KEMBANG API Review

 

“But in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

 

 

Mari bicara tentang mati. Apa itu mati? Well, essentially, mati adalah ketika suatu kehidupan berakhir. Ketika suatu aktivitas berhenti total. Tapi dasar manusia begitu kompleks perasaannya, bagi kita mati bisa berarti berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai musibah, ada yang menganggap sebagai perpisahan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan – meski tragis. Empat karakter dalam film yang diadaptasi Herwin Novianto dari drama Jepang ini, misalnya. Kematian mereka anggap sebagai jalan keluar dari masalah rumit yang merundung hidup masing-masing. Kembang Api (aslinya berjudul 3Ft Ball & Souls) memang bicara tentang karakter-karakter yang janjian untuk bunuh diri bareng. Perspektif mereka yang udah nekat milih mati membuat film ini enggak seangker itu. Bahasan pengen bunuh diri yang disajikan jadi enggak seberat dan seserius itu, meskipun memang ditulis dengan penuh pemikiran dan rasa hormat terhadap topik tersebut. Dan yang membuat film ini jadi malah menarik untuk disimak – enggak depressing – adalah konsep time-loop yang digunakan sebagai device untuk mengulik bahasan itu.

Empat orang yang janjian mau bunuh diri itu, jangankan kita, masing-masing aja mereka gak saling kenal. Mereka ‘bertemu’ di grup chat dan telah sama-sama sepakat untuk melakukannya pakai bola kembang api besar yang dipunya oleh Langit Mendung, yang ternyata adalah seorang bapak-bapak. Mereka gak tahu nama asli dan wajah masing-masing. Jadi di awal cerita, kita akan melihat mereka kenalan dulu, ala kadarnya. Karena mereka punya aturan untuk tidak saling mengorek pribadi dan masalah masing-masing.  Yang diestablish oleh Kembang Api di menit-menit awal itu adalah gimana mereka tampaknya sudah bulat tekad. Sudah yakin. Si bapak Langit Mendung sendiri menjelaskan cara kerja kembang api dan gimana tubuh mereka akan berkeping-keping dengan antusias, ngasih sensasi dread tersendiri kepada kita yang melihat mereka. Mereka enggak peduli satu sama lain, dan cuma mau hidup mereka berakhir. Konflik datang ketika salah satu dari mereka ternyata masih anak SMA. Tiga orang dewasa itu merasa gak enak ngajak minor meninggoy, but show must go on. Lalu loop itu terjadi. Alih-alih bebas dari dunia, mereka semua justru terus saja kembali ke awal sebelum mereka ngumpul untuk meledak. Percaya bahwa ini adalah kutukan lantaran udah biarin anak muda bunuh diri, si bapak berusaha meyakinkan yang lain – Anggrek Hitam dan Tengkorak Putih – untuk melarang Anggun ikutan.

Betapa munafiknya, melarang orang sementara dia sendiri melakukan yang dilarang haha

 

Debat keempat karakter itulah yang jadi ‘api’ dalam film ini. Masing-masing mereka merasa punya alasan yang kuat, merasa paling berhak untuk bunuh diri. Bahkan si Anggun yang paling muda itulah yang disebutkan paling kuat tekadnya untuk mati berkeping-keping di antara mereka semua. Jadi gak gampang bagi Langit Mendung dan yang lain untuk membujuk remaja itu untuk mundur. Melalui keempat karakter, naskah sebenarnya sedang menguarkan gagasan perihal bunuh diri. Mereka-mereka ini mewakili perspektif dan reaksi yang berbeda. Dan time-loop itu bukan hanya menyimbolkan mereka mendapat kesempatan yang berbeda, tapi juga jadi tahapan pembelajaran mereka, untuk tidak ngejudge dan menganggap remeh masalah orang lain. Untuk memikirkan ulang keputusan sendiri. Karena time-loop dalam film ini didesain sedemikian rupa; meskipun waktunya berulang, tapi pikiran karakter kita tidak serta merta ter-reset juga, film actually memainkan soal reset dan mereka tetap ingat tersebut. Sekilas tampak kayak gimmick, tapi itu sebenarnya menunjukkan tahapan pembelajaran. Dari situlah aku tahu film ini respek terhadap topik bunuh diri yang diangkat. Ini yang membuat film jadi begitu efektif, jika memang dibuat untuk mencegah lebih banyak lagi orang yang ingin mengakhiri hidup.

Aku pernah bunuh diri. Waktu main game Yugioh. Malahan, bunuh-diri adalah taktik andalanku setiap kali main, kalo kombo-kombo kartuku digagalkan semua oleh lawan. Aku hantamkan saja monsterku ke monster lawan yang attack pointnya tinggi. Aku merasa lebih baik kalah on my own terms, ketimbang harus menelan serangan monster lawan. Jadi aku kind of understand, dignity yang dilihat orang ketika memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Rasanya lebih terhormat saja, karena at least kita yang memegang kendali itu sekarang. Makanya, kita tidak bisa menyepelekan gitu saja tindak bunuh diri, karena itu berkaitan langsung dengan orangnya. Orang yang sudah terluka mental – dan mungkin fisik. Menyepelekan ide mereka bukan tidak mungkin membuat hal menjadi lebih parah. Aku bisa mengerti concern dan ‘kehati-hatian’ film ini dalam membahas masalahnya. Karena aslinya, cerita ini dari Jepang. Tempat di mana bunuh diri jadi tradisi terhormat. Kembang Api juga membawa concern dan rasa hormat yang sama. Film ini memang berdiri sebagai cerita anti-bunuh diri. Memang mengusung bahwasanya suicide adalah perbuatan lemah, solusi gegabah dari orang yang kena mental, tapi tidak sekalipun film ini menyepelekan masalah yang dialami oleh tiap karakter. Masalah mereka benar-benar diperlihatkan membebani – kita dipahamkan kenapa mereka milih mati, karena sekilas itu seperti jalan keluar yang paling tepat. Debat dan diskusi para karakter menekankan perbincangan terhadap masalah masing-masing tersebut. Yang pada gilirannya, membuat film ini juga lantas menekankan kepada saling share problem itulah yang sebenarnya dibutuhkan. Bahwa kita gak sendirian. Everyone has their own problems, tapi kita bisa sama-sama saling menguatkan. Dan terus hidup.

Itulah makanya filsuf dari Perancis, Albert Camus mengatakan bahwa pada akhirnya akan ada banyak orang yang lebih berani mati, ketimbang hidup. Karena menjalani hidup berarti kita harus berani menempuh rintangan, menerjang resiko, dan terutama meminta bantuan. Sementara mati, meskipun menyakitkan, tapi merupakan jalan keluar yang paling gampang karena kita tidak perlu lagi dealing with anything. Lihat saja karakter di Kembang Api, mereka awalnya lebih memilih meledak berkali-kali, ketimbang melanjutkan hidup.

 

Karena sudah semacam ‘jadi tradisi’ itulah, makanya film original yang Jepang mengambil arahan yang lebih ringan. Yang lebih banyak sisipan komedi, bahkan di momen-momen yang serius. Mereka punya ‘beban ekstra’ untuk soften the blow. Akibatnya saat menonton, film asli tersebut tidak terasa sedramatis versi remakenya ini. Serius, I’m actually surprised Kembang Api jatohnya lebih baik ketimbang film original. Bahwa film ini ternyata bukan remake yang ketiplek nyontek. Naskah Kembang Api benar-benar disesuaikan dengan konteks yang lebih relate ke kita, serta berkembang menjadi lebih ke arah yang dramatis. Kembang Api memang masih punya sebaran komedi untuk memperingan suasana, tapi tidak pernah terasa ‘mengganggu’ momen-momen yang lebih serius. Kembang Api lebih fokus kepada perasaan bersalah yang kemudian menghantui, lebih fokus pada sisi sosial dari hubungan karakter-karakternya. Yang paling terasa itu adalah saat membandingkan resolusi dan ending antara Kembang Api dengan 3Ft Ball & Souls. Film versi Jepang tampak lebih fokus kepada eksistensi grup chat yang anonim yang dikontraskan dengan actual interaksi saat kita bisa mengetahui hal-hal personal lawan bicara. Mereka mencoba menggugah kehidupan individu yang berlaku di sana. Ending film original bahkan memperlihatkan keempat orang ini kembali ke kehidupan masing-masing, sementara kita yang di posisi ‘melihat semua’ menyaksikan bahwa kehidupan mereka sebenarnya saling berkait. Sementara pada versi Indonesia mereka semua berakhir jadi lebih dekat, mereka jadi sahabat. Yang difokuskan pada permasalahan adalah gimana mereka berusaha saling menolong dengan saling ngasih perspektif ke dalam masalah masing-masing, kayak si Tengkorak Putih yang ngasih Anggun sudut pandang ibu yang ditinggal mati anaknya. Resolusi Kembang Api juga lebih dramatis terkait mereka semua benar-benar berusaha menolong Anggun yang masih kekeuh pengen bunuh diri dengan memberikan kepadanya satu opsi lagi. Opsi ini gak ada di film original yang ngasih efek pertolongan itu lebih subtil dengan menyerahkannya kepada pilihan Tsukiko sendiri.

Tapi meski ini remake yang bagus, statementku masih tetap sama “Remake terooos, sekalinya bikin sendiri isinya freezer!”

 

Kembang Api menambah layer simbolik dengan memasukin kalimat ‘Urip iku urup’ yang ditampilkan pada bola kembang api. Sehingga nanti kita akan melihat dan mendengarnya dimunculkan terus. Makna dari kalimat itu akan jadi hal yang membawa para karakter kepada momen penyadaran. Secara overall, dengan hal itu, Kembang Api jadi lebih literal ketimbang film aslinya yang lebih subtil. Tapi kupikir ke-literal-an yang membuat film hampir seperti mengejakan gagasannya itu memang diperlukan ketika cerita ini sampai kepada lingkungan kita. Lingkungan yang masih belum begitu ‘aware’ dengan bunuh diri itu sendiri. Berbeda dengan versi Jepang yang pengen menggugah tanpa menyinggung. Film Kembang Api lebih seperti raise awareness dan mencegah orang-orang yang mungkin kepikiran untuk melakukan tindakan itu, tapi enggak benar-benar tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Sehingga tempo yang lebih lambat, dialog dan pengadeganan yang lebih to the point, diperlukan untuk menghantarkan maksud tersebut. Film ini bahkan memperjelas trigger time-loop mereka, dengan actually memperlihatkan yang menekan tombol detonator akan merasakan loop.

Tentu saja Kembang Api gak unggul dalam semua hal dibanding originalnya. Perbedaan mencolok yang menurutku membuat film aslinya lebih energik adalah kamera. Film aslinya itu dinamis banget, mereka gak terpaku pada ‘time loop maka shot-shot kejadian harus sama’. Kamera di versi original akan menangkap dari berbagai angle. Bermanuver di antara ruang sempit gudang yang jadi panggung cerita. My favorit shot adalah saat kamera merekam para karakter yang ngobrol confess dari belakang. Dari punggung mereka. Rasanya seperti mendengar cerita dari seseorang yang bersalah. Film Kembang Api gak punya momen-momen itu. Kamera cukup lincah untuk membuat shotnya beragam, tapi ‘terpaku’ pada tempat yang sama. Pada kebutuhan untuk menekankan konsep time-loop. Membuat adegan di waktu pertama, dengan waktu kedua, tampil sama. Ini membuat film jadi sedikit monoton, terutama di awal-awal. Film berusaha bermain lewat musik, tapi gak exactly works. Karena musiknya kadang malah jadi membuat adegan dramatis jadi overkill. Untungnya, keempat aktor bermain dengan brilian. They understand the assignment. Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy,  dan Hanggini memainkan peran mereka dengan range emosi natural. Sehingga mereka tak lagi jadi perspektif untuk menyampaikan gagasan saja. Tapi jadi beneran ‘karakter’. Yang hidup. Yang punya masalah dan urgen untuk segera diselesaikan. Mereka membuat karakter mereka yang basically gak punya stake, jadi bahkan lebih dramatis, karena sekarang kita jadi peduli soal apakah mereka benar-benar perlu untuk bunuh diri. Tidak lagi hanya sekadar menonton ini untuk pengen lihat apakah mereka berhasil bunuh diri atau tidak.

 




Dua minggu ini aku nonton film tentang bunuh diri semua loh ternyata. The Whale, Otto, dan sekarang film ini (dan film originalnya). Semuanya menghandle bahasan ‘orang kepengen mati’ dengan sangat respectful, dan menekankan kepada pilihan si karakterlah yang paling penting. Yang membuat film yang satu ini berbeda adalah dialog soal pilihan itu sendiri. Memberikan solusi tanpa meremehkan pilihan pertama pada awalnya. Mengakui bahwa setiap manusia punya beban, dan ya ‘berhak’ bunuh diri. It also bicara hal yang sama dengan Virgo and the Sparklings , yakni soal komunikasi anak dan orangtua yang gak ketemu karena sang anak ‘takut’, padahal sesimpel bicara itu bisa jadi solusi. On the other hand, aku toh skeptis awalnya. Karena film ini remake, maka kupikir bakal ketiplek nyontek. Ternyata enggak. Film ini menyesuaikan ending, resolusi, tempo, dan bahkan beberapa dialog dan kejadian. Membuatnya lebih cocok dengan konteks sosial kita, dan actually terasa beda dengan film aslinya yang dari Jepang itu.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KEMBANG API

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah seseorang harus pernah mengalami dulu baru bisa respect menggarap sesuatu tentangnya, misalnya apakah pembuat film harus pernah nyoba bunuh diri dulu sebelum bisa respect membuat film tentang mencegah bunuh diri seperti film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Aaron says:

    Salah satu film produksi Falcon yang berkesan, eh iya benar kalau sekalinya beralih ke film original Falcon masih struggle, semoga lewat Script Hunt Falcon bisa lebih optimis dalam berkarya. Mungkin mereka kapok era Mama Cake filmnya pada flop dan kurang sukses secara komersil. Momen yang paling kutunggu di film momen Tengkorak Putih bercerita, kirain soal dicampakkan pasangan ternyata beda. Prediksiku benar kalau mereka bakal secara bergantian mencet tombol bola kembang api, walau sebenarnya secara nyerobot. Sedih kalau film ini agak kurang dilirik

    • Arya says:

      Haha iya, keliatan bgt go for the less risknya. Gak papa sih, cuma kan ya terbukti, keseringan remake, pas bikin cerita sendiri ngaco bukan main.
      Enak sih, lebih rapi di Kembang Api aturan loopnya. Sesuai dengan yang mencet tombol ya. Kalo di film asli, random aja. Yang mencet siapa, yang ingatannya masih ada siapa. Di yang asli, kayaknya yang nyentuh si bapak yang bakal ingat

  2. Fumi says:

    Nonton film ini cuma bertiga satu bioskop, deg-deg an gak bakal diputar dan uang dikembalikan, Alhamdulillah film tetap tayang, karena jam tayang dan bioskop yang terbatas, padahal aku harus nyebrang dari Singapura ke Batam hanya untuk nonton film ini. Yang bikin asik nonton film ini adalah dialognya, natural banget dan membumi, jarang jarang film Indonesia punya dialog yang seperti itu, dan untungnya film ini gak jatuh membosankan padahal setting di satu tempat saja. Akting Donny Damara menurutku ok banget di film ini dan Hanggini yang menjadi scene stellar nya, setiap dia hadir film ini jadi lebih kocak. Sepanjang nonton aku hampir pengen peluk itu aktor satu-satu karena udah membawa film ini di luar ekspektasiku, dan sutradara dan tentu saja penulis skenario, kudos for them all.

    • Arya says:

      Wah ada adventure sendiri nontonnya hahaha.. Sukurnya film ini gak mengecewakan yaa. Bener sih, aktingnya menyelamatkan. Memang bergantung pada dialog-dialog mereka, dan para aktor bener-bener delivered. Hanggini bawain ‘anak muda keras kepala’nya dengan takaran yang pas, kayak sifat anak SMA beneran ke orang dewasa hahaha.. Donny Damara juara juga bawain perannya sbg bapak-bapak itu.

  3. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    Paling suka sama karakter bapak, aku pribadi bisa relate sama keras kepalanya dia, hahaha. Tentu aku juga suka Hanggini disini, doi scene-stealer banget, kayaknya dia emang anak SMA depresif yang mau rebel sekalian bundir deh? (saking bagusnya dia main disini)

    Sederhana tapi juga dalem ya filosofinya film ini, ‘Urip iku Urup’. Aku suka gimana film ini membawa bahasan soal bunuh diri dengan cara yang lebih respectable, gak sok ngajarin, bukan juga sok paling tahu. Semuanya dikembalikan kepada kita untuk berpikir ulang, gak cuma menghakimi seenaknya pada para pelaku, juga kita jadi bisa ikut merasakan apa sih isi pikiran orang2 yang mau bundir itu.

    Film ini walaupun cuma berlokasi di satu tempat kecil, tapi tetap bikin penasaran, tetap bikin gemes sendiri sama tiap karakternya, si bapak yang ngeyelan tapi juga lucu, si mas dokter yang penakut, si mbak tengkorak putih yang keburu2 banget, dan si Anggun yang paling santai pingin mati.

    Yaa ada sih beberapa momen yang aku tuh pengen nya gini tapi ternyata filmnya begitu, tapi masih termaafkan lah berkat dialog dan jokesnya yang seru (pas aku ngetik ini kok rasanya kayak deva ju ya, eh deju va, oh deja vu!)

    Aku belum coba lihat versi originalnya sih, tapi bagiku film ini udah bagus kok. Jauhlah dibanding Bayi Ajaib yg kemarin itu. (aku belum sempat lihat film freezer itu sih, tapi paham kok ama jokes itu kwkwk)

    Btw, fix ini ya, setiap film remake di indonesia harus ada kemunculan Vino G. Bastian?

    Menjawab mas Arya,
    Menurutku sih tidak wajib ya, yakali orang disuruh coba depresi dulu, disuruh coba bunuh diri dulu baru boleh bikin film begituan. Yang menurutku wajib adalah kita harus memiliki empati mengenai sesuatu hal, sehingga rasa respect, peduli, ikut merasakan apa yang dirasakan “korban” akan muncul dengan sendirinya.

    • Arya says:

      Yang kerennya dari Hanggini bawain si Anggun itu adalah, sepanjang film tuh benar-benar kita gak tau kenapa dia pengen bunuh diri. Enggak bisa ditebak, dan seolah menantang kita untuk nebak seperti orang dewasa di sana itu. Ah paling-paling juga hamil. Ah paling-paling masalah ama ortu. Aku malah sempat nebak ‘jangan-jangan ni anak mati cuma mau buat konten doang’

      Karena memang si Anggun ini benar-benar kayak mewakili ‘simtom’ tak-terdeteksi dari orang yang mau bunuh diri. Dari orang yang depresi. Like, kita gak akan pernah tau orang itu depresi sampai dia akhirnya ditemukan mati bunuh diri, karena biasanya orang-orang itu justru tampak lebih ceria, lebih luwes, lebih open — ya kayak gimana Hanggini mainin si Anggun. Tampak smart dan cemerlang.

      Aku malah Bayi Ajaib yang lewat. Kata temenku yang nonton, si Bayi Ajaib bisa dibilang sama aja ama Betina. Bisa tau-tau ada eskrim di situ, katanya hahaha.

      Vino kayaknya dikontrak paketan sih, harus main di beberapa film atau semacam itu.

      Haha harusnya memang cukup dengan empati dan respect aja ya

        • Arya says:

          Cukuplah dia main remake, semoga film ini kontrak remake terakhir hahaha.. kasian juga nanti dikenal sbg aktor remake pula, kan sayang, kecuali dia dikasih kebebasan ngasih something yang khusus dia di karakternya. Tapi kan ya susah, remake biasanya kudu mirip ama yang asli. Di Perfect Strangers aja dia dipakein jenggot palsu, padahal gak perlu nyamain fisik karakter di versi asli ampe segitunya haha

          • Arya says:

            Wahahaha, aneh gak sih kalo orang yang gak nonton film aslinya lihat wujud karakter si Vino di situ? Apa tidak merasa janggal, atau nerimo aja dia orang gendut berjanggut, gak curiga dia karakternya orang yang lagi dalam penyamaran?

  4. soearadiri says:

    Hanggini Scene Stealer sih. Benar2 bikin kita nebak2 masalah apa sih yg dimiliki cewek cantik, keliatan ceria, gaul, pinter ini. Dan ya, selain tackle issue bunuh diri, karakter ini juga tackle issue Bullying dan revenge porn yg skrg lagi anget2nya karena lagi dan lagi korban selain harus berjuang menghadapi trauma tapi juga harus berjuang menghadapi oknum penegak hukum negara kita.

    Donny Damara juga gk mau kalah. Sepanjang film, respon dia, apalagi ke karakter Ringgo itu ngewakilin Boomer banget. Apa2 dikaitinnya ke ‘lemah mental’. Tapi itu tidak serta merta menjadikan dia sosok yg harus dibenci, karena disamping itu dia juga adalah ayah dan suami yg penyayang.

    Keputusan untuk tidak membuka misteri time loop nya udah paling bener sih.

    Kalo versi Indo ny udah bagus gini, udahlah saya gk usah nonton yg originalnya hihihi

    • Arya says:

      Udah, gak usah nonton yang originalnya hahaha.. Meski teknisnya lebih oke (sedangkan yang versi indo kayak lebih bertumpu pada akting pemain) tapi yang Jepang itu kurang warm, karena bentuk hubungan sosial mereka beda ama kita. Yang versi indo, kita bisa langsung mengenali masalah-masalah kayak yang mas sebut, sebagai layer dari problem bunuh diri, jadi nontonnya lebih enak

Leave a Reply