TALK TO ME Review

 

“Death is the wish of some, the relief of many, and the end of all”

 

 

Kematian – duka – drugs. Lingkaran setan depresi yang merundung remaja itulah yang digambarkan oleh film horor buatan sutradara kembar asal Australia, Danny dan Michael Philippou. Debut penyutradaraan mereka ini ternyata enggak bisa dianggap kaleng-kaleng! Talk to Me punya nafas horor yang kental, disertai pula dengan konsep dan penyimbolan yang menarik. Sekilas ini terlihat seperti another jelangkung-like story, you know, cerita manggil-manggil arwah lalu lantas kesurupan. Alih-alih boneka atau papan ouija, film ini menggunakan patung tangan. Para anak muda karakter cerita nanti bukan hanya kesurupan, tapi kecanduan kesurupan. Begitulah film ini menjadikan dirinya unik, tangan pemanggil arwah dijadikan seperti perumpaan drugs – candu tempat anak muda melarikan diri dari membicarakan masalah. Dalam hal ini duka karena kehilangan orang yang dicinta. Set up dan paruh awal film ini memang efektif sekali membuat kita terpaku menatap layar (sambil sesekali jantungan oleh jumpscare). Aku pengen suka film ini, secara teknis definitely one of the decent horror out there. Tapi di paruh akhir, aku duduk di sana merasa jengkel. Oleh karakter utamanya, dan oleh cerita yang berkembang dengan aneh.

Remaja-remaja dalam Talk to Me berhura-hura. Berpesta. Di rumah salah satu dari mereka yang kebetulan orangtuanya lagi pergi, atau yang cukup ‘open minded’ untuk ngebolehin mereka bersuka ria. Mereka lantas berkerumun nyobain satu hal baru ini. Bergantian nyicipin sensasi ketegangan dan menyerempet bahaya, tapi sekaligus juga ngasih kelegaan dan kepuasaan tersendiri, karena mereka telah berani mencoba. Mengalahkan tantangan sosial sehingga akhirnya mereka semakin diterima di dalam lingkaran ‘anak-anak keren’. Hal baru tersebut adalah sepotong patung tangan yang bisa membuat siapa saja yang menggenggamnya (serupa bersalaman) dapat melihat roh gentayangan, entah itu hantu atau setan. Bahkan ketika anak-anak remaja itu mengizinkan, roh itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Sembilan-puluh detik adalah batas waktu yang tak boleh dilanggar, selewat itu ritual harus dihentikan jika tidak mau si empunya tubuh kesurupan selamanya. Tubuhnya bakal jadi milik si roh yang diizinkan masuk. See, kata kuncinya adalah berbahaya. Perbandingan permainan horor tersebut dengan narkoba memang jelas ditarik oleh film. Dalam salah satu adegan montase kita melihat para karakter remaja cerita ini udah kayak sedang teler, bergantian mencoba tangan tersebut, berkali-kali. Mereka bersenang-senang dan seperti udah mabok beneran. Permainan berbahaya itu esensial bagi pergaulan karakter remaja di film ini. Ada yang melihatnya sebagai ‘syarat’ untuk diterima. Melihatnya sebagai cara untuk populer. Ada yang menjadikannya sebagai outlet untuk melupakan masalah. Karakter utama kita, Mia, melihat permainan itu sebagai ketiganya sekaligus.

Mia kehilangan ibunya dua tahun yang lalu. Sang ibu bunuh diri, tapi Mia masih memendam grief luar biasa. Kita melihat di balik keceriaannya, di balik hubungannya yang tampak akrab dengan kakak-beradik Jade dan Riley, Mia belum berdamai dengan tragedi tersebut. Dia masih gak mau percaya akan pilihan naas ibunya, dan deep inside masih terus berusaha mencari jawaban. Namun sebagaimana remaja yang lagi rentan, rapuh, tapi pengen terlihat kuat, Mia mencari jawaban di tempat lain. Bukannya membicarakan secara dewasa dengan ayah, Mia mencari penenangan diri lewat, yah, hal-hal seperti drugs atau permainan horor ‘bicara dengan tangan’ tadi. Di antara teman-temannya, Mia memang yang paling semangat mencoba main ini. Ketika Riley, yang paling kecil di antara mereka, mencoba patung tangan, Mia yang menyangka Riley kesurupan arwah ibunya. Ini menyebabkan Riley melewati batas waktu, sehingga nyawanya kini terancam. Mia harus bertanggungjawab dan menyelamatkan Riley, dan itu berarti dia harus mengkonfrontasi penyebab ibunya bunuh diri.

Berjabat tangan dengan maut

 

Urusan horor, film ini memang gak malu-malu. Duo sutradara kita paham bahwa ini kesempatan bagi mereka to show they are a big deal here in this genre. Dan passion itu memang kelihatan. Talk to Me punya momen-momen horor yang intens. Adegan kesurupannya adalah campuran antara chaos dan fun. Pendekatan yang mereka ambil punya reference ke horor seperti Evil Dead, dengan penampilan yang over-the-top dan level gore yang bakal sukses bikin kita meringis. Adegan Riley membentur-benturkan wajahnya ke meja niscaya bakal jadi tantangan tersulit kalo dimasukin ke video ‘don’t look away challenge’. Dan bukan cuma sebatas horor fisik, film ini juga mengerti membangun suspens untuk horor yang lebih emosional. Horor yang lebih ‘mental’. Ruh-ruh yang memasuki tubuh remaja-remaja itu akan membuat mereka bertindak atau mengatakan hal yang berhubungan dengan ketakutan atau hidup mereka. Seringkali terciptakan kondisi awkward yang begitu ekstrim saat hantu membocorkan ‘rahasia’ hostnya. Saat membuat host yang religius melakukan tindakan paling bikin setan ngakak. misalnya. Selain itu, film ini jadi horor mental karena ada banyak juga adegan ketika Mia merasa ambigu. Apakah dia benar melihat setan, atau dialah yang bertingkah aneh. Apakah benar dia cuma sekali ‘menyentuh’ ganja. Apakah roh yang bicara kepadanya itu memang hantu ibunya, ataukah justru hantu jahat lain yang mencoba menipunya. Or worse; semuanya memang hanya karena kepalanya saja yang enggak beres.

Mia harusnya karakter yang menarik dengan banyak konflik personal regarding tragedi di masa lalu. Duka yang belum mampu dia hadapi, sehingga dia terjerumus pelampiasan yang enggak benar. Tapi naskah membuat karakter ini nyaris unbearable. Mia, buatku, malah jatohnya terasa annoying karena keambiguan, misteri yang menimpanya tidak pernah benar-benar dibuat untuk menempa development Mia. Begini, jika melihat dari build up di paruh awal, journey Mia sepertinya diarahkan tentang mengikhlaskan ibu. Mia seperti harus belajar percaya bahwa ibunya ‘baik-baik saja’, bahwa beliau benar bunuh diri karena setiap orang punya masalah dan terkadang beberapa orang menganggap kematian sebagai sebuah harapan. Itulah sebabnya kenapa ada adegan Mia ‘ketemu’ kanguru yang sekarat di tengah jalan. Riley yang bersamanya di saat itu mengerti bahwa kanguru tersebut harus mereka bantu. Kanguru butuh Mia untuk menghilangkan penderitaannya, alias si kanguru meminta Mia untuk menggilas dirinya. Tapi Mia gak tega. More than that, Mia gak tahu betapa sakralnya kematian. Jika Mia tahu, dia tentu tidak akan sesemangat itu main manggil hantu-hantuan. Yang Mia lakukan adalah, pergi meninggalkan kanguru. Sekali lagi menunjukkan bahwa dia lebih suka untuk ‘kabur’ dari masalahnya. Nah, dari ‘kesalahannya’ tersebut, maka pembelajaran bagi Mia berarti harusnya adalah menyadari bahwa kenyataan harus dihadapi, meski itu berarti menerima bahwa ibunya bunuh diri karena bagi ibunya itu satu-satunya cara untuk bebas.

Talk to me adalah ‘mantra’ yang diucapkan saat anak-anak itu sudah siap untuk melihat hantu dengan bantuan patung tangan. Dikaitkan dengan konteks cerita ini, kata-kata tersebut juga dapat berarti pesan untuk kita bahwa suatu masalah ya harus dibicarakan. Masalah sulit dalam hidup remaja salah satunya adalah soal kematian, for kehilangan orang yang disayang memang bisa membuat anak muda terjerumus ke lingkaran setan. Film ini nunjukin bahwa momok sebenarnya bukanlah kematian, karena kematian bisa berarti berbeda-beda bagi orang. Beberapa bahkan menganggapnya jalan keluar. Momok sebenarnya justru adalah hal yang bisa orang lakukan jika dia belum berdamai dengan kematian tersebut.

 

Tapi momen pembelajaran Mia tidak kunjung datang. Jikapun ada, cara film menceritakannya membuat momen tersebut hanya jadi sebuah shock value. Untuk tidak ngespoil terlalu banyak; momen Mia memilih membunuh Riley atau tidak oleh film ini hanya dijadikan kejutan buat kita. Padahal harusnya kita dibuat mengerti kenapa Mia memilih hal yang akhirnya dia lakukan.  Harusnya kita ada di dalam kepala Mia saat itu, bukannya berada di dalam mobil yang sedang melaju. Karena di momen itulah Mia baru benar-benar bergulat dengan kematian, dengan topik yang selama ini ia hindari karena dia takut berhadapan dengan kenyataan tentang ibunya. Personal Mia bergulat dengan pertanyaan apakah Riley juga wish for a death, bisikan hantu ibunya mewakili apa yang ingin dia yakini sedangkan kenyataan mewakili apa yang butuh untuk dia percaya. Secara kejadian kulit luarnya pun, aku merasa gak yakin lagi soal apa yang ingin film ini sampaikan selain bikin kita surprise. Sampai di rumah saat pulang dari menonton film ini di bioskop, aku masih bingung sama pilihan Mia karena menurutku gak make sense dengan apa yang sebelumnya ini dia lalui. Like, dia baru saja ninggalin ayahnya bersimbah darah untuk menipu sahabatnya, supaya bisa membunuh adik si sahabat, tapi setelah capek-capek jalanin rencana itu, Mia malah tidak follow thru her plan. Kenapa dia memilih ini. Apa pengaruh pilihannya ini pada journey Mia yang telah dibangun? Aku gak bisa menjawab itu lantaran paruh akhir film seperti melipir dari build up di awal dengan ngasih banyak ambigu tapi terkesan trying too hard supaya kita bersimpati pada karakter Mia. Dan oh boy, bersimpati kepadanya adalah hal yang benar-benar susah.

Real definisi ‘gak percaya sama orang hidup”

 

Akting Sophie Wilde sebenarnya total. Namun aku lebih suka Mia saat dia kesurupan ngejahilin Riley, Jade, dan teman-teman lain ketimbang Mia dengan mode sok histeris dirundung grief dan hantu. Mia ditulis sebagai karakter yang benar-benar cari masalah, kemudian sok menjadi yang paling terluka. Misalnya, dia sendiri yang bersikeras membolehkan Riley yang masih terlalu muda untuk mencoba permainan patung tangan, tapi kemudian dia ‘mengajak’ teman yang lain untuk ikutan ngaku bersalah. Relasi film sebenarnya didesain cukup kompleks. Sahabat Mia, Jade, punya pacar yang merupakan mantan Mia (eventho mereka cuma pernah pegangan tangan). Mia yang bersikeras mereka sekarang cuma temenan itu, oleh naskah yang mendesain karakter Mia sebagai orang yang menghindar membicarakan masalah, malah membuat Mia terkesan licik dengan mengajak si pacar nginap di rumahnya – saat mereka semua terguncang oleh kejadian yang menimpa Riley. Saat hal menjadi lebih intens, Mia yang harusnya sudah belajar untuk konfrontasi masalah, lebih memilih untuk percaya hantu ketimbang orang hidup. Buatku, ini membuat aksi-aksi Mia sebagai pilihan dogol yang membuat aku susah merasa relate dan peduli kepada Mia. Aku malah lebih bersimpati kepada karakter Jade, karena stake kehilangan Riley itu lebih kuat terasa. Mia gajelas bakal kehilangan apa jika hantu berhasil ngeklaim tubuh Riley.

Bahkan sekuen yang mengantar kita kepada penutup cerita yang harusnya keren dan sureal, terasa hampa karena Mia hanya berakhir sebagai karakter yang ‘oh ternyata dia sekarang jadi begini” alih-alih membuat kita menyelami kenapa dia harus berakhir seperti itu. Development Mia seperti putus di tengah dan film melanjutkan ceritanya untuk jadi kisah downward spiral seorang karakter yang sikap dan pilihannya enggak simpatik. Developmentnya, pembelajarannya yang harusnya bikin kita jadi berbalik peduli kepadanya, tapi itu juga yang diputus. Makanya, aku di awal tulisan ini bilang pengembangan film ini aneh.

 

 




Paruh akhir film ini tidak harus seperti itu. Film ini punya konteks soal kematian yang dibungkus oleh ide dan konsep horor yang menarik. Yang sebenarnya serupa dengan cerita-cerita pemanggilan ruh tapi juga terasa berbeda berkat karakter dan situasi yang dihadirkan. Protagonis harusnya adalah karakter yang simpatik dan memancing dramatic irony karena kita melihat dia terus melakukan pilihan yang salah. Penyadaran dia di akhir harusnya jadi momen besar. Tapi film membelokkannya hanya menjadi sekadar kejutan. Tragisnya tidak pernah benar-benar berkesan karena si karakter kehilangan development yang telah dibangun di paruh awal. Sehingga meskipun aspek horornya menyenangkan dan super intens, kesenanganku menonton ini berkurang karena karakternya flat out annoying. Go talk to my hand aja sono! 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TALK TO ME

 




That’s all we have for now.

Mia bercerita dia punya recurring nightmare yaitu mimpi melihat dirinya gak punya pantulan di cermin. Apakah kalian juga punya mimpi buruk yang terus berulang? Kalo aku, aku paling sering mimpi ketemu kembaran seseorang dan aku harus memilih mana yang asli, mana yang hantu.

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Andi Sulaiman says:

    Keputusan Mia di akhir yang loncat ke jalanan menurutku karena dia ingin dimiliki oleh Ibunya di “alam ruh” sepenuhnya. Hal ini terlihat dia melepaskan pegangan di kursi roda Riley sesaat setelah Ibunya berbisik kurang lebih “dia akan aku jaga selamanya”. CMIIW.

    • Arya says:

      Enggak sih kayaknya, soalnya pas bangkit abis mati itu, Mia tidak mencari ibunya. Dia malah mengejar ayahnya, yang berarti dia gak bermaksud untuk mati.
      Lagian kalo benar begitu, Mia makin annoying, egois banget. Di pikiran dia kan bunuh Riley itu supaya terbebas dari sakit, kok malah lantas ditinggal, dia milih mati juga hahaha…
      Udah aneh naskah film ini abis Riley terluka. Kayak tujuannya jadi cuma mau ngasih adegan si Mia kini jadi hantu saja.

      • Iman says:

        Aku bayanginnya adegan akhir malah Mia didorong oleh Jade untuk menyelamatkan Riley. Jadinya aku puas kalau memang seperti itu. Si annoying Mia akhirnya mati juga, yess. Dan tokoh utamanya jadinya si Jade aja, lebih ngena build up karakternya.
        Adegan Riley membenturkan wajah ke meja jadi mengingatkan adegan Peter melakukan hal yang sama di Hereditary, memorable.

  2. Iman says:

    Aku bayanginnya malah Mia jatoh karena didorong Jade yang mau menyelamatkan adiknya, dan si annoying Mia akhirnya mati. Yess.
    Tokoh utamanya Jade aja, lebih bener build up karakternya.
    Adegan Riley benturin wajah ke meja jadi mengingatkan yang dilakukan Peter di Hereditary ya, memorable.

    • Arya says:

      Bener lah ini, nontonnya jadi malah kesel ngeliat Mia. Kalo ujung-ujungnya dia bakal mati, kenapa gak dari awal film aja matinya hahaha, biar ganti karakter

  3. Jonathan Tjoedoko says:

    bagiku film ini cuma bikin ngantuk

    gk begitu jelas ini film mau dibawa ke arah mana, apakah mau membahas soal Mia yg harus dealing with kematian ibunya, atau soal patung tangan itu sendiri yang kenapa bisa tiba2 jadi ‘drug’ bagi anak2 sok asik ini

    kalo aku sih nangkapnya, kita dibawa untuk penasaran sama kematian ibunya Mia apakah murni tragedi atau bunuh diri, tapi di ending malah makin absurd dan gk jelas lagi motivasi Mia atau pun film ini

    selain Mia yg ngeselin, aku juga sebel banget sama temennya yg Hayley itu, bener2 sok banget mukanya

    aku suka menyebut horor model gini tuh horor seru2 an aja , kenapa? karena kita gk perlu pusing sama plot atau karakter nya, kita cukup enjoy the show aja, mau itu mendadak horor, mendadak sadis, terserah fimnya, just enjoy the show. sensasi nonton film ginian terakhir aku rasakan waktu nonton Smile tahun lalu itu

    menjawab pertanyaan, jarang sih dapet mimpi horor gtu apalagi berulang. asli serem sih mas kalo mimpi nya bisa ketemu orang kembar gtu, kayak nya bisa tuh mas dibikin jadi film dengan konsep anak kembar gtu kayak Journal of Terror nya Sweta Kartika

    • Arya says:

      Hayley yang mana sih? Yang cowok yang punya Tangan itu?

      Kalo aku ngerasain horor seru-seruan itu pas The Boogeyman; dari hantu malah jadi bisa dijebak kayak monster biasa hahaha.. Kalo Talk to Me udah mentok gak bisa seru-seruan soalnya ngeliat perangai si Mia aku udah kesel duluan. Kalo punya temen segeng kayak gitu, pasti udah kukucilin deh

      Iya tuh, aku mimpi horor ujungnya selalu liat orang kembar terus nantangin nebak mana yang asli. Kepikiran, mungkin karena aku gak pernah milih kali ya… biasanya aku selalu maksa diri buat bangun kalo ‘adegan’ mimpinya udah ke sana lagi. Jadi mimpi itu berulang, karena aku gak tuntasin ceritanya…? Ada gak sih kejadian begitu..??

Leave a Reply