“Closed but not forgotten”
Hidup di daerah rawan bencana kiranya telah membuat orang Jepang jadi begitu kreatif. Man, they are really gives a new meaning to our saying ‘mengubah musibah menjadi berkah’. Mulai dari legenda Godzilla hingga seri game Fatal Frame, memang ada begitu banyak cerita dari Jepang yang terinspirasi dari bencana alam. Mereka membuat cerita-cerita itu sebagai peringatan, dan juga sebagai bentuk penghormatan. Baik kepada alam, maupun kepada korban dan perjuangan itu sendiri. Makoto Shinkai, sutradara anime yang terkenal dengan genre fantasi romance, juga menjadikan bencana sebagai device penting ceritanya, at least dalam tiga film terakhirnya. Film Suzume ini ia hadirkan sebagai tribute buat korban-korban bencana gempa Tohoku yang terjadi 11 Maret 2011 dahulu. Dan film ini memang bakal terasa menggugah hati dari bagaimana Makoto menuliskan perjuangan karakternya bukan hanya untuk menyetop gempa, tapi juga berdamai dengan rasa kehilangan yang terus merundung semenjak tragedi naas tersebut.
Suzume, sang karakter utama, masih kecil ketika bencana itu melanda. Di adegan pembuka kita melihat sosok kecilnya mencari-cari ibu, di suatu tempat yang dingin. Pengalaman itu pasti traumatis banget bagi Suzume hingga sampai dimimpiin begitu. Suzume sendiri, sekarang 17 tahun, adalah gadis SMA yang cukup ceria. Kita lihat dia pamitan sama tantenya. Kita lihat dia berangkat sekolah naik sepeda. Dan kita lihat dia terbengong-bengong ngeliat pemuda berambut panjang di jalanan. Pemuda itu bernama Sota, dan nanya arah kepada Suzume. Arah ke reruntuhan kota di gunung. Suzume yang penasaran, malah bolos dan tiba duluan di reruntuhan tujuan Sota. Suzume melihat pintu yang dicari oleh Sota. Dan momen Suzume membuka pintu itu jadi momen petualangan fantasi cerita ini dimulai. Satu lagi ciri khas Makoto Shinkai adalah, alih-alih membawa kita dan karakter ke dunia fantasi, dia membawa fantasi itu kepada kita. Membawa fantasi itu ke dunia cerita yang selalu ia bikin grounded dan berdasarkan langsung dari dunia nyata. Film Suzume juga lantas kontan jadi intens karena ini. Dari pintu yang dibuka Suzume muncul cacing merah raksasa. Makhluk yang cuma bisa dilihat oleh Sota dan Suzume itu melayang di atas kota, dan bakal menghempaskan diri – Cacing raksasa itulah yang menyebabkan bencana gempa. Suzume dan Sota harus berkeliling Jepang, menutup pintu-pintu tempat Cacing itu keluar supaya tidak terjadi gempa mengerikan.
Cacing dari dunia-lain jadi penyebab gempa… ya, kreasi film ini memang seliar itu. Dan itu yang membuatnya fun dan terasa ajaib. Salah satu cara ngembangin ide kan dengan ngelantur. Like, kita lempar beberapa kata secara acak, dan baru pilih beberapa yang relevan untuk digabungkan sebagai cerita. Suzume sama sekali gak kekurangan imajinasi untuk jadi out-of-the-box dengan kehidupan sehari-hari. Selain cacing tadi, film ini punya batukunci yang bisa berubah jadi kucing. Pintu-pintu keluar cacing yang actually berbeda-beda; ada yang selembar pintu biasa, ada pintu geser, pintu ke permainan bianglala. Belum lagi ritual dan rule buat menutup pintu yang harus dilakukan Sota. Dan oh, Sota sendiri eventually dikutuk jadi kursi anak TK. Yang satu kakinya hilang pula! Jadi bayangkan gimana dia melakukan itu semua, kalo tanpa bantuan Suzume. Penonton sestudio ketawa-ketawa ngeliat para karakter. Lihat kucing-dewa yang imut tapi nyebelin. Lihat Suzume yang harus keliling Jepang sambil bawa-bawa kursi. Lihat Sota sebagai kursi berusaha mengejar si kucing dengan gerakan kocak. Film acknowledge kekocakan ini. Semua disengaja biar film terasa renyah dan menghibur. Dunia kontemporer Suzume yang juga takjub ngeliat kursi bisa ngejar kucing (Sota dan si kucing actually jadi viral, jadi sensasi di internet mereka) bikin film ini jadi makin akrab buat kita.
Seolah keringanan, kefamiliaran, dan keunikan karakter belum cukup, film menampilkan dirinya lewat animasi hand-drawn yang luar biasa. Makoto suka menggambar tempat-tempat asli sebagai lokasi cerita, dan di sini lokasi-lokasi yang jadi background itu meledak oleh warna-warna. Bahkan tempat yang paling suram sekalipun. Animasi film ini sepertinya dienhanced oleh efek yang membuat visual semakin berkilau. Lihat saja ketika Cacing-cacing itu berubah menjadi hujan saat Suzume dan Sota berhasil menutup pintu. Wuih, ciamik! Semua itu ditampilkan lewat sudut ‘kamera’ yang benar-benar luwes. Shot-shot perspektifnya dimainkan dengan leluasa. Jantungku berdebar-debar setiap kali kedua karakter kita berhadapan dengan Cacing, atau malah setiap kali mereka berlari menuju tempat pintu berada.
Suzume adalah film perjalanan. Petualangannya lebih ke action, agak sedikit berbeda dengan dua film Makoto Shinkai sebelum ini. Ketiga film ini ceritanya memang tak berkesambungan, tapi punya elemen khas yang mirip. Kalo kalian belum nonton, atau kepengen nonton lagi Your Name (2016) dan Weathering with You (2019), sekalian aku tarok aja deh link dan badge keduanya di sini, biar pada tinggal klik! https://apple.co/3ZP9GQa dan https://apple.co/3FcWpZY
Perjalanan Suzume bersama makhluk dan hewan yang bisa bicara juga ngingetin aku sama animasi pendek yang kutonton tempo hari. Tentang anak yang ‘diantar’ pulang oleh hewan-hewan seperti kuda, rubah, dan tikus tanah. Dialog di film itu juga sama seperti Suzume, ngasih something untuk kita pikirkan. Kalian bisa nonton itu dengan subscribe di link https://apple.co/3ZAMup1
Bersama Sota, Suzume menyusur Jepang, ngikuti jejak si kucing yang dicurigai sengaja membuka pintu Cacing di berbagai reruntuhan kota supaya terjadi gempa. Suasana yang terus baru membuat misi mereka yang sebenarnya cukup repetitif jadi tak membosankan. Malahan jadi makin seru karena Suzume dan Sota juga bertemu banyak orang baru di setiap daerah yang mereka lewati. Film dengan efektif menampilkan interaksi Suzume dengan orang-orang ini, yang walau singkat tapi terasa banget mereka jadi sahabat. Namun begitu, aku cukup terhenyak di paruh awal ini, tatkala menyadari reruntuhan yang sebenarnya adalah tempat-tempat bekas korban gempa itu merupakan tempat asli. Aku gak yakin apakah tempat itu aslinya memang pernah kena gempa, atau tidak, tapi tetap saja kebayang gimana orang Jepang nonton ini – realizing gempa could happen there. Mengingatkan bahwa mungkin bisa saja ada survivor seperti Suzume yang nonton, dan mereka harus kembali melihat puing-puing. Di situlah aku sadar bahwa film Makoto kali ini lebih personal bahkan daripada Weathering with You dan Your Name. Bahwa cerita yang diusung kali ini lebih daripada kisah romansa dua anak muda. Tentu elemen itu ada, tapi bukan inti – bukan yang terbaik – dari keseluruhan penceritaan Suzume. Karena film ini adalah tentang survivor gempa. Tentang orang-orang seperti Suzume, penyintas Tohoku yang masih mencari ibunya. Mencari orang tercinta yang jadi korban bencana.
Yang dilakukan Suzume di sini mungkin merupakan hal tersusah yang harus dilakukan penyintas. Menutup pintu. Melihat hal di balik pintu itu, mengenang peristiwa sebelum bencana, hanya untuk menutup dan menguncinya rapat-rapat. But mind you, film ini tidak mengagas itu sebagai perbuatan tersebut dilakukan Suzume untuk melupakan tragedi atau traumanya. Untuk melupakan ibunya. Tidak. Menutup pintu yang disebutkan film ini justru adalah tindakan respek, yang juga menguatkan survivor untuk meneruskan hidup ke depan. Film ini justru ingin Suzume mengingat masa itu, supaya cewek ini sadar. Untuk melihat pengorbanan dan cinta di balik itu semua. Satu elemen kunci lagi pada film ini adalah hubungan antara Suzume dengan tante yang selama ini membesarkan dia. Tante yang sampai sekarang belum menikah. Tante, yang pada satu momen meledak, bilang, dia telah mengorbankan masa mudanya demi Suzume. Suzume sendiri memang belum memandang tantenya sebagai sosok ibu yang ia hormati pada saat itu. She can’t, karena deep inside masih mencari ibu aslinya. Pengorbanan Sota sebagai kursi anak TK. Pengorbanan si kucing untuk kembali jadi kunci. Petualangannya menutup pintu, sembari bertemu orang-orang yang menampungnya, membuatnya ingat dan sadar akan hal penting yang teroverlook selama ini.
Some people gone but not forgotten, tapi tragisnya beberapa orang rela memilih bertahan dan menggantikan yang hilang, tapi terlupakan. Mengenang itu penting, tapi menyadari bahwa yang tinggal juga mengorbankan sesuatu juga tak kalah pentingnya. Film ini ngasih tahu bahwa setiap ada bencana, semua orang jadi korban, dan akan ada cinta yang mereka korbankan. Ingatlah cinta itu.
Di luar pesan simbolisnya tersebut, Suzume sebenarnya lebih ringan dan lebih straightforwad dibandingkan dua film sebelumnya. Film tidak banyak menggali soal ritual dan pintu-pintu itu. Tidak ada penggalian mendalam fantasi atau role dunia seperti pada Your Name. Nature petualangan ala road tripnya pun membuat cerita berjalan cepat dan sistematis. Ceritanya tidak mengalami transformasi seperti pada Your Name; Suzume tetap petualangan mencari pintu, hanya dengan intensitas yang semakin dramatis. Kisah cintanya juga bahkan tidak sedalam itu. Weathering with You malah lebih terasa romantis. Romance di Suzume cuma terasa kayak ‘formalitas’ aja, biar terus ada ciri khas Makoto. Pertemuan si Suzume dan Sota itungannya termasuk kebetulan. Mereka juga tidak terasa bonding se-real itu mengingat sebagian besar waktu Sota berada dalam wujud kursi. Kita aja, aku yakin, lebih draw toward Sota sebagai kursi ketimbang Sota manusia, hanya karena dia lebih banyak sebagai kursi. Asmara mereka berdua ketutupan banyak hal yang sebenarnya lebih esensial. Dari kursi itu saja sebenarnya agak ‘meragukan’, karena kursi itu sebenarnya kursi kenang-kenangan ibu untuk Suzume. Jadi attachment si Suzume kepada Sota agak bias, karena bisa jadi dia cuma ‘sayang’ sama nilai kursi itu. Dan soal itu gak benar-benar dibahas oleh film. Pokoknya Suzume cinta aja sama Sota sehingga mau berjuang ‘menyelamatkan’ Sota di paruh akhir. Si Sotanya juga dibikin tau-tau juga sudah suka Suzume sedari pandangan pertama.
Romansa yang harus ada ini pada akhirnya jadi ngaruh ke yang lain. Yang membuat film jadi kurang maksimal. Relasi antara Suzume dan Tante atau bibinya tadi, salah satunya. Menurutku film harusnya jadiin relasi ini sebagai fokus. Karena bahasan mereka pada yang sekarang ini sedikit banget. Bahwa ternyata Suzume seneng-seneng aja dianggap anak yang kabur dari rumah, kita gak pernah merasakan itu dengan total. Padahal Suzume memang merasa lebih bebas di luar rumah. Begitu juga Tantenya. Alih-alih ngebuild up drama kehidupannya, film hanya memperlihatkan sekelebat dan membuat karakter ini ‘meledak’ gitu aja, dalam adegan awkward yang kayak dipaksakan buat sekalian ngenalin sosok batukunci yang satu lagi. Suzume berdurasi dua jam lebih dikit, memuat banyak, tapi belum terasa imbang. Enggak terasa padat kayak dua film sebelumnya, karena bahasan yang lebih penting kurang maksimal.
Perlu satu hari bagiku untuk ‘mendiamkan’ film ini. Supaya terlepas dari kehebohannya. Karena memang film ini lebih seru, dan gambarnya juga cantik banget. Lovable sekali! Penonton sestudioku ketawa dan hepi sepanjang durasi. Aku gak nyangka film anime bisa sepenuh itu. Karena ya memang film kali ini lebih straightforward. Dan ya itu, karena utamain crowd pleaser, dan romansa yang harus ada alih-alih penting untuk ada – menjadikan film ini formulaic, maka aku harus mutusin satu pilihan penting. Apakah film ini bakal jadi angka delapan pertama tahun ini, atau dia sebenarnya cuma another Avatar 2. Aku sudah akan menutup pintu keputusan, dan jawaban itu muncul. Film ini punya hal yang tidak ada pada Avatar 2 yang complete fantasy. Identitas budaya real di balik ceritanya. Faktor yang membuat anime ini lebih urgen, bahkan dari dua karya Makoto sebelumnya yang lebih superior. Ya, keputusan itu akhirnya bisa dikunci.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZUME
That’s all we have for now.
Kira-kira kalian punya teori gak, kenapa Suzume bisa jadi secinta itu sama Sota?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Jujur, ketika nonton ini secara teknik visual emang ada improve.
Tapi kalau dari segi cerita dan karakter.. gimana ya, mungkin aku berkespektasi terlalu tinggi :’)
Dialog yang bikin terasa aneh seketika dan agak cringe menurutku pas Suzume bilang ‘gak bisa hidup tanpa Souta’. Dengan bonding yang selemah itu kok bisa-bisanya dia rela ignore bibinya, dan mengorbankan dirinya sendiri… Okelah kalau aja di awal digambarkan dia sama bibinya gak gitu akur. Tapi dari awal hubungan mereka baik-baik aja.
Jatohnya kayak… aneh sih. Setuju banget, kalau karakternya tiba-tiba dibuat meledak-ledak khas abg baru gede yang bergejolak gitu.
Terus kalau secara feel, aku gak gitu ngerasa urgensinya. Your Name kejar-kejaran sama meteor, Weathering With You kejar-kejaran sama Polisi. Kalau Suzume… asli ga dapet.
Terlalu subtil dia gak akur sama bibinya digambarkan. Seingatku di awal itu film cuma nanemin ini dari Suzume gak ingat/gak ngerasa urgen buat nelfon bibinya. Itupun masih kelihatan kayak dia memang lupa ngabarin aja.
Mestinya dibuat kejar-kejaran sama gempa sih ya, cuma di sini kayak kejar-kejaran sama waktu – Suzume takut Sota jadi kunci selamanya aja. Karena romance mereka gak kuat, makanya jadi gak kerasa sama kita urgensinya.
Film ini bakal so much better kalo cuma tentang Suzume dan bibinya. Tapi ya mau gimana, ciri khasnya harus ada romance sih
kalo visual kok malah bagiku penurunan ya? iya sih warna dan detailnya khas Makoto, tapi kali ini emang sengaja dibikin lebih lembut ala2 gambar gtu ya? soalnya seingatku buatannya Makoto mestinya semi realistis-3d gtu kan
iya tuh, kurang dapet feelnya dengan si Tante, sama si Sota juga kurang banget.
Sama si Sota, jatuhnya malah Suzume keliling Jepang ya karena mau nolong si Sota aja gtu, entah kasihan atau gimana gatau saya
Aku masih bertanya2, waktu Tante sama Suzume tengkar itu, sebenernya Tante nya kerasukan atau gimana sih? kan sempat tuh dia bilang “aku Sadaijin” terus pingsan, tapi setelahnya ternyata si Tante sadar sudah ngomong jahat ke Suzume. Dan ini juga aneh, seingatku gak ada momen mereka saling minta maaf dan berbaikan, pun gak marah2an juga.
setuju nih, aku juga ngeliatnya antara panik tapi juga mikir2. Mereka kan “cuma” ngelawan cacing yang sejatinya gk berakibat apa2 selain gempa. Gempanya pun disini tidak terasa bahaya atau urgent ya, waktu Act yg pertama, kan sempet tuh cacingnya nimpa desa, tapi efek kehancurannya ternyata gk begitu parah. Lalu semakin kebelakang, terutama yg di Tokyo, kok makin aneh, orang2 pada acuh tuh kalo ada peringatan gempa, gk panik sama sekali, malah mereka lebih heboh liat kucing kejar2an sama kursi kaki tiga. Aku sih gagal paham soal gempa ini
gak punya teori apa2 Mas, udah anggap aja mereka itu “cinta pada pandangan pertama” ahahaha
Aneh sih bagian itu, mungkin si Sadaijin satu lagi itu ‘nyihir’ si Tante supaya ngungkapin uneg-uneg negatifnya. Karena kalo dilihat-lihat Tantenya ini sama ama si kucing-kucing kuncibatu itu. Berkorban demi orang lain – yang kebanyakan gak sadar sama cinta dan pengorbanan mereka.
Soal gempanya, mungkin pilihan film untuk gak liatin sampai ke adegan gempa benerannya. Bisa jadi karena pengen menghormati penyintas, film gak mau mereka relive bencana – walau dalam wujud kartun. Film pengen nampilin kontras bahwa mereka orang biasa yang jadi korban aja dengan cukup memperlihatkan Suzume bisa merasakan mereka sebelum gempa, dan dikontraskan dengan puing-puing kota.
Gaya animasinya kayaknya sedikit diubah biar lebih sesuatu dengan vibe cerita yang lebih adventure. Kalo yang dulu-dulu, kan penekanannya lebih ke filosofis, ke contemplative feeling, makanya kuat banget semirealism artnya kan ya
hmm bisa jadi gitu ya mas, tapi ya agak maksa gak sih, lagian kitanya jadi harus banyak berteori sendiri karena film nya males jelasin apa2 ke kita
mungkin karena gempa lebih sensitif ya sama orang2 jepang sana, dibandingkan meteor atau hujan yg kayaknya masih agak ngayal untuk bisa terjadi beneran. Iya juga sih, dari 2 film sebelumnya juga gak begitu diperlihatkan banget sehancur apa desa atau kota yang mengalami musibah bencana alam itu (gk diperlihatkan momen bencana itu yg pastinya chaos), ya palingan cuma ngelihatin after kejadiannya aja yang sudah jadi puing2 dan para korban yang sudah pindah tempat untuk melanjutkan hidup baru
oh gtu ya, yaa masih bisa termaafkan lah harusnya, asalkan cerita dan karakternya, serta lagu2nya bisa sebagus 2 film sebelumnya..
Iya, soalnya pas setelah nonton Like & Share dan She Said, aku baru melek bahwa kayaknya memang ada 2 cara film mau ngangkat tragedi. Ada yang menampilkan terang-terangan, ada yang memilih untuk tidak membawa kita kembali ke peristiwa itu – ‘cukup’ menggambarkan feelingnya lewat cara lain
Ikut berkomentar di sini karena kurang lebih aku setuju sama mbaknya…
Aku termasuk yang berekspektasi tinggi sama Suzume ya karena kuanggap Kimi no Na wa (your name) sama Tenki no Ko (Weathering With You) itu satisfying alias memuaskan. Makoto Shinkai sering banget punya cerita yang mengedepankan relasi antar-karakter sama emosi dari karakternya masing-masing dituangkan ke dalam narasi cerita yang berkait sama pesan-pesan besar tentang budaya dan hubungan antar para manusia itu sendiri. Semuanya digambarkan ke dalam visual yang cantik, menawan, dan bahkan subtil tentang plot points-nya sendiri. Btw, makhluk mirip cacing itu emang ada legendanya cuma seingatku harusnya itu semacam lele (catfish) yang konon dipercaya sebagai makhluk halus gaib pembawa gempa di Jepang, namanya Namazu. (Mengapa jadi cacing aku juga tak paham)
Suzume itu rasanya kayak kejar setoran dan ceritanya sendiri juga kejar-kejaran. Adegan pembuka sampai ke title card itu cukup menegangkan dan bikin penasaran, tapi belom juga digali lebih dalam, bang Shinkai merasa adegan perkenalan udah cukup, terus kita langsung digas cerita jalan sana-sini yang rasanya enggak kasi ruang buat penonton untuk bisa kenal lebih dalam sama karakternya. Tiba-tiba kita lihat Suzume mendadak bolos cuma karena liat ‘ikemen’ (cowok ganteng?) dan sosoknya bikin ingat seseorang di mimpinya atau semacamnya. Banyak keputusan karakternya yang terjadi bukan karena karakternya emang sesuai sama sifatnya ato ada urgensi dari tindakannya, cuma semuanya lebih ke filmnya emang sudah harus jalan. Bonding dangkal, karakter laki juga mendadak suka, mendadak jadi kursi eh yang ternyata kebetulan kursinya ada pengalaman khusus dengan masa lalu Suzume. Semuanya kebetulan yang terjadi karena ceritanya udah harus jalan. Enggak ada momen emosional ato bahkan bikin ketawa aja agak maksain buatku… Aneh banget rasanya Shinkai bikin film kayak begini. Beda banget sama Mitsuha atau Hina di 2 film sebelumnya, relasi mereka beneran digali dan ketika mereka sampai ke titik suka satu sama lain itu alasannya jelas. Masih ada momen bikin terharu atau sedih betulan karena bonding mereka enggak terkesan artificial atau superficial. Bahkan lagunya terkesan pas ketika masuk ke pivotal scene tertentu karena ada scoring menggugah dan timing lagu (sama pesan lagunya juga pas), lha iki Suzume apa dah, sampai film selesai aku cuma nungguin mana itu lagu Suzume yang keren dipake buat promosi di trailer, taunya cuma mejeng di credit akhir, yaelah bang…
Aku ingat betul sampe niat mencari semua elemen subtil di film-film Makoto Shinkai sebelum karena excited banget setelah nonton. Cari kenapa simbol ini, warna ini, nama ini, cuma pas Suzume rasanya udah males banget aja dah. Aku sampe mikir apa mungkin karena nama karakter Suzume ini dari kata “susume” (kata dasar susumu) yang artinya maju, move forward sehingga ceritanya juga digas terus aja maju terus kagak ngerem buat kasi napas. Rasanya Makoto Shinkai rada terinspirasi film Belle punya Mamoru Hosoda karena penamaan agak mirip (Suzume Iwato, di Belle: Suzu Naito) dan ada scoring yang mirip banget rasanya. Cuma itu sekadar cocoklogi aja… Intinya aku udah males komentar film ini sekalipun masih banyak hal yang bisa dikomplain hahahaha
makanya film ini agak kurang hype ya di kita
Hahaha bicara cocokologi, aku sendiri pas sepanjang nonton ini selalu terngiang-ngiang lagu closing Digimon 3(judulnya My Tomorrow, kalo ndak salah) karena kirain liriknya suzume, tapi ternyata “susume, susume”. Arti katanya juga beda ternyata ya xD
Kayaknya di sini Makoto Shinkai memang sedikit mengubah gayanya. Jadi lebih, apa ya.. dulu kalo gak salah pernah baca dia ngerasa gimana gitu pas Your Name sukses. Semacam, dia gak enak film itu terlalu dipuji. Maybe that word really got to him, atau maybe perasaan dia bener; dia udah set standar terlalu tinggi. Tapi ya bablas juga, alih-alih bikin yang sederhana, dia malah sama sekali kurang membangun relasi karakter-karakternya. Jadi malah bikin mereka konek nyaris instan.
Mungkin cacing-cacing itu sebenarnya baru kumis-kumis lelenya kali ahahaha
Review yang keren seperti biasa. Jadi pingin nonton huhu. Itu kenapa si Sota dikutuk jadi kursi anak TK coba? Siapa yang ngutuk?
Btw ada lomba resensi film Suzume no Tojimaru, loh. Tapi maksimal cuma 600 kata. Mau coba ikut?
https://www.instagram.com/p/CqonJAYB73K/
Si kucing daijin itu yang ngutuk. Kenapa musti kursi banget kayaknya itu memang kreasi random pembuatnya aja, soalnya unik juga – udah kursi, tiga kaki pula hahaha.. Tapi si kucing ngutuk itu kayaknya karena dia mau ngasih responsibility pengunci ke orang lain. Si kucing ini awalnya kayak seneng bebas, Jadi waktu dia lihat Suzume (cewek yang bebasin dia dan cewek ini bisa lihat dunia mereka) dan Sota si penutup pintu, dia kayak seneng nemuin orang yang bisa gantiin. Dijadikannya Sota jadi pengganti. Tapi pas si kucing sadar Suzume sayang Sota, akhirnya dia mau ngorbanin kebebasannya lagi dengan jadi pengunci – makanya di ulasan aku bilang daijin-daijin itu sama ama bibinya Suzume. Ngorbanin hidup mereka sendiri demi orang yang disayangi, karena itulah tugas mereka di dunia haha
Wah, tengkyu infonya, lumayan kayaknya masih bisa ikutan xD
Selese nonton Suzume dan langsung cus ke sini 😀
Review yg bagus, jd makin paham sama maksud filmnya
Bonding romance Suzume Souta emang ga diperlihatkan sekuat Mitsuha di Your Name. Tapi ku mau bikin teori ngasal, bonding Suzume-Souta ini tercipta karena ada hubungannya dengan kekuatan paranormal Souta, dan Suzume yang pernah pergi ke alam baka. Dan mereka sama2 bisa liat hal-hal ghaib yg orang biasa gak bisa, jadi merasa punya kesamaan dan panggilan hati kali ya buat nyelesein misi. Kakek Souta jg bisa nebak kalau Suzume pernah pergi ke alam baka itu, sehingga bisa jadi ada bonding yang ghaib dan gak kelihatan aja haha.
Di film ini sepertinya Shinkai gak mau main rapi tanpa plot hole kaya Your Name, tapi lebih ke pure imajinasi termasuk romance nya Suzume haha. Urgensi kenapa kita mesti mengikuti perjalanan Suzume Souta ini juga kurang terasa. Selain itu, beberapa hal cukup membingungkan kaya Suzume yang tiba2 bilang gak suka dikhawatirin sama tantenya. Kirain gak suka ya karena lagi sibuk nutup pintu sama Souta.
Mungkin Shinkai punya maksud tertentu atau sengaja pakai simbol yg korelasinya susah dipahami awam karena bosan kalau filmnya mudah dipahami orang heheh.
Meski begitu, pesan utamanya strong banget buatku pribadi, tentang terjebak di masa lalu yang bikin tokoh utama mengabaikan cinta dan perhatian di masa sekarang, dan terlalu khawatir dengan masa depan.
Kesimpulannya, bagiku Your Name masih yang terbaik dari segi plot twist, karakter, lagu OST dan semuanya haha
Wah bisa jadi begitu sih, otherworld atau spritiual bonding, di Jepang mungkin ada kepercayaan kayak gitu soalnya rasa-rasanya ada beberapa cerita dari sono yang ngangkat kayak gini. Kemaren aku main game Fatal Frame 5 aja ada tentang anak yang lahir bukan secara biologis tapi dari bonding spiritual ibunya dengan hantu pamannya (weird, huh xD).. Apalagi si Suzume ini kan ternyata hidupnya kayak semacam ngelingker loop gitu kan, dia waktu kecil pernah melihat dia saat udah gede, dan pas dia udah gede itu dia udah kenal Souta. Jadi perasaan dekat dan attachment itu hadir walau kita gak jelas awalnya di mana haha
Di akhir film, ada scene buku buku yabg tergeletak di kamar, ada yabg tahu tidak, itu buku apa? Yang covernya ada gambar love nya
Waduh sudah samar hahaha… mungkin buku diari Suzume yang ia bikin tentang ibunya?