THE BATMAN Review

“Vengeance is not the point; change is.”

 

Perdebatan ‘superhero dark atau harus colorful’ antarkubu fans bakal makin sengit dengan tayangnya film Batman terbaru ini. Pasalnya, si Batman itu sendiri memang sudah punya begitu banyak versi, mulai dari yang ringan, yang extremely comical, yang aneh, hingga yang ‘so serious‘. Jadi Batman benar-benar cocok mewakili perdebatan tersebut. Salah satu penyebab kenapa Batman jadi salah satu tokoh pahlawan super paling populer dan ikonik sehingga terus dibuatkan cerita ini adalah karena dia easily salah satu yang paling grounded. Dia gak punya kekuatan super. ‘Cuma’ punya jubah hitam dan alat-alat mahal. Makanya Batman ini fleksibel, bisa dibuat either way. Dan bagus atau enggaknya memang tergantung dari bagaimana pembuat meracik itu semua. Nah, The Batman garapan Matt Reeves ternyata berhasil nyetak begitu banyak skor dengan hadir sebagai kisah yang superkelam, dengan tetap memegang kuat ruh sebagai epik kesuperheroan. Film ini udah kayak cerita detektif dengan misteri kasus yang rumit, dengan penekanan yang kuat kepada sisi personal sang karakter, tapi di saat bersamaan juga menunjukkan perjuangan dalam menyelamatkan kota dan banyak orang. Jadi dengan kata lain, The Batman ini sukses hadir dengan memberikan warnanya tersendiri.

Jika dalam menjadi superhero itu kita anggap sama seperti pertumbuhan orang menjadi dewasa, maka film ini bisa dibilang adalah cerita coming-of-age Bruce Wayne sebagai seorang pahlawan. Diceritakan, dia baru dua tahun jadi Batman. Dia masih dalam proses ‘mencari jati diri’, pahlawan seperti apa dia untuk Gotham. Opening film ini bahkan dimulai dari Bruce yang menarasikan diarinya. Bruce percaya dia adalah pahlawan vengeance. Setiap malam, begitu sinyal lampu menyala, dia keluar. Menakuti para kriminal di jalanan dengan auranya. Dan menjatuhkan pukulan-pukulan balas dendam itu kepada mereka semua. Bagi Bruce, setiap kriminal di kota adalah orang yang telah membunuh orangtuanya. Bruce jadi pahlawan atas dasar ini; balas dendam demi meneruskan legacy kebaikan orangtuanya. Batman memang jadi ditakuti, oleh kriminal dan juga oleh orang-orang yang ia tolong. Polisi-polisi pun gak respek sama dia. Kecuali Gordon, yang membawanya ikut memecahkan kasus dan jadi kayak partner bagi Batman. Ketika mereka berhadapan dengan rangkaian kasus pembunuhan orang-orang penting di Gotham, eksistensi superhero Batman ditantang. Puzzle demi puzzle dari Riddler yang ia pecahkan membawanya pada rahasia kelam menyangkut kota, hingga warisan sebenarnya dari orangtuanya.

batman1d9b29573ce687ddd08151eb85c91af2ce5c563-16x9-x0y250w7684h4322
Teka-Teki Tikus

 

Kita gak bisa misahin Batman dari Gotham, karena kota tersebut akan selalu jadi bagian dari karakter Batman. Pak sutradara benar-benar mengerti akan hal ini. Maka kota Gotham tersebut juga ia hidupkan sebagai karakter. Bukan hanya lewat tampilan dan sudut-sudut pengambilan kamera – yang mana dilakukan dengan menakjubkan, seram rasanya berada di malam hari di tengah kota Gotham modern yang kelam dan sering hujan, tapi juga jadi bagian penting di dalam narasi. Rangkaian kasus yang ditangain Batman dirancang untuk membawa karakter ini menyelam ke dalam jaring-jaring politik gelap yang praktisnya menggerakkan kota Gotham. Dari mafia seperti Penguin (aku masih gak percaya kalo itu adalah Colin Farrel!!) hingga ke wali kota, dari klub rahasia hingga ke kantor polisi, korupsi itu udah kayak turun temurun di Gotham. Inilah yang bikin The Batman terasa begitu immersive. Dunianya benar-benar hidup. Kita merasakan setiap karakter yang tampil punya kepentingan berada di sana. Bukan sekadar seperti kepingan puzzle. Batman gak akan ngumpulin mereka di ruangan, dan memaparkan jawaban teka-teki dan menunjuk ke satu orang ‘kaulah pelakunya!’ Penjahat film ini bicara tentang membuka kedok kota, dan misteri pembunuhan dalam film ini sendirinya adalah ‘kedok’ untuk banyak lagi lapisan yang menyusun narasi film ini.

Enggak sekalipun aku merasa film ini kayak produk-yang-lain dari suatu jagat universe. The Batman terasa seperti cerita sendiri, bukan hanya di franchise Batman, tapi juga di cinematic universe keseluruhan. Inilah kekuatan sutradara yang gak kutemukan dalam film-film superhero modern yang kebanyakan kayak template. Tentu ada sejumlah callbacks ke film-film Batman terdahulu yang bisa ditemukan oleh superfans, tapi di film ini setiap aksi, setiap shot, terasa spesial dan ekslusif untuk cerita ini. Reeves benar-benar mengarahkan semuanya dengan visi. Dengan teramat sangat dramatis, pula. Dia bisa menguatkan kesan kelam dan brutal walaupun harus bergulat dengan rating 13+, yang berarti dia berhasil menggunakan ‘restriksi’ tersebut untuk keuntungan penceritaannya. Selalu ada cara efektif yang ia temukan untuk menyamarkan aksi-aksi sadis. Fokus blur, permainan kamera, atau bahkan membiarkannya terjadi off-screen (hampir semua adegan pembunuhan sadis oleh Riddler dilakukan di luar kamera), film menyerahkannya kepada imajinasi penonton. Dan memang lebih efektif dilakukan seperti begitu.

Off-screen bukan berarti film ini takut dan luput merekam emosi. Misalnya saat Batman kalap nonjokin wajah penjahat. Hasil gebukannya memang gak diliatin, tapi ‘prosesnya’ direkam dengan steady. Kamera diam aja memperlihatkan emosinya si Batman. Beberapa aksi berantem yang lebih fluid pun juga dilakukan tanpa goyang berlebihan. Batman dengan Catwoman (Zoe Kravitz level coolnessnya tinggi yaw), misalnya, aku justru lebih ngerasain ‘tensi’ di antara mereka saat lagi berantem ketimbang ngobrol. Adegan aksi paling dahsyat yang dipunya film ini adalah saat kejar-kejaran mobil bersama Penguin. Reeves juga sukses bikin Batmobile jadi kayak karakter sendiri – seperti makhluk buas yang mengintai dari balik kegelapan dan menerkam. Dan di akhir balap maut itu ada shot yang sangat keren dan memorable dari sudut pandang si Penguin. Ngomong-ngomong soal itu, film ini memang beberapa kali menggunakan pov shot dari berbagai karakter. Yang semuanya selalu berhasil menguatkan perspektif, karena didukung dengan visual maupun suara. Napas berdegup si Riddler, reaksi paniknya Penguin, ataupun hanya bunyi-bunyi derap kaki Batman dari dalam kegelapan pekat yang dilihat oleh kriminal yang ketakutan. Momen-momen itu menghiasi film sehingga mustahil ngantuk dan bosen menyaksikannya walau durasi memang panjang dan melelahkan.

Perspektif merupakan kata kunci di sini. Pandangan Batman mengenai memberantas kejahatan dibenturkan dengan pandangan maniak si Riddler terhadap keadilan jadi pusat yang menggerakkan cerita. Dan yah, tibalah saatnya menilai penampilan Robert Pattinson sebagai Batman dan Bruce Wayne. Kayaknya cuma dia yang meranin Batman dan Bruce sebagai orang yang sama – I mean, gak kayak Batman-Batman lain yang selalu ada beda sedikit dengan versi Bruce mereka. Maksudku di sini bukan Rob bermain jelek, kesamaan tersebut memang jadi konteks karakter Batman/Bruce yang ia perankan. Karena di titik ini Bruce gak pedulikan soal menyamarkan diri. Bruce di film ini justru pengen dirinya itu Batman ‘selamanya’. Dia lebih nyaman menjadi Bruce yang mengenakan topeng, dia merasa kuat dan lebih pegang kendali. Di film ini memang porsi Robert lebih banyak bermain sebagai Batman. Sedikit sekali saat dia jadi Bruce, dan di momen-momen sebagai Bruce, karakternya lebih banyak diam. Hanya menatap orang-orang. Malah ada satu adegan yang memperlihatkan Bruce dengan riasan mata yang luntur abis pake topeng, sehingga dia kayak sedih dan kuyu banget. Ekspresi Rob lebih kuat saat Bruce menjadi Batman. Segala mannerism – cara dia berjalan, dia memandang, hingga pandangan matanya berkata lebih banyak tentang Bruce sebagai Batman itu kepada kita.

batmandownload
Batman Rob punya sparkle… not in literal way

 

Revenge is an act of passion. Makanya aksi balas dendam bukanlah inti dari perjuangan kita menuntut keadilan. Harusnya inti dari perjuangan tersebut adalah perubahan apa yang kita timbulkan. Balas dendam gak akan mengubah banyak hal. Inilah yang harus dipelajari oleh Batman, yang masih terus galau dan dihantui keinginan membalaskan dendam orangtuanya kepada kriminal-kriminal di kota.

 

Aku benar-benar suka ama grounded film ini membuat ceritanya jadi semacam kasus misteri. Batman udah jadi kayak detektif, like he should be in the first place. Dia menggunakan kecerdasan, dan juga teamwork. Entah itu dengan Alfred, dengan Catwoman, ataupun dengan Gordon. Riddler yang over-the-topnya udah kuat merekat berkat penampilan Jim Carrey, di film ini juga jadi sangat grounded diperankan oleh Paul Dano. Riddler di sini jadi seperti serial killer yang mungkin bisa terjadi di dunia nyata kita. Seru aja ngeliat adegan-adegan memecahkan petunjuk dan teka-teki, meski Batman yang pintar itu agak jarang ngajak-ngajak. Dia sekali lihat bisa langsung tahu jawabannya. Tapi at least, dia ngeshare jawaban dan alasan kenapa itu jawabannya kepada kita. Dan mostly, teka-teki si Riddler adalah permainan kata yang lucu. Seperti soal ‘thumbnail drive’ ataupun ketika dia nanya ‘kalo seorang pembohong meninggal, dia ngapain?’ Jawabannya bikin aku ketawa, karena ‘He lie still’ berarti dua; dia tetap berbohong atau dia diam tak-bergerak. Lucu-lucu kecil seperti demikian jadi sangat diapresiasi karena The Batman ini memang gak pake dialog-dialog one-liner konyol. Satu lagi yang bikin cekikik ringan adalah Penguin yang karena tangan dan kakinya diikat, jadi berjalan kayak burung penguin beneran hihihi

Untuk mengembalikan fitrah film ini sebagai superhero (dan bukan film detektif) – juga karena pada titik itu karakter Batman yang semakin galau belum mendapat pembelajaran – maka setelah sekuen false resolution, Reeves menuliskan konflik menyelamatkan kota dari bencana besar ke dalam naskahnya. Batman harus menyelamatkan banyak penduduk, menyetop final wave of bad guy, untuk membuktikan dia bukan pribadi yang sama dengan dia di awal cerita. Bahwa pandangannya sudah sedikit berubah, dan bagaimana pengaruh perubahan tersebut kepada masyarakat; kepada kota. The Batman sah saja dikeluhkan kepanjangan, namun film ini masih tetap memperhatikan penulisan. Pembabakan dilakukan dengan clear di akhir. Dan perlu aku tekankan, sedikit lebih clear dibandingkan saat awal-awal babak kedua. Masalah yang tersisa adalah soal si Riddler yang rencananya semakin tidak grounded dan terlihat enggak lagi sesuai dengan bagaimana dia memperlakukan rencananya di awal.

 

 

Superhero detektif yang personal, sekaligus penuh aksi-aksi seru, dengan banyak karakter dan penampilan akting yang asik di baliknya. Kegelapan di sini bukan lagi soal cara bercerita, melainkan jadi karakter tersendiri. Kekuatan film ini memang pada karakter tersebut. Mampu menghidupkan lewat perspektif maupun visual. Bahkan suara. Aku gak memperhatikan musik, tapi desain suara film ini yang memang gak banyak dialog melainkan lebih detail menghidupkan suasana lewat suara, sungguhlah bikin kita terbawa suasana. Teka-tekinya fun. Jembatan antara cerita detektif dengan cerita superheronya memang kurang mulus, tapi banyaknya pencapaian storytelling dan teknis lain yang bisa dinikmati could easily outweighed kekurangan kecil itu. Aku yakin the only way film ini flop adalah kalo orang-orang pengen banget ngeliat Robert Pattinson memenuhi janjinya dan main film xxx.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BATMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana film superhero yang ideal menurutmu?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Firdaus says:

    Bikin makin kepengen nonton Ae mas, apalagi Batman kembali ke jati dirinya karakter membumi bukan kayak di Justice league

    • arya says:

      Hahaha yang Justice League mah Batman rasa Marvel, bener-bener gak kayak Batman. Mending Batman konyol kayak di serial jadul sekalian.
      Apalagi Batman yang di vs. Superman. Batman kok membunuh. Lihat di The Batman ini, Bruce sering lepas emosi juga tapi gak ada satupun kriminal yang ia bunuh.

  2. Vin says:

    Senang banget bisa lihat Batman dari sisi yg berbeda; sisi detektif. Semoga next time sisi lain Batman sebagai seorang seniman bela diri yg menguasai 127 bela diri lagi yg diangkat. Iya, 127, enggak salah ketik. Wkwkwk. Baru versi animasi yg pernah menonjolkan itu. Di live action cuma pernah disinggung sedikit di Batman begins.

      • Vin says:

        Wkwk. Nggak prnh disebut secara gamblang sih apa aja bela dirinya. Tapi aku ingat ada satu yg menarik. Kayaknya daerahnya fiktif tp mirip2 India gitu. Ada wanita yg dianggap penyihir krn nggak pernah merasakan sakit. Ternyata itu kayak pengendalianemosi atau apa lah. Nah,Bruce sempat belajar juga sama wanita itu.

    • arya says:

      Batmannya sih lebih matang versi Nolan, ruang eksplornya juga lebih banyak, karena trilogi. Yang versi baru ini bener-bener kayak Batman versi di fase remaja, di fase galau, angsty, emo gitu-gitu lah hahaha

  3. Irfan says:

    3 jam yet I did enjoy the movie so much! Meskipun tidak dengan keluargaku, yg sepertinya lebih menginginkan superhero penuh aksi macem studio sebelah punya hehe
    Batman Rob is a teenager hero, driven by pure ego at first. Namanya aja Vengeance haha bahkan item2 di matanya tiap dia abis jd Batman bikin aku keinget vokalis band emo macem Billy Joel Armstrong haha
    Bicara soal Penguin, cuma aku yg agak ngakak di bioskop krn liat dia diiket dan merasa “lah kaya penguin bener” and also, aku baru tau kl itu Colin Farrell setelah baca review ini btw wkwk

      • Miaw says:

        Coba nonton series Marvel-Netflix Daredevil bsk klo dah nongol di Disney+ (karena di Netflix dah digusur), pasti akan mbatin kebalik “Ini yakin saya nonton series Marvel? Bukan DC?” saking dark-nya jg ambiencenya :p

      • Vin says:

        Aku sdh nonton season 1 dan stngah season 2 sampai The Punisher dtangkap. Bagus sih, tp aku ngerasa kok formula nya mirip2 Arrow ya.

    • arya says:

      Hahaha sama, kayaknya cuma aku sendirian juga di studio yang ngikik pas Penguin jalannya lompat-lompat kayak penguin beneran. Kinda blink-and-missed juga sih momennya, sepintas dan di ujung scene.
      Dan setiap kali momen batman emosional, langsung ada lagu Something in the Way yang dislow-down jadi kayak versi yang lebih galau haha

  4. Firdaus says:

    Udah bagus sih The Batman pembawaannya apalagi slow pace cerita diawal bikin gw nikmati ceritanya,cuma minus tone gelap banget nyampe keluarin kacamata wkwkwkwk.

  5. soearadiri says:

    Akhirnya bisa nonton juga. Bela2in dapet yg jam akhir pulang malem, karena harus hari ini banget. Soalnya gk tau kapan dapat waktu, dan takut keburu turun (padahal Minggu depan juga yakin masih ada).
    Soal plot saya gk yakin kalo org2 yg belum nonton versi Nolan tau siapa itu Maroni. Dan nama ini berikut kasusnya bisa dibilang merupakan sentral pengembangan cerita, dan gk pernah ada flashback. Luckily we knew, jadi masih bisa ngikutin. Jadi kayak Game of Thrones, peristiwa besar yg jadi sentral pengembangan cerita malah gk di flashback sama sekali. Malahan kerennya kita jadi dapet fakta2 baru mengenai kejadian tersebut, begitupula dengan film ini.
    Soal Collin Ferrel, gila sih emang. Gk terkesan komikal (*cough Jared Leto *cough House of Gucci *cough) bener2 kayak completely different person

    • arya says:

      Iya, berani sih filmnya gak ngasih eksposisi yang jelasin itu. Dan mereka bikinnya lihai sih, jadi walaupun penonton casual gak ngeh tetap bisa menikmati, tapi kalo ngeh ya bisa menyambungkan sendiri. Either way, kayak yang kutulis, film ini benar-benar terasa lepas berdiri, gak kayak produk sinematik2an.
      Jaret Leto kayaknya mau ngincer dapat razzie dan oscar bersamaan wkwkwk, untungnya oscar kali ini gak bego-bego amat xD

      • soearadiri says:

        Yup, saya bahkan tidak keberatan sama sekali jika akhirnya film ini hanya akan jadi one shot hit yg gk ada kelanjutannya. Soalnya film ini udah one package banget as a full story’. Bahkan cameo Barry Keoghan gk membuat opini saya berubah

        • arya says:

          Setuju, buatku malah scene di penjara itu ngingetin perjuangan Batman baru dimulai, meskipun dia udah belajar jadi ‘hope’ gak berarti semua masalah beres. Jadi menekankan statement dia siap jadi superhero aja. Gak usah ada kelanjutan filmnya juga gak apa-apa, saking tuntasnya story si Batman ‘remaja’ di sini.

      • soearadiri says:

        Wah, bener tuh; “Batman remaja” yg udah mulai punya Hope. Melengkapi versi Nolan sih, harusnya sebelum dia ngasih kita Batman yg Hopefull, kuat pendiriannya, dan berusha untuk menimbulkan damage ke musuhnya seminimal mungkin, dia ngasih kita Batman yg ini dulu. Batman yg Literally ditakuti karena keberingasannya, ke uncotroll-an nya, dan bahkan nyaris bunuh org karena tujuan dia adalah Vengeance

        • arya says:

          Jadi kepikiran, seru kayaknya kalo ‘fase’ Batman diurutin dari film-film yang pernah ada. Dari Batman belum jadi di Joker, ke Batman remaja Pattinson, Batman matang si Bale, trus ntar ada fase Batman garing bapak-bapak mungkin wkwkwk

Leave a Reply