“It is the confession, not the priest, that gives us absolution.”
Bekal-diri, atau pengalaman, alias juga referensi saat kita menonton film ternyata memang ngaruh ke tangkapan kita terhadap film tersebut. Makanya film yang kita sukai pada masa kecil mungkin akan terasa berbeda jika ditonton saat sudah dewasa. Aku ngerasain ini saat nonton No One Will Save You, horor karya Brian Duffield. I feel like aku gak bakalan ngerti film ini kalo aku menontonnya sebelum nonton Sleep Call (2023). Loh kok Sleep Call? Diskursus soal literally ‘gak bakal ada yang nolongin kamu’ dibuka di film itu. Lewat pembahasan film itu soal jakarta/hidup itu keras, aku bisa lebih mudah menangkap bahasan yang juga diangkat di sini – hanya lebih tegas sebagai perspektif personal. Lebih mudah karena memang film No One Will Save You dibuat oleh Brian Duffield dengan desain yang cukup aneh. Asing. ‘Alien’, kalo boleh dibilang. Horor alien, tapi juga teror home-invasion. Penuh aksi menegangkan, tapi juga sunyi dengan nyaris tak ada dialog. Kejadiannya memang merupakan penyimbolan, tapi sekaligus juga literal.
No One Will Save You merupakan tipe film yang keren karena penceritaannya. Penonton yang hanya melihat outer journey alias urutan kejadian bakal missed hal yang membuat film ini spesial. Karena memang peristiwa filmnya simpel saja. Seorang gadis muda bernama Brynn, tinggal sendirian di rumahnya yang terletak di pinggir hutan cukup jauh dari pusat kota kecil. Suatu malam rumahnya kedatangan tamu jauh dari angkasa luar. Survive dari kejar-kejaran malam itu, paginya Brynn mencoba lapor polisi. Tapi dia punya masalah dengan salah satu polisi, serta ternyata beberapa penduduk sudah dikendalikan oleh alien. Sehinga minta tolong sudah bukan lagi opsi. Malamnya, Brynn bersiap di rumah, mencoba mengcounter serangan alien berikutnya.
Storytelling arahan sutradaranya lah yang membuat film jadi begitu rich dan efektif. Konsep unik yang ia jadikan penentu adalah tidak ada dialog, kecuali satu baris kalimat yang esensial sebagai penanda resolusi pada development karakter utama. Film ini bakal banyak momen-momen personal Brynn di ruang-ruangnya sendiri, hingga ke kucing-kucingan melawan alien, tapi semua itu diceritakan tanpa banyak berkata-kata. Semua informasi disampaikan lewat penceritaan visual. Kita kenalan dengan karakter si Brynn lewat menyimak tingkah lakunya. Bahkan namanya saja kita tahu dari tulisan. Film seolah selalu berhasil menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu tanpa menyebut hal tersebut. Sehingga nonton film ini jadi change of pace yang menyegarkan, di tengah sumpeknya film-film jaman sekarang yang meledak-ledak, lagi cerewet ngasih eksposisi di sana sini. No One Will Save You menampilkan karakter – backstorynya, konflik personalnya, hingga nanti tantangan fisik dan emosional journeynya – lewat pengadeganan yang terukur. Semua aspek teknis seperti kamera, suara, punya treatment khusus untuk mendukung penceritaan visual ini.
Walau nyaris tanpa dialog, toh film ini bukan bisu. Kita tetap mendengar suara-suara. Dengung sinar UFO, suara tapak kaki alien yang jari-jari kakinya udah kayak kaki-kaki kecil sendiri. Dan desain suara-suara itu tuh keren banget! Film ini benar-benar memanfaatkan suara untuk menghasilkan efek horor yang maksimal. Setiap pekik tertahan, suara derit, semuanya itu ngebuild up kepada tensi yang jadi urat hidup film ini. Pun diselaraskan dengan kerja kamera. Momen di babak awal saat pertama kalinya Brynn menyadari ada alien di lantai bawah rumahnya, benar-benar momen yang menegangkan. Cara film ‘memperkenalkan’ alien itu juga precise dan terukur sekali. Kadang Brynn hanya melihat sosok blur alien dari balik kaca, kadang dia hanya melihat kaki mereka. Sudut pandang yang kuat, pembangunan adegan yang tepat, sukses bikin kita ikut menahan napas. Seiring berjalan durasi, sosok alien semakin ditampilkan dengan jelas oleh film. Desain mereka juga luar biasa. Meskipun tampilan dasar mereka cukup klise ‘alien abu-abu bermata besar, berbadan kecil’ tapi film menyimpan banyak kejutan. Cara mereka bergerak saja selalu berhasil bikin kita bergidik. Yang menurutku paling seram adalah alien besar seperti laba-laba, sekuen kejar-kejaran Brynn dengan makhluk ini juga seru dan ngeri sangat.
Sementara aliennya memang pencapaian teknis, keseluruhan film sebenarnya bertumpu pada delivery Kaitlyn Dever sebagai perspektif utama. This is practically film dengan satu karakter. Cerita menempel erat pada sudut pandang Brynn, dan Kaitlyn Dever mengerti tugasnya dan kupikir ini adalah yang terbaik dari penampilan aktingnya so far. Raut wajahnya bicara, matanya bicara, dan dia gak ragu untuk meraih ke dalam sisi emosional karakternya. Dan semua itu dia lakukan sambil dikejar-kejar oleh alien! Sisi emosional dan inner karakter, inilah yang bikin film ini dalem. Dan spesial. Karena bagaimana pun juga horor bukan semata soal survive dari makhluk mengerikan, bukan sebatas soal mengalahkan mereka. Melainkan juga mengenai apa ‘arti’ survive tersebut bagi si karakter utama. Mengalahkan momok itu berarti dia mengalahkan apa di dalam hidupnya. Refleksi terhadap karakter inilah yang jarang dipunya oleh horor kita, tapi di film ini ada. Malah itu yang benar dijadikan urusan utama, merayap di balik persoalan invasi alien. Semua treatment storytelling yang digunakan film ini – seperti yang sudah kusebutkan tadi – membangun kepada tema yang berasal dari galian inner journey karakter Brynn.
Ketika pertama kali kita melihat Brynn, gadis ini tampak damai di ‘dunia’ kecilnya. Di rumahnya. Dia menari, bermain dengan diorama kota yang dikumpulkannya sendiri, dengan riang menulis surat untuk sahabatnya yang bernama Maude. Vibe bimbang baru nampak ketika dia hendak ke kota. Brynn berlatih senyum di depan cermin. Tampak menguatkan diri sebelum berinteraksi dengan orang lain. Saat dia beneran berinteraksi, kita merasakan ada hubungan yang dingin antara warga dengan Brynn. Seorang polisi dan istrinya malah tampak dihindari oleh Brynn. Menghindar seperti saat dia dengan sengaja ‘tidak menjawab’ telfon. Aku mengenali gelagat itu. Waktu kecil, aku pernah gak sengaja bikin tangan temanku patah saat kami bermain Benteng Takeshi-Takeshian, dan setelah itu aku gak berani main ke rumahnya, gak berani ketemu sama orangtuanya. Aku tahu walaupun gak sengaja, aku harusnya minta maaf, tapi tetap saja itu sungguh hal menakutkan untuk dilakukan. Jangankan minta maaf, mau ngomong aja takut. Film dibuat tanpa dialog karena Brynn juga merasa bersalah terhadap sesuatu. Later deep within the story, kita dikasih tahu apa yang dulu terjadi pada Brynn dan temannya, Maude. Dan aku langsung, damn, aku yang gak sengaja aja dulu bisa takut sampai segitunya, gimana Brynn ini yaa..
Rasa bersalah. Guilt. Inilah yang sebenarnya dimaksud film ini ketika menyebut tak akan ada yang bisa menyelamatkan kita. Gak ada yang bisa menyelamatkan kita dari rasa bersalah, kecuali diri kita sendiri. Gimana caranya? Dengan gak mangkir dari perbuatan. Dengan mengakui. Dengan meminta maaf. Kesempatan meminta maaf bagi Brynn datang secara tak sengaja melalui invasi alien, dan adalah up to her untuk menggunakan itu. Pada pilihannya itulah tercermin perkembangan Brynn sebagai karakter utama cerita.
Jadi ‘dunia kecilnya’ itu ternyata juga adalah penjara sosial. Tokoh utama kita ternyata ‘di-shun’ warga akibat perbuatannya di masa lalu. Dikucilkan. Invasi alien justru berbuah kesempatan buat Brynn untuk resolve urusan personalnya tersebut. Dalam salah satu ‘serangan’ alien, Brynn justru mendapat kesempatan untuk meminta maaf; hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan karena keadaan dan dirinya sendiri. Di bahasan ini, sendirinya film punya pilihan. Menjadi kisah manis penuh harapan dengan happy ending Brynn akhirnya dimaafkan masyarakat. Atau menjadi kisah miris, bahwa Brynn tidak bisa mengharap maaf, bahwa memaafkan diri sendiri adalah satu-satunya healing yang bisa ia terima, dan itu sesungguhnya cukup.
Pada pilihan krusial itulah film menunjukkan keistimewaan. Jujur, saat menonton aku mengharapkan pilihan yang pertama. Aku berharap film ngasih lihat Brynn mendapat pengampunan yang layak karena dia selama ini menyesali perbuatannya dalam diam. Brynn has suffer so much, meski tak kelihatan dari luar. Aku berharap seenggaknya ada adegan Brynn openly bicara kepada keluarga Maude, meminta maaf, eventho it’s too late. Pilihan ini aku yakin lebih memenuhi struktur skenario terkait aksi dan development karakter. Tapi film enggak mau benar. Film menunjukkan kecintaan mereka terhadap karakter Brynn dengan memilih untuk tetap ‘real’ alih-alih benar sesuai aturan. Dan ini yang bikin ending film mengejutkan dan sangat kuat. Dengan membuat ‘alien aja kasihan sama Brynn’, tema dan gambaran yang menyentil kehidupan sosial kita (balik lagi ke Sleep Call’s “hidup itu keras”) terasa lebih menohok. Alien yang awalnya ditampilkan misterius, seiring durasi menjadi lebih fokus dan malah tampil close up adalah paralel dari gimana masyarakat seharusnya melihat Brynn, for she is an alien among them. Seorang berbeda – berdosa – yang dianggap berbahaya dan tak punya tempat di antara mereka. Apapun yang keluar dari mulutnya gak bakal dipercaya. Brynn tidak dikasih kesempatan.
Makanya film ini pun hadir dengan tidak banyak berkata-kata. Itu jadi pembuktian betapa kuatnya treatment dan perspektif penceritaan. Semuanya dilakukan untuk mewakili yang dirasakan oleh Brynn, sang karakter utama. Kejadian invasi alien ke rumah mungkin tampak biasa, tapi penceritaan di baliknya, semuanya kuat dan didesain dengan sangat terukur. Kerja kamera, desain suara, penampilan akting. Film ini sukses berat baik itu dalam menampilkan horor dikejar-kejar alien maupun kejadian-kejadian yang lebih sureal setelahnya. Pilihan endingnya merupakan salah satu yang paling mencengangkan. Film ini gak ragu untuk sedikit berbelok dari yang seharusnya. Dan memilih untuk tampil dengan gambaran dan pesan yang lebih real dan menohok.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NO ONE WILL SAVE YOU
That’s all we have for now.
Dina di Sleep Call gak punya Rama, sedangkan Brynn di film ini punya alien. Menurut kalian kenapa alien-alien itu membiarkan Brynn hidup di antara koloni yang mereka kendalikan?
Share pendapat kalian di comments yaa
Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Dari kemarin bolak balik web ini cuman buat cari review film ini, karena bingung sama endingnya dan akhirnya terjawab, memang beda ya isi pikiran kritukus kritis dg penonton awam. Hahahaha Tiap kali baca review di sini selalu dapat nilai n sudut pandang baru yang sebelumnya gak kepikiran. SPOILER Anyway yang jadi pertanyaan pas di ending itu si Brynn dilepaskan alien atau justru dikuasai alien?? Adegan akhir saat dia di pesta menari2 dengan orang2 itu murni cuman hayalan yang ada dikepala Brynn atau karena dikendalikan alien bang???
Haha sebenarnya karena terlatih agak lebih cepat mencoba melihat dari sudut karakter utama sih, makanya aku kalo film tapi karakter utamanya gak jelas, aku males
Kalo aku lebih melihatnya sbg si Brynn dibebasin alien karena mereka kasian sama Brynn. Tampang para alien pas ngeliat memori Brynn itu buatku kayak tampang orang yang merasa sangat empati. Plus mereka respek sama perjuangan Brynn. Bahkan alien ternyata lebih mau memaafkan ketimbang manusia.. Jadi kayaknya di dunia itu cuma Brynn yang free human hahaha
Bryyn merasa diterima dilingkungan yg sdh jd alien semua. Ya pasti bahagia lg dia.
Alien ternyata lebih manusiawi dibanding manusia hahaha
u bisa mikir begini, makan ape sih bang?
Makan jamur mario bros wkwkwk