PARA BETINA PENGIKUT IBLIS Review

 

“Once you shake hands with the devil, you have to accept they are in control”

 

 

Mawar Eva main dua film horor dalam rentang dua bulan, buatku tetap merupakan bagian dari kejutan perfilman di awal tahun 2023. Meskipun dari dua filmnya tersebut belum ada yang benar-benar work out perfectly. Tapi setidaknya Puisi Cinta yang Membunuh yang tayang bulan lalu itu, masih layak buat dimasukin ke museum karena punya sisi artistik yang lumayan. Tidak demikian dengan film Mawar kali ini, Para Betina Pengikut Iblis, yang baiknya segera ia kubur saja sedalam-dalamnya di tanah di tengah hutan. Karena film karya Rako Prijanto yang dijual sebagai film sadis ini, nyatanya lebih tepat disebut sebagai film komedi. Yang tak lucu. Yang setiap adegannya lebih konyol daripada adegan sebelumnya. Sebelum rilis, film ini sempat diributin perkara pemilihan kata ‘betina’ yang dianggap degrading bagi perempuan. Dan setelah akhirnya menonton filmnya, percayalah, jangankan perempuan, iblis saja bakal merasa malu dan terhina nonton kaumnya digambarkan oleh film ini!

Para Betina Pengikut Iblis punya ambisi untuk jadi cerita yang thought-provoking – yang menantang pikiran – dengan menghadirkan protagonis anti-hero. As in, simpatik tapi ngelakuin hal yang benar-benar salah secara moral. Karakter yang diperanin Mawar, si Sumi, misalnya, Cewek yang ingin ke kota, mencari ibu yang katanya ninggalin keluarga mereka. Tapi Sumi tidak bisa ke mana-mana, dia harus mengurus ayahnya yang sakit. Suasana rumah tradisional mereka di hutan itu memang jadi gak enak banget. Ayah yang terus ngeluh kesakitan (sebelah kakinya diamputasi dan lukanya gak kering-kering, btw) dan minta diurusin oleh Sumi bikin Sumi makin stress. Itulah yang bikin Iblis dengan senang hati datang kepada Sumi. Menawarkan Sumi cara untuk provide for her father. Bagaimana rencana si Iblis nyuruh Sumi bikin warung gule dengan bahan daging manusia itu bisa bikin Sumi percaya dirinya bisa segera ke kota, ataupun bisa mendatangkan manfaat untuk si Iblis sendiri, kita gak pernah tahu. Karena naskah dengan segera jadi berserak-serak membahas hal yang semakin di luar perspektif karakter dan di luar nalar kita. Somehow, cerita juga membahas soal Sari yang bersekutu dengan Iblis demi mencari pembunuh adiknya, dan soal Asih yang mungkin saking jelek make upnya jadi muncul dengan kain nutupin wajah.

Disuruh nyariin dokter, si Sumi sempat-sempatnya bobo cantik mimpiin Iblis

 

Aku pikir film ini simply kenak kasus ‘bite more than it can chew’. Disangkanya bikin cerita anti-hero saat protagonis gak punya pilihan lain selain ‘bersalaman’ dengan iblis itu gampang.  Cukup dengan masukin pembunuhan sadis, kata-kata kasar, tempatkan mereka di lingkungan terpencil, masukin dukun-dukunan dan ‘twist’ biar seru. Film ini sama sekali tidak memikirkan soal dilema moral yang harus dilalui karakternya, bagaimana mereka berpikir, bagaimana suatu kejadian berpengaruh kepada mereka. Enggak ada tuh, percakapan berbobot relasi Sumi dan ayahnya. Film ini pengen menghadirkan horor dengan materi dewasa yang lebih menantang pikiran, namun sendirinya tampil dengan sangat amat simplistik sehingga malah kayak ditulis oleh anak kecil yang lagi maen bunuh-bunuhan, untuk ditonton oleh anak kecil juga. Anak kecil yang belum tahu seluk beluk pikiran dan moral manusia dewasa. Sekali lagi aku jadi ngerasa sistem klasifikasi tontonan alias rating bioskop kita cuma dipakai untuk jualan. Supaya film-film bisa jadiin ‘rating dewasa’ dan kesadisan itu sebagai penarik minat remaja untuk menonton. Apalagi bioskop juga tidak pernah tegas mengatur penonton sesuai usia tontonan. Rating dewasa bukan dibuat film untuk bercerita atau membahas masalah yang problematik dengan lebih dalam. Kayak pas nonton The Doll 3 aja, kupikir ratingnya dewasa karena bakal membahas agak dalam soal bunuh diri pada anak (diceritakan sang adik bunuh diri karena ‘cemburu’ kakaknya mau nikah), tapi enggak, ujung-ujungnya ya hanya supaya adegan mati dan sadisnya bisa lebih seru aja. Film Para Betina Pengikut Iblis ini pun mengekor seperti itu, malah lebih parah. Dilema moral, setting komunitas terpencil, bahkan subtext agama dan kelas sosial gak berbuah apa-apa di cerita yang padahal punya ruang untuk membahas itu semua.

Menulis itu susah. Kita harus menyelam ke kepala karakter yang kita bikin. Nyiptain karakter jahat, unhinged, sinting gak bisa dengan modal nonton dan niruin karakter Joker doang. Ketika karakter kita gak dikasih groundwork dan segala macemnya, jadilah hanya kayak sok asik gajelas doang. Karakter dalam Para Betina Pengikut Iblis semuanya gini. Kecuali mungkin si Sumi pas di awal-awal. Ada sedikit build up dia tertarik sama darah, atau sama tindak pemotongan kambing. Mawar, being a good actor she is, di awal itu masih mampu menerjemahkan yang dirasakan karakternya lewat permainan ekspresi. Selebihnya, yang lain gak diselami karakternya. Mereka cuma disuruh berakting over-the-top, senyum-senyum dan melotot gila ke kamera.  Yang tadinya didesain seolah karakter baik, ternyata aslinya jahat, pas keungkap langsung pembawaan karakternya dibanting 180 derajat jadi banyak bicara dan sok asik. Beneran ngakak sendiri aku nontonin mereka. Yang paling parah ya karakter si Iblis. Pake jubah, badan putih, mata merah – udah kayak Palpatin versi cosplay perempatan alun-alun, joget-joget slow di pinggir danau, ketawa nyaring kayak campuran Joker Jared Leto dan nenek sihir, puncaknya dia teriak pake dua-suara ngucapin words cepet-cepet sampai gak kedengeran ngomong apa. Kalo di Indonesia ada Razzie Awards, Adipati Dolken sebagai Iblis kudu banget masuk nominasi di kategori pemeranan! Karakter ini gak punya apa-apa. Seram enggak, menarik enggak. Kita gak tahu motivasinya apa, ujung plannya juga gak jelas. Alih-alih sebagai karakter, Iblis di sini lebih tepat kayak sosok perpanjangan dari yang tertulis di naskah. Kejadian-kejadian gak nalar yang ada di naskah itu jadi bisa terjadi karena tinggal dianggap sebagai permainan dari si Iblis.

Setan dan iblis adalah musuh manusia yang nyata. Gak ada keraguan soal itu, mereka ada buat jerumuskan manusia. Jadi bayangkan ketika kata-kata iblis jadi satu-satunya yang bisa dipegang. Ketika tawaran iblis jadi satu-satunya jalan keluar. Para karakter perempuan di cerita ini berada di dunia yang seperti itu, betapa naasnya!

 

Jadi pada dasarnya, kita harus tahu apa yang kita tulis. Atau paling enggak, kita harus mau tahu pada apa yang bakal kita tulis. Film ini, enggak tahu dan gak mau tahu apa yang mereka hadirkan. Dikiranya kita semua bego, kali. Dikiranya, kita semua anak kecil yang gak bakal ngikik ketika lihat di rumah tradisional yang penerangannya aja masih pake lampu minyak itu, ada freezer daging! Oke, mungkin masih bisa dimaklumi film ini gak paham nulisin psikologi atau pemikiran karakter seperti Sumi, Iblis, dan lainnya. Karena memang itu sesungguhnya butuh studi yang gak sebentar. Minimal ‘riset’. Tapi lah masak iya, film ini gak paham juga saat nulisin perkara di lingkungan hidup karakter itu gak ada listrik sehingga mustahil bisa ada freezer gede! Like, come-on yang nulis lagi ngelindur apa begimane!?? Freezer terkutuk itu muncul sedari awal loh, dan berperan gede di sepanjang cerita, karena Sumi nyimpan bahan baku gule nya (alias mayat-mayat!) di dalam situ. Jadi sedari awal, bangunan cerita film ini sudah runtuh. Gak ada logika-cerita yang bisa kita pegang. Make-up, akting, dan efek-efek buruk itu semakin gak jadi soal karena film ini sudah ambruk bahkan sebelum fully berdiri.

Ayahnya Sumi bukannya takut ngeliat freezer, tapi heran ‘lu dapet listrik dari mana, Nduk?’

 

If anything, film ini sebenarnya telah mengeset tone konyol saat lihatin freezer di sepuluh menit pertama itu. Harusnya film embrace saja kekonyolan dan jadi horor-komedi receh. Mungkin bisa dibikin bahwa freezer itu ‘hadiah’ dari si Iblis, mungkin dia merayu Sumi dengan teknologi, kekayaan, atau semacamnya. Aku akan lebih senang hati nonton horor yang memang diniatkan sebagai seni absurd ketimbang film yang pengen serius tapi gak nyampe. Dan memang seperti itulah Para Betina Pengikut Iblis ini. Benar-benar take himself very seriously. Benar-benar menganggap dirinya si paling seram dan si paling sadis. Padahal konyol. Adegan potong-potong berdarahnya memang bisa bikin berjengit, tapi dengan konteks yang udah ngaco seperti tadi,  ya film ini gak menghasilkan kesan horor apa-apa. Setiap si Iblis berdialog, kita tertawa lihat betapa konyolnya Adipati di balik jubah dan riasan itu. Ngeliat si Sari main dukun dan detektifan, kita meringis-ringis berkat betapa cringe-nya semua terasa. Ngeliat Sumi? Ya jadinya sedih aja; Mawar berusaha sekuat tenaga, namun bahkan penampilan aktingnya gak bisa tampak konsisten karena film ini gak punya arahan dan penulisan yang mumpuni.

 




Yang paling lucu adalah, film dengan pedenya mejeng tulisan ‘to be continued’ di title card akhir. Yang berarti film ini dengan bangganya ngasih tahu bahwa ‘keajaiban sinematik’ (ajaib, as in kok bisa yang kayak gini lulus jadi film?) yang baru kita survived ini adalah origin dari petualangan-petualangan berikutnya! Wow, hahaha, udah ditonton sampe abis aja mestinya bersyukur banget. Namun itulah kebanyakan film jaman sekarang, Cuma produk. Mereka gak jor-joran bercerita  karena semuanya harus ada sekuel. Semuanya harus jadi IP. Film pertama ini jelek, mereka tinggal bilang kelanjutannya nanti lebih bagus. Kita dan para pemainnya jadi kayak beneran udah kontrak dengan iblis, no way to get out, karena makin banyak film yang ‘kelakuannya’ kayak gini. Film ini hanya film kedua (pertamanya remake Bayi Ajaib yang belum kutonton) dari proyek Falcon Black, whatever that is, dan ini bukan permulaan yang bagus. Kalo dipertahankan, masa depan horor bakal suram. Horor bukan sekadar soal sadis-sadisan, serem-sereman, cerita tetap yang nomor satu. Kita harus tegas bilang film yang logikanya asal-asalan kayak gini harusnya jangan lagi dikasih tempat. jangan kasih mereka power, seperti Sumi membiarkan hidupnya disetir Iblis. Film ini, seram enggak, menghibur pun kagak. Cuma ya dibawa ketawa aja biar gak kerasa amat ruginya. Kasiaaan deh, kita!
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sistem klasifikasi umur yang malah kayak dijadikan bahan promosi/jualan oleh film?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Rian gepe says:

    Kemarin websitenya sempet ga bisa diakses ya Bang?

    Btw ane udah sering baca bang Arya ngasih skor 1, tapi kok kyk blm pernah liat film yg dpt skor 9 ya, maks. 8,5 perasaan hehe

    Oh iya request review film2 jadul yg terkenal dong Bang, kyk Titanic yg lg anniversary.. penasaran dpt skor brp dr Bang Arya.. coz aku kok ngerasa dr segi cerita agak krg make sense ya.. like, apa iya rose bisa segitu cintanya ama jack which is baru bgt dia kenal bbrp hari selama di kapal.. bahkan lbh sedih pisah sama jack dibanding ibunya sndiri mski ibunya cenderung otoriter xD

    • Arya says:

      Hahaha iya juga ya, Titanic dulu aku nonton asal liat kapal tenggelam aja, masih belum ngerti yang lain-lainnya. Semoga ada waktu deh buat nonton yang remaster ini.
      Kalo film jadul, biasanya aku reviewnya bareng ama yang ngerekues sih, di review Reader’s Neatpick

  2. Rian gepe says:

    Kemarin blognya kok sempet ga bs diakses ya bang?

    Btw keknya ane mayan sering liat film yg dikasih skor 1 sama bang Arya, tapi kyk blm pernah liat film yg dpt skor 9 ya, maks. 8,5 seinget ane 😀

    • Arya says:

      Iya nih, servernya sering error gitu. Maklum pindahnya ke server lokal hahaha….
      Ada skor 9, tapi ya memang jarang. Di antaranya Jojo Rabbit, House that Jack Built. Your Name, The Room-nya Jacob Tremblay juga 9 tapi dua film ini reviewnya di blog server lama, gak bisa keakses pas transfer ke yang sekarang. Maybe ntar kupos ulang aja..

  3. FBS SEJATI says:

    Film gore tapi sutradaranya bukan Mo Brothers ?
    Film mind-fuck tapi sutradaranya bukan Jo-Kan ?
    Film drama dengan transisi antar fase yang halus tapi sutradaranya bukan Upi ?
    ibarat kata, Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri…
    ya resikonya begitulah…
    gw ingat petuah dari Chris Nolan kalau mau bikin film itu harus menentukan dulu “How the logic works in this/that universe”, mirip how to make good world-building tapi Chris Nolan menekankan kepada premis yang akan membuat penonton menarik suatu kesimpulan terhadap logika cara kerja apa yang terjadi dalam plotnya.
    Film ini sudah gagal menghadirkan hal tersebut sebagaimana tertulis di alinea kelima. Kalau udah begitu ya sisanya percuma juga mau dinikmati.

    • Arya says:

      Hahaha, yang jelas gak bakal ada sutradara ama penulis beneran yang kepikiran narok freezer di tengah pedalaman.
      Yang garap naskah film ini A.I. kali ya XD

  4. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    alasan nonton film itu cuma ada 2, yaitu karena film itu bagus banget, atau film itu sampah banget.
    nah aku tertarik nonton film ini ya gara2 alasan yg kedua itu. wkkwk

    kangen deh, film horor yang beneran lucu2 an aja, mau konyol ya udah konyol aja gak perlu setengah2. contohlah Pee Mak nya Thailand itu terbukti sukses kan?
    toh dulu periflman horor kita sempat ada horor lucu2an dan horor semi, sekarang kok menghilang semua sih?

    soal batasan umur. lucu nih. bioskop gk pernah ketat soal urusan ini, kita sendiri yg harus memberi batasan atas apa yg kita tonton. jadi apakah rating usia itu ada artinya?

    • Arya says:

      Hahaha bener sih, yang dilaknat itu horor mesum, tapi somehow horor komedi juga pada ngilang. Mungkin yang paling mendekati ya si Ghost Writer. Tapi itu juga sekuelnya jadi agak terlalu serius, padahal konyol aja sekalian ya.

      Kalo ujungnya penonton yang harus nyensor sendiri, buat apa ada lembaganya ya XD Peraturan di kita sifatnya masih permisif sih, keras ke film gak enak karena membatasi kreasi. Keras ke penonton, gak berani juga wong penonton punya duit wkwkwk

  5. Eko says:

    Terwakili semua unek unek saya setelah membuang waktu percuma nonton film ini.
    Freezer menjadi hal paling menggelikan dan absurd di film ini, karakter iblis malahan membuat film seakan menjadi komedi murahan, cerita? Malang melintang ngak jelas, logic? Forget it, i know its a movie, but cmon over all, 1 out of 10 os very generous already.

    • Arya says:

      Membuang waktu dan duit. Nilai 1 out of 10 itu bukan kasian ama filmnya, tapi karena kasian ama diri sendiri . Daripada keluar banyak buat nonton yang nilainya 0, diikhlaskan saja dianggap abis nonton yang bernilai 1 hihihi

      Ceritanya sok ribet, seakan-akan kalo bikin cerita gak jelas tuh, ntar penonton bisa lupa ama kebegoan aspek filmnya

  6. resti says:

    makasih bang udah mewakili uneg2 aku pas nonton ini… Aku nonton sama suamiku cuma 15 menit tapi efek keselnya berjam2 , sungguh film yg gak masuk akal..dari ceritanya, freezer nya, acting adipati yg norak bgt, adegan bapaknya sumi kejedut,kacauuuu parah film ini.. cuma acting mawar yg cukup bagus disini.. mungkin banyak film yg jelek, tapi kayaknya film ini yg super jelek terburuk dan ujungnya bikin dongkol nontonnya.. nilainya 0,5 dari 10 ( gak sampai 1 wkkwkwk)

Leave a Reply