“Happiness is being married to your best friend.”
“Kalo lo sampe suka sama gue, gue musuhin lo seumur hidup.” Seketika ucapan Ayu tersebut menjadi stake buat Ditto dalam film #TemanTapiMenikah. Ditto sudah suka sama Ayu semenjak masih menontonnya di televisi, dan sekarang, setelah mereka bersahabat – Ditto beruntung banget bisa satu sekolah, satu meja ama Ayu – Ditto ingin keluar dari friendzone dan actually mengungkapkan perasaannya. Tapi tentu saja enggak segampang itu. He has to bide his time. Ditto bisa saja terus jadi sahabat Ayu, tapi membiarkan cinta tidak terucap jelas adalah jalan tercepat menuju hati yang berat. Akan tetapi, bagaimana jika Ditto menyatakan cinta, hubungan mereka malah jadi awkward? Bisa-bisa mereka jadi gak temenan lagi
Akan susah sekali untuk kita hanya bersahabat dengan orang yang kita cintai, karena hati pasti akan menuntut.Di lain pihak, tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia daripada menikahi sahabat terbaik yang sudah mengerti dan memahami kita sebagaimana kita mengerti mereka.
Film berdasarkan kejadian nyata ini tricky untuk dibuat karena kita sudah tahu endingnya bakal gimana. Ayudia Bing Slamet dan Ditto adalah figur yang sudah cukup dikenal, mereka berkecimpung di dunia pertelevisian, jadi sebagian besar penonton film ini pasti sudah tahu bahwa mereka menikah dan sudah punya anak. Bahkan buat yang belum pernah mendengar kedua nama itupun, judul film ini sudah memberikan informasi mengenai bagaimana akhir kisah mereka. Jadi, stake yang ada pun sebenarnya non-existent. Makanya, film ini menjadikan penampilan akting serta chemistry kedua tokoh sentralnya sebagai senjata untuk membuat kita betah duduk menonton.
#TemanTapiMenikah paham untuk memainkan kekuatan dari para aktornya. Adipati Dolken selalu terbaik dalam meng-tackle peran yang less-serious. Dan Vanesha Prescilla enggak bisa nangis. Cerita memang sedikit menampilkan porsi yang emosional. Sebagian besar waktu kita akan melihat gimana Ditto dan Ayu mengarungi kehidupan remaja mereka yang tentu saja diwarnai dengan putus nyambung berpacaran. Not with each other. Dan build up menjelang kebersamaan inilah yang dimainkan alur cerita dengan baik. Ditto awalnya mencoba untuk menjadi pasif-agresif; Ayu pacaran sama kakak kelas, maka Ditto juga menjadikan playboy sebagai merek dagangnya di sekolah, untuk membuat Ayu cemburu. Semua yang dilakukan Ditto memang demi Ayu, dia nekuni alat musik perkusi, dia nabung buat beli mobil, sampai akhirnya dia juga jadi nongol di televisi, semua berlandaskan cintanya kepada Ayu. Tapi Ayu tidak pernah tahu. Dan mereka berdua ini deket banget, kesukaannya sama, gaya bercandanya sama, jahilnya sama. Inilah yang bikin kita geregetan sendiri melihat hubungan mereka. Mereka tampak seperti orang-orang yang kita kenal, yang kita tahu sebenarnya saling cinta tapi toh mereka enggak gerak-gerak.
Sementara lewat perannya sebagai Ditto Dolken membuktikan kenapa dia masih salah satu pilihan yang tepat jika menginginkan penampilan tokoh muda yang mengundang simpati, Vanesha juga menunjukkan masa depan yang cerah. Masih banyak yang bisa kita tunggu dari penampilan aktris muda ini, karena sejauh ini dia belum dapat peran yang benar-benar menantang range emosinya. Ayu luwes, cuek, dan punya karakter yang kuat, hanya saja tidak banyak berbeda dari remaja kebanyakan. Pekerjaannya sebagai aktor dan model juga tidak berbeda jauh dengan keseharian Vanesha; dia bermain lebih baik di film ini, tetapi tidak banyak tantangan pada perannya. Soal chemistry, Vanesha dan Dolken menguar percik-percikan yang meyakinkan. Untuk penggemar Gadis Sampul sepertiku, dalam film ini akan ada momen yang bikin menggelinjang karena di sini actually ada 2 alumnae Gadsam yang bermain. Aku gak yakin, tapi seingatku, terakhir kali aku melihat Diandra Agatha dan Vanesha Prescilla bersama adalah saat malam final angkatannya Vanesha, di mana Andra berseliweran di antara Vanesha dan teman-teman yang deg-degan sambil membawa mahkota Gadsam saat pengumuman pemenang.
Ketika banyak orang yang membandingkan film ini sama Dilan 1990 (2018) karena pemeran dan ph pembuatnya sama, aku malah teringat sama Star Wars: Episode II – Attack of the Clones (2002) saat menyaksikan Ditto dan Ayu. I mean, aku jadi kepikiran Anakin yang sebagai Jedi, dia gak boleh jatuh cinta. Akan tetapi, cerita malah membuat dia harus berada di samping Padme (yang kostumnya semakin akhir film semakin kebuka); Anakin harus menemani Padme ke tempat-tempat indah, sehingga perjalanan mereka basically adalah perjalanan paling romantis yang bisa dilalui oleh dua orang yang gak seharusnya jatuh cinta. Ditto dan Ayu juga begitu, stake yang ada pada film adalah mereka gak boleh jadian, akan tetapi mereka terus-terusan bersama. Cinta yang terlarang itu memang seru, seksi. Kalo #TemanTapiMenikah adalah film yang lebih serius dan punya lapisan yang lebih dalam, maka film mestinya juga akan membahas perihal cinta yang mereka rasakan. Bukan hanya sekadar turun-naik relationship dan gimana mereka bertindak seputar perasaan tersebut.
Reperkusinya tentu saja adalah seratus-an menit film ini jadi terasa sekali. Film bermain-main terlalu banyak menuju akhir walaupun mereka tahu kita sudah tahu apa yang bakal terjadi. Terutama pada babak ketiga, di mana Ditto dan Ayu pisah kota dan mereka punya pacar masing-masing. Aku mengerti ini adalah bagian yang lumayan penting bagi narasi. Ini adalah bagian ketika tokoh dilepaskan dari apa yang selama ini ia punya, untuk melihat apakah dia bisa hidup tanpanya, karena buat mengetes apakah kita pantas mendapat sesuatu, maka kita harus dilepaskan dulu darinya – to see apakah kita pantas mendapat apa yang kita inginkan. Ditto dan Ayu dipisahkan supaya mereka bisa melihat dan mengenali cinta. Cerita juga butuh untuk ngebuild up ‘hambatan’, menambah bobot drama, sehingga Ayu tidak langsung menerima Ditto. Tapi tetap saja bagian ini terasa unnecessarily long, karena kita sudah tahu apa ujungnya.
Jadi, menurutku film ini memang semestinya bisa bekerja lebih baik jika eventually menambah pembahasan. Menjadi sedikit lebih serius, meskipun itu merupakan tantangan bagi pemerannya. Selain Ayu, tentu saja Ditto juga harus belajar mengenali cinta. Di titik ini, sebaiknya film mengeksplorasi karakter Ditto lebih dalam seputar dia meragukan perasaannya terhadap Ayu. Menurutku akan menambah lapisan jika Ditto mengalami pergolakan apakah yang ia rasakan benar-benar cinta atau dia hanya cinta terhadap gagasan mereka sahabatan sehingga gak boleh pacaran. Atau apakah ia hanya menganggumi Ayu karena Ayu artis televisi. Karena siapa sih yang gak punya crush sama bintang film atau televisi. In that way, film masih menyisakan pertanyaan; sekalipun mereka bersama, apakah benar-benar cinta yang ada di antara mereka berdua. Tentu, semua itu pada akhirnya enggak jadi soal, karena Ditto dan Ayu telah berubah menjadi lebih baik berkat keinginan untuk bersama, namun sebagai sebuah tontonan menurutku semakin berdaging, akan lebih baik.
Meskipun tidak menyuguhkan permasalahan yang baru, ataupun ada permasalahan at all, film ini berhasil menjelma menjadi tontonan yang asik untuk dinikmati karena kedekatan cerita. Aku sendiri juga punya temen sekolah yang enggak disangka-sangka ternyata mereka berdua menikah., padahal satu geng main, dan gak keliatan punya niat pacaran. Tentu saja film ini didukung oleh permainan kamera dan akting dan penulisan yang enggak dibuat-buat. Menurutku menarik betapa televisi punya peran yang cukup besar dalam penyatuan dua insan tokoh cerita kita. Film ini memberikan harapan kepada setiap cinta yang tumbuh malu-malu di luar sana. Kalian yang menyintai sahabat sendiri, jangan khawatirkan pertemanan. Karena kita enggak berteman dengan cinta. Kita menikahinya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017