SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Al says:

    Saya belum nonton film ini, tapi dari trailer dan sinopsis yang saya baca, udah nebak kalau film ini bakal mirip-mirip kek Pintu Terlarang, karakter utamanya mirip-mirip kek Gambir. Ada ‘dunia’ yang dia bangun sendiri di situ karena rasa sakit yang selama ini dideritanya, makanya gak jadi nonton, baca review di sini aja haha

    • Arya says:

      Haha psychological thriller kebanyakan formula begitu. Makanya mestinya film-film genre ini gak stop di revealing “karakternya orang sakit yang bikin ‘dunia’ di kepalanya”. Tapi yang dieksplor mestinya adalah journey tragis chaos dia bisa jadi seperti itu. Keunikan perspektif tragisnya yang mestinya jadi pembeda satu film dengan yang lain.

    • Arya says:

      Sama aja hahaha, Sehidup Semati stylenya lebih ke misteri.

      Jadi kalo mas mau nonton yang benar-benar ada peningkatan dibanding sebelumnya, pilih Ancika. Menurutku filmnya lebih oke ketimbang Dilan

  2. Sarah says:

    Intinya si renata itu depresi gasi gara gara ditinggal suaminy selingkuh ?? Jd dia menciptakan imajinasi di dirinya sndiri mulai adegan bunuh bunuhan dll .. jd dari awal film setelah mereka nikah sbnnrny itu imajinasiny dia kan ? .. l

    • Arya says:

      Iyupp.. bunuh Ana dan suaminya beneran. Imajinasinya mulai setelah bunuh itu (tapi adegan bunuhnya ditaroh film di babak akhir alih-alih linear runut dari awal)

  3. Albert says:

    Oh gitu to urutan ceritanya, aku paham ga paham nontonnya. Yang urutannya ga sesuai cuma waktu ketemu orangtuanya ya mas, padahal Edwin udah mati? Kalau Laubas yang bunuh sih udah pasti, cuma penasaran si Asmara itu siapa. Kupikir tadinya Asmara itu ya Laubas juga, bentuk sisi jahatnya dia yang bunuh2in orang. Aku baru bingung ya pas Asmaranya mati juga. Aneh juga Ana udah mati kok dikhayalin dibunuh lagi. Menurutku mendingan Ana masih hidup, cari Edwin terus dibunuh. Adegan terakhir Ana dibunuh itu kepanjangan ga berguna, udah pasti bakal mati tapi panjang adegannya.

    • Arya says:

      Aku mikirnya mungkin itu buat konfirmin konflik inner si Renata sambil juga iyesin dia memang udah korslet parah. Biar kerasa chaosnya, Asmara yang ia bikin sebagai teman/alter untuk dialog mana yang benar atau tidak dilakukan pun pada akhirnya gak kekontrol lagi sama dia sendiri.

      Yang ke ortu itu kayaknya terjadi sebelum cerita film ini dimulai alias sebelum dia gila bunuh2in orang. Kayak itu usaha terakhir dia minta pertolongan, tapi malah disalahin sehingga dia ambil cara sendiri

      Makanya aku jadi mikirnya bayangan2 si Ana itu memang beneran hantu. Soalnya masih mengganggu Renata haha

  4. Farrah says:

    Baru nonton ini di streaming, baru tengah jalan lgsg cari reviewnya hahaahha keder euy. Dan pas baca spoilernya baru bisa nikmatin filmnya.

    Btw mas, speaking of psychological thriller, aku jadi penasaran, contoh journey karakter yg bagus tuh berarti macem Joker ya? Bener gak? Kan Arthur jadi gila karena keadaan.
    Karena aku baru ‘ngeh’ sama genre film kayak gini setelah nonton Sleep Call sama Sehidup Semato, dan bener, pas endingnya ke reveal kalo karakter utamanya gila, jadi anti klimaks aja gitu, padahal build upnya udah seru

    • Arya says:

      Iya, Joker juga salah satu contohnya, Kita lihat proses dia jadi edan. Sebenarnya cakupan genre ini luas, tapi intinya kalo udah bermain dengan state of mind dari karakter, itungannya udah psychological thriller walaupun mungkin filmnya gak ‘dijual’ sebagai psychological thriller. Kayak Siksa Kubur, itu sebenarnya masuk ke genre ini karena bahasannya kan tentang state of mind Sita yang marah sama agama. Tapi ya, di kita kayaknya sukanya yang lebih simpel. Disebutnya horor aja. Kalo psychological thriller, dibikinnya selalu ujungnya gila aja. Psycho. Padahal stres mental itu gak mesti berujung gila, ‘sakit jiwa’ juga cakupannya luas. Banyak disorder lain. Black Swan, juga contoh karakter yang bagus di genre ini. Atau mungkin. misalnya Shutter Island, itu juga masuk genre ini, tapi toh tidak eksak dibilang si Leo gila di akhir, tapi dibikin ambigu.

      • Farrah says:

        Wah seruu, pas banget kemarin aku juga sekilas mikir kayak kalo genre psychological thriller ‘cuma’ bahas tentang orang psycho, apa gak terbatas pembahasannya? Ternyata malah super luas, karena maksutnya lebih ke state of mind si karakter ya. Aku belum nonton Black Swan / Shutter Island euy, tapi jadi penasaran. Ilmu baru nih, makasih loh mas Arya hahahahaha

        Berarti secara gak langsung kayak film yg punya beberapa realitas ya? Realita si karakter utama, sama realita sesungguhnya? Nah kalo model White Tiger masuknya ke psychological thriller juga gak? Atau masuk kemana genrenya? Karena kan dia kayak punya povnya sendiri tentang dunia, tapi gak diperjelas aja realita sesungguhnya gimana

        Btw sorry jadi banyak pertanyaan, menarik soalnya 😀

        • Arya says:

          White Tiger yang film India waktu itu ya? Hmm.. dari ceritanya iya sih bisa masuk, cuma arahannya kayaknya lebih ngincer ‘external’ atau komentar ke sistem mereka. Less ke menyelam ke karakternya. Aku kurang paham formula film india sih, mungkin memang ciri khasnya begitu, soalnya Monkey Man Dev Patel juga sebenarnya ceritanya pergulatan psikologis dia dengan dendam, kan. Tapi arahannya tetap lebih condong ke action dan komentar ke sosial itu

Leave a Reply