ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA Review

 

“It’s a small world after all”

 

 

Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.

Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’.  Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.

Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”

 

It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu. 

Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.

Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.

Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.

Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.

 

Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.

Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.

 

 




Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

    • Arya says:

      Haha iyaa, banyak banget horor di awal tahun ini, gila! Kemaren musim halloween udah horor semua juga, kalo sekarang horor lagi bisa-bisa jadi blog spesialis review horor hihihi

      • Farrah says:

        Wah iya jadi kefikiran. Aku soalnya pas nonton film ini ngerasanya agak boring entah knp. Kayak generik aja gitu, karakter melakukan ‘kesalahan’ – masuk dunia asing – ketemu manusia berbentuk alien – lawan penjahat – menang. Apa karena aku setiap nonton film superhero selalu di bioskop ya, jadi ekspektasinya gede. Mungkin kalo dibuat sesekali, feelnya jadi lebih dapet… disisi lain juga timeline MCU agak padet sih, pas mau nonton AntMan aja udah ada trailer Guardian of The Galaxy, yang aku juga udah agak lupa timelinenya gimana hahaha

        • Arya says:

          Kayak episode kartun biasa aja kan ya hahaha..
          Salah Marvel sendiri sih, bikin semuanya overhype. Menurutku di titik ini tu konsep materi komik/kartun superhero itu udah mulai kerasa bentrok dengan kepentingan cinematic universe.
          Sejatinya kan komik2 dan kartun2 superhero itu hiburan rutin buat penggemar, hiburan mingguan, jadi ekspektasi per episode dan segala macam itu selalu ‘di situ’ aja. Ketika udah jadi cinematic universe, studio perlu terus bikin hype, ekspektasi penonton bakal terus membesar (misalnya dari teknologi CGI aja, overtime ekspektasi supaya jadi bigger dan louder dan segala macam itu terus bertambah). Ini yang kayaknya udah gak bisa kekejar sama materi yang asalnya buat hiburan weekly tadi. Episode-episode jembatan, atau yang kayak Ant-Man ini jadi kerasa bosenin karena sebagai penonton kita bakal terus ngarepin aksi yang lebih gede dari film sebelumnya.

          Dan soal build up universe juga gitu kan, saat masih komik/kartun yang rutin, kejadian atau timelinenya orang masih ingat, si cerita gak perlu sering-sering eksposisi, bisa langsung lanjut aja tiap terbit yang baru. Kalo di film kan susah, studio gak bisa ngarepin penonton masih ingat sama kejadian sebelumnya. Apalagi rentang tayangnya jauh-jauh. Jadi film-film itu pasti bakal terus terbebani oleh kewajiban eksposisi dan segala macem. Makin panjang phasenya, makin jarang ada yang enjoy dinikmati kayaknya si Marvel ini ntar hahaha

          • Aaron says:

            Setuju, setiap ada trailer film MCU yang rilis, semakin gak menarik saja kecuali karakter tertentu. Antman selain gak ngikutin, juga dari trailernya generic banget, masuk dunia asing, ketemu villain, diminta ngelakuin sesuatu, big battle dan hampir kalah serta terancam, aktingnya juga b aja. Yang bikin makin sebel ya overhypenya sampe hampir semua layar buat film ini, jadi kangen masa bioskop dulu dimana satu bioskop gak dikuasai satu film saja

          • Arya says:

            Nah itu tuh satu lagi malesnya. Nguasain layar, mentang-mentang studio gede. Bioskopnya juga sih kapitalis banget, berlindung di balik demand yang banyak. Padahal buntutnya pasti gak enak ke perfilman. Genre yang beredar jadi seragam semua, misalnya. Film lokal jadi horor semua, buat nyanyingin superhero luar. Lihat aja Maret ini, Puspa Indah katanya udah mundur (kapok ngeliat Gita Cinta dibantai Waktu Magrib), sisa 90% horor tuh film kita besok hahaha..

            Harusnya ada yang ngatur sih ya, peredaran layar film yang tayang.

          • Aaron says:

            Padahal kalau diperhatikan, mutar di 2 atau 3 studio juga udah cukup buat film Marvel kecuali kalau benar-benar full. Lagipula, separuh dari jumlah layar masih memadai untuk Moviegoers dan sekalian kasih peluang buat film lain yang memang gak rame tapi konsisten ada penonton. Kasus Gita Cinta mirip Mendarat Darurat tapi lebih parah, sebenarnya masih ada penontonnya cuma gak high occupancy. Belum genap seminggu udah nyaris lenyap dari peredaran.

          • Arya says:

            Bener, harusnya ada aturan batasan layar atau periode kayak gitu, kalo belum seminggu jangan diilangin banget lah, sisain beberapa show juga masih bisa, biar film yang ada di bioskop tetap variatif. Biar opsi buat penonton gak ‘diatur’

  1. Farrah says:

    Wah soal jadwal tayang setuju banget sih. karena sepengalamanku, Ant-Man peminatnya gak sebanyak itu kok, wong aku aja awalnya ga kepikiran mau nonton Ant-Man pas hari H penayangan, karena mikirnya akan banyak yang full house dan semacamnya, eh malah masih dapet seat yang strategis di salah tau bioskop, beli tiketnya on the spot pula, sekitar 30 menit sebelum tayang, tapi kenapa bisa jadi sedominan itu gitu loh.
    Kejadian waktu kemarin, aku yang lagi mau nonton film selain Ant-Man jadi bingung, karena udahlah pilihan filmnya dikit, jadwal penayangan di jam-jam yang bagus (sekitar jam pulang kantor) pun beneran ga ada sama sekali. Huhu jadi curhat

    • Arya says:

      Dulu ngatur nonton dalam sehari tu enak banget, satu bioskop bisa dapet maraton 2-3 film berturut-turut seharian. Sekarang susah kayak gitu, sebaran jadwalnya aneh-aneh, trus juga gak semua film ada di bioskop. Kebanyakan ya kayak didominasi sama film yang lagi cuan saat itu aja.

  2. FBS SEJATI says:

    Waktu Maghrib kok belum ada review-nya?

    Kalau ane, Ant-Man Quantum ini nilainya terlalu tinggi utk diberi 6/10.
    5/10 harusnya udah cukup.
    Hollywood udah kebanyakan disusupi propaganda feminazi. Cassie yg tiba2 bisa bikin teleskop Hubble versi kuantum dgn modal baca buku itu bener-bener titipan agenda feminazi. “Smart, Strong Woman” yg ngalahin pemeran protagonisnya. Kalau yg bikin si Hank Pym, gw setuju. Cukup mengganggu sih buat gw.
    Tapi semenjak di poin yg gw sebut tadi, hingga ujung film malah beneran hambar.
    Cuma terhibur jokes2 interupsi khas Marvel.

    Gw berharap tone cerita yg serius, eh kok malah kesisipan agenda feminazi yg jadi bikin eneg. Kalau film-nya dibuat nuansa sains-horror-thriller sih justru lebih pas.
    Gw cuma dapat inti begini :Film ini berkisah tentang Kang The Conqueror (varian pemberontak) yg ingin menguasai varian dirinya yg lain tapi ya niatnya tidak terlaksana. Why ? I Don’t Know and this movie doesn’t really give an effing.
    Meski sebenarnya gw tau kalau motivasinya bakal menimbulkan Mobius Strip lingkaran setan.

    • Arya says:

      Belum nonton Waktu Magrib, kemaren keskip hahah

      Tapi di sini sudut pandang utamanya kan si Scott, kita dibikin sejalan ama si Scott yang baru ‘nyadar’ kalo anaknya udah gede dan pintar. Di sini Cassie masih jauh dari karakter tipikal agenda feminis, dia juga bukan Mary Sue. Karena meski ternyata pintar, lebih baik hati dibanding ayahnya (karena masih polos), dan bisa jadi ant-man, kita lihat Cassie gak langsung jago. Dia gak powerful, aksinya kikuk, strateginya adalah cuma bebasin Jentorra – a much more capable women fighter. Karakternya yang inexperienced itu masih terasa banget, dia masih sidekick, masih supporting role banget, biar Scott sadar ama pembelajaran tema film ini.

      Sebenarnya film ini simpel banget, kayak kartun aja. Orang awam yang gak tau role marvel bakal ngeliat ini sebagai petualangan dua kubu yang sama-sama terjebak di dunia kuantum, dan pengen keluar. Cuma yang satu, si Kang, itu jahat makanya dia jangan sampai keluar. Sesimpel itu sebenarnya. Cuma ya ekspektasi fans Marvel pasti udah terus bakal gede, jadi film ini not worked bagi fans. Resiko bikin proyek ambisius yang menahun ya gini sih haha

      • FBS SEJATI says:

        Yang gw tekankan di sini ya efek domino yg buruk dimana penonton disuruh percaya bahwa semua karakter MCU itu (khususnya cewek) bisa secerdas dan bahkan lebih pintar drpd Tony Stark. Hey, everyone can be the fookin Tony Stark now !!!
        What’s the worst that could happen?
        Agenda feminazi-nya inilah yg bikin jelek filmnya.
        Black Panther 2 udah gagal dengan Shuri yg digemborkan bakal menggantikan TChalla dan sepintar Tony Stark.
        She-Hulk yg juga gagal menampilkan karakter Jennifer Walters yg disukai fans.
        Holy moly, semudah itu ternyata menjadi superhero.
        Untungnya Spiderman masih dipegang Sony dan belum ketularan ide-ide absurd tapi nggak konek ama fans semacam ini.
        Lazy Writing, terlalu banyak unsur kebetulan yg bikin garuk kepala.

        • Arya says:

          Oh maksudnya semacam superhero harus banget ada versi ceweknya, dan mereka rata-rata tergolong ‘instan’ jadi superheronya ya? Hahaha

          Iya sih, agak gerah juga lihat superhero udah kayak diobral gitu demi agenda. Bagi Marvel gampang aja memang, apalagi mereka ada multiverse. Tinggal munculin aja versi cewek dari satu superhero dari universe mana. Beres hahaha.. Spider-Man juga belum tentu aman, bisa aja kena

    • FBS SEJATI says:

      Jelek semua. 5/10 semua.
      Qodrat ama Waktu Maghrib jauh lebih layak ditonton daripada keduanya.
      Bisa-bisanya film beginian ane sampe ngantuk di tengah-tengah cerita. Engagement ke penonton tuh bisa dibilang nggak ada.
      Black Panther tanpa T’Challa ? Cmon bruh, common sense aja udah ditanggalkan sejak judul film.
      Apa iya orang bakal bilang film THE BATMAN tapi yang jadi nongol dan jadi protagonis malah ROBIN bikin orang jadi terkagum-kagum gitu.
      Kalau pengganti Black Panther utk sementara itu si M’Baku, bakal jadi epic moment di MCU.
      Shuri jadi pengganti Black Panther sudah merealisasikan ide 007 diganti pemeran wanita berkulit hitam dengan perawakan seorang model catwalk.
      Total fookin disaster.

    • Arya says:

      Lebih suka Quantum hahaha
      Writing si Shuri kayak agak linglung deh mereka. Kayak ada ke skip gitu, tau-tau jadi Black Panther aja. Padahal bujukan si Namor itu cukup ‘maut’ loh. Alias cukup mengena di believenya karakter Shuri.

      • Albert says:

        Udah agak lupa ceritanya mas. Apa berarti forgetable ya? Hehehe. Udah ga ingat dibujuknya gimana lalu kok ga diterima. Kuingat2 sekarang sih Shuri dibebasin Nakia, lalu Namor nyerbu Wakanda Ratunya mati, terus Shuri jadi Black Panther ya. Aku yang heran Shuri menang lawan Namor itu cuma menang taktik ya. Kalau diadu beneran, bahkan anak buah lawan anak buah aja juga menang Namor. Gimana kalau Namornya ingkar janji terus nyerbu Wakanda ya?

        Dua film ini lumayanlah buat hiburan tapi ga istimewa sih buatku. Antman kecewanya lebih karena rada hilang suasana kekeluargaan dan skala kecilnya sih, Kang ya ngikut omongan reviewer lain meyakinkann jadi antagonis, tapi kalau lawan semut raksasa terus sama Scott + Hope kalah ya rasanya jadi meragukan dia itu sakti mengalahkan berbagai universe. Hehehe.

        • Arya says:

          Karena tumpang tindih penulisannya, gak fokus ke motivasi Shurinya aja haha. Mungkin mestinya dibikin trilogi juga si Black Panther. Biar film yang kedua ini fokus dulu buat tribute ke T’Challa saja, ke pergolakan batin Shuri dan ibunya dulu. Ntar baru full jadi Black Panther di film ketiga, finally bangkit ngalahin Namor. Tapi yah gimana, Marvel udah punya timeslot yang gabisa segampang itu dirombak ya haha

          Kalo aku ngelihatnya si Kang kalah karena ngeremehin aja sih. Plus, dia gak really bisa full power ke gengnya Scott karena bisa-bisa mempertaruhkan chance dia sendiri keluar dari situ kan. Atau bisa jadi ya, mmg cuma segitu kekuatannya haha, dia kuat karena bareng2 Kang aja, kayak superhero kita yang kuat karena punya grup yang kuat

          • Albert says:

            Ngeri juga kalau segitu banyak Kang nya ya yang di kredit. Kecepetan ga sih 2025 ya Avengersnya? Dulu 2008-2019, 11 tahun. Ini cuma 6 tahunan berarti ya. Tapi ya ga tau laku terus ga kalau dibikin pelan2. Malah DC yang baru mau buat lagi DC Universenya.

          • Arya says:

            Haha iya seru juga, biasanya kan villain selalu outnumbered oleh superhero. Dengan Kang kayaknya malah kebalikannya.
            Takut orang pada bosen, kayaknya digas jadi cepet hahaha

Leave a Reply