“No one wants to be the one left behind”
Franchise film yang udah bertahan lama seperti Alien-nya Ridley Scott kerap diuji resiliensinya. Kudu bisa ngikutin perkembangan. Jangan sampai genre-nya stuk di situ melulu. Sementara juga harus tetap bisa memuaskan penggemar lama. Ini membuat si film ada di posisi sulit. Kayak waktu franchise ini try to dig deeper, dengan bahasan filosofis tentang creation atau penciptaan. Prometheus dan Alien: Covenant jadinya malah dinilai aneh, berat, terlalu ‘jauh’ mainnya. Gak semua fans appreciated it. Padahal secara kualitas, filmnya enggak ‘sejelek’ itu. Dunia alias role franchise Alien justru diperluas oleh mereka. Mungkin karena itu makanya Fede Alvarez membuat Alien: Romulus kali ini kembali ke akar horornya. Langkahnya itu bukan tanpa kontra. By the time aku bikin review ini, Romulus pun tetap dapat mixed reaction. Utamanya, penonton bilang film ini terlalu mirip ama Alien yang sudah-sudah. Padahal menurutku, sebenarnya Alvarez pengen ngasih sesuatu yang baru loh. Dia kayak pengen bikin gabungan dari elemen horor-remaja yang sudah ia tahu, dengan lore Alien yang kita semua kenal. Dia pengen nyiptain hybrid baru untuk franchise ini. And oh boy, dia memang literally ngasih monster hybrid baru di film ini!
Alvarez berusaha membawa ‘kesegaran’ dengan membuat cerita dari grup anak-anak muda. As opposed to grup pekerja ataupun grup ilmuwan dalam film-film Alien sebelumnya. Ini menarik karena musuh ‘sesungguhnya’ tetap sama. Corporation yang lebih memprioritaskan alien berbahaya ketimbang manusia itu sendiri. Jadi ceritanya, Rain dan saudaranya, Andy yang hobi becanda garing, ditolak untuk pindah dari settlement pertambangan tempat mereka sekarang. Dua anak muda ini pengen pindah, gak muluk, mereka cuma mau ke tempat yang bisa melihat matahari. Beruntung ada satu kesempatan lagi. Di orbit sana, ada stasiun luar angkasa yang tampaknya telah ditinggalkan. Rain dan Andy, bergabung dengan teman-teman yang menemukan stasiun tersebut; mereka sepakat untuk menggunakan stasiun itu untuk cabut ke planet koloni lain. Alien: Romulus menjadi horor survival begitu Rain dan teman-teman tiba di stasiun luar angkasa yang bernama Romulus dan Remus, dan soon mereka sadar ada alasannya kenapa tempat itu kosong. Romulus basically adalah tempat perusahaan Weyland-Yutani ternak Facehuggers untuk melahirkan Xenomorph, the ultimate life-form!
Di tangan dingin Alvarez, stasiun luar angkasa tersebut jadi set-pieces horor yang bukan hanya super-deadly, tapi juga jadi kayak maze dalam video game petualangan horor. Beberapa adegan dengan alien-alien itu memang tampak sebagai referensi kepada adegan-adegan ikonik franchise ini, kayak alien meledak keluar dari dalam tubuh orang, atau terkurung di ruangan sempit bersama Facehugger yang bisa melompat ke wajahmu dari mana saja, atau bahkan shot-shotnya sengaja dibuat mirip dengan yang dulu-dulu. Ini makanya sebagian penonton pada bilang film ini terlalu banyak ‘reka ulang-adegan’. Alvarez memang did that, tapi paling enggak dia melakukannya dengan volume horor maksimal. ‘More is more’, prinsip itu kayaknya yang dia pegang dalam nanganin ini. Jadinya memang Alien: Romulus ini seru, survivalnya simpel; ada ruangan dengan banyak alien, dan karakter harus survive menyeberangi ruangan tersebut. Berbagai challenge dia kasih untuk karakternya. Ada yang ingetin kita sama horor Alvarez terdahulu, yaitu Don’t Breathe (2016). Rain dan company kudu nyari jalan keluar dengan diam-diam tanpa bersuara, karena Facehuggers actually buta. Action horor set piece terbaik yang dipunya film ini hadir pada beberapa adegan setelahnya. Ketika Rain dengan peluru (dan kemampuan menembak) terbatas harus melumpuhkan sejumlah Xenomorph dan dia menggunakan informasi tentang darah Xenomorph yang bersifat asam dan sistem gravitasi di pesawat itu untuk membalikkan situasi menjadi menguntungkan. Selain taktik yang jenius, adegannya juga tertranslasi sebagai visual yang sangat ciamik ke layar. Ngasih momen survival yang intense yang benar-benar fresh.
Orang sering bilang jaman sekarang sudah gak ada lagi yang original, semua sudah direcycle sedemikian rupa. Semuanya jadi saling mereferensikan, apalagi tentu kita semua berkarya karena terinspirasi oleh orang lain dan we have to pay that respect. Aku antara setuju dan tidak-setuju dengan pernyataan tersebut. Mungkin memang dari sekian banyak film, buku, dan media storytelling lain sedari dulu, sudah tidak ada lagi cerita yang benar-benar baru. Tapinya lagi menurutku, originalitas atau kebaruan itu bukan exactly datang dari tema atau tentang apanya. Melainkan dari sudut pandang yang diangkat. Satu film bisa membahas tentang hal yang sama, misalnya sama-sama tentang spaceship berisi alien yang meneror awaknya, tapi cerita tersebut akan jadi berbeda jika diangkat dari dua sudut yang berbeda.
Rain memang cetakannya sama dengan Alien’s Ripley. Sama-sama cewek yang jadi jagoan saat keadaan memaksa. Teman-teman Rain, cetakannya memang serupa dengan ala karakter horor-remaja. Ada yang sok keren tapi ternyata cupu/penakut, ada yang teriak-teriak annoying ngelakuin tindakan bego. Tapi yang bikin film ini lebih hidup dan less kayak cetakan-pabrik adalah sudut pandang dua tokoh sentral. Rain dan saudaranya, Andy. Dinamika mereka mengangkat film, jadi hati yang bikin film ini jadi grounded dan menarik untuk disimak, lebih dari survival alien dari lensa horor maksimal (again, aku masih kebayang-bayang wujud dan jumpscare terakhir dari Xenomoprh hybrid ciptaan film ini!) Aku suka cara film ngehandle relasi Rain dan Andy sebagai sajian utama, tapi tidak menghambat pace horornya, ataupun bikin film jadi terbebani oleh bobot mereka. Aku suka gimana film work around their story, sehingga masuk ke dalam cetakan dan lore dunia franchise Alien itu sendiri. Hubungan mereka juga tergambar dalam judulnya, karena Romulus juga refer kepada dua saudara dalam mitologi -Remus dan Romulus, yang dibesarkan oleh serigala, dan nanti Romulus harus membunuh Remus; in a sense, harus meninggalkannya. Jadi, Andy bukan saudara Rain beneran, melainkan android atau makhluk-sintetik yang udah dianggap saudara oleh Rain. Robot yang diprogram untuk melakukan apapun asal Rain senang. Ini berbuah konflik dramatis tatkala tempat baru yang ingin mereka tuju tidak memperbolehkan android, sehingga Rain terpaksa harus meninggalkan Andy nantinya. Sedih? tentu saja. Lalu masalah semakin pelik tatkala kejadian di station membuat Andy tanpa sengaja terprogram ulang, dan kini misi utamanya jadi sama dengan android jahat di pesawat, yakni mengutamakan kepentingan perusahaan. Yang berarti bagi Andy kini keselamatan Rain dan teman-teman sudah bukan prioritasnya lagi.
Momen paling nyess datang ketika Rain marah ke Andy yang menutup pintu sehingga hampir membuat temannya tertinggal di ruangan penuh Facehugger. But as soon as dia protes soal jangan ninggalin teman, kita bisa melihat realisasi menjejak di air mukanya; bahwa dia sendiri was about to do the same ke Andy yang tadinya akan ia tinggalkan di pesawat. Ini semacam momen pembalikan yang menohok, dan meskipun saat itu kita tau Andy udah keprogram ‘jahat’, feelingnya tetap kena. Karena kita bisa ngerasakan Rain dan Andy udah kayak sodara beneran. Jangankan sodara, gak ada orang yang mau ditinggalkan.
Sekaligus, itu juga adalah testament dari betapa kerennya penampilan akting mereka. Cailee Spaeny, always mencuri hati. Dia buktiin betapa versatilenya penampilan aktingnya. Di sini sebagai Rain, dia jadi cewek jagoan, yang harus survive monster mengerikan sementara juga memendam banyak perasaan. Dia believable sebagai tough girl, padahal mukanya tipikal anak baik-baik, gitu. Like, Shailene Woodley jadi polisi di To Catch a Killer tahun lalu aja aku masih belum sold out sepenuhnya. Tapi Cailee, maann. Serunya, banyak penonton barat sono yang menilai dari penampilan dia di sini, nganggap Cailee lebih cocok jadi Ellie di serial The Last of Us. Terus si David Jonsson; nama itu belum pernah aku dengar sebelumnya, tapi setelah melihat dia sebagai Andy di sini, aku berharap bakal lebih sering mendengar namanya lagi di film-film ke depan. Karena yang diachieve-nya di film ini bukan sesuatu yang gampang. Dia ngasih penampilan yang emosional, sebagai android yang supposedly datar! Kita bisa percaya bahwa ada something more pada android ini, bahwa mungkin saja dia yang lebih mendekati sosok makhluk sempurna yang dicari korporat itu.
Dan mungkin film memang mengeset mereka berdua untuk sesuatu yang lebih besar. Sekuel maybe? Karena – dan sayangnya ini juga jadi poin kelemahan film ini buatku – bahasan konflik Rain dan Andy terasa selesai early, lalu film pindah fokus ke survival lagi (final battle dengan si makhluk hybrid, resep natural mimpi buruk malam ini), sementara permasalahan sebenarnya soal gimana mereka di tempat baru yang tidak menerima android itu seperti sengaja disimpan untuk berikutnya. Karena gak ada development yang benar-benar ‘drastis’ dari dinamika Rain dan Andy, kecuali satu-dua momen yang nunjukin mereka berubah menjadi lebih baik. Tapi secara garis besar, mereka seperti kembali ke posisi semula dalam plot cerita. Menurutku film ini berkembang ke arah yang sedikit berbeda dari masalah yang diangkat di awal. Aku terhibur film ini ngasih horor survival maksimal, tapi mungkin arahan ke sini baiknya bisa lebih ditegaskan lagi pada menit-menit set up yang masih dominan seolah ini cerita tentang Rain dan Andy bersama ke tempat yang baru.
Satu lagi arahan yang menurutku agak jadi bumerang adalah soal praktikal efek dan CGI. Alien: Romulus, just like any great horror, mengutamakan kepada praktikal efek – dan ini bagus, kreatif. Tapi tentu saja penggunaan CGI sebagai enchancement masih diperlukan – dan ini kita maklum. But still. sama seperti ceritanya sendiri yang tentang korporat dengan keputusan yang bikin kita angkat alis perkara ethical kemanusiaan, film ini pun mengangkat pertanyaan etis yang sama. Karena film menggunakan CGI untuk membuat ada karakter android dengan wajah Ian Holm – aktor yang telah meninggal, yang di film Alien pertama berperan sebagai android korporat yang basically ‘sifatnya’ sama dengan android korporat di film ini. Tentu saja ini bikin kita bertanya, seberapa besar kepentingan si android ini wajahnya harus sama? Toh ada android model lain sepanjang universe franchise Alien. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Apakah yang dilakukan film bisa justified dalam konteks film ataupun apabila mungkin telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga Holm? Silakan share di komen yaa
Secara timeline, film ini sebenarnya bisa dibilang sebagai sekuel langsung dari Alien original. Referensi dan elemen yang menyambungnya pun disebar oleh film ini. Beat-beat cerita dan adegannya mirip dengan Alien yang sudah-sudah, cuma memang kali ini arahannya ada dalam lensa horor maksimal. Membuat film ini worked out greatly sebagai hiburan yang menegangkan. Karakternya kini dalam perspektif anak muda, dan yang dititikberatkan oleh film sebagai tema adalah soal keluarga tidak saling meninggalkan. Center dinamika antara Rain dan ‘saudaranya’, Andy, jadi hati yang mengelevate dan pada fungsinya, mendaratkan, cerita. Yang bikin dia jadi lebih dari sekadar tontonan yang mirip ama Alien yang sudah-sudah. Menurutku harusnya film bisa ngasih bahasan yang lebih dramatis lagi terkait konklusi mereka berdua, alih-alih seolah selesai tapi sebenarnya lebih mirip di’damai’kan dulu gitu aja, karena mungkin mau ada sekuelnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALIEN: ROMULUS
That’s all we have for now.
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL