BLACK ADAM Review

 

“Sometimes it’s better to let people handle their own problems”

 

 

The Rock dijuluki sebagai The People’s Champion. Di sisi lain, The Rock menyuguhkan penampilan terbaik saat berperan sebagai heel/antagonis. Bahkan, sebagai babyface/protagonis pun, The Rock adalah seorang heel yang dahsyat untuk para antagonis. Kenapa aku malah mengungkit peran Dwayne Johnson di jaman dia masih bergulat di atas ring?  Karena dalam Black Adam garapan Jaume Collet-Serra, Dwayne seperti dikembalikan ke akar WWEnya tersebut. Karakter Black Adam originally adalah seorang penjahat, dan dia juga adalah Champion di antara bangsanya. Makanya, karakter ini dan Dwayne Johnson tampak begitu klik. Aku pergi menonton film superhero DC ini dengan sedikit harapan melihat Dwayne kembali ke persona lamanya, seenggaknya barang sedikit. You know, sudah mulai jenuh gak sih melihat Dwayne dapat peran template cowok jagoan berbadan kekar yang gitu-gitu melulu, yang rumornya bahkan dikontrak untuk tidak boleh tampak lemah apalagi kalah. Black Adam, memang memberikan aktor ini sesuatu yang bisa dibilang keluar dari kebiasaan yang belakangan. Hanya saja film ini kelupaan mengembalikan satu hal yang juga merupakan trait The Rock. Kharisma.  Di film ini, Dwayne sebagai Black Adam is all about action, tapi diberikan karakterisasi yang minim perkembangan, selain cuma “ternyata dia begini”

Jadi Black Adam aslinya bernama Teth-Adam. Juara Shazam pilihan para Wizard lima ribu tahun yang lalu. Dia ditunjuk setelah berani mengobarkan semangat revolusi pada bangsanya, bangsa Kahndaq, yang diperbudaq. Fast forward ke masa sekarang, bangsa negara fiktif itu ternyata masih belum merdeka. Tanah mereka kini dijajah oleh sindikat kriminal yang disebut Intergang yang mencari mahkota Sabbac, relik berkekuatan super yang disembunyikan oleh Teth-Adam di masa lalu. Makanya, supaya bangsanya selamat, Adrianna dan kelompok kecilnya berusaha menemukan mahkota itu terlebih dahulu. In the process, Adrianna membebaskan Teth-Adam. Bangsa Kahndaq modern yang mengenal Sang Juara lewat legenda, langsung mengelu-elukan makhluk super itu sebagai pahlawan yang bakal membebaskan mereka semua. Teth-Adam memang pelindung bangsa, hanya saja dia menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Cara yang membuat pasukan Justice Society pimpinan Hawkman harus datang dari jauh untuk campur tangan mengamankan Teth-Adam yang justru dianggap sebagai monster perusuh.

Si Adidaya yang selalu ikut campur urusan tetangga

 

Kepada genre superhero, film ini sebenarnya menawarkan cerita yang tak biasa. Mengangkat penggalian baru dengan sedikit mengubah Black Adam yang aslinya total villain menjadi lebih seperti anti-hero. Hero, tapi aksinya bikin gerah superhero yang lain.  Jadi si Adam ini punya sense of justice sendiri. Dia percaya yang namanya penjahat, penjajah, ya mestinya dibunuh. Kinda like ketika masyarakat udah geram ama hukum yang bertele-tele, terus lebih milih penghukuman ‘netijen’. Teth-Adam sendiri sebenarnya gak pernah mengakui dirinya pahlawan. Dia hanya mau bangsanya gak tunduk dan pasrah lagi. Dia maunya revolusi.  Seteru paling seru di film ini justru datang dari konflik antara Adam dengan Hawkman, pemimpin geng Justice Society yang datang untuk menangkap dirinya jika tidak mau bekerja sama. Jika Teth-Adam masih terus membunuh. Basically Hawkman di sini bertingkah seperti polisi moral, yang mencoba mengatur bagaimana cara menjadi pahlawan yang benar. Cara film ini menampilkan ‘cara’ Teth-Adam menghukum penjahat versus reaksi Hawkman seringkali jadi kocak. Walaupun konteksnya cukup dark, film berhasil menampilkan dalam nada yang cukup ringan sehingga menghibur melihat konflik paham antara Adam dengan Hawkman. Teth-Adam bukan saja tidak suka diatur, dia juga tidak suka melihat ada bangsa lain yang datang mengusik tanah airnya. Bagi Teth-Adam, Justice Society tak ada bedanya ama Intergang, sama penjajah yang mau ikut campur.

Bangsa Kahndaq cuma ingin merdeka. Mengatur sendiri urusan mereka. Menyelesaikan sendiri masalah mereka. Namun sejarah bangsa ini mencatat, sedari dulu mereka dijajah dan dicampuri oleh penguasa ataupun pihak dari luar yang lebih kuat. Makanya ketika Justice Society datang ke sana untuk menangkap sosok pahlawan bagi bangsa Kahndaq, keadaan menjadi semakin kacau. Inilah yang mestinya diperhatikan. Bahwa seringkali sebaiknya kita tidak mencampuri urusan pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.

 

Menurutku tema cerita Black Adam ini menarik sekali, terutama karena datang dari negara yang terkenal suka ikut campur urusan negara orang lain. Bukan satu dua kali Amerika mengirimkan bala tentara ke negara-negara yang tengah berkonflik, untuk berperang dengan agenda membantu perdamaian. Bukan satu dua kali pula, Teth-Adam di film ini balas ngotot ke Hawkman untuk tidak ikut campur dan membiarkan dirinya dan bangsa Kahndaq mengenyahkan sendiri masalah mereka. Tadinya kupikir film ini sendiri akan memihak kepada Teth-Adam dan bangsa Kahndaq. Kupikir pembuat film ini akan berani menyentil negara mereka. Namun makin  ke sini dinamika itu tidak diubah. Hawkman dan Justice Society tidak mengubah pandangan mereka soal mencampuri urusan, mereka tetap memandang Adam sebagai monster yang harus dikerangkeng. Sekalipun akhirnya film menunjukkan Black Adam sadar dirinya memang pahlawan di balik segala dosa-dosa personal dan Adrianna beserta para rakyat Kahndaq diberikan kesempatan untuk berjuang membela tanah mereka, tapi tetap diperlihatkan mereka harus dibantu oleh pihak asing, yakni si Justice Society. Dan meskipun film menyebut Black Adam adalah white knight yang dibutuhkan, tapi pada kenyataannya cerita film ini literally membuat Doctor Fate dari Justice Society, dengan helm super, seolah kesatria berbaju zirah yang menggiring mereka kepada taktik keselamatan. Yang lucunya, tidak perlu dilakukan; Masalah tidak akan menjadi segede di akhir itu – mahkota Sabbac tidak akan jatuh ke tangan penjahat – jika Justice Society tidak pernah datang dan ikut campur dan membiarkan Adam membereskan urusan dengan caranya tersendiri sedari awal.

Setidaknya kali ini The Rock jauh-jauh dari template lingkungan hutan

 

Itulah tanda film ini punya masalah pada naskah. Alih-alih fokus mengembangkan bagaimana Teth-Adam di dunia modern, berusaha mengsort out urusan personalnya – pilihannya di masa lalu, membuat Teth-Adam belajar apa itu arti menjadi pahlawan,  film malah membagi perhatian kita kepada karakter superhero dari luar. Tau-tau kita dijejalin banyak karakter superhero. Ada Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, Smasher. Karakter-karakter yang di atas kertas otomatis lebih menarik dibanding Adrianna dan putranya. Relationship antara Teth-Adam dengan kelompok Adrianna – relasi antara leluhur yang dianggap pahlawan dengan rakyat jadi terpingkirkan. Bahasan relasi itu masih ada, sebagai benang utama cerita, tapi tidak diceritakan dengan pengembangan. Melainkan hanya lewat revealing demi revealing, ‘ternyata’ demi ‘ternyata’. Karena film membagi porsi tadi. Progres cerita terutama datang dari pilihan Hawkman and the gank, dan Adam bereaksi terhadap itu. Poin-poin film jadi bergantung kepada karakter luar. Buatku menonton film ini jadi persis seperti yang dirasakan rakyat tertindas bangsa asing. Kenapa yang ditonton jadi malah disetir oleh orang-orang ini?

Mungkin masih bisa dimaafkan jika mereka-mereka itu benar-benar digali. Mind you, mereka ini bukan karakter yang pernah muncul di film lain sebelumnya, melainkan yang sama sekali baru. Yang juga butuh introduksi solid. Masalahnya, dengan begitu banyak karakter, semuanya jadi terasa instan saja. Para karakter superhero punya trait  dan kekuatan khusus, dan hanya dimensi itulah yang ditampilkan. Tak membantu pula beberapa di antara mereka mengingatkan kita kepada karakter superhero DC lain, bahkan kepada karakter superhero sebelah. The Rock jadi kena imbasnya. Sisi komedi hingga sisi humanis yang tampak diniatkan untuk karakter ini jadi tidak bisa mencapai maksimal karena cerita terus saja membawa kita kembali kepada seteru Hawkman dengan Teth-Adam. The Rock di sini jadi hanya marah dan berguyon di sela-sela menghajar musuh. Padahal yang sebenarnya dibutuhkan lebih banyak adalah The Rock bersama anak Adrianna, Teth-Adam menyelami fungsinya hadir di sana. Jadi tidak ada di antara mereka yang konek ke kita secara emosi. Film ini hanya aksi dan eksposisi, dengan sedikit komedi untuk mengikat kita kepada karakter. Kita tidak nyambung ke mereka melainkan hanya lewat unsur-unsur luar yang artifisial. Oh, si Cyclone cakep. Oh, si Smasher lucu. Oh, si Adam ngeyel kalo dibilangin. Actionnya juga sebenarnya imersif, bangunan-bangunan yang hancur karena ulah Teth-Adam ‘menyelamatkan’ dunia dijadikan integral ke dalam plot, namun karena ke karakter-karakter sendiri kita gak masuk, maka ya jadinya kita hanya sebatas melihat aksi saja.

 

 




Padahal dengan tema yang menarik, karakter anti-hero dan superhero yang menantang pemahaman terhadap konsep kepahlawanan, film ini harusnya bisa jadi sesuatu yang diperbincangkan. Teth-Adam yang tampak dibuild untuk menjadi penjahat besar seharusnya bisa dibuat benar-benar dramatis. Marvel sejauh ini baru Civil War yang benar-benar menggali di daerah moral antar-pahlawan itu sendiri. Sedangkan, film-film DC kalo kita lihat sepertinyalebih sering bermain-main dengan perspektif hitam-putih. Pahlawan-penjahat. Mereka lebih sering menjadikan cerita dengan villain sebagai perspektif utama. Bahkan superheronya saja juga diberikan pilihan yang menantang moral (we’re looking at you, Wonder Woman 2) Eksekusinya saja yang seringkali melempem. Film The Rock ini juga salah satu yang kurang nendang. Film ini malah menyesakkan diri dengan superhero lain. Tidak benar-benar membuat karakter judulnya mendapat eksplorasi yang mendalam. Batman lawan Superman, Justice League lawan ‘dark’ Superman, aku hanya berharap jika nanti Black Adam lawan Superman benar-benar terasa seperti clash epic alih-alih pertemuan yang ‘main aman’ seperti sebelumnya. Dan to be honest, harapanku itu mengecil melihat film ini belum apa-apa sudah mengesampingkan banyak penggalian karakternya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BLACK ADAM




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Hawkman dan Justice Society di film ini memang telah lancang mencampuri urusan negara orang?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



MORBIUS Review

“Health is a human right, not a privilege”

 

 

Makhluk menyeramkan dijadikan simbol pahlawan memang agak-agak mengherankan, tapi plausible untuk dilakukan. Buktinya? Batman yang berlambang kelelawar dengan modus operandi mengincar rasa takut di malam hari sukses juga jadi salah satu superhero paling ikonik di seluruh dunia. Counter Marvel untuk karakter DC Comic tersebut adalah Morbius. Gak tanggung-tanggung, kekuatan Morbius berhubungan bukan dengan kelelawar biasa, melainkan kelelawar penghisap darah, yang literally membuatnya menjadi vampir. While the origin story dari Morbius sebenarnya lebih cocok sebagai cerita penjahat, sutradara Daniel Espinosa justru diembankan untuk membuat film ini jadi cerita pahlawan. Orang yang menghisap darah manusia demi kemampuan untuk berbuat kebaikan jelas jadi konsep yang menarik, genrenya filmnya otomatis akan menyerempet ke horor. Nyatanya, film Morbius ini memang menghisap, tapi lebih seperti Dementor ketimbang vampir. Film ini menghisap excitement kita saking boringnya. 

Espinosa kesusahan untuk mengimbangi tuntutan naskah membuat Morbius menjadi pahlawan. Set up karakternya tampak sebagai bagian paling mudah yang berhasil Espinosa lakukan. Morbius adalah seorang dokter yang mendedikasikan dirinya untuk mencari kesembuhan dari penyakit-penyakit, karena dirinya sendiri mengidap penyakit darah yang langka. Penyakit yang mengharuskan dirinya pakai tongkat untuk berjalan. Penyakit yang membuat dirinya – dan sahabatnya, Milo – sedari kecil dibully. Penyakit yang gak ada obatnya. See, Michael Morbius bisa banget dapat simpati. Dia dokter pintar yang ramah – ada adegan dia dekat dengan pasien anak-anak, yang mau cari perfect cure untuk mengobati bukan saja dirinya dan sahabat, tapi juga seluruh umat manusia. Namun ketika elemen yang lebih gelap dari cerita ini tiba, Espinosa kehilangan segala keseimbangan. Michael menemukan cara menyatukan DNA manusia dengan kelelawar, dia mencoba serum ciptaannya kepada dirinya sendiri. Sekarang dia berubah menjadi vampir superkuat yang dahaganya akan darah manusia nyaris tak-terkendali. Di titik yang mulai seru tersebut (bayangkan konflik luar-dalam, konflik moral, konflik dengan sahabat yang menerpa Michael), film ini justru gagap dalam eksplorasi. Ini cerita orang yang mau jadi hero tapi harus relakan dirinya sebagai anti-hero, yang tidak tampil seunik itu.

morbiusl-intro-1646070476
This film do sucks!

 

Plot point naskah Morbius memang terasa seperti cerita villain, atau setidaknya cerita anti-hero. Memang sih, ada usaha membuat Morbius jadi pahlawan, cerita tidak melulu membahas konflik personal. Ada bagian dia menumpas kejahatan publik, seperti persoalan sindikat uang palsu. Atau lihat ketika film membuat korban-korban pertama yang dimangsa oleh Morbius adalah security yang bukan orang baek-baek. Tapi in terms of development, cerita Morbius mengambil poin-poin cerita orang yang berdegradasi. I mean, blueprintnya mirip cerita The Fly, malah. Ilmuwan yang mencoba eksperimen untuk kebaikan yang lebih besar, tapi malah mengubah hidupnya menjadi less and less human. Saga seseorang yang menyadari ambisi pribadi pada akhirnya mendatangkan petaka, bahwa dia harus meluruskan niatnya. Kalo gak mau jauh-jauh, kita bisa bandingkan Morbius yang asalnya ada karakter dari dunia cerita Spider-Man ini mirip ama Lizardman. Itu loh, musuh Spider-Man yang tadinya dokter yang bereksperimen dengan cicak demi mengobati lengannya, lalu malah berubah menjadi manusia kadal. Karakter yang telah muncul di film The Amazing Spider-Man (2012), film Spider-Man yang dibuat oleh Sony, seperti Morbius ini.

So yea, ultimately aku merasa film Morbius terjebak dalam jaring-jaring cinematic universe buatan Sony. Kreatifnya terhambat karena apparently Sony hanya tahu satu cara membuat cerita tentang orang yang menjadi monster, dan hanya tahu satu cara untuk membuat cerita tentang monster yang jadi protagonis atau anti-hero utama. Sehingga jadilah Michael Morbius sebagai karakter template. Originnya standar cerita villain. Lalu untuk membuatnya sebagai superhero, film simply mempaste-kan elemen-elemen Venom (also a Sony universe). Ya, pergulatan inner Michael dengan kekuatan vampir yang membuatnya jadi monster pemangsa manusia dilakukan dengan dangkal dan sederhana, sehingga nyaris gak banyak berbeda dengan Eddie Brock yang bergulat dengan Venom yang sesekali sosoknya muncul ke ‘permukaan’ tubuh Brock. Dalam film Morbius, wajah Michael akan kerap menjadi seram ala vampir lengkap dengan mata merah dan taring-taring tajam untuk menandakan dia kesusahan menahan dahaga atau kekuatan vampirnya. Film bahkan ngakuin persamaan tersebut dengan membuat Michael menyebut “Aku Venom” kepada seorang penjahat yang ketakutan. Studio mungkin menyangka sengaja ngakuin kemiripan dengan menjadikannya candaan itu bakal membuat film ini terdengar pintar. It is not. Malah jadi kayak kreasi yang malas.

Bedanya dengan Venom cuma di Morbius gak ada banter dialog yang lucu (yang bikin Venom menghibur memang cuma interaksi antara Eddie dan simbiote di dalam tubuhnya) – Michael gak berdialog dengan darah vampirnya – dan di Morbius efek CGI lebih parah. Sosok wajah versi vampir para karakter terlihat murahan. Malah lebih kayak vampir low budget, yang lebih works out sebagai film komedi yang sengaja bikin CGI kasar. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak menggunakan efek prostetik saja untuk menghidupkan sosok vampir. Padahal mengingat film ini berbau horor, efek prostetik yang praktikal jelas jadi pilihan yang lebih tepat dalam menghidupkan creature-nya. Lihat The Fly (terutama yang versi Cronenberg). Lihat Malignant yang berhasil jadi horor campy dengan paduan efek praktikal dan digital. Morbius adalah cerita seorang manusia bertransformasi menjadi vampir buas, tapi semua transformasi crucial bagi karakter terjadi off-screen. Film ini melewatkan banyak momen-momen body horror yang harusnya menguatkan karakter yang menghidupi cerita mereka.

Adegan aksi tentu saja jadi ikut kena getahnya. Pertarungan-pertarungan di Morbius sama sekali tidak bisa untuk diikuti lantaran film bergantung terlalu banyak kepada CGI. Kita gak bisa melihat apa yang terjadi dengan jelas, semua cepat – karakter melayang ke sana ke mari, mencakar-cakar liar dengan efek bayangan afterimage atau aura di sekeliling mereka. Pada momen-momen ‘krusial’ sebelum serangan mendarat, film menggunakan slow motion. Yang tetap gak ngefek apa-apa selain membuat dua vampir yang bertarung tampak cheesy dan konyol not in a good way.

morbius-2-1024x576
At least Twilight punya adegan main baseball dengan lagu Muse, Morbius punya apa?

 

Jared Leto gak banyak ngapa-ngapain di sini selain pasang tampang kayak orang sakit, dan menggeram-geram saat jadi vampir. Momen yang mengharuskan dia untuk menggali ke dalam karakternya gak pernah bertahan lama. Film terus saja kembali entah itu ke eksposisi mumbo jumbo sains, atau ke elemen-elemen template, atau ke porsi laga yang completely unwatchable. Leto memainkan Morbius yang berawal dari dokter yang pede bakal bisa menemukan obat/solusi ke dilema moral dari penemuannya. Dan stop sampai di sana. Gak kuat lagi terasa perubahan atau perkembangan karakternya. Bagian ketika dia nanti jadi menerima kenyataan dan mencoba menggunakan kutukannya menjadi kekuatan jadi samar dan lemah karena tertutupi oleh film yang malah mencuatkan motivasinya untuk menyetop sahabatnya saja. Setelah midpoint karakter yang diperankan Leto jadi kalah mencuat. Motivasi penjahat film ini justru lebih kuat dan lebih clear.

Gagasan cerita sebenarnya cukup menarik. Dan sebenarnya cukup relevan ditonton di masa-masa kehidupan kita masih dibayangi oleh Covid. Karena lewat konflik dua karakter sentralnya, film ini mengangat diskusi soal kesehatan apakah sebuah hak atau sebuah privilege sebagian orang saja. Jawaban yang disuguhkan film ini dari akhiran perjuangan Morbius cukup dark, dan it could be true reflecting our society. 

 

Relasi yang jadi inti cerita adalah antara Michael dengan sahabat masa kecil senasib sepenanggungannya di panti, Milo (Matt Smith pun berusaha memanfaatkan setiap screen timenya untuk menghasilkan karakter yang menarik). Mereka harus terpisah karena Michael dikirim ke sekolah khusus untuk mengembangkan bakat dan kepintarannya, sementara Milo yang terus menunggu janji Michael untuk kembali (dan membawa obat kesembuhan mereka) perlahan menjadi bitter dengan dunia yang meremehkan mereka. Saat Michael ketakutan dengan efek obatnya dan berusaha menghilangkan itu, Milo justru melihat ini sebagai kesembuhan yang luar biasa. Keduanya jadi berantem karena beda pandangan. Hubungan inilah yang mestinya terus digali, dengan seksama dengan detil. Rajut persahabatan dan konflik mereka sehingga benar-benar berarti dan jadi stake bagi karakter, sehingga kita bisa mempedulikan mereka lebih dari sekadar “Oh si Milo lebih kuat karena mau menyantap darah asli, bukan sintesis kayak Morbius”. Ya, film ini hanya memperlihatkan ala kadarnya. Melompat periode waktu seenaknya. Persahabatan dan konflik mereka gak ada ritmenya. Pertemuan pertama Leto dan Smith yang kita lihat ternyata udah bukan dalam konteks mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama. Sense mereka itu sahabat dekat gak kerasa karena film memperlakukan persahabatan mereka sama kayak Michael ketemu karakter-karakter lain.

Film malah membagi fokusnya dengan soal romance si Michael dengan karakter dokter perempuan. Yang juga sama-sama kurang tergalinya. Bedanya, soal ini dibiarkan di permukaan karena film ingin menjadikannya hook buat sekuel. Ya, kembali ke permasalahan utama. Film Morbius terjebak di jaring-jaring cinematic universe. Alih-alih bikin cerita yang benar-benar mendarat dan selesai – apa yang terjadi dengan pacarnya, bagaimana status buron Michael setelah final battle, apa arti semuanya bagi Michael – studio lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan punchline berupa teaser untuk film berikutnya. Kita juga melihat karakter dari Disney-Marvel muncul dalam sebuah situasi yang membingungkan. Pada akhirnya, itulah yang tampak lebih penting bagi film ini. Bagaimana membangun universe superhero versi sendiri. Karakter, relasi, dan dilema moral mereka tak lebih seperti sekelabat kepak kelelawat saja.

 

 

 

Makanya film ini terasa lifeless. Padahal kalo digali, dia bisa jadi pahlawan baru yang benar-benar menarik dengan genre horor, aksi supernatural, dan dilema karakter yang grounded. Nyatanya film mengabaikan semua kreasi untuk craft experience yang biasa-biasa aja. Malah cenderung membosankan. Terlalu bergantung ke CGI yang dibuat ala kadar, karakter yang template antihero sederhana (hanya karena mereka bingung membuat superhero ke dalam cerita villain), dan plot origin yang basi. Jika ini adalah jawaban terbaik yang bisa disuguhkan Marvel untuk DC dengan Batmannya, well, Marvel perlu memikirkan ulang lagi rencana dan cara mereka menghandle karakter-karakter supernya. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MORBIUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kesehatan itu hak atau privilege?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

 

DEADPOOL 2 Review

“Family is where the heart is”

 

 

Sekurang-kurang ajarnya Deadpool, Wade Wilson di balik topeng merah hitam itu masih punya hati. Hal ini sudah ditetapkan oleh film pertamanya yang sukses berat, breaking the ground dengan gaya liarnya sembari tetap ngegrounded kita kepada jalan cerita lewat penulisan tokoh yang pinter. Pertanyaan yang sekarang diajukan oleh sekuelnya ini adalah; Apakah hati sang anti-hero ini sudah pada tempatnya yang benar?

Di sela aktivitas sehari-harinya memisahkan anggota tubuh para penjahat di seluruh dunia dari badan mereka, Wade Wilson (serius deh, Ryan Reynolds  sudah begitu mendarah daging dengan perannya ini) sempat ngerem sebentar, melepas topengnya, demi merayakan hari jadian dengan Vanessa. Mereka sudah bulat tekad untuk membangun keluarga. Deadpool bahkan sudah punya nama untuk calon anak. Naas, darah daging Deadpool tak pernah sempat dibuat. ‘Pabrik’nya ketembak. Mengirim Deadpool ke jurang nestapa; ia ingin menyusul Vanessa ke alam baka tapi tak bisa. Tau sendiri kan, kekuatan super tokoh kita ini adalah ia enggak bisa mati. Bahkan setelah melakukan aksi bom bunuh diri (bukan di gereja loh, di apartemennya sendiri biar gak melukai orang tak berdosa; Deadpool masih punya hati, ingat?) dan badannya bercerai berai, Deadpool masih sehat wal afiat. Di pengalaman mati-not-really tersebutlah, Wade dinasehati Vanessa untuk meletakkan hati pada tempatnya, menyuruh Wade untuk melakukan hal yang benar. Jadi, Deadpool bergabung dengan X-Men. Sebagai anggota percobaan tentunya, mengingat sifatnya yang ogah ikut aturan.

Deadpool is the SHIT (Super Hero In Training)

 

Dalam salah satu misi bersama Colossus dan Negasonic – and her girlfriend – lah, Deadpool bertemu dengan mutant remaja superemosian yang lagi mengamuk ingin menghancurkan panti asuhan dan membunuh kepala sekolah yang selama ini sudah melakukan berbagai percobaan menyakitkan kepadanya. Deadpool quickly merelasikan anak tersebut dengan permintaan Vanessa, Deadpool ingin menjaga si Russel ini layaknya anak kandung sendiri. Persoalan menjadi rumit tatkala Cable (Josh Brolin sempet dipanggil Thanos oleh Deadpool hhihi), seorang mutant bersenjata lengkap datang dari masa depan dengan tujuan membunuh Russel, demi mencegah anak itu untuk tumbuh dewasa menjadi supervillain yang sudah membunuh keluarganya.

Cerita Deadpool 2 memang sedikit terlalu all-over-the-place, enggak seperti film pertama yang lebih fokus. Ada bagian Deadpool berusaha menyatu dengan cara-main X-Men, ada bagian Deadpool berusaha berkoneksi dengan Russel, juga ada kala ketika Deadpool balik bekerja sama dengan Cable. Pada satu titik cerita, kita lihat Deadpool mengadakan audisi untuk merekrut pasukan superhero dalam misi menyelamatkan Russel dari penjara, dan kocaknya dia menerima semua yang melamar – bahkan yang enggak bena-benar punya kekuatan super juga lolos audisi. Dari luar, ini adalah bagian ketika film seperti memarodikan film-film assemble superhero kayak Avengers, dan memang elemen cerita ini digarap dengan kocak – lagi brutal hihi.. Namun dari lapisan yang lebih dalam, elemen cerita ini sebenarnya ditujukan untuk memperlihatkan Deadpool belum mengerti apa yang ia cari. Setiap yang dijumpai oleh Deadpool sesungguhnya paralel dengan pembelajaran yang harus ia lewati. Seperti Cable misalnya, tokoh ini belakangan akan kita sadari ternyata punya persamaan mendasar dengan Deadpool.

Deadpool tampak ngeloyor keluar dari karakternya. Karena konteks cerita kali ini memang adalah tentang bagaimana Deadpool mengenali apa arti dari keluarga, karena di situlah letak hati kita semestinya. Hati kita berada bersama orang-orang yang beresonansi dengan kita. Film mengeksplorasi hal ini dengan sudut pandang khas Deadpool, dalam gaya bercerita yang hanya Deadpool yang bisa, dan inilah yang membuatnya super menyenangkan.

 

Bahkan sinopsis dua paragraf yang kutulis belum mampu untuk benar-benar mencerminkan betapa ramenya Deadpool 2. Masih ada banyak kejutan dan hiburan yang datang dari cameo-cameo yang bakal membuat bukan saja penggemar buku komik Marvel, melainkan juga penggemar film superhero secara umum. Banyak referensi berseliweran. Sedikit terlalu banyak sih. Deadpool 2 masih tajam dalam nyeletuk soal dunia film superhero, ketika dia membuat jokes yang berdiri sendiri penonton masih dibuat terbahak-bahak, namun untuk alasan tertentu, film ini lebih favor ke mengandalkan referensi fiilm lain ke dalam guyonan mereka. Masih kocak, tapi ketawa yang beda aja gitu. Referensi itu pun semakin liar. Sekarang Deadpool sudah berani nyentil superhero dari brand sebelah.  Menyebut istilah dari film-film yang lain. Salah satu celetukan original film ini yang paling menarik adalah gimana mereka menekankan bahwa ini adalah film keluarga, satir yang dialamatkan tentu saja kepada para orangtua clueless yang membawa anak mereka menyaksikan film penuh kekerasan dan sexual innuendo ini.

Sementara film dengan protagonist kurang ajar sampe sampe dijuluki Merc with a Mouth semakin lantang bersuara, porsi aksinya tampak agak terlalu biasa saja. Maksudku, Deadpool (2016) terutama bersenang-senang dengan kamera dan slow motion dan timing aksi berantem. Pada puncaknya, seolah film tersebut ikutan meledek pembuatan film aksi. Pada film kali ini, Deadpool masih menendang pantat, menumpahkan darah, dengan asyik dan suka ria, tapi tidak banyak kreasi yang ditawarkan. Sutradara David Leitch sebenarnya enggak kalah pengalaman dalam ngegarap film aksi, kita udah nikmatin Atomic Blonde (2017). Namanya juga literally nampang di kredit pembuka film ini sebagai “Salah satu orang yang membunuh anjing di John Wick”. Tapi apa yang ia lakukan di sini, meskipun sekuen aksinya digarap penuh skill dan gak bikin pusing yang nonton, pretty much lurus-lurus aja. Tidak ada yang salah, hanya saja aku mengharapkan aksi yang lebih imajinatif dan gak masuk akal kalo perlu – mengingat tone cerita film ini.

jadi penasaran, segila apa ya jadinya kalo Taika Waititi dikasih jatah ngegarap film Deadpool hhaha

 

Dari segi cerita sendiri, aku gak pernah total sreg sama elemen perjalanan waktu. Time travel atau pengulangan waktu bisa menyenangkan jika diolah dengan unik, atau menjadi stake dalam cerita. Tapi ketika dijadikan penyelesaian, aspek ini malah terasa seperti alat untuk memudahkan cerita. Sebenarnya aku bingung juga apa yang mau dikatakan lagi soal kritik lantaran komentar-komentar breaking the 4th wall dari Deadpool udah kayak sekalian ngereview filmnya sendiri. Aspek-aspek seperti time travel, juga ada superhero yang kekuatannya adalah keberuntungan, secara gamblang sudah disebutkan oleh kelakar Deadpool sebagai bentuk dari penulisan yang malas. Dan hal tersebut benar adanya; keberuntungan lebih sering dijadikan device untuk memfasilitasi kejadian A bisa sampai menjadi kejadian B. Sedankan time travelnya sendiri, aku nunggu-nunggu Deadpool ngeledek aspek ini, tapi dia tidak melakukannya. Satu hal yang luar biasa kocak terjadi karena aspek time travel di film ini sih, kusarankan kalian bertahan nonton sampai akhir kredit penutup untuk melihat adegan lucu tersebut.

 

 

Jokes, referensi, darah, potongan kepala, musik jadul, kumis, bahkan muntahan asam, digodok kemudian dilemparkan ke dinding dan menempel membentuk kata “F-U-N”. Begitulah gambaran yang tepat untuk film ini. Kita akan bersenang-senang menontonnya, tak peduli berantakan yang sudah ia ciptakan. Kalo mau dibandingkan, film ini sebenarnya tidak semengguncang film pertamanya ketika muncul di bioskop tahun 2016 lalu. Lebih liar, memang. Lebih brutal. Hanya saja, terlalu bersenang-senang dengan trope ini membuatnya tampak menjadi sedikit kurang kreatif dalam membangun cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for DEADPOOL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017