ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply