KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE Review

“Kindness is still the best antidote.”

 

 

Pernahkah, selagi duduk di meja sarapan mengaduk teh manis hangat sambil nontonin berita tentang pengedar narkoba yang tertangkap, kalian berhenti sejenak dan berpikir bahwa sesungguhnya gula membunuh orang lebih banyak ketimbang obat-obatan terlarang? Berpikir bahwa gula nyata-nyata lebih adiktif, sembari kalian menyadari orang-orang di tv itu sebagian besar udah tergolong overweight, mengonsumsi gula berlebihan setiap hari? Jika gula yang secara data lebih berbahaya bisa dijual bebas, maka kenapa pengedar drugs kelas kakap seperti gue harus direndahin, kudu jualan diem-diem, musti ngasingin diri di oasis nostalgia 1950an di tengah belantara, begitu kiranya pikir Poppy si ratu kartel narkoba. Jadi, demi mendapat pengakuan, dia ngespike dagangannya yang paling laku, you know sebangsa heroin, dengan virus yang berujung kematian massal. Practically dia menyandera semua pemakai, about sebagian besar penduduk dunia – no surprise there – dengan mengeluarkan ultimatum; serum penawar virus akan dibagikan jika Amerika gencatan senjata dengan narkoba. Melegalkan usahanya.

Itulah musuh yang harus dihadapi oleh agen-agen Kingsman dalam film sekuel ini. Seperti pendahulunya, The Golden Circle juga berusaha untuk menangkap masalah dunia yang relevan dengan keadaan recent dan membalutnya dengan aksi yang begitu gila dan komedi yang in-your-face sehingga hasilnya adalah tontonan yang sangat over-the-top namun tak pelak seru dan menarik. Actually, Eggsy harus bekerja sama dengan agensi agen rahasia Amerika, Statesman, yang menyamarkan organisasi mereka dalam bisnis minuman beralkohol. Eggsy yang kehilangan sebagian besar rekan-rekan Kingsmannya tak punya pilihan. Sama seperti kita yang tidak diberikan waktu senggang untuk berpikir tentang betapa lemahnya alasan dan motivasi villainnya, thus membuat film ini juga enggak sekuat yang pertama. Sebab Kingsman tidak menawarkan pemikiran ataupun emosi, dia cuma punya aksi-AKSI KEKERASAN YANG DIBUAT SEMUSTAHIL MUNGKIN SEHINGGA TAMPAK AMAT GAYA. Dan nyali untuk mempertontonkannya.

Tempat tanpa pemakai narkoba mungkin adalah utopia yang nyaman untuk ditinggali. Orang-orang hidup bersih. Hidup sehat. Enggak ada si brengsek yang bertindak nekat. Namun kenyamanan tempat itu dipertanyakan jika untuk mencapainya berarti kita harus menciptakan terlebih dahulu tempat tanpa ada yang mau menolong pemakai narkoba. Kingsman: The Golden Circle, at its best, akan mengingatkan kita akan hal tersebut.

 

Tidak ada titik lemah dalam jajaran pemain. Taron Egerton sekali lagi sangat bagus sebagai Eggsy. Attitude dan timing comedynya pas banget. Channing Tatum menghibur, Colin Firth, Mark Strong, dan karakter-karakter lain bermain sama baiknya. Aku suka Julianne Moore bertindak sebagai gembong penjahat di sini. Yang dia berikan adalah performance yang sangat menarik dan sangat fun, meskipun naskah memilih untuk menggunakan tokoh Poppy ini dengan cara yang aneh. Aneh yang not in the good way.

Untuk sebagian besar waktu, Poppy ditampilkan terpisah dengan tokoh lain. Dia enggak pernah keluar dari persembunyiannya, yang enggak benar-benar tempat persembunyian ataupun tempat yang terpencil, as kita melihat berbagai macam orang keluar masuk tempat yang hanya dilindungi oleh ranjau itu. Dia punya dua anjing robot sebagai henchmennya yang paling diandalkan. Dia menculik seorang penyanyi terkenal yang dibiarkan ikut tinggal di area hideout (by the way, Elton John juga teramat menghibur di film ini, dan perannya actually lebih gede dari kelihatannya). Jadi kejahatan dan kekejaman Poppy tidak banyak tercermin, kecuali melalui rencana narkobanya. Dalam sense dan moral film ini, orang jahat dan orang baik tidak bisa gitu aja diputuskan lewat apakah dia memakai narkoba atau enggak, yang mana membuat kekejaman tindak Poppy lagi-lagi bergantung kepada pandangan kita tentang suara besar film tersebut. Secara pribadi, Poppy adalah karakter yang fun dan menarik, akan tetapi buatku tindakan Poppy enggak cukup jahat, dia tidak begitu mengancam sebagai penjahat, dan ultimately aku enggak begitu khawatir akan keselamatan tokoh utama.

kekuatan film diukur dari kekuatan penjahatnya

 

Pujian terbesar yang bisa kita berikan kepada film ini disarangkan buat departemen sinematografi. Adegan-adegan percakapan, lokasi set yang beragam, semuanya terlihat begitu menawan dan simetris. Ini adalah film yang sangat cantik. However, prestasi bagian action film pertamanya tampak menjadi beban. Kingsman terkenal dengan aksi yang sangat over-the-top, yang sangat liar, masih ingat dong ya dengan Gazelle yang tendangan kaki spesialnya mampu mengupas orang menjadi dua kayak kulit pisang yang dibuka. Pada Kingsman terbaru, meski adegan aksinya dibuat dengan sangat menarik secara visual, film kali ini tampak terlalu bergantung kepada penggunaan CGI. Efek dipakai untuk menyatukan shot-shot. Sekuens berantem dan aksinya lebih tampak seperti adegan keren dalam video game, mereka ingin melakukan begitu banyak hal-hal mustahil yang menghibur, mereka mencoba untuk menjadi super over-the-top, namun orang-orang yang dilempar ke sana ke mari, meloncat melakukan hal-hal gila, tidak lagi tampak masuk akal sebagai manusia biasa.

“Terlalu penuh” biasanya bukanlah ungkapan yang memiliki arti positif. Begitu juga buat Kingsman: The Golden Circle. Film ini memasukkan banyak subplot, ada banyak kejadian ataupun cerita yang berusaha disampaikan oleh naskah. Kita melihat tentang pilihan hidup, sekaligus ada romansa dan loyalitas, ada pembahasan soal bagaimana jika orang yang kita jadikan panutan berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. There are some many different things yang terjadi di sini. Ketika sekuen aksi berlangsung, film menjadi exciting. Namun ketika kita berada di kejadian di antara sekuen-sekuen aksi, film menjadi membosankan. Durasinya yang dua-setengah-jam terasa semakin berat dan panjang. Film berkembang menjadi semacam banyak adegan-adegan kecil yang diulur-ulur dan enggak benar-benar perlu.

Karakter berangkat dari titik A menuju titik B terlebih dahulu, dengan tujuan aslinya ada di titik Z. Alih-alih menggunakan alasan logis untuk membuat karakter tersebut maju, film  ini menggunakan ‘perjalanan’ yang berbelit. Contohnya ketika Eggsy harus menemukan lokasi suatu tempat, dan untuk mendapatkannya dia harus menyusup ke konser musik untuk mencari cewek salah satu bandit. Dan dia bersama agen lain berusaha untuk ngeflirt sama cewek itu supaya mereka bisa menaruh tracker di dalam tubuh si cewek sehingga mereka bisa ngikutin si cewek kalo dia pergi ke markas. Dipanjang-panjangin dan sangat gak-perlu. I mean, masa sih gak ada cara lain yang lebih singkat dan praktikal lagi.

Pengen liat Statesman lawan Gin dan Vodka dan pasukan Baju Hitam dari Detektif Conan

 

 

 

Tak jarang memang sekuel merasa punya tuntutan untuk menjadi lebih besar dan lebih baik dari film pertama. Kadang mereka mencoba untuk menghadirkan penjahat yang lebih dahsyat ataupun sinting, kadang dengan sekuens aksi yang lebih banyak dan edan, dengan penggunaan efek yang lebih dahsyat. Film ini sebagian besar menderita karena ingin tampil lebih grand ini. Mereka gagal. Penjahatnya enggak mengancam, actions mencoba untuk lebih seru dengan efek yang lebih banyak – hanya membuat tokoh-tokoh yang terlibat tidak lagi terlihat sebagai manusia normal. Menderita dari kebanyakan hal yang ingin mereka lakukan. Naskahnya digarap lebih santai dibandingkan aksi yang benar-benar dienchance dan dikoreografi dengan matang. Dari perspektif narasi, mestinya banyak yang bisa dipotong demi mempersingkat. Dan membuat film yang seru ini lebih menyenangkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

Comments

Leave a Reply