WINCHESTER Review

Unresolved guilt is like having a snooze alarm in your head that won’t shut off

 

 

Tidur akan menjadi hal yang begitu susah untuk dilakukan jika nurani kita masih terganjal sama perbuatan salah yang pernah kita lakukan. Kalo kalian belum pernah kesulitan tidur gara-gara hal tersebut, wah salut deh. Aku pernah semalam suntuk melek mikirin mainan robot temenku yang tak sengaja kurusak dan malam itu, robot tersebut masih menelungkup di bawah sofa tempatnya kusembunyikan karena takut ketahuan. Sempat juga sih tertidur, tapi aku bermimpi robot itu datang menembak pantatku sambil teriak “perbaiki tanganku, perbaiki tanganku!” dan kemudian dia berubah menjadi kuntilanak.

Perasaan bersalah, perasaan yang menggantung, mengetahui kita sudah menyebabkan kesusahan bagi orang lain, sejatinya akan menghantui kita. Itulah yang ingin diceritakan oleh Spierig Bersaudara dalam film horor mereka yang diadaptasi dari tokoh dan lokasi nyata, Winchester.

 

Rumah gede Winchester itu dibangun oleh wanita eksentrik janda seorang pengusaha perusahaan yang memproduksi senapan dan senjata api lainnya. Hanya saja proyek pembangunan rumah itu dinilai begitu gila. Sarah Winchester mempekerjakan tukang bangunan dua-puluh-empat jam sehari, siang-malam rumah itu meriah oleh bunyi orang memaku dan memalu. Namun pekerjaan mereka tetap tak kunjung selesai. Kamar yang sudah jadi, kerap diminta si Nyonya Besar untuk direnovasi dan dibangun dengan model yang berbeda. Beberapa kamar malah dibangun hanya untuk dipaku rapat-rapat dengan tiga belas paku, tidak boleh lebih apalagi kurang. Oleh karena perilaku tak biasa itulah, tokoh utama kita, dokter Eric Price, dipanggil untuk menyelidiki kejiwaan Sarah Winchester. Dan tentu saja, dalam gaya horor yang biasa, begitu tiba di rumah yang udah kayak labirin fun-house tersebut, si Dokter malah merasa dirinya yang gila, sebab dia di malam-malamnya tinggal di rumah tersebut ia melihat banyak penampakan-penampakan, termasuk penampakan istrinya yang mati menembak diri sendiri beberapa tahun yang lalu.

Turns out, it was the guilt. Rumah Winchester dibangun sebagai perwujudan rasa bersalah yang dirasakan oleh Sarah Winchester yang mengemban beban perasaan mengetahui senjata-senjata buatan keluarga mereka digunakan sebagai senjata untuk membunuh banyak orang tak bersalah. Sarah enggak gila, dia hanya ingin membantu hantu-hantu tersebut mendapatkan kedamaian dengan membangun ruangan-ruangan yang dibuat persis sama dengan TKP kematian mereka masing-masing. Namun, meskipun memang Sarah masih waras, toh film ini tetap lebih mirip sebuah cerita ‘edan’ ketimbang nyeremin. Tentu, set rumah dengan segala pintu rahasia itu sangat menarik, film ini punya ‘panggung’ yang fresh dan enak dilihat, namun suasana seram itu terasa gelagapan dibangun. Menjadikan film ini malah seperti atraksi menyenangkan dalam sebuah rumah hantu. Pesan tersiratnya pun, yang relevan dengan keadaan Amerika saat ini; bahwasanya tidak ada hal baik yang dicapai jika menggunakan pistol sebagai senjata, hanya terasa sebagai parody dari pesan tersebut ketimbang actual pesannya sendiri.

Pistol bisa membunuhmu, dan mengubahmu menjadi hantu

 

Lantaran horor dalam film ini diolah dengan begitu basic.  Aku ingin menyukai film ini, aku suka film horor dan premise serta sejarah rumah itu sendiri sudah menjanjikan banyak hal yang mestinya sangat intriguing. Tapi tidak ada visi unik barang sedikitpun dari empunya film. Pada dasarnya, Winchester hanyalah sebuah horor kekinian yang klise dengan banyak mengandalkan jumpscare. Nyaris semua adegan seramnya mengandalkan suara-suara ngagetin atau sesuatu yang muncul mendadak di layar, atau keduanya sekaligus. Semua bagian sera mini sangat gampang ditebak. Misalnya ketika Price sedang becermin di kamarnya. Cermin tersebut kemudian akan bergoyang-goyang, meninggalkan kamera yang fokus ke tengah, dan setiap kali cermin bergerak kita diniatkan untuk menahan napas, “ada hantu enggak yaa?”, mengecewakan taktik kacangan semacam ini datang sekelas sutradara Spierig Bersaudara yang sudah memberikan keunikan tersendiri di Daybreakers (2014). Maksudku, ini adalah cerita tentang rumah yang dibangun dengan tak biasa, seharusnya taktik-taktik seramnya juga dibuat dengan sama inovatif dan kreatif, yang benar-benar integral dengan penceritaan – dengan tema besar cerita. Ada satu lagi adegan di mana jari keluar dari lubang alat komunikasi, adegan ini malah tampak lucu karena benar-benar tidak ada koneksinya sama sekali dengan segala hal yang diceritakan, and on top of that, scare di adegan ini hanya kita para penonton yang lihat, Pierce enggak tahu ada jari di sana. Jadi, gimana tuh coba? Sudut pandang film ini dari siapa, dari hantu? Sepertinya kita baru saja menyaksikan seorang hantu yang gagal menakuti manusia.

Di luar jumpscare dan klise horor yang melelahkan, sesungguhnya kita dapat penampilan akting yang lumayan ciamik dalam film ini. Khususnya, yang datang dari pemeran Sarah, Hellen Mirren. Aktor senior ini tak tampak sedikitpun menyepelekan perannya. Sarah Winchester pada awal-awal kemunculannya diniatkan sebagai karakter ‘red herring’, karakter yang dibuat seolah sesuatu namun tidak, dan dia dengan mulus menjalani transisi antara keduanya tanpa sekalipun tampil over-the-top. Kita digiring untuk percaya dia gila, atau malah dia hantunya, tapi ternyata dia punya motif yang… yah, bisa dianggap mulia. Mirren sama suksesnya tampil misterius dengan tampil begitu vulnerable ketika dia begitu overwhelmed oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat yang berusaha ia selamatkan. Menyaksikan penampilannya di film ini benar-benar terasa seperti menemukan jarum emas dalam tumpukan jerami karena kemunculan tokohnya yang lumayan di tengah. Kita harus melewati banyak hal klise dan seram-seram yang medioker sebelum tokoh ini muncul layaknya colekan penghapus papan tulis pak guru ketika kita terkantuk-kantuk di dalam kelas.

Sarah Winchester punya karakter yang lebih menarik bahkan ketimbang tokoh utama. Beneran deh, Jason Clarke adalah aktor mumpuni, aku lancang kalo bilang aktingnya jelek. Hanya saja Eric Price yang ia perankan adalah seorang tokoh utama yang begitu hambar dan membosankan. Terutama sekali, sangat sukar untuk terkoneksi dengan karakter ini, walaupun dia memang diceritakan punya masa lalu yang traumatis, dan kita kerap dibawa melihat apa yang terjadi pada masa lalunya secara sekilas. Sesungguhnya ini adalah formula yang benar; tokoh utama dalam film horor haruslah punya sesuatu yang ia rahasiakan, yang paralel dengan horor yang temui, dan ultimately dia harus menghadapi – berkonfrontasi – dengan dua horor tersebut.  Akan tetapi, film menyimpan ‘rahasia’ Price begitu lama, malah lebih lama dari Sarah sehingga kita menjadi lebih peduli kepada Nyonya sinting ini daripada si tokoh utama. Sebenarnya, mengambil waktu yang panjang untuk menyibak tabir tokoh utama itu gak papa sih, malah ada banyak juga film-film lain yang makin nendang karena hal tersebut. Salahnya film Winchester ini adalah karena sedari awal, Price dibuat sebagai orang yang enggak mudah untuk diberikan empati. Tokoh ini diperkenalkan dalam sebuah adegan yang begitu unlikeable. Kita dengan segera melihatnya sebagai orang yang nyebelin dan sok jago dengan segala teori dan trik sulapnya itu.

sulapnya hebat, bisa menghilangkan simpati.

 

 

 

Kini, di kehidupan nyata, mansion Winchester itu dikenal sebagai salah satu destinasi tur horor yang paling banyak diminati. Jujur, membaca tentang tur-tur tersebut di internet, lebih menarik buatku ketimbang menyaksikan film ini sampai habis. Di luar penampilan akting dan desain produksi yang kece, aku suka sekali sama desain mansionnya, film ini tidak menawarkan apapun yang menggugah selera.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for WINCHESTER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Leave a Reply