“A different language is a different vision of life”
Apa yang tidak kita bicarakan ketika sedang membicarakan film-film tentang alien? Haha yea, bahasa. Inggris serta merta jadi bahasa universal enggak peduli kalian berasal dari Mars, Tatooine, ataupun dari Namek. Masalah perbedaan bahasa, kalopun ada, biasanya dapat dengan mudah dijembatan dengan inserting alat penerjemah teknologi tinggi ke dalam cerita, kayak chip translator yang dimiliki oleh semua prajurit Andalite di Animorphs.
Arrival hadir dengan actually menekankan kepada MASALAH BAHASA ini. Diceritakan dua belas aircraft misterius telah mendarat begitu saja di berbagai belahan dunia. Tidak ada yang tahu apa maunya alien-alien yang mirip gurita berkaki-tujuh tersebut mendarat di sini. Apa mereka mau berwisata? Apa ada niat mempelajari Bumi? Apa mereka datang mau gandain uang? Apakah mereka datang dengan damai? Atau mau ngajakin ribut? Jadi, PBB mengirim Louise Banks, ahli bahasa di suatu universitas, untuk masuk ke dalam ‘pesawat’ para heptapod. Mencoba berkomunikasi dengan mereka. Arrival bukanlah film invasi alien dengan banyak aksi-aksi heboh. Kita tidak akan melihat tembak-tembakan photon laser atau semacamnya. Film ini lebih kepada DRAMA PENUH SUSPENS dengan pusat gravitasi kepada karakterisasi. What we will see adalah Banks berkutat ngajarin para alien membaca dan belajar bahasa mereka.
Bahasa hanyalah salah satu dari sekian banyak lapisan cerita yang dimiliki oleh Arrival. Kita akan diperlihatkan bahwa belajar bahasa sebenarnya lebih dari sekadar melafal dan menghapalkan kosa kata baru. Namun juga belajar memahami cara berpikir yang berbeda. Kita tidak bisa langsung menerjemahkan meski sudah tahu all the words. ‘Masuk angin’ tidak bisa dinggriskan begitu saja menjadi ‘enter wind’. Seorang youtuber, Malinda Kathleen, punya channel yang isinya meng-googletranslate lirik lagu ke dalam berbagai bahasa, kemudian menginggriskannya kembali, dan menyanyikan hasilnya; jadinya kocak. Bahasa bukan hanya kosa kata, it is a way of thinking. Dengan menyadari hal tersebut, Banks bisa dengan relatif lebih cepat mengerti apa yang coba dikatakan oleh alien. In regards kepada cerita tentang usaha berkomunikasi dengan makhluk asing ini, Arrival punya pesan yang bagus soal gimana bahasa sejatinya adalah alat paling ampuh untuk menyelesaikan masalah, bukan malah untuk menimbulkan dan manas-manasin suatu problem.
Dalam hubungannya langsung dengan komunikasi, film ini serta merta membahas kerja sama. There are a lot of tensions yang justru datangnya berasal dari kegagalan manusia – yang bahasanya sudah seragam – menyeleraskan cara berpikir mereka. Like, kita bahkan seringkali gagal berbicara meski sudah gunakan bahasa yang sama. KERJA SAMA INTERNASIONL dan gimana masing-masing negara harus mengenyahkan perbedaan mereka, sekali ini saja. Sutradara Denis Villeneuve sukses berat mengeset tensi sedari babak pertama. Bukan hanya kita dibawa belajar perlahan mengenai tokoh utama dan masalah pribadi yang membayanginya. Kita juga diperlihatkan sense kepanikan massal ketika film terkadang nunjukin laporan berita dari seluruh dunia. Kita wondering apa yang sedang terjadi. Ketakutan akan hal yang tidak kita ketahui, there is a hint of that kind of struggle yang diperlihatkan dengan compelling oleh film ini.
Akan tetapi, sesungguhnya pikiran kita akan dipermainkan oleh film ini. Karena begitu sampai di babak ketiga, akan ada pengungkapan yang bakal membuat kita memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi. Dan itulah sebabnya kenapa tidak salah kalo ada yang bilang Arrival mempunyai penceritaan yang luar biasa. Ini adalah bentuk bercerita yang sangat unik, karena begitu kita mengerti apa yang tejadi di akhir, kita akan segera melihat keseluruhan film ini sebagai sesuatu yang berbeda. Semua akan menjadi mind-blowingly masuk akal, jika kita benar-benar memperhatikan detil sedari adegan yang pertama.
Seperti nama Hannah, kata malam, kodok, atau telolet, film ini sendiripun adalah sebuah palindrom. Kita bisa membacanya dari dua arah, dengan tetap mendapatkan pengertian yang sama.
Benar, film ini bercerita tentang apa yang rasa takut bisa lakukan terhadap manusia. Ketakutan membuat kita berjuang. Tetapi, sebagaimana kalimat yang diucapkan Banks menjelang akhir, at its core, film ini menantang kita dengan pertanyaan “beneran yang ditakutin adalah the unknown?” Gimana kalo kita sudah tahu apa yang bakal terjadi, apakah kita masih sudi untuk terus melanjutkan hidup? Proses lebih penting daripada hasil akhir, dan dalam kamus film ini tidak ada frasa ‘hasil akhir’. Semuanya adalah lingkaran besar.
Perjalanan Banks sebagai karakter adalah sebuah realisasi perlahan akan tema besar yang diusung; soal tanggung jawab dan kehendak personal. Flashback kehidupan pribadi Banks yang kita lihat actually bukanlah flashback, melainkan sekelabatan masa depan yang dia kenang. Nah lo, aneh kan! Persepsi Banks teralterasi; Dengan mengerti bahasa spesies asing, dia jadi mengerti gimana cara mereka memandang dunia. Narasi menjermahkan hal tersebut dengan Banks yang jadi melihat waktu di luar urutan-kejadiannya, persis seperti para heptapod mengexperience dimensi waktu. Banks melihat gimana nanti suami meninggalkan dirinya. Banks melihat putri mereka meninggal jauh sebelum si putri dilahirkan (or even direncanain). Yang dilakukan Banks adalah contoh betapa kuatnya manusia bisa mengontrol kehendak; Banks memilih untuk tidak mengubah masa depan, dan dengan melakukan hal tersebut Banks bukan hanya memastikan namun juga menciptakan masa depan, that she is responsible terhadap masa depannya sendiri. Sebagaimana kita juga seharusnya begitu.
Hiduplah dengan menghargai setiap momen. Karena setiap pilihan kita dalam menjalani hidup adalah tindakan yang tak-ternilai for kita harusnya melihat hidup sebagai sebuah perjalanan.Manusia memang terbentuk dari kenangan, namun pilihan kitalah yang menentukan. Ini adalah soal menerima what’s to come. Soal memahami pilihan-pilihan dalam kehidupan.
Ada begitu banyak aspek yang bisa kita apresiasi. Sinematografinya adalah salah satu yang terbaik dari yang kulihat di tahun 2016. Terutama saat kita diperlihatkan ‘pesawat’ alien tersebut untuk pertama kali. Seluruh padang terhampar luas dengan benda asin besar di tengah, belum lagi asap/kabut yang mengelilingi daerah sekitar. Semua yang ada di layar pada shot tersebut sungguh-sungguh breathtaking. Film ini really take time ngesyut adegan-adegannya. Pacenya disengajakan lambat supaya kita bisa menikmati setiap detiknya. Sehingga tidak ada satu visual beauty pun, along dengan purposenya, yang terlewatkan. Dan actually, jika kita menikmati gorgeousnya keindahan tersebut, adegan demi adegan, film ini enggak lagi terasa lambat-lambat amat.
Keseluruhan film benar-benar dipikul oleh penampilan Amy Adams dengan progresi karakternya yang tak-biasa sebagai Louise Banks. Interaksinya dengan makhluk tersebut terlihat sangat berdeterminasi, while also kita bisa merasakan trouble di dalam dirinya yang membuat Banks vulnerable as a person. Aku mengerti sebuah film butuh untuk benar-benar menggali tokoh utamanya secara personal, namun dalam film ini, aspek bercerita tersebut berdampak sedikit mengecewakan. Amy Adams is great dan aku juga mengapresiasi karakternya, hanya saja film ini turns out jadi lebih banyak tentang Banks sehingga semua aspek yang lain terasa diburu-buruin. Jawaban atas pertanyaan gede “Kenapa para alien berada di sini?” kayak dilempar begitu saja, kita harus memprosesnya dengan cepat, karena cerita akan segera melupakannya. Begitu kita bisa menjawab pertanyaan tersebut ; aspek aliennya, jadi enggak begitu penting lagi. It is just a device buat simbolisme, yang by the way adalah simbolisme yang great.
Louise Banks juga nyisakan sedikit kali kerjaan untuk ‘tokoh-tokoh’ yang lain. Ada banyak dari pendukung yang cuma terasa sebagai penambah suspens drama. You know, they are so left out. Banyak tokoh yang gegabah ngambil keputusan. Kemudian tindakannya tersebut enggak berdampak gede, it didn’t really build up to something ataupun enggak benar-benar ngefek ke cerita film. Tokoh yang diperankan oleh Jeremy Renner; Ian Donnelly, scientist yang turut dikirim bareng Banks, malah literally bilang dia enggak tau apa yang bakal terjadi kepada tim mereka jika tidak ada Banks di sana. Karakter Ian bland banget, kayak ikut-ikutan doang. Hanya satu kali Ian berguna, he figured out something useful tanpa bantuan, selebihnya, tokoh Ian tak lebih dari nampang di background, tanpa memberikan hal yang benar-benar penting sebagai seorang karakter.
Begitu kita paham the way certain things are going in the background, kita akan bisa melihat film ini dengan berani mengambil cara yang berbeda dalam bercerita. Visual yang menakjubkan, performance yang hebat, meski karakter yang benar-benar patut disimak cuma tokohnya si Amy Adams. Penampakan alien dalam film ini akan selalu sukses bikin kita takjub. Aspek paling luar biasa dari film ini adalah gimana babak ketiganya membuat kita memikirkan ulang keseluruhan film ini. That there’s a bigger message yang ingin disampaikan di balik lapisan narasinya. Namun the subtlety tends to get lost in the translation as cerita lebih favor untuk mengeksplor tokoh utama, membuat aspek-aspek yang lain terasa rushed. Kendatipun begitu, untuk sebuah film tentang alien, film ini termasuk di urutan teratas berkat how different and thought-provoking it is.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for ARRIVAL.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners
and there are losers.
We? We be the judge.
sepenggal kutipan Fellini yang, at least, can describe what Arrival is. “Perbedaan bahasa adalah perbedaan visi dalam kehidupan.” ya, after re-watch a days ago, Arrival is my personal favorite. Sebuah film yang dapat menarik saya untuk mempelajari ilmu bahasa (lingustik)–hingga membaca teori sapir-whorf dan ‘hopi langauge’ yang dipelajarinya. Really, percobaan kedua dalam menonton ini adalah a valuable exprience.
Begitulah cara kita mengetahui sebuah film spesial, berbobot atau tidak; jika film membuat kita tertantang untuk mempelajari lebih jauh lagi, yang punya landasan teori, jadi enggak sekadar baper – nostalgia – jumpscare aja
jadi, seandainya, Mas Arya nonton Arrival kedua kali, apa penilaian akan tetap atau bisa berubah?
tetap sih, pengelompokannya secara objektif menurutku sudah pas di level golongan film-film berstyle yang unik dan idealis, nilai subjektif pun (0.5) sudah ditambahkan sebagai tanda aku suka sama filmnya – dan biasanya aku kalo udah suka, jarang bakal berubah menjadi tidak suka hehehe