“To look beyond your own pain, to see the pain of others.”
Anak-anak cowok sih, sudah lama punya film ‘kebangsaan’ yang mewakili rasa penasaran ingin eksplorasi tubuh dan gejolak jiwa. Yang mengangkat pertemanan mereka bersama-sama mengarungi masa muda. Judul film ‘kebangsaan’ para anak cowok itu adalah American Pie (1999). Seru, ketawa-ketawa, filmnya komedi banget. It’s all fun and games ketika anak-anak cowok nonton bokep, pengen punya pacar dan bersaing gaet cewek. Film itu bahkan tetap kocak ketika ada yang kepepet pengen mencari penyaluran lewat makanan. Sebagai yang juga ikut keseruan yang ditampilkan film itu, aku selama ini memang tidak kepikiran di luar yang dialami cowok saat puber dan mulai naksir cewek. Sama sekali tidak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa cewek-cewek, mau itu modelan cewek biasa kayak si cewek band-geek, atau model beneran, atau bahkan Stifler’s Mom, pasti juga mengalami gejolak eksplorasi yang sama. Saat nonton Like & Share, film panjang ketiga Gina S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis, inilah baru aku melihatnya. Melihat cewek juga ngalamin rasa penasaran yang sama dengan cowok-cowok. Cewek juga nonton bokep. Tapi berkebalikan dengan film-film remaja cowok kayak American Pie, saat nonton Like & Share aku baru sadar, eksplorasi gejolak muda pada anak cewek ternyata bisa sangat disturbing.
“Gue dan Lisa masih eksplorasi, Bang” kata Sarah, sahabat Lisa, ketika ditanya oleh abangnya perihal kegiatan mereka. Dua sahabat ini memang sering ditanyain keluarga masing-masing. Lisa sendiri, sering ditegur oleh ibunya. Dilarang bikin video ASMR lagi. Disuruh nyari teman yang lebih baik daripada Sarah yang dianggap bawa pengaruh buruk. Lisa kegep nonton video bokep. Tapi itu memang bukan salah siapa-siapa. Namanya juga dalam fase eksplorasi diri. Lisa penasaran. Akhirnya dia jadi kecanduan. Film Like & Share berangkat dari sini. Dari persahabatan dua remaja yang terancam bubar. Film ini juga membuatku teringat sama satu lagi film anak cowok, Superbad (2007), yang juga tentang dua sahabat yang mau menempuh next step di kehidupan sehingga ada potensi mereka bakal berpisah. Bedanya, ya itu, Lisa dan Sarah terancam pisah oleh kejadian yang berat dan tragis. Ketika yang satu harus dealing with problem kecanduan video bokep, yang satu lagi harus berurusan dengan kekerasan seksual. Ketika Lisa belajar bikin ragi roti yang udah kayak makhluk hidup, Sarah dipaksa ngelakuin kegiatan yang bisa membuatnya bikin makhluk hidup beneran.
Menyaksikan Lisa (terbaik dari Aurora Ribero sejauh ini!) nonton video bokep diam-diam dari balik selimut, memang membuat pertanyaan itu terbesit di pikiranku. Apa yang ditonton oleh cewek kalo lagi nonton bokep, Toh kita kan sama-sama tau yang begituan, baik itu secara industri ataupun yang homemade (istilah jelatanya, video 3gp), dibuat oleh laki-laki. Dengan gaze laki-laki. Video yang ditonton Lisa juga digambarkan film dalam gaze yang sama. Then it strikes me. Yang bikin Lisa kecanduan ternyata bukan sekadar adegan yang ia tonton. Tapi di situ, film ingin memperlihatkan efek dari sudut pandang. Ketika pandangan perempuan Lisa bertemu video untuk kesenangan cowok, Ya, penasaran terhadap seksualitas itu ada (pikiran Lisa kemana-mana melihat mulut ikan di pasar), tapi kita juga bisa melihat bahwa Lisa tidak menonton video seperti kita yang cowok menontonnya. Lisa tidak melihatnya untuk kesenangan ataupun olok-olok, seperti yang dilakukan oleh Sarah. Lisa looks beyond , dan dia menemukan simpati. Lebih dari itu, Lisa merasakan empati kepada perempuan yang ada di dalam video yang ia saksikan diam-diam tersebut. Lisa menjadi ‘tertarik’ dengan orang itu. Lalu apa yang kemudian dilakukan oleh film ini? Mempertemukan Lisa dengan sang ‘bintang’. Fita (Aulia Sarah gak mau kalah ngasih penampilan terbaik), seorang wanita yang kayak kita temui di tempat perbelanjaan sehari-hari. Wanita yang nanti ngajarin Lisa bikin roti. Hubungan yang tercipta antara Lisa dengan Fita, actually jadi elemen terbaik yang dipunya oleh film ini. Apalagi karena Lisa digambarkan tidak akur dengan ibu kandungnya. Jadi hubungan mereka semacam jadi ibu-anak kedua, tempat curhat yang ultimately jadi saling menguatkan keduanya.
Lewat Lisa dan apa yang terjadi kepada Sarah, film mengajak kita untuk menumbuhkan rasa simpati lalu kemudian berempati. Supaya kita tidak gampang ngejudge. Bukan sekadar kita merasa kasihan sama korban, it is easy to feel sorry lalu gak ngapa-ngapain. Film ingin lebih dari itu, Ingin supaya kita ikut merasakan apa yang dialami oleh korban. Untuk mengerti situasi mereka. Orang yang kecanduan bokep bukan lantas berarti otaknya cabul. Orang yang jadi korban kekerasan seksual jangan buru-buru dikasih nasihat ini itu, yang seolah menyalahkan. At least, film ingin kita yang berada dalam ruang aman menonton atau mendengar berita atau kasus semacam Lisa dan Sarah, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam mendampingi mereka.
Dari situlah aku jadi tau bahwa film ini benar-benar mengembangkan ceritanya lewat desain dan konteks yang detil. Serta juga penuh rasa respek terhadap karakter dan permasalahan mereka. Ceritanya kaya oleh perspektif perempuan, di dunia yang sepertinya gampang menyalahkan perempuan. Sudut pandang yang kemudian diperimbang dengan sudut dari keluarga, dari laki-laki sebagai kepala keluarga, dan juga dari sudut agama. Like & Share diframe dengan ratio yang lebih sempit ketimbang film-film pop bioskop lainnya. Demi menguatkan kesan remaja perempuan seperti Lisa dan Sarah memang dipepet oleh frame di sana-sini. Di lingkungan sekolah, di rumah, di tempat publik – Lisa diceritakan ikut bantu-bantu kerja di usaha seafood ayah tirinya – mereka ini punya aturan yang harus dijunjung. Punya ekspektasi yang harus dituruti. Film lantas mengontraskan itu dengan visual. Lisa dan Sarah enjoy membuat video ASMR. Mereka mendirect sendiri yang mereka lakukan. Mereka membuat video dengan makanan dan warna-warna cerah, Shot-shot yang indah dan estetik yang banyak dilakukan film ini pada akhirnya memang membuat film jadi lebih kerasa disturbing. Ceritanya gradually gets darker. Pada babak kedua, kita akan berpindah melihat cerita Sarah (penampilan akting Arawinda Kirana buktiin bahwa award yang diterimanya tahun lalu bukanlah beginner’s luck) yang terlibat relationship dengan pemuda yang sepuluh tahun lebih tua. Di sinilah ketika film mulai membahas soal kekerasan seksual, grooming, tipu-daya laki-laki. Film jadi nyelekit banget untuk ditonton. Dua adegan perkosaan yang ditampilkan oleh film ini dengan begitu intens, hanya akan lebih sakit lagi berkat kehadiran dialog antara Lisa dan Sarah, saat Sarah menolak mengakui dirinya diperkosa. Excruciating banget adegannya, apalagi karena direkam dengan long-take. Soal itu, ya film ini banyak memakai long take, yang bukan saja menantang para aktor untuk ngasih penampilan terbaik, tapi juga semuanya efektif menyampaikan emosi.
Terakhir kali film ini mengingatkanku pada sesuatu, yaitu adalah mengingatkan kepada serial 13 Reasons Why (2017) yang nunjukin adegan bunuh diri dan perkosaan yang problematik. Depictions, penggambaran, kekerasan seksual yang dilakukan Like & Share buatku jadi seproblematik serial tersebut karena sebenarnya tidak harus dilakukan dengan seperti itu. Aku ngerti, lewat adegan itu sebenarnya film ingin memperlihatkan gimana cewek udah nolak tetep dipaksa, gimana cewek bisa termanipulasi dalam sebuah hubungan yang dinamika powernya amat tak seimbang (dalam hal ini cowoknya lebih tua dan selalu pakai kata “kamu kayak anak kecil” buat balik-nyalahin). Film memperlihatkan itu supaya kita benar-benar melihat posisi korban. Namun ini membuat film tampak jadi punya cara penceritaan yang lemah. Orang-orang mungkin ada yang menyebutnya terlalu frontal (bukan saja adegan seksual, tapi juga dialog-dialog lainnya). Tidak lagi estetik. Tapi concernku sebenarnya adalah pada soal kita tidak lagi inline dengan karakter utamanya, yaitu si Lisa. Film berpindah antara Lisa ke Sarah membuat jadi tidak ada pembelajaran kepada Lisa, film jadi hanya ngajarin kita saja. Dan ngajarinnya itu ya agak ‘aneh’. Like, apakah kita memang harus melihat dulu supaya bisa simpati dan empati? Padahal di dunia nyata, kita yang membaca berita di zona aman, dari balik layar komputer masing-masing, tidak akan bisa melihat kejadian yang sebenarnya dari suatu kasus kekerasan seksual yang korbannya butuh pendampingan.
Bukankah justru sebaiknya; Yang harusnya film ini perlihatkan adalah gimana caranya kita bisa seperti Lisa. Gimana supaya bisa demikian percaya, peduli dan memihak kepada Sarah, tanpa harus melihat bagaimana kejadian Sarah diperkosa. Seperti ASMR yang mereka bikin, bukankah seharusnya cukup dengan ‘dengar dan rasakan’. Tidak perlu melihat mereka mengunyah mie, relaksasi bukankah datangnya dari mendengar suaranya? Apalagi untuk kasus kekerasan seksual. Kenapa kita harus melihat dulu baru bisa percaya dan peduli dengan korban. Seharusnya kita tetap dibikin stay dengan Lisa dan disejajarkan dengan posisi Lisa yang berusaha mengerti masalah sahabatnya tersebut.
Tapi film ini membagi dua. Yang membuatnya malah seperti permasalahan Lisa dipinggirkan untuk masalah Sarah. Membuat stake Lisa jadi kalah urgen ketimbang Sarah yang actually jadi korban. Di sini aku merasanya film seperti kebingungan menghimpun pokok-pokok konflik yang dimuat oleh naskah, Babak penyelesaian film ini jadinya terasa sangat keteteran, baik itu dalam tempo dan penceritaan. Banyak yang diburu-burukan. Permasalahan keluarga Lisa jadi tidak maksimal, padahal di awal-awal seperti disiratkan keadaan keluarga Lisa – bagaimana dia ditinggal ayah kandungnya yang “bule tapi kere”, gimana keluarganya seperti ‘diselamatkan’ oleh seorang bapak-bapak muslim. Akar dari karakter-karakter ini, yang di awal seperti ditanam untuk jadi penting di akhir jadi hilang tak terbahas karena film malah jadi sibuk mencari keadilan dan penyelesaian yang dramatik. Tidak terasa lagi sebagai story, bagian terakhir itu. Development Lisa pun jadi hambar karena dengan membuat kita tidak lagi inline dengannya (film membuatnya jadi dramatic irony saat kita melihat yang tidak Lisa lihat, tapi dia tetap peduli kepada Sarah tanpa ada kebimbangan), Lisa yang tadinya anak bermasalah kecanduan bokep, yang pengen ngaji tapi enggak bisa, jadi pihak yang paling baik tapi yang paling sedikit menempuh perubahan ataupun paling sedikit dikenai permasalahan. Soal mereka tak-terpisahkan pun juga kurang terasa, Tidak seperti Superbad yang karakternya akhirnya belajar untuk hidup masing-masing tapi tetap sebagai sahabat, film Like & Share yang ingin nunjukin perempuan saling support, ya akhirnya membuat mereka tetap bersama, dan Lisa terus percaya akan itu sepanjang durasi.
Eksplorasi diri pada remaja perempuan ternyata bisa jadi sedisturbing ini. Berbeda sekali penggambarannya dengan yang selama ini kita lihat dalam film yang dibuat oleh laki-laki, untuk laki-laki. Film ini punya maksud yang sangat mulia di balik cerita dua sahabat perempuan remajanya. Ingin meningkatkan awareness, ingin menumbuhkan rasa peduli kita. Supaya kita mendengar dan memihak korban, first. Hadir dengan sangat terencana dan hormat kepada karakter-karakternya. Dimainkan dengan usaha maksimal ngasih penampilan terbaik. Penggambarannya yang sangat intens, mungkin bakal membuat film ini susah untuk ditonton oleh sebagian orang. Dan menurutku sebenarnya tidak perlu sampai sedemikian intens. Film terlalu fokus ke sini, dan malah tampak agak sedikit keteteran membungkus semua yang diangkat. Film sepenting ini, menurutku, masih bisa dirapikan, dipercantik sedikit lagi, karena bagaimanapun juga yang diangkatnya adalah masalah yang benar-benar harus mendapat perhatian lebih. Apalagi di masa-masa sekarang ini. Semoga film ini tidak malah jadi di-guilt & shame.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LIKE & SHARE
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian, kita memang harus melihat dan mendengar dahulu baru bisa merasakan? Kenapa harus?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Halo mas, aku baru aja nonton Like&Share nih kemarin. Fyi, I watched it with my movie partner, my mom. Which surprisingly, despite an awkwardness, we truly came up with some thick discussion afterwards.
Kalau mau menyimpulkan dg satu kata, film ini tu “berat”. Mungkin karena begitu penuh, sesak mungkin, apa2 yg mau dibicarakan oleh sutradara. Ada Lisa, Sarah, keluarga Lisa, Devan (damn you’ll be hated so much Jerome Kurnia), Fita, yg perlu kita perhatikan.
Dengan adegan2 yg SANGAT TIDAK SUBTIL, film ini jelas bukan film untuk semua orang. Apakah ini adegan2 ini tidak perlu? Mungkin. Tapi menurutku adegan2 itu diperlukan agar kita benar2 merasakan “the pain” that women felt these days.
Aku rasa salah satu film yg perlu ditonton masyarakat, meskipun aku skeptis untuk jumlah penontonnya. Di halaman review blog lain, kolom komentar penuh bukan karena filmnya, tetapi karena debat “if-you-watch-this-film-so-you-are-the-scandalous-artist-buzzer”. Oh ffs, there are too many of these kind of judgmental people.
Aku baru nyadar nama 2 adikku ada di film ini ahahaha
Ya, aku juga sadar film ini ‘sengaja’ bikin kita yang nonton bersama keluarga untuk sat through that awkwardness, karena kalo tidak begitu ya mau gimana lagi penonton bisa membuka ruang obrolan mengenai topiknya, kan. Penonton yang quick to judge, juga perlu untuk melihat gimana kejadiannya kok korban bisa-bisanya ‘ketipu’ – dan gimana sebagian besar waktu perempuan-perempuan itu tahu mereka korban, tapi memilih untuk tak melawan dan lebih memilih ‘denial’ biar urusan gak semakin berat bagi mereka.
Harusnya film dari sudut pandang Sarah aja, supaya persoalan itu benar-benar full tersampaikan.
Masalahnya, film ini menampilkan Lisa juga. Malah si Lisa ini yang karakter utamanya. Persoalan penonton harus tau dengan melihat sendiri supaya bisa merasakan dan peduli sama korban jadi diberi ‘lawan’ sendiri oleh film, lewat karakter utama Lisa yang bisa peduli tanpa harus melihat. Instantly, dia mendengar cerita Sarah, dia langsung peduli dan percaya. Journey supaya bisa seperti Lisa ini jadi lebih menarik, apalagi dia yang aslinya problematik; kecanduan bokep.
Nah, ketika film membuat journey Lisa menumbuhkan simpati itu terpinggirkan, untuk ngasih waktu memperlihatkan gimana korban dimanipulasi dan diperkosa, momen itulah yang menurutku tidak rapi pada film ini. Harusnya salah satu aja. Either bikin penonton ngalamin journey Lisa (tanpa harus melihat), atau langsung telak “heh penonton, gini loh yang terjadi pada korban-korban yang kalian judge itu”. Kalo film lakukan salah satu dari itu saja, aku bakal ngasih di angka 7 untuk film ini.
Hahaha itu yang kutakutkan pas mau ngepost review ini di hari kamis. Takut jadi wadah buat komen-komen/debat tak relevan seperti itu. Apalagi skorku relatif lebih kecil dari kebanyakan, bisa-bisa malah dituduh ikut-ikutan bias ke kasus itu. Makanya jadi sengaja ditelatin. Biarin udah gak rame daripada jadi kayak bagian dari itu xD
Iya setuju banget, harusnya film ini memilih mau bahas Lisa, atau Sarah. Karena masing2 dari mereka bagus untuk digali lagi perspektifnya, kalo keduanya digali bersamaan, ironinya kurang nendang.
Karena sebagai ibu dari anak perempuan, dan sebagai perempuan itu sendiri, nonton film ini ngasih pembelajaran buanyak banget sih, karena perspektif Lisa & Sarah kerasa genuine tapi menyedihkan at the same time. Bahkan ga cuma karakter utama, aku juga dengan mudah relate sama posisi Mamanya Lisa, both as a parents & as a woman itself.
Layer yang dibuat film ini pada karakter perempuan begitu ‘kaya’, dan itu semua kenyataan.
Draining bgt aku nontonnya, sampe harus di pause-tarik nafas-play dulu saking ga kuat :’)
Lisa dengan ibunya, Lisa dengan Vita, Lisa dengan agama, banyak sebenarnya dari Lisa yang aku rasa belum maksimal, padahal mereka penting karena mereka layer dari karakter perempuan. Film malah jadi lebih lama bergumul di Sarah sebagai layer korban, which is the easiest way ke emotional yang diinginkan film.
Posisi mamanya Lisa kayaknya kompleks juga ya, Mbak
Wah iya, jadi kefikiran film ini kalo dibikin dengan konsep Dilan kayanya cocok, satu film sisi Lisa, film selanjutnya baru sisi Sarah. Karena mereka berdua kan punya masalahnya masing-masing.
Iyaa kompleks bgt, kalo di eksplor lagi akan lebih seru, apalagi ada unsur agamanya juga, sayang bgt ya
Dibikin dua perspektif terpisah tapi timelinenya sama gitu ya, bener sih cocok juga. Tetap dijadiin satu film asal arahan dan editingnya dengan gaya tertentu juga bisa kayaknya.
Agamanya yang paling kurang, padahal di awal udah diset kayak bakal jadi elemen penting
Secara isu film ini boleh jadi penting dan relevan. Gina S. Noer buktiin kalau ia konsen terhadap masalah-masalah tentang perempuan. Ya, kita bisa melihat satu lagi sutradara perempuan yang memiliki visi dan misi kuat dalam dirinya.
Di film perdananya Dua Garis Biru, terasa sekali ia ingin menampilkan kalau dirinya bisa menjadi sutradara. Dan hasilnya? Ya, Gina banyak mempercantik adegan – adegan di film ini. Dan ia pun bisa fokus pada penceritaanya. Film ini menjadi mudah diterima masyarakat, walau isu yang diusung sama-sama sensitif.
Film ketiganya, Gina seakan menjadi-jadi ingin meluapkan segala keresahannya yang ada di kepalanya. Dalam hal gagasan, yess, OK! Tapi ketika diadaptasi ke audio visual yang kita tonton dalam Like & Share, saya kira konflik Lisa dan Sarah jadinya malah tumpang tindih. Mereka jadi bagus dengan kisahnya sendiri-sendiri. Eksplorasi persahabatannya menjadi kurang kentara.
And, saya berharap gina membawa persoalan agama yang dalam hal ini digambarkan sebagai Islam, lebih jauh dari apa yang sudah diberikannya di sini.
Flow persahabatannya kurang, dipakenya buat konflik masing-masing, padahal dari awal sebenarnya yang dipertaruhkan itu kan persahabatan mereka, tapi ya film di tengah-tengah mutusin ada hal lain yang utama diangkat. Jadilah terasanya tumpang tindih. Yang soal agama dan ayahnya sih, paling kecele. Di awal ada build up, Lisa berdoa pake bantuan catatan, dan sampai bilang gak bisa ngaji. Kupikir bakal jadi sesuatu untuk karakter Lisa. Tapi enggak. Trus yang ayahnya, kirain bakal digali sebagai sumber dia kehilangan sosok ayah, tapi ya cuma disebut di paruh awal aja.
Bang bikin dong list film indo dan luar terbaik sepanjang tahun 2022,dan kalo dikategoriin film ini masuk gak bang?
Bikin dong. Tapi biasanya awal tahun baru dipost delapan film topku. Kusatuin aja film indo ama film luar, biar kesannya satu level xD
Like & Share, hmm kayaknya gak masuk delapan besar itu sih haha
Gak nonton filmnya, tapi dari cuplikan klip & trailer sepertinya lebih cocok kalau fokusnya di Lisa & Fita. Adegan ragi yg terbuang cukup relatable. Btw Mas , Noktah bakal ada di Netflix Januari nanti
Memang lebih enak cerita tentang Lisa dan Fita aja, lebih fokus nanti filmnya kalo bahas itu aja.
Hahaha pernah bikin sesuatu yang tau-tau dibuang kah?
Wah, cepet juga ya masuk OTT nya
Relatable dalam hal orang tua mutusin atau lakukan sesuatu tanpa tanya dulu, seakan-akan paling tahu yang terbaik padahal belum tentu. Senang bisa nonton Noktah sepuasnya, adem sekaligus mengiris. MRS juga coming soon di Netflix Mas
Wahh lebih deep. Kirain soal ortu masuk ke kamar, ‘beresin’ barang, terus akhirlah ilang deh tu barang karena dipindah-pindah terus lupa hahaha.. aku waktu kecil suka gitu
Can’t say much soalnya belum nonton filmnya. Tapi jadi penasaran nih setelah baca review-nya. (Dan akhirnyaaaa… ada review film yang nggak horor juga ahahah. Masa Halloween akhirnya berlalu, ya) XD
Anyway… aku malah pingin menyoroti satu kalimat yang ada di review: “Orang yang kecanduan bokep belum tentu cabul.”
???
Kalau enggak cabul nggak kecanduan nonton yang begituan, kan?
In my personal perspective, hal yang paling bikin aku ngerasa ilfil dari cowok adalah begitu tahu dia suka menikmati bokep, apalagi jika dia dengan bangga memproklamirkan kesukaannya soal itu di sosmed, apalagi sampe nge-share lewd things juga. Pada akhirnya waktu berinteraksi beneran sama mereka (meski tentu hanya di permukaan), ada juga yang sebenarnya baik dan sopan juga, sih. Tapi tetep aja hal itu jadi cela yang rasanya sulit termaafkan gitu.
Kalau cewek-cewek yg suka nonton begituan yang kutahu biasanya dari kalangan fujoshi, pecinta gay porn. Sering tepok jidat juga kalau mereka memproklamirkan kegemaran mereka di depan publik. Hide-hide-hide-unfollow-unfollow-unfollow.
Sampe ada satu orang friendlist yang entah kenapa waktu aku nyetatus soal kepenulisan di beberapa kesempatan, dia komen bahwa dia mendapatkan referensi tulisan yang dia dapatkan dari film-film BL. Aku risih. Mikir, “Lu nyoba promosiin atau mengaruhin atau gimana?” Dan selalu kujawab dengan “Aku nggak nyari referensi dari BL.”
Hanya saja keharusan untuk ber-honne dan tatemae, membuatku menekan perasaan dan mencegahku untuk menanggapi dia dengan kasar.
Anyway, pas tahu kalau di film ini ada elemen soal remaja cewek suka nonton bokep, yg muncul di pikiranku malah, “Kayaknya bakal unik kalau si tokoh dibikin kecanduan gay porn,” gyahahaha. So you guys will more understand soal curiosity cewek dalam hal seksualitas terutama soal tubuh lelaki :v
Nah itu sih yang bikin aku kepikiran soal cewek nonton gituan tuh ngeliatin apanya. Aku juga ngira bokep itu sesimpel; cowok nonton lihat ‘aktor’ ceweknya, cewek nonton lihat pemain yang cowok.
Tapi Like & Share ngasihnya beda.
Yang ditonton karakter remaja cewek di sini, adegan gituan yang normal; cewek-cowok, tapi si remaja cewek ini justru kebayang-bayangnya sama pemain cewek. Dan bukan in a sexual way. Tapi lebih ke pengen tau ‘siapa’, kayak, dia ngerasa kasian sama si pemain.
Rasa penasaran dia yang beda itulah yang akhirnya jadi menarik.
Yang akhirnya membuatku juga buka pikiran, bahwa kecanduan nonton itu bukan berarti karena orang itu cabul atau ngeres. Karena ada di Lisa di film ini sebagai contohnya.
Meskipun dia tokoh fiksi, tapi ya tak tertutup kemungkinan juga ada orang-orang seperti Lisa di luar sana. Bisa karena fase, atau apa-lah, who knows haha..
Teman mbak mungkin contoh lainnya, bisa jadi dia suka nonton karena amaze pas pertama kali nemuin referensi buat tulisan, ‘kok tau-tau nemu inspirasi’ sehingga sekarang jadi makin tertarik, penasaran, referensi/inspirasi apalagi yang bisa didapat dari sana.
Aneh memang, tapi ya, ngutip perkataan sutradaranya pas aku dan teman-teman dari FFB interview “Sometimes life can be stranger than fiction”
Akhirnya aku nonton film ini. Aaaaaaaa! Bagian-bagian awal beneran disturbing to the max.
Akhirnya aku ngerti maksud dari bagian “Lisa simpati sama cewek yang ada di video.” Waktu Fita akhirnya cerita background di balik video-video itu, that crushed me!
Soal bahwa pelapor dalam video justru disuruh buka baju di kantor polisi buat membuktikan apa badannya sama dengan yang di video, pernah denger kasus gitu di dunia nyata??? Astaga.
Film ini berasa lengkap banget ya isunya. Mulai dari pihak keluarga yang nggak bisa hadir dan jadi pendengar yang baik bagi si anak, remaja kecanduan bokep, grooming, revenge porn, dan lemahnya hukum di Indonesia buat para korban kekerasan seksual.
Aku sampai ngerasa tokoh-tokoh di dalam film ini gak cuma sekadar tokoh fiksi, tapi beneran nyata karena isu-isu yang dipakai begitu relevan. Begitu konflik film jadi makin serius, aku sampai lupa betapa disturbingnya film ini saking terhanyutnya dalam masalah para karakter. Meski ini jelas bukan tipe film yang bakal kutonton ulang karena disturbing-nya, sih.
Jadi bisa dapat gambaran betapa susahnya buat korban dating rape buat speak up dari adegan Sarah yang justru marah-marah pas Lisa berusaha ngorek dia lebih dalam. Duh….
Oiya ada dulu kalo gak salah ya, korban disuruh buktiin kalo dia benar mengalami yang di video, maka dia disuruh buka baju.. gila sih
Itu adegannya kuat sekali, Sarah malah marah pas Lisa nanya-nanya padahal maksudnya baik buat lindungin Sarah kalo ada apa-apa. Bener-bener nunjukin posisi korban dating rape itu susah, tapi kelihatan bahwa mereka ini butuh pertolongan. Mestinya dengan nonton ini, para korban mungkin bisa melihat kalo mereka sebenarnya bukan dipojokin saat orang bertanya begitu. Dan also, yang di posisi Lisa bisa nemuin cara yang lebih sesuai buat approach mereka
Ada kasus yang sampai viral dan aparat yang nyuruh korban buka baju itu ditangkap?
Aku quick Googling, dapatnya kasus di India. Enggak ada bagian korban divideo. Korban lapor diperkosa, malah disuruh buka baju buat buktiin. Dan artikelnya nggak nyeritain tindak lanjutnya gimana. Beralih ke kasus pemerkosaan terhadap anak kecil yang juga di India. Yang polisi malah mihak pelaku dan nangkep anak sulung si ortu (disuruh ngaku padahal bukan pelaku).
Kasus-kasus yang resolusinya belum ketemu gini bikin hopeless rasanya.
*
Salah satu yang aku suka dari film ini adalah film menyorot bagaimana orang-orang terdekat Sarah bersikap mendukung dan nggak menyalahkan dia. Adegan Abangnya pas tahu video adiknya tersebar di internet memperlihatkan si Abang meluk Sarah dan ngerasain sakit adiknya sebelum mendampingi adiknya ke pengacara. Ini reaksi yang langka menurutku. Coz umumnya di dunia nyata si Sarah pasti habis “dihajar” dulu sama keluarganya karena membiarkan hal itu terjadi padanya. Apalagi kakaknya ini laki-laki.
Tapi Sarah baru bisa terbuka sama Lisa setelah dia percobaan bunuh diri, ya. Sama setelah videonya kesebar. Setelah semuanya udah makin parah.
Bagusnya Lisa juga enggak marah karena Sarah udah bentak dia di awal-awal dia berusaha ngorek.
Film ini kayak menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi kasus kompleks seperti Sarah.
***
Btw ada gak film yang angkat kasus revenge porn tapi yang di ending korbannya bisa fight back dan bisa nyeret pelakunya sampai dapat hukuman secara legal? Fiksi maupun nonfiksi oke.
*
Sama adakah film yang menyangkut isu kekerasan seksual yang bisa bawain ceritanya dengan bagus tanpa memperlihatkan hal-hal disturbing secara gamblang seperti film ini?
Ada sineas muslim yang berhasil bawain isu ini dalam filmnya tanpa melanggar prinsip Islamnya? (Terkait adegan dengan lawan jenis, dsb)
Aku udah nonton 27 Steps of May. Simbolisasinya bagus dan filmnya ga vulgar. Tapi tetep aja Hanum diperlihatkan pernah pakai baju dalam aja di film itu.
I’m just wondering meski film-film kaya gini penting, kayaknya susah buat sineas muslim yg beneran pegang prinsip buat ngangkat isu ini sebagai sorotan utama dalam karyanya tanpa melanggar prinsip kayak no vulgar scenes etc. Kalau ada yang bisa, aku pingin tahu tekniknya.
Aku belum nonton sih, tapi ada serial dokumenter di Netflix judulnya The Most Hated Man on the Internet, mengupas mendalam soal korban revenge porn, sampai usaha-usaha memperjuangkan mereka/fightback.
Kalo sineas muslim/dari prinsip dan sudut pandang islam, aku belum nemu. Tapi tahun kemaren ada film She Said (diangkat dari skandal produser hollywood) yang mengangkat isu korban kekerasan seksual, yang bercerita soal ‘pengalaman’ korban tanpa memperlihatkan hal-hal disturbing secara gamblang. Kalo Like & Share prinsipnya, lihat dengar rasakan. Film itu prinsipnya, cukup dengar dan rasakan.
Gatau bang aku masih kebawa keselnya sampe sekarang hahaha. Hidup dikota yang jauh dari bioskop sekalinya dateng malah gabisa nonton. Kenapa sih disini harus ada peraturan nonton minimal 4 orang baru bisa diputar. Padahal kayanya dibioskop lain gaada peraturan kaya gini. Sri asih kemarin juga gini cuman bertahan 1 minggu aja. Aku nglewatin 2 film penting tahun ini :). Rasanya mau ke bioskop kota sebelah tapi kog ya lumayan harus menempuh 35 km duluuu.
Susah sih ya kalo bioskop nerapin aturan yang begitu, kasian filmnya juga, lumayan itu 1-3 orang yang harusnya tercatat sebagai penonton jadi gak bisa haha..
Kerasa sih, dulu aku pas masih di rumah di Riau juga gitu. Mau nonton Ant-Man harus ke ibukota dulu 3 jam perjalanan. Tentu saja sampe bioskop, dapetnya posisi kursi yang sisa-sisa
Dulu di Medan bioskop Thamrin 21 era jadul juga terapkan aturan yang sama, gak ada minimal 4 orang gak diputar filmnya, untung ada lebih dari 4 orang dan pada protes sehingga Mbak tiketnya dengan wajah jutek jual tiketnya. Film The Happening
Kalo dipikir-pikir 21 sekarang juga semacam begitu. Kalo penontonnya gak lebih dari secuan orang, si film yang baru tayang hari ini besoknya bisa lantas gak ditayangin lagi diganti ama film lain (alias layarnya dikurangi) ahahaha
XXI gak pernah sefleksibel jaringan bioskop sebelah Mas. Pilihan filmnya kaku banget. Apalagi kalau musim film blockbuster, film lain biarpun ramai, besoknya turun layar demi ngasih jatah ke film box office. Pernah ngalamin Disney’s Christmas Carol gak tayang di Medan gara2 New Moon
Bener juga sih, XXI lebih ‘kejam’
Kayaknya aku sering juga nemuin mereka satu bioskop isinya satu film blockbuster aja sestudio. Sementara bioskop sebelah, masih nyisakan layar buat film-film lain.
Honestly, aku memang kesel sih ama XXI. Udahlah paling kejam, open gate paling siang, waktu ‘ngetem’ sebelum film diputar pun paling lama di antara bioskop lain haha
Akhirnya bisa nonton. Ya meskipun cuma di Netdlix.
Sinematografinya ngingetin sama Promising young women dimana cerita yg dark di bungkus dengan gambar2 berwarna pop. Saya rasa permasalahan identitas karakter masih ada di hampir semua film2 Indonesia. Dimana backstory dari karakter hanya disebut dan diutarakan saja tanpa berpengaruh atau digali secara serius ke perkembangan cerita. Penulis2 kita seperti belum terlalu handal dalam hal ini. Like, sebenernya kita gk perlu tau Lisa dan Mamanya mualaf karena ditolong bapak2 haji, atau bahkan film gk usah bikin Sarah sebagai Yatim Piatu yg ortunya kecelakaan karena toh in the end gk ada pengaruhnya sama cerita. Ya ini mungkin jiwa OCD saya yg bergejolak ya hahaha. Karena menurut saya backstory sekecil apapun itu harus masuk dan berpengaruh ke cerita karena kalo nggk penonton gk usah tau.
Yup, seperti promising Young Women, film ini adalah film yg penting. Dulu sebeneranya ada sih yg mirip2 kayak trilogy Virgin, tapi masih kurang disana sini
Untuk kasus film ini, memang rasanya masih penuh sesak. Seperti terlalu banyak yang mau diangkat, alhasil tidak semua terbahas tuntas. Backstory keluarga mualaf Lisa, malah jadi kayak informasi mengganjal aja. Padahal mungkin awalnya si film mau masukin agama, atau soal patriarki, tapi ya itu jadi lenyap gitu aja.
Harusnya memang semua yang diangkat di awal, ada pengaruhnya kemudian untuk cerita. Naskah baru disebut benar-benar tight di situ, gak ada loose end, semua backstory memenuhi journey yang ada. Penulis kita kadang ada yang peduli sama ini, tapi jadi bablas sendiri kebanyakan membahas, kayak di film ini. Tapi bahkan lebih banyak lagi yang sebodo amat, karakternya exist gitu aja, hantu neror gitu aja, jatuh cinta gitu aja, tanpa ada alasan dsb hahaha
Iya duh, sayang banget. Padahal kalo dari ide cerita udah pada out of the box dan isu2 yg diangkat udah mulai kekinian. Bahkan film2 yg saya kira bakal cuma drama cinta2an remaja, sineas kita mulai suka menyelipkan isu2 yg tengah hangat diperbincangkan ke film2 generik macam gitu. Jadi gk kopong kayak FTV2. Cuma ya itu dari penulisan masih suka asal sebut. Ya sebenarnya film ini gk parah2 banget, cuma mengingat siapa dibelakang film ini, jadi kayak punya ekspektasi lebih
Haha iya, cuma kebanyakan isu aja kayaknya film ini. Kayak, misalnya kalo ada yang bantu ‘jaga’ naskahnya biar gak terlampau padet, mungkin bisa lebih tight