A GHOST STORY Review

“I wanna be alive. I am alive. Alive, I tell you!”

 

 

A Ghost Story akan membuat banyak orang kesal alih-alih takut, sebab meskipun benar ini adalah cerita yang ada hantunya, film ini juga adalah kisah cinta, kisah tentang kesendirian, kisah tentang penyangkalan, kisah pencarian, dan kisah lompatan waktu sekaligus.

 

Mobil yang dikendarai Casey Affleck tabrakan, dia meninggal dunia. Namun pria tersebut menolak untuk mengakhiri hidupnya. Affleck terbangun di rumah sakit, wujudnya sekarang berbungkus selimut putih dengan dua lingkaran sebagai mata – persis kayak kostum hantu-hantuan yang dipakai anak kecil sewaktu Halloween. Sebagai hantu, Affleck berjalan balik ke rumah, tempat Rooney Mara; istrinya, menghabiskan masa berkabung. A Ghost Story literally adalah cerita hantu, as in cerita seorang hantu, di mana kita akan ngikutin perjalanan eksistensial si hantu Affleck, melewati masa lalu dan masa depan. Kita akan menonton hantu Affleck sejak dia mengobservasi istrinya, hingga mengamati roh nelangsa tersebut berusaha menemukan sesuatu yang ia cari-cari.

(un)lucky to be coming home again

 

Kita tidak akan mendapatkan jumpscare ataupun adegan-adegan horor pada film hantu yang satu ini. Tapi itu tidak berarti nonton film ini kita tidak merasa ngeri. A Ghost Story diarahkan oleh David Lowery menjadi sebuah tontonan yang sangat berbeda dan teramat orisinil. Lowery mengambil trope-trope pada horor kebanyakan, seperti buku yang jatuh sendiri, lampu yang hidup-mati, suara aneh di tengah malam, dan memberikan arti yang berbeda terhadap tropes tersebut. Bukan lagi sebatas ada keberadaan gaib yang mencoba menakuti kita, namun ada makna yang lebih dalem di balik segala macam fenomena tak-terjelaskan itu.

Ini adalah film yang bakal menghantui kita secara emosi. Malahan, saking impactfulnya, aku duduk terhenyak beberapa menit setelah film ini usai. Suasan sekitarku seolah surut ke dalam keheningan, karena apa yang kusaksikan di ending, juga semua peristiwa menjelang ending itu sudah berhasil mengguncangku secara emosional. A Ghost Story adalah SALAH SATU FILM TERSEDIH yang pernah aku tonton. Di sini kita melihat bagaimana seseorang bisa menjadi sangat tersesat oleh ketidakpahamannya terhadap purpose ataupun terhadap fakta bahwa dia tidak perlu untuk kembali sebab pada satu titik tertentu kita memang harus terus.  Ada getir yang menohok ketika kita menyaksikan hantu Affleck terus menetap di rumah, lama setelah isrinya pindah, hanya karena ia ingin mengambil catatan yang disimpan oleh istrinya. Sebuah tujuan yang sederhana, poinnya adalah setiap kita ingin mengerti. Seperti yag juga digambarkan oleh si tetangga hantu yang terus menunggu seseorang untuk kembali ke rumah, meski ia tidak lagi ingat siapa yang ia tunggu tersebut. Keberadaan kita adalah semata untuk memahami tujuan, dan begitu kita achieve that, poof! Kita undur diri seketika.

Kematian benar-benar dieksplorasi di sini. Derita dan kehilangan yang seseorang alami saat harus mengalami perpisahan dengan yang dicintai. Rooney Mara dan Casey Affleck perfectly menyampaikan emosi tersebut, tanpa banyak dialog. In fact, film ini memang minim sekali dialog. Saking pelit ngomongnya, kita bahkan enggak diberitahu siapa nama tokoh utama. Film ini menggunakan visual sebagai lidah untuk bercerita, dengan hint-hint subtil menghiasi sinematografi yang sudah memukau sedari awal. Long takes digunakan dengan efektif, Lowery berhasil menghasilkan gambar tanpa sekalipun terlihat pretentious. Semua ada maknanya. Adegan Rooney Mara duduk makan pie demi menelan bulat-bulat perasaannya akan membuat kita turut merasakan duka, juga terasa sangat manusiawi.

kenyataanlah yang susah untuk ditelan

 

Seni adalah wujud kebudayaan suatu bangsa. Dalam ruang lingkup yang kebih kecil, seni adalah apa yang kita hasilkan just to show that “ini loh karya gue”. Gue hidup. Ini loh bukti gue pernah hidup di dunia! Manusia begitu desperate untuk meninggalkan jejak, meskipun sebenarnya seperti yang diperbincangkan oleh dua tokoh film ini di awal cerita; kita cepat atau lambat akan meninggalkan dunia – yang dalam kasus ini dianalogikan sebagai rumah dan catatan-catatan keci yang disembunyikan oleh tokoh Rooney Mara di dalam rumahnya. Keengganan untuk pergi tanpa meninggalkan jejak, atau malah tanpa pernah tahu pasti apa punya jejak atau enggak, membuat seseorang menjadi terikat dan gak gampang move on. Seperti hantu.

 

Penggunaan frame yang tepiannya membundar kayak bingkai instagram membuat menonton ini seperti menonton video rumahan. Treatment ini menurutku bekerja in favor of the movie karena membuat feel cerita terasa real. Sekali lagi, film ini enggak kayak dibuat-buat. Lumrah bagi film-film arthouse untuk mempersembahkan cerita lewat sinematografi yang mesmerizing, namun tak jarang  seberes nonton kita ngerasa “meh, that’s just a bunch of pretty scenes”. Pada A Ghost  Story, adegan-adegan tersebut terlihat benar punya pesan dan kita akan mencoba untuk memahami mereka.

 

Jika hantu adalah sebutan buat entitas yang ngambang di antara dunia nyata dengan dunia fana, maka A Ghost of Story adalah film yang memastikan tidak ada penonton yang jadi hantu setelah menontonnya. I mean, tidak ada ‘di antara’ dalam hal suka film ini, it’s either cinta atau benci. Buatku; I adore this film. So much. Aku setuju sekali sama keputusan film untuk enggak menampakkan apa yang ditulis oleh Rooney Mara di kertas itu.

Kita enggak akan dapat film yang seperti ini lagi entah untuk berapa tahun lamanya. Sedangkan untuk kekurangan, well I do have an issue buat satu adegan yang terasa sedikit enggak selaras dengan keseluruhan film. Sekitar pertengahan, hantu Affleck mendapati rumahnya dijadikan tempat pesta oleh sekumpulan anak muda, dan salah satu dari mereka berceloteh tentang manusia dan usaha yang dilakukan untuk mengukuhkan eksistensi. Monolog yang berbobot banget, kalian mungkin akan merasakan dorongan untuk nyatetin kata-kata yang dilontarkan oleh orang ini. Masalahku adalah, adegan ini seperti film nyuapin ke kita tentang ide yang hendak mereka sampaikan. You know, it was just too frontal, padahal sebelum ini film amat subtil lewat visual. Kita sudah semangat dan terlanjur tertarik untuk menelaah apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pembuat film, dan kemudian adegan monolog yang menjelaskan ini datang. Ini kayak mendadak film mutusin untuk switch ke mode easy, untuk talking down ke penonton. Menurutku kita enggak perlu untuk mendapat penjelasan gamblang seperti itu.

 

 

Hantu adalah pengamat yang baik. Dan untuk itu, film ini membuat kita semua menjadi hantu, mengamati orang-orang dalam duka seperti itu. Namun begitu, apakah ada sebutan untuk hantu yang baik? Sebab hantu juga adalah sisa-sisa, jejak, dari urusan tak selesai yang muncul ketika kita merasa bahwa kita belum selesai mengukir keberadaan di atas dunia. So emotionally haunting, ini adalah drama sedih yang hidup oleh sinematografi memukau, musik yang mengiris hati, dan penceritaan visual yang luar biasa menghanyutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A GHOST STORY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.