“I know my kingdom awaits, and they’ve forgiven my mistakes”
M. Night Shyamalan is baaack! Kita semua tahu persis gimana ‘prestasi’ sutradara yang satu ini. Siapa coba yang tak ingat kepada twist dan revealing cerita film The Sixth Sense, Unbreakable, ataupun Signs. Akan tetapi setelah The Village (2004) yang sudah php-in banyak orang – semua nyangka film itu adalah kisah misteri menyeramkan padahal ‘hanya’ sebuah kisah cinta terlarang – film-film buatan mister Shyamalan mengalami penurunan kualitas yang drastis. Lihat saja The Happening (2008); orang-orang dalam film tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara yang terduga. Diniatkan sebagai experience yang mengerikan, nyatanya, malah jadi lucu. Alih-alih dianggap serius, The Happening malah diketawain. Tidak hanya penonton, rekan-rekan kerja pun tampaknya tidak lagi percaya kepada M. Night Shyamalan. After Earth praktisnya sama saja dengan disabotase oleh Will Smith. Makanya, film The Visit ini disebut Shyamalan sebagai usahanya untuk kembali ke basic. Dengan budget rendah dan cerita yang ditanganinya sendiri, M. Night Shyamalan mempersembahkan film ini sebagai, bukan hanya ‘jalan pulang’, namun juga sebagai jalan tengah antara horor dan komedi. Dan meskipun memakai gaya found-footage, The Visit bukanlah film hantu.
Namun kenapa pula itu berarti film ini tidak menyeramkan?
Becca (Olivia DeJonge leads this story dengan sangat likeable) dan Tyler (sebagian besar gelak tawa datang dari Ed Oxenbould) sedang dalam misi mendamaikan keluarga ibu mereka (Kathryn Hahn manages to stay wonderful meski nampil paling sedikit). Kedua kakak beradik ini menginap seminggu di rumah kakek dan nenek yang baru pertama kali berkontak dengan mereka. Siang hari dalam film ini kerasa hangat dan akrab semestinya drama keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi begitu jam menunjukkan pukul 21.30, Pop Pop (aku gak mau punya kakek se-creepy Peter McRobbie dalam film ini) melarang keras mereka untuk keluar kamar. Di lain pihak, Nana (tepuk tangan buat penampilan berlapis dari Deanna Dunagan) meminta kedua kakak beradik tersebut untuk tidak mengganggu Pop Pop jika sang kakek sedang khusyuk di gudang.
Kecanggungan anak-anak berinteraksi dengan orang lanjut usia dikembangkan menjadi tema horor dalam film The Visit. Kita sendiri pasti pernah mengalami gimana awkward nya ngobrol sama nenek, terus kita ragu pengen ketawa atau enggak karena takut dikira enggak sopan atau semacamnya. M. Night Shyamalan menerjemahkan hal tersebut sebagai sebuah experience yang membingungkan dan nakutin. Apalagi bagi Becca dan Tyler, ketakutannya jadi lipat ganda karena orangtua ibu mereka tersebut practically sama saja dengan orang asing yang baru mereka kenal. Dan yang namanya interaksi dua generasi yang berbeda, tentu saja selalu ada hal-hal kocak yang ditimbulkan. Film ini pun tidak luput menggali sudut pandang tersebut. Kesuksesan film The Visit terletak dari KEEFEKTIFANNYA MENGGABUNGKAN ADEGAN YANG MENGUNDANG GELAK TAWA DENGAN ADEGAN YANG BIKIN KITA MENAHAN NAPAS SIAP UNTUK MENJERIT. Mulus banget, transisi antara keduanya terasa natural.
Dua karakter yang paling menonjol adalah Tyler dan Nana.
Everytime Tyler ngerap, kita bakalan ngakak. Entah itu karena liriknya, atau karena kita enggak bisa mutusin dia nyanyinya bagus atau enggak. Yang paling ngikik (tau gak ngikik? Sama aja dengan ngakak tapi bunyinya hik-hik-hik, kayak kuntilanak!) adalah saat anak 13 tahun ini ngasih tau kakaknya bahwa mulai sekarang dia akan mengumpat dengan menggunakan nama-nama penyanyi cewek instead pf pake kata-kata jorok! hikhikhik ada-ada saja.
Everytime Nana kumat, kita bakalan merinding. Sepanjang film mungkin bakal kita habiskan untuk mutusin apakah nenek ubanan yang rapuh ini adalah hantu atau manusia. Adegan dia merangkak dengan rambut terurai ala Sadako selalu sukses bikin kita menyipitkan mata. Dan seperti yang sudah disebutin tadi, Nana ini adalah karakter yang kompleks. Yang enggak gampang untuk dimainkan. She shows so much different emotions, dan bakal nunjukin emosi-emosi itu in a matter of flipping a coin. Adegan bersihin oven itu asli seram berkat kepiawaian Deanna Dunagan memainkan tokoh Nana yang intention nya tidak bisa ditebak.
Sisi drama juga tak lupa disentuh, sebagaimana yang selalu dilakukan Shyamalan di dalam film-film terdahulunya. Ada banyak BEAUTIFUL SCENES dalam The Visit yang akan membuat kita rindu kepada keluarga. Memikirkan bahwa betapapun banyaknya kesalahan kita, betapapun kita pikir kita saling membenci satu sama lain, sebagai keluarga, kita akan terus menemukan alasan untuk saling memaafkan. Mungin film ini juga dimaksudkan oleh Shyamalan sebagai ajang meminta maaf kepada kita-kita yang sudah dikecewakan oleh film-film medioker buatannya selama satu dekade ini.
Pertama aku memang rada skeptis, mengingat film keluaran Blumhouse Production ini pake gaya yang udah mainstream. FILM YANG DICERITAKAN DARI REKAMAN VIDEO KAMERA. Becca ingin merekam semua kejadian di rumah nenek untuk diperlihatkan kepada ibunya. Jadi kita melihat film ini dari lensa kamera yang dipegang oleh Becca dan Tyler. Jelas gimmick ini memberikan limitasi dan, tahu sendirilah, eksploitasi jump-scare akan jadi sajian utama. Tapi The Visit tidak melakukan hal yang demikian. Tidak ada jump-scare dengan suara-suara yang memekakkan telinga. Film ini terlihat realistis karena suara-suara yang ada hanya suara yang kerekam oleh kamera si tokoh utama. Tidak ada penambahan backsound yang annoying. Adegan ngeliat cermin terus dikagetin, tidak diiringi oleh loud noise karena memang tidak ada sumber suaranya di dalam ruangan tempat Becca berdiri. Kalo kita perhatikan, musik latar hanya terdengar di awal dan ending saja. There are some scenes yang terlalu meta tho, seperti saat Becca meleng dan tau-tau ada yang sudah berada persis di sebelahnya.
Jika ada yang paling terkenal dari M. Night Shyamalan, maka itu adalah kecenderungannya untuk menciptakan simpel-namun-obscure-plot-twist dalam setiap cerita. Ada yang bisa nebak ternyata Bruce Willis adalah hantu di The Sixth Sense saat menontonnya pertama kali? Well, plot twist dalam film The Visit sama sederhana nya dengan itu. Aku gak bakal bilang di sini twist nya apaan. Aku cuma mau bilang kalo aku merasa bego karena sekali lagi aku gagal menebak. Tepatnya, tidak sempat menebak. Cerita di dua babak awal terlalu distracting sehingga membuat kita melupakan satu bagian penting tersebut. Dan no, aku enggak ngeluh, it was a compliment. I think it was the strength point buat The Visit. Filmnya mampu membuat kita terhanyut oleh misteri yang sedang diceritakan. Heck, misteri cerita The Visit lebih terasa nge-goosebumps dibandingkan film Goosebumps yang keluar Oktober kemaren. Act terakhir benar-benar disediakan untuk mengungkapkan semua tandatanya melalui adegan-adegan yang menegangkan.
Horor bukan berarti harus ada penampakan hantu. Lucu bukan berarti harus jadi bego. Yang jelas, jangan nonton ini sambil makan! The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for The Visit.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners
and there are losers.
We be the judge.