SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Abdi Khaliq says:

    Akhirnya setelah semingguan ini bolak balik dimari cuman buat nungguin review Siksa Kubur, rasanya ada yang kurang kalo gak baca review dari bang Arya. Hahahaha
    Jujur aku kaget sekaligus bangga bang Siksa Kubur dikasih rating 7, yang artinya tinggi banget buat ukuran rating di situs ini.
    Tapi agak kaget juga review Bang Arya banyak Spoilernya bang, fix ini mah keknya wajib nonton dulu sebelum baca review. Hihihi
    Selama nonton kemarin jujur seneng banget aku bang, keknya bang Jokan mendengarkan keluh kesahku di PS2 kemarin, paling suka bentuk teror disini gak maksa, build upnya keren masuk logika, kemarin aku protes di PS2 Tari milih masuk ke lobang sampang ketimbang berusaha membupa pintu2 rusun, nah disini Adil sembunyi di loker alasannya masuk akal, dia udah berusaha buka pintu tapi gak bisa. Dan jujur teror mayat hidup disini paling bikin aku takut. Hihihihihi
    Kekurangan film Jokan yang ini masih kek dulu, kalimat yang diucapkan kakakter ada yang kurang jelas, subtitlenya gak ada, bahkan yang adegan tergila di ending pas siksaan Wahyu aku beneran gak dengar Sita ngomong apaan selain kata tobat, karena ketimpa sound.
    Itu juga pas di opening menurut aku kata “franchise” masih sangat awam di masyarakat Indo jaman dulu, kita mah tahunya “cabang usaha.”hahahaha

    • Arya says:

      Ahahaha iyaa, karena ngerasa reviewnya udah telat, aku sengaja agak loose aja di sini soal spoilernya.
      Sama juga sih, aku juga banyak kurang denger dialog-dialog, suara teriakan hantu-hantunya aku banyak yg denger, suara temen perawatnya si Sita aku juga banyak yang miss. Kirain masalah audio di bioskop tempat aku nonton, ternyata memang dari sononya ya.
      Reza akting takutnya di adegan loker itu natural yaa

  2. Ilham says:

    Scoring di film ini keren yaa :). Seingetku ada dua adegan yang soundnya bkin bingung sendiri karena seakan2 ada di belakang kita pas. Pas adegan sita gali kubur ada suara kaya kabel konslet yang “nginggggg” Sama pas ending ada suara bapak2 teriak “astagfirullahaladzim” Itu bener2 sampek bikin smua orang nengok kebelakang buat mastiin itu suara asli apa cuman scoring saking realnya haha.

    • Arya says:

      Scoringnya ngasih kesan serupa kayak bunyi ‘tik-tik’ di Dunkirk; ngasih kesan cemas kayak di dalam mimpi gitu, susah jelasinnya ahahaha
      Cuma, beberapa dialog aku gak kedengeran ketutupan scoring. Aku nyampe nyangka jangan2 masalah audio di bioskopnya, ternyata yang lain juga banyak ngalamin

      • Ilham says:

        NAHKAN susah di deskripsiin bkin cemas gatenang bukan hanya tegang aja tpi dibuat celingukan sendiri ini suara apasih sebenrnya asli apa nggak gitu haha unik ya semoga makin banyak perfilman yang pake scorung bukan hanya jeder2 tpi yang mainin rasa ganyaman juga. Untuk dialog bener sih ketumpuk sama scoringnya jadinya beberapa adegan gak kedengeran

          • Diko says:

            Dari bang jokan udah confirm emang dari filmnya begitu sih kak, bukan soal dialog yang gak kedengeran, tapi menambah esensi keramaian ‘pikiran’ mungkin

          • Arya says:

            Iya, maksud/kesan yang ingin disampaikan memang begitu, hanya penyampaiannya pada film kurang maksimal karena teknis mixing audio kurang bagus sehingga dialog tidak kedengeran

  3. Farah says:

    Dari kemarin mau nonton tapi nunggu banget score dr mydirtsheet, pas tau dapet 7 lgsg nonton secepetnya hahahaha

    Lebih enjoyable ya dibanding PS 1 maupun 2, ceritanya tuh ‘ada’ gitu, bener kata mas Arya di awal, biasanya film jokan more like wahana horor, tapi yg skrg lebih kerasa journey karakternya.
    Sama aku pribadi suka momen pas Sita berantem sm Adil di loker, karena di adegan itu, aku yg awalnya ngerasa terkoneksi sama karakter Sita, tiba2 ‘lepas’ karena nyadar ada yg salah sama dia, but still care enough to see what will happen next to her. Cakep sih permainan emosinya.

    Dan yes, adegan siksa kubur yg terakhir, bener2 over the top bgt 😀 aku yang awalnya takut karena sepanjang film udah di buildup atmosfernya gaenak, tiba2 jadi hah hoh karena kok gini????

    Btw adegan terakhir pas Sita sama Adil lagi lari2 di kuburan menyelamatkan diri,
    itu kan tiba2 close up ke Sita ya, ada dialog apa ya mas, inget ga? Aku gak denger jelas soalnya, cuma ngeh tau2 Sita bengong aja gitu, trs lgsg blank ke adegan videonya Wahyu – abis

    • Arya says:

      Apalagi kalo kita anggepnya konteks si Sita berantem ama Adil di loker itu sebagai kreasi dari ketakutan personal Sita (akibat halusinasi yang ia alami di dalam tanah), adegan itu jadi makin menohok karena bisa berarti Sita sebenarnya sedang berdialog dengan sisi lemah dirinya sendiri (yang merasa bersalah karena gagal mencegah perampok yang lead to kejadian perginya orangtua dan tidak mampu melindungi adiknya) yang terwujudkan sebagai Adil, dan dengan begitu berarti karakter Adil sebenarnya didesain sbg paralel dari sisi vulnerable Sita. Wuih, bisa dalem bgt kayaknya penulisan psikologi karakter di film ini.

      Aku sendiri juga miss sih, cuma kata temen yang ikut nonton, itu suara malaikat yang bilang ‘Man Rabbuka’

  4. Albert says:

    Berarti benar menurut mas Arya, Sita dan Adil udah mati di tengah ya mas? Sisanya siksa kubur Sita? Tapi iya ada adegan Adil juga ya, mungkin diliatin siksa kubur masing2? Kemarin ada yang komen, kalau siksa kubur Sita, kok terakhir pas Adil nolong mukanya babak belur dipatuk ular, kan Sita ga tau Adil dipatuk ular gitu. Aku pas nonton biasa aja, pulang baca teori2 malah bingung. Hahaha.

    • Arya says:

      Sita kayaknya yang udah dilock mati, tapinya ya kalo kita percaya Sita mati di tengah, berarti Adil jadi unclear mati atau tidak karena setelah pertengahan asumsinya semua yang terjadi itu adalah siksa kubur Sita (not really happened)

  5. Kim Petras says:

    Kalau saya punya pemikiran sendiri bang, jadi Sita itu mengalami fenomena ‘Mati Suri’ yang mana menurut saya 3/4 adegan-adegan dalam film ini itu menggambarkan situasi dari Malaikat yang menuntun Sita untuk membuka Mata Batinnya, makanya di akhir Sita bisa melihat siksa kubur yang dialami oleh Wahyu.

    Kalau soal Adil sih, dia awalnya memang di patok ular, mengalami halusinasi yang mengangkat dosa miliknya (Necrophilia) makanya ada adegan dia diteror di loker, nah di ending film ini menurut saya Adil memang menyelamatkan Sita makanya diperlihatkan dirinya terluka dan sedang berusaha untuk menahan sakit dari gigitan ular semalam.

    Sampai ada adegan si Adil bilang gak kuat jalan itu memang menandakan kalau mereka masih hidup dan waktu mereka sudah 7 langkah kabur dari kuburan Wahyu si Sita dengar suara ‘Man Rabbuka’, nah menurut saya itu suara dari introgasi Malaikat di kuburan baru dan Sita memang sudah bisa melihat atau mendengar siksa kubur karena mata batinnya sudah kebuka.

    Jelas sih bang, kalau emang mereka mati harusnya di tanya nya sendiri-sendiri dong gak bisa bebarengan dan kalau emang mereka mati harusnya juga si Sita ngehadap kiblat bukan berlawanan kiblat pas di tanya ‘Man Rabbuka’, lagian nasib mereka tragis banget kalau benar-benar mati!

    • Arya says:

      Menarik soal di akhir itu Sita mendengar suara malaikat setelah tujuh langkah. Aku pun sebenarnya lebih suka mengganggap escape bareng Adil di akhir itu sebagai kejadian nyata, tapi karena ada suara malaikat yang didengar manusia maka aku jadi menganggapnya antara masih fantasi atau memang Sita sudah mati.

      Soal buka mata batin mungkin bisa juga, hanya saja sedari awal film tidak mengangkat pembahasan elemen paranormal semacam mata batin atau sixth sense lainnya (kecuali adegan seance di panti jompo – yang telah diungkap itu cuma bagian dari halusinasi Sita), melainkan yang diangkat adalah soal Sita harus percaya. Kata-kata mayat yang hidup “Tidakkah kau lihat!!?” menurutku adalah seruan untuk menyadarkan Sita bahwa jika sekarang dia udah takut/percaya setan, berarti ya dia juga harus percaya bahwa agama/Tuhan itu ada

      • Kim Petras says:

        Iya bang konsep filmnya mirip sama film Martyr makanya saya bisa berspekulasi kalau film ini tuh tentang perjalanan spiritual dari Sita makanya banyak dialog dari ‘Percaya’ ini yang membuat Sita membuka kesadarannya akan hal Gaib.

        Mirip-mirip lah sama scene di perempatan film Martyr yang mana si Protagonis wajib percaya untuk melihat hal-hal Gaib, bedanya disana Protagonis mengaku kalau ia melihat Tuhan melalui serangkaian penyiksaan, sementara Sota bisa melihat hal Gaib dengan cara yang sedikit halus.

        Kalau menurut saya para penghuni Panti Jompo itu terutama si Nenek adalah salah satu member dari sekte Herosase, si Nenek itu manggil arwah dari Sita yang mengalami Mati Suri kemungkinan kebanyakan kejadian di alam Barzakh yang dialami Sita ada di Panti Jompo makanya si Nenek tau kalau Sita ada disana.

        • Arya says:

          Makanya keren juga sebenarnya film ini, bisa menerapkan konsep penyiksaan tapi ‘halus’, kayak, yang sebenarnya disiksa fisik orang lain dan protagonis ‘cuma’ siksaan mental, tapi kita masuk juga ke dalam siksaan yang dialaminya itu

  6. Sarah says:

    Intiny film ini ngajak kita harus percaya siksa kubur dan aku sependapat dengan mas arya tapi emang adegan di film ini tuh diputer2 supaya penonton mikir . Jujur adegan siksany lebih serem film ini dibanding siksa neraka yang terlalu detail dan cerah mirip film jagal . Kekurangan siksa kubur ini yaa itu dia agak mirip mirip gtu siksaany ma film siksa terdahulu (bingung gak tuh) wkwkk . Agak risih baca soal sekte herosase lah ini lah itulah . Padahal sekter herosase itu cuma sekte yg ada di khayalan kepala gambir mau disangkutpautkan ke pengabdi setan juga gaada scene yg mengarah kesitu … klo dua hati biru kan gamblang ada scene tokoh lisa (like & share) lah di film ini . Penonton diajak berteori teori terus pdhl yaa inti filmny yaa gtu aja

    • Arya says:

      Haha iya, terlalu banyak teori yang nyambung-nyambungin ke sekte2 film terdahulu kayak herosase, padahal film ini mah bisa aja dinikmati tanpa perlu ribet sendiri nyambung-nyambung ke a, b, c, apalah – malah bahasan film yang sebenarnya justru jadi tak banyak diomongkan

  7. Albert says:

    Menarik sih baca tulisan mas Arya kalau Sita sendiri tidak yakin dengan kepercayaannya bahwa agama itu tidak ada dan harus membuktikan kepercayaannya ini dengan mengubur diri sendiri. Ini konyol sih sebetulnya. Pak Wahyu bilang siksa kubur itu apa yang paling kita takuti, yang paling Sita takuti itu katanya kalau siksa kubur itu betul ada. Sita juga lihat itu di ending cerita.

    Tapi di tengah antara Sita mengubur diri sampai akhirnya melihat siksa kubur itu juga banyak kejadian yang menurutku juga ketakutan Sita itu sendiri. pak Pandi dan para penghuni panti jompo membunuh suster Lani, katanya karena dia pendosa. Ini kukira salah satu ketakutan Sita juga ketika ada kasus pembunuhan lain karena agama.

    Lalu adegan berikutnya orang2 malah mencoba rekam siksa kubur juga gara2 Sita publish ke media. Dan mereka sekarang malah pada liat siksa kubur jadi malah tambah panik dan percaya. Ini jelas berlawanan dengan tujuan Sita. Dia berhasil membuktikan, tapi hasilnya orang2 malah tambah percaya dengan agama karena membuktikan sebaliknya. Ini kukira ketakutan yang lebih besar daripada siksa kubur beneran ada. Dia berhasil membuktikan, tapi hasilnya terjadi sebaliknya.

    Memang usaha Sita ini udah aneh dari awal. Bagaimana dia bisa berpikir akan meyakinkan banyak orang dengan 1 bukti aja? Kukira betul Mas Arya, Sita sendiri enggak yakin siksa kubur itu tidak ada, dia lebih ingin buktikan ke dirinya sendiri. Selain itu kukira benar mas Arya kalau dia konflik di kasus pak Wahyu. Di satu sisi kalau siksa kubur tidak ada berarti dia bisa membuktikan agama tidak benar buat pembalasan kematian orangtuanya. Di sisi lain kalau siksa kubur tidak ada berarti Pak Wahyu bebas dari semua kesalahannya, kelihatannya Sita enggak rela juga.

    Sebetulnya aku lebih suka kalau Sita dan Adil itu masih hidup aja, adegan di ending itu nyata. Cuma karena ada suara itu sih membuktikan mereka udah mati. Kukira suara itu kuanggap nggak ada ajalah, biar Sita dan Adil bisa mendapat kesempatan kedua.

    • Arya says:

      Seru kan sebenarnya si Sita ini konflik karakternya. Mungkin di ranah yang lebih logis, usaha si Sita mestinya berangkat dari melacak suara di kaset rekaman atau pembuatan kaset itu – membuktikan itu hoax atau tidak, nanti seiring investigasinya dia baru menemukan hal yang ia takuti itu benar. Kalo diliat-liat memang Sita ini kayak kebalikan dari cerita-cerita inspiratif yang biasa kita dengar; peneliti Eropa/barat yang jadi masuk Islam setelah meneliti atau mengkaji isi Al-Quran atau kajian-kajian ilmu Islam; mereka jatuh cinta dengan lantunan ayat, tafsir, atau semacamnya. Sita kayak kebalikannya, semakin dia membuktikan ajaran-ajaran yang tak mau ia percaya, dia semakin takut, dan tobatnya ya karena ketakutan. Bener sih, sebenarnya tak kalah menarik juga kalo endingnya dipastikan – orang seperti Sita ini ‘tempatnya’ itu di siksa atau pengampunan nantinya haha, tapi yah manusia sendiri mungkin tidak punya kapasitas menjawab ini makanya filmnya diakhiri ambigu.

Leave a Reply