough.”
Titane adalah cerita tentang seorang perempuan yang cinta sama mobil. Itu adalah kalimat yang paling innocent dalam mendeskripsikan film karya sineas Perancis Julia Ducournau ini. Sebenarnya, Titane bukanlah cerita yang innocent. Ataupun bukanlah cerita yang normal. Cinta sama mobil yang kita kenal adalah, sikap orang yang merawat dengan seksama kendaraan yang punya nilai tertentu bagi dirinya. Orang yang membanggakan kendaraannya karena kendaraan tersebut entah itu irit, awet, atau mesinnya ‘bandel’. Ya, cinta yang normal-lah. Cinta sama mobil Titane berada dalam realm yang sama sekali berbeda. Perempuan tokoh utama film ini lebih suka mengekspresikan dirinya kepada mobil, ketimbang kepada manusia. Dia menari erotis di atas kap mobil. Hingga di satu titik, perempuan tersebut hamil. Oleh mobil.
Alih-alih air susu, dadanya mengeluarkan oli. Alih-alih ketuban, cairan hitam pekat-lah yang muncrat dari dalam tubuhnya. Di satu sisi, film ini memang cocok dimasukkan ke dalam kotak body-horror, berkat bertaburnya elemen-elemen edan ketakutan si karakter perempuan terhadap kondisi tubuhnya. Namun di sisi lain, di samping keanehan tersebut, sutradara Julia sesungguhnya kembali menghadirkan kepada kita kisah hubungan kekeluargaan yang hangat. Yang mengalun beriringan dengan tema-tema yang super relate dengan kemanusiaan. Seperti self-healing atas trauma, dinamika gender, dan kendali atas tubuh/hidup sendiri.
Perempuan itu bernama Alexia. Waktu kecil, Alexia pernah kecelakaan mobil. Sehingga pelat baja harus ditanam di kepalanya. Tau tidak siapa yang pertama kali dipeluk dan dicium Alexia cilik begitu operasi perawatannya berhasil? Bukan, bukan ibu dan ayahnya. Mobilnya. Kecintaan tak-wajar Alexia sama mobil memang telah tumbuh sejak dini. Dan kerenggangannya dengan orangtua – terutama dengan ayahnya – besar kemungkinan adalah sumber dari segalanya. Setelah dewasa, Alexia bekerja sebagai penari stripper. Spesialis nari di mobil. Dirinya semakin berjarak dengan manusia-manusia lain. Malahan, saking canggungnya dengan manusia, Alexia punya kecenderungan untuk membunuh orang-orang di sekitarnya. Serius. Alexia jadi semacam serial killer! Di tengah pelariannya suatu ketika, Alexia menyamar menjadi putra dari seorang pemadam kebakaran. Putra yang hilang sejak kecil. Penyamaran Alexia membawanya bertemu dengan Vincent, sang pemadam kebakaran. Alexia tinggal bersama Vincent yang percaya dia adalah putranya. Film Titane lantas mulai berganti gigi. Masuk ke dalam cerita melodrama dua orang asing yang saling tidak menampilkan diri masing-masing, meski tak bisa dipungkiri, mereka saling membutuhkan.
Karena bicara tentang tubuh dan trauma itulah, maka film ini terasa seperti versi cewek dari Kucumbu Tubuh Indahku (2020) bagiku. Bagaimana tidak? Film ini juga menggunakan tubuh sebagai rekam jejak hidup yang dilalui oleh Alexia. Hidup yang penuh trauma. Lempeng baja di kepalanya itu merupakan bukti literal, catatan, atas trauma pertama yang menimpanya. Dan trauma itu membekas, seperti halnya lempeng baja yang terus bercokol di sana. Sebagai simbolisme, lempeng itu menunjukkan karakter dari Alexia. Perempuan yang tangguh. Atau mungkin lebih tepatnya, membuat dirinya tampak tangguh. Setiap pengalaman buruk, setiap trauma yang ia alami, membentuk dirinya semakin heartless. Semakin dingin. Semakin tak-perempuan. Di sinilah aspek gender mengambil peran dalam cerita. Memang masalah Alexia dan ayahnya tidak pernah disebutkan dengan gamblang, tapi aku tidak akan kaget kalo ternyata ayah lebih senang punya anak cowok ketimbang cewek. It would explain kenapa Alexia suka sama mobil. Teoriku, backstory cerita adalah, Alexia mencoba untuk memenuhi ekspektasi ayahnya tersebut, dan hasilnya adalah kekacauan hubungan ayah-anak yang kita lihat di film ini.
Jadi, seperti Juno dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Alexia lantas menapaki hidup yang penuh trauma sembari tidak boleh menunjukkan kelemahan. Namun jika Juno berakhir harus menahan sisi feminimnya, Alexia yang kodratnya sudah cewek – harus menekan kemanusiaannya. Itulah sebabnya kenapa Alexia menjadi distant dengan manusia. Kenapa dia bisa jadi serial killer. Pelat baja adalah simbol sisi kemanusiaannya yang hilang. Dan kehamilannya oleh mobil, adalah simbol puncak hal tersebut. Dia hamil setelah melakukan pembunuhan yang, at least pertama kita lihat. Trauma atas peristiwa tersebut membuahkan kehamilan kepadanya. ‘Buah’ yang menunjukkan dia bukan lagi ‘manusia’. Sekaligus juga jadi tantangan terbesar, dia harus menghadapi kewanitaannya. Tebak ke mana cerita membawa Alexia berikutnya? Ya, Alexia yang tengah hamil (kecepatan hamilnya pun di luar kecepatan hamil normal) harus menekan perut buncitnya dengan suspender, karena dia harus menyamar sebagai laki-laki. See, semua simbolisme tadi itu comes together di paruh kedua cerita.
Secara teori, trauma yang kita rasakan, ‘diserap’ oleh tubuh. Semua yang kita alami, baik secara fisik maupun secara mental atau emosional, akan direkam dan disalurkan kepada tubuh. Maka ada benarnya juga perkataan yang mengatakan bahwa pengalaman keras dan trauma dapat membuat kita jadi lebih tangguh. Tubuh kita beradaptasi, membentuk pertahanan terhadap itu. Tapi sebagai manusia kita tidak hanya tubuh. Kita perlu penyaluran yang sehat terhadap trauma tersebut, penyaluran yang tidak membebani tubuh semata.
Jika kita memang menganggap film ini terdiri dari dua bagian cerita, maka bagian terbaik film ini adalah cerita di bagian keduanya. Ketika Alexia ‘terperangkap’ sebagai Adrien, putra yang telah lama hilang dari Vincent. Di sini adalah ketika semua yang dipercaya Alexia selama ini ditantang. Mau itu tentang bagaimana ayah kepada anaknya. Hingga ke tentang menjadi tangguh atau be a man itu sendiri. Selama ini, sebagai perempuan (dan penari stripper!), Alexia merasakan tatapan lapar para lelaki. Jadi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Sebagai Adrien, Alexia merasakan ‘tatapan’ yang berbeda dari para lelaki. Dia experience something yang tak pernah ia rasakan, sekaligus juga sesuatu yang familiar. Dia belajar banyak tentang kendali tubuh dan ekspresi dari Vincent, karakter yang actually ditulis lebih beresonansi ketimbang dirinya sendiri. Vincent, kapten pemadam kebakaran yang dituntut untuk tampil macho, tapi punya sisi vulnerable sendiri. Yang di saat-saat pribadinya, kita tahu kapten itu tidak prima lagi. Secara teknis pun, film langsung jor-joran menghasilkan kontras dari berbagai aspek saat cerita mulai menapaki hubungan antara Alexia dengan Vincent. Warna-warna lembut di momen-momen maskulin, misalnya. Kontras-kontras itu menambah depth buat narasi yang sedang disampaikan. Ending saat keduanya mulai menerima diri mereka masing-masing adalah momen indah, sekaligus sedikit menyeramkan. Memang, relasi kedua karakter inilah yang jadi hati yang kita tunggu-tunggu sepanjang durasi.
Bagian pertama film ini memang sukar untuk ditonton. Alexia benar-benar karakter yang sulit untuk disukai. Waktu kecil dia begitu annoying dengan menirukan suara mesin mobil (dia bertingkah annoying itu yang actually jadi penyebab dirinya kecelakaan) Dia tidak banyak bicara. Ekspresinya tak terbaca. Dia membunuh orang-orang, beberapa di antaranya adalah orang yang berusaha bersikap ramah kepadanya. Kita tak tahu apa yang ia pikirkan, dan apa motivasinya selain tidak ingin tertangkap polisi. Hal satu lagi yang kita tahu adalah bahwa Alexia gak pengen hamil. Apalagi adegan-adegan yang ditampilkan juga bukan buat konsumsi orang-banyak. Adegan pembunuhannya digambarkan cukup real sehingga bisa bikin perut bergejolak. Adegan body-horrornya juga cukup disturbing, dengan oli muncrat ke mana-mana. Bahkan adegan ketika dia ‘mendandani’ dirinya untuk menyamar sebagai cowok; jangan harap adegan itu seelegan adegan Mulan potong rambut sebelum berangkat ke training camp. Film ini penuh oleh gritty things yang hard to watch. Namun begitu, aku salut sama penampilan aktingnya. Yang meranin Alexia itu bukan aktor profesional. In fact, film ini adalah debut aktingnya. Agathe Rousselle ditemukan oleh tim Julia di sosial media, dan langsung digembleng akting. Turns out, permainan akting silent dan berekspresinya juara banget.
Julia basically menyandarkan bagian pertama kepada performance aktor baru ini. Rouselle diberi kesempatan, dan she kills it! Satu-satunya alasan kita enggak berdiri dan ninggalin film ini meskipun di pertengahan awal itu karakternya unlikeable dan situasinya weird as hell, adalah Rouselle menyuguhkan penampilan akting yang membuat kita relate kepada Alexia, karakternya. Kita merasakan yang Alexia rasakan, lewat tubuhnya. Ketika dia membunuhi seluruh penghuni rumah, kecuali satu orang yang berhasil, kita merasakan kelelahan yang ia rasakan. Kita merasakan tekanan dari kejadian tersebut.
Mesin film ini memang lama panasnya. Set upnya gak benar-benar melandaskan banyak, karena seperti ada penghalang kita dari si karakter utama. Ditambah pula dengan elemen horor dan adegan-adegan yang membuat film ini bukanlah sebuah tontonan yang bisa dengan mudah untuk diselesaikan. Tapi memang itulah yang jadi jualan utama. Sebuah pengalaman traumatis. Artistry, kreasi, dan semua kemampuan sinematik pembuatnya diarahkan untuk membuat pengalaman tersebut mencuat. Walaupun harus menjadi seaneh mungkin. Bahkan ketika hati cerita mulai kelihatan pun, film tidak menginjak pedal rem dalam membuat dirinya tampak sebagai sebuah mimpi buruk. Namun di lubuk hati, kita tahu masalah yang dihadapi karakter-karakternya adalah masalah kemanusiaan yang real. Kita tahu perasaan tersebut bisa jadi relatable. Film ini dapat standing ovation sembilan menit di Cannes. Jadi, dalam semangat film itu sendiri, sekarang aku minta kita semua untuk berdiri. Dan bilang “Brrrrmmm Breemm Brmmmm!!”
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TITANE
That’s all we have for now
Bagaimana pendapat kalian tentang film dengan elemen cerita yang aneh seperti film ini? Apakah bagi kalian keanehan tersebut jadi daya tarik atau malah jadi turn-off?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Iya ya juganya, mukanya setipe. Kalo udah tua, pasti makin mirip ahahaha