BARBIE Review

 

“Life is your creation”

 

 

Sutradara Greta Gerwig menyebutkan setidaknya ada tiga puluh tiga film yang ia jadikan referensi saat menggarap film tentang boneka kesayangan nomor satu anak-anak perempuan sedunia ini.  Beberapa referensi yang disebutkan Gerwig memang ‘kelihatan’ sepanjang durasi Barbie, dalam pengadeganan, dalam dialog yang dengan sarkas menyentil referensinya, atau yang benar-benar gamblang seperti adegan pembuka yang mlesetin pembuka 2001: A Space Odyssey. Bukan lagi monyet yang menemukan monolith, melainkan anak-anak perempuan yang sudah letih main ibu-ibuan pakek boneka bayi, menemukan boneka wanita dewasa, pirang, langsing, cantik, dan bisa mereka dandani dengan berbagai kostum mulai dari pekerjaan hingga fashion pesta! Yup, Barbie memang digarap fun dan absurd. Bersanding tayang dengan Oppenheimer-nya Nolan, juga lantas menanamkan kesan dua film ini bagai air dan api, dengan Barbie dianggap ringan ketimbang Oppenheimer. But make no mistakes, kedua film ini sama-sama berbobot. Meskipun gak disebutkan sebagai film-film referensinya, toh aku merasa film ini seperti gabungan dari konsep meta The Lego Movie dengan eksplorasi kesadaran mainan pada Toy Story. Alhasil Barbie sesungguhnya adalah bahasan filosofis tentang eksistensi dengan faktor-faktor seperti gender yang bergerak di baliknya.  Yang jelas, film ini bukan live-action dari Barbie animasi fantasi yang dulu sering tayang saat musim libur di televisi!

I’m just like you, you’re just like me

 

Barbie Margot Robbie tinggal di Barbieland. Menjalani hidup yang perfect bersama Barbie-Barbie yang lain. Ada Barbie yang jadi pilot, Barbie yang benerin jalan, Barbie yang menang nobel, hingga presiden di sana tu pun, Barbie. Mengisi hari, Barbie Stereotypical kayak karakter Margot Robbie, have fun di pantai. Hang out bareng Barbie dan para Ken, termasuk Ken-nya Ryan Gosling, yang pengen nempel terus sama Barbie Margot Robbie.  Semua Barbie dan Ken (dan juga boneka lain produksi Mattel yang sudah tidak diproduksi lagi) ini tau mereka boneka. Mereka bangga, karena Barbie – mereka – diciptakan sebagai icon perempuan yang kuat bagi anak-anak. Film pun dengan kocak segera menjelaskan bagaimana hubungan absurd antara para boneka dengan pemilik mereka di dunia nyata terbentuk. Para Barbie bergerak persis kalo anak-anak main boneka, mereka bisa tinggal melayang. Mobil mereka bahkan enggak perlu mesin, karena digerakkan oleh tenaga imajinasi anak-anak. Pokoknya kehidupan rutin di Barbieland tak pernah menjemukan. Aman dan nyaman. Bersenang-senang dan sempurna sepanjang hari. Sampai suatu ketika Barbie Margot Robbie tiba-tiba mulai memikirkan kematian. Hidupnya lantas jadi tak sempurna. Dia terjatuh ketika berjalan, karena mendadak kaki jenjang indahnya itu tidak lagi berjinjit. Worse, dia menemukan selulit di pahanya! Atas usul Weird Barbie (Barbie yang sudah ‘tak berbentuk’ karena dimainkan dengan berlebihan oleh anak-anak), Barbie Margot Robbie pergi ke dunia nyata. Guna menemukan anak manusia yang memainkan dirinya. To make things right with her.  Petualangan Barbie bersama Ken pun dimulai.

Dulu kalo ada anak cewek yang cakep, ibu-ibu – termasuk mamak ku – pasti memujinya “aihh, adek cantik sekali, kayak boneka berbi”. Boneka Barbie yang telah ada sejak 1960an itu memang telah turut jadi lambang kecantikan. Anak-anak sejak kecil taunya cantik ya seperti itu. Tinggi, langsing, rambut panjang. Belakangan, Barbie memang mulai hadir dengan lebih diverse. Tapi imaji kecantikan yang telah jadi standar itu tetap tidak berubah. Dan ukuran kecantikan seperti demikian bukan exactly sebuah hal yang bagus. Greta Gerwig memasukkan permasalahan tersebut sebagai bibit konflik internal yang dirasakan oleh karakternya. Para Barbie, terutama si Barbie Stereotypical yang jadi karakter utama cerita, merasa kehadiran mereka membantu dunia menjadi lebih baik. Barbie merasa sebagai role model yang membuat hidup anak perempuan jadi lebih berdaya. Seperti boneka-boneka perempuan di Barbieland. Dialog pada bagian awal film ini memang tidak bisa diisi oleh bantering, karena para Barbie percaya hidup mereka flawless dan paling benar, tapi justru diisi oleh dialog-dialog yang terdengar sarkas bagi kita. Karena kita tahu di dunia nyata, Barbie tidak seheroik itu. Melainkan cukup problematik. Bayangkan betapa terkejutnya Barbie tatkala sampai di dunia nyata. Bukan saja tidak ada anak perempuan yang memeluk dan berterima kasih kepadanya, Barbie malah dihujat oleh seorang anakremaja. Barbie malah merasa tidak aman berada di kota dengan sedikit sekali presence perempuan, lebih banyak laki-laki yang aktif di jalanan, dan semuanya memandang dirinya dengan tatapan yang bikin gak nyaman. Menyadari eksistensinya justru membawa bad impact bagi anak-anak perempuan (dengan ngeset standar mustahil dan mengotak-ngotakkan mereka harus bisa jadi ini dan itu),Barbie menangis untuk pertama kalinya. Ngecast Margot Robbie adalah langkah yang tepat, karena pertama; fisiknya membuat kita percaya bahwa Barbie memang diciptakan sebagai ide kesempurnaan perempuan. Kedua, kemampuan aktingnya mampu membawakan konflik personal yang menyeruak secara perlahan tapi pasti di balik kesempurnaan yang ia percaya itu.

Ada banyak cara untuk melanjutkan cerita Barbie ini. Cerita bisa dibawa ke arah mengalahkan patriarki dan korporat jahat, misalnya. Terlebih karena memang ada karakter bos dan petinggi-petinggi perusahaan Mattel yang ingin mengembalikan si Barbie ini ke dalam kotak, mengirimnya kembali ke Barbieland. Gerwig bisa saja menjadikan mereka sebagai sosok antagonis, karena telah membuat women empowerment sebagai bahan jualan boneka semata. Jadi Barbie dan pemiliknya bisa dibikin bekerja sama mengalahkan Mattel demi membuat dunia nyata dan Barbieland lebih baik lagi. Atau kalo mau lebih sureal, bisa saja dibuat pemilik Barbie ini adalah karakter lain yang diperankan Margot Robbie, alias Barbieland adalah produk imajinasi dari kepala seorang perempuan di dunia nyata yang kabur dari toxicnya dunia nyata. Tapi Greta Gerwig sama seperti Barbie, gak mau masuk ke dalam kotak. Menjadikan cerita seperti dua contoh yang kusebut itu, adalah cara gampang yang bakal membuatnya masuk ke kotak mainstream storytelling. Gerwig mengambil arahan yang totally berbeda. Yang totally unik dan hanya dia yang bisa. Dia membuat tidak ada yang jahat dan baik. Not even patriarki jahat, matriarki benar.  Korporat cari cuan dari mainan anak, ada, tapi oleh Gerwig mereka itu bukan penyebab masalah, melainkan juga dampak . Yang dipilih oleh Gerwig sebagai bahasan adalah soal pilihan itu sendiri. Tentang eksistensi dan menyadari bahwa kita punya pilihan. Bahasa Gerwig di sini adalah bahasa filosofis (menjawab pertanyaan dengan pertanyaan), dan satirnya, bahkan sedikit menyenggol kisah di dalam agama.

“I am a liberated man.” Liberated man = free man = preman!

 

Eksistensi Barbie dan Ken seperti reverse dari Adam dan Hawa. Gerwig seperti ingin memperlihatkan teorinya bahwa dunia kita jadi patriarki hanya karena Adam diciptakan duluan, dan Hawa dijadikan sebagai pendampingnya. Kalo Hawa yang diciptakan duluan, hasilnya ya kayak di Barbieland. Barbie dibikin terlebih dahulu, dan baru Ken dibuat sebagai playmate bagi Barbie. Matriarki ternyata tak lebih baik. Karena sistem itulah yang membuat Ken Ryan Gosling juga jadi punya krisis eksistensi. Dia merasa dirinya hanya ada sebagai pendamping Barbie. ‘Barbie and Ken’ – kita melihat di adegan yang telah jadi meme, bahwa saat ditangkap polisi, Ken mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai ‘and Ken’. Bukan ‘Ken’. Saat dunia kita sedang memperjuangkan kesetaraan perempuan, para Ken tengah mengambil alih Barbieland dengan brute force. Ya, yang tampak girang saat mereka di dunia nyata, memang Ken. Tak ditemukannya di sana laki-laki menjadi cheerleader buat perempuan. Laki-laki di dunia nyata memegang kendali, punya posisi. Naik kuda! Jantan sekali. Pandangan tersebut lantas dibawanya kepada Ken lain di Barbieland (termasuk pada Ken Simu Liu yang jadi saingannya), dan tempat itu seketika berubah menjadi setoxic dunia kita. Ryan Gosling juga perfect di perannya ini, karena dia bisa membawakan peran yang goofy dengan aura yang agak nyebelin dengan pesona konstan. Ken punya adegan nyanyi tersendiri, dan Gosling nails it oh so correctly.

Film ini menunjukkan mau itu matriarki atau patriarki, keduanya leads to the same toxic thing. Penulisan film ini berusaha membalance-kan kedua perspektif. Di titik inilah, dialog-dialog mulai kembali kepada traditional bantering. Saling attack dan defense antara Barbie dan Ken, perempuan dan laki-laki (notice cuma ada dua, bahkan di dunia boneka yang penduduknya gak punya alat kelamin sebagai penanda biologis) Diungkapkan betapa susahnya jadi cewek, yang dituntut harus sempurna. Diungkap susahnya jadi cowok yang dituntut tak boleh tampak vulnerable. Ditowel soal cowok yang punya kebiasaan suka meng-mansplaining everything. Dicolek soal cewek yang gampangnya nge-fake-in apapun.

Walau memang keseluruhan Barbieland jadi potret yang bagus, jadi cermin cartoonish yang absurd, bagi permasalahan real kita, film Barbie ujungnya berkutat parah pada penyelesaian. Si Barbie sendiri literally kebingungan mengenai ending dia apa. Well, tahun lalu Triangle of Sadness, salah satu Top-8 2022 Movies ku juga membahas soal patriarki dan matriarki yang dibalik, seperti pada Barbie ini. Film itu mengakhiri ceritanya dengan terbuka; apakah cewek juga akan saling bunuh demi kekuasaan, atau apakah cewek rela menjajah pria, semuanya diserahkan kepada pandangan dan subjektivitas penonton masing-masing. Apa yang kita percaya itulah yang akan terjadi. Greta Gerwig, sebaliknya, terus mendorong perspektif Barbie sebagai pihak yang telah melihat yang terburuk dari keduanya. Barbie telah melihat dunia nyata, dan melihat kebenaran di balik dunia plastiknya. Barbie telah melek, telah woke, dan pilihan itu ada di tangannya. Journey karakter Barbie adalah untuk menyadari bahwa dia punya pilihan. That she have to act on her choice. Bahwa dia, bukan sekadar gagasan. Dia adalah apa yang ia pilih. Penyelesaian yang filosofis dengan dialog antara Barbie dengan penciptanya, mungkin akan tampak kurang memuaskan bagi penonton setelah sekian banyak hal-hal ajaib dan elemen-elemen cerita yang dihadirkan oleh film.

Boneka Barbie dimasukkan ke dalam kotak, dijual dengan kostum, ada yang sebagai dokter, ada yang sebagai petualang, ada yang sebagai princess, dan sebagainya. Siapa mereka seolah ditentukan sejak mereka dibuat. Inilah yang didobrak oleh film Barbie. Poinnya adalah percaya bahwa kita punya pilihan. Bahwa orang bukan terdefinisikan dari ‘kotak’ mereka – dan ‘kotak’ ini bisa berarti apapun yang diberikan kepada mereka, entah itu titel, atribut, ataupun gender sekalian. Melainkan oleh pilihan mereka sendiri. Kita harus memilih sendiri. Itulah kenapa disebut hidup adalah kreasi kita sendiri.

 

 




Inilah yang terjadi jika sutradara indie dikasih tugas menjual IP. KIta gak hanya dapat film yang tentang produk tersebut, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. No doubt boneka Barbie yang terkenal bakal semakin terkenal, tapi lebih daripada itu, kata Barbie akan mendapat asosiasi baru. Yakni sebuah film yang sangat absurd dan unik, yang mengeksplorasi eksistensi dan bahasan yang menantang tentang dinamika gender. Film penuh pesona dengan desain produksi dan artistik ngejreng ini pada awalnya bakal bikin kita tertawa-tawa, tapi makin ke sini, kita bisa melihat bahwa hiburan di sini bukan receh semata. Ada banyak komentar berbobot yang ada di balik karakter dan dunia yang absurd tersebut. Kalo ada warna yang menggambarkan film ini, maka memang paling cocok warna kostumnya Bret Hart. Hitam dan Pink. Karena film ini memang thoughtful dan fun secara bersamaan.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BARBIE

 

 




That’s all we have for now.

Barbie dan Ken tadinya baik-baik saja dalam pandangan ideal tapi naif mereka, tapi masalah mereka muncul saat Barbie dan Ken mulai melek pada pandangan baru yang mereka dapatkan di dunia nyata. Apakah menurut kalian ini juga yang terjadi di dunia kita yang semakin woke kayaknya semakin banyak masalah, ketimbang masa lalu yang kayaknya aman-aman saja ketika belum banyak pihak yang ‘baperan’?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari Barbieland ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. POW says:

    Rada bingung sih filmnya kena review-bombing, mana dah dibikin konten di youtube sama the critical drinker & konconya, penggemar mereka militan tuh, khawatir bakal ngaruh ke box office barbie ni aja .-.

    • Arya says:

      Barusan aku nonton video mereka, yang ngobrol bareng itu kan ya? Menurutku penilaian mereka sedikit terbawa ‘suasana’ aja sih. Karena sebenarnya film ini berimbang loh, gagasan soal pria jantan itu seperti apa, diperlihatkan berujung toxic, dan gagasan soal cewek mandiri dan sempurna (Barbie kan eksistensinya adalah sebagai gagasan figur perempuan seperti ini) juga ternyata gagal dan bikin perempuan jadi semakin terobjektifikasi.

      • POW says:

        Eh terkirim ternyata, tadi katanya gagal kwkw. Ben Shapiro pun ikutan kepanasan. Asli skrg ni dah mulai makin ke sini makin ke sana, dikasih pesan yg berimbang pun dikritik juga -.-

        • Arya says:

          Padahal cowok mestinya kuat logika, kenapa malah pada gampang kepanasan juga hahaha… Kalo nontonnya cuma setengah, alias belum kelar, ya wajar bisa memandang seperti itu, maka itulah perlu ditonton sampai habis biar journey filmnya beres dulu

          • POW says:

            POTENSI SPOILER

            Btw Greta nyinggung soal Justice League Zack Snyder tu gimana ya? Aku rada bingung selama nonton karna nemuin bbrp kata asing, terutama di pertengahan kwkwkw.

            Trus kalau diliat dari sudut pandang cowo, salah satu pesannya tu jangan mengagungkan toxic masculinity kan ya? Jangan merasa harus selalu kuat di segala sisi, ntar malah jadi cowo yg egois.

            Trus juga katanya mau dibikin sekuel kah? Secara di ending pas dia ke ginekologi, jadi pengen liat dia journey sebagai human woman.

            Salah satu film berkesan di 2023, ditunggu nominasi Oscar kategori Tata Artistik Terbaik, Desain Kostum Terbaik, Lagu Orisinil Terbaik (I’m Just Ken), dll.

          • Arya says:

            Hahaha itu pas si Barbie Penulis sadar dari pengaruh Ken, dan dia bilang “aku seperti terbangun dari mimpi peduli sama Justice League Zack Snyder”. Menurutku gak nyindir yang gimana-gimana sih, cuma film itu dijadiin contoh film yang paling sering diasosiasikan dengan cowok aja.

            Wah beneran mau dibikin sekuel? tumben, tapi mungkin bukan Greta lagi sutradaranya.

            Oscar butuh nih film, biar rating acara mereka bisa genuinely naik ketimbang masukin film yang kagak-kagak

  2. Farrah says:

    wahhh, seru banget baca reviewnya. jujur aku fikir pas adegan Barbie & Ken pergi ke real world, akan jadi cerita fish out of water biasa, eh ternyata memang jauh lebih berbobot dari yang ku kira. dan semua detail2 di film Barbie ter-eksplanasi jelas di review ini, aku pun baru sadar ternyata memang ga ada yang antagonis ya disini, semuanya dibuat netral. btw, Oppenheimer kapan masss? (tetep hahahaha)

    • Arya says:

      Hahaha iya, banyak banget sepanjang film aku “O kirain bakal lawan mattel”, “O kirain bakal membantu pemiliknya”, malah aku sempat mikir jangan-jangan si Barbie bingung sama eksistensinya, trus dia malah milih jadi Ken! Saking out of the box si Greta Gerwig mengarahkan cerita. Tapi jadi sesuai konteks ceritanya sih, untuk gak terpaku pada menjadi satu gagasan. Film ini juga gak mau jadi sesuai gagasan film mainstream harus seperti ‘begitu’. Film ini netral banget, karena si korporat juga gak jadi penjahat yang harus dikalahkan, melainkan cuma jadi gambaran bahwa sebuah ide (feminis) ujungnya cuma bakal jadi bahan jualan.

      Oppenheimer aku baru nonton senin, kayaknya reviewnya selasa hahaha

    • Arya says:

      Di mini review berikutnya yaa

      Sebagai gambaran dikit, aku sedikit lebih suka film yang ini daripada Bird Box pertama hahaha, lebih menarik aja narik sudutnya

  3. Edhim says:

    Reviewnya bagus mas. Barbie beneran mem-portray feminism dan patriarchy in the best manner possible. Alih2 bikin plot yang mendiskreditkan kaum laki2, malah keresehan aku sebagai cowok pun merasa terwakili dengan Barbie ini. Greta Gerwig pinter banget, hands down.

    • Arya says:

      Haha tengkyu..
      Sebagai cowok, aku malah ketawa paling keras pas adegan Ken explaining Godfather ke Barbie. Karena memang it’s true, cowok memang suka ‘flexing’ kaya gitu, yang bikin kocaknya kan juga dari film itu aku bisa lihat kalo pihak ceweknya ternyata cuma faking interest. Kesentil deh, tapi toh ya kocak hubungan cewek-cowok!
      Jadi gak ada yang didiskreditkan sih. Imbang aja. Keren Greta, menurutku dia gak terjeblos ke perangkap agenda di film ini

  4. Fufu says:

    Menurutku review Mas Arya terhadap film Barbie ini adalah review yang harus aku baca pelan-pelan, hehehe. Awal tahu film ini di film kan, aku agak bingung, mau dibawa kemana ini film, tapi sayang sebelum nonton kena spoiler dikit dari insta story teman-teman, sad! Padahal pengen surprise gak mau baca review siapapun eh kena spoiler Satu hal yang aku tangkap dari film ini, soal entity, kita manusia sering terjebak dengan entitle yang dilabel kan orang-orang, sehingga jadi sebuah keyakinan bahwa kita seperti itu, lihat bagaimana awalnya barbie denial dengan apa yang dia pikirkan karena orang tahu dia adalah boneka tanpa cela. Banyak yang bilang ini film tentang emansipasi, nggak juga ternyata, tapi lebih tepatnya ke independency sih, pemilihan Margot dan Ryan sangat tepat, skrip yang kuat dan penyutradaan yang apik membuat semua film ini berasa sempurna, bahkan warna pink yang harusnya bikin sakit mata setelah berlama-lama melihatnya, malah nggak kerasa. Keren lah film ini, love it.

Leave a Reply